Anda di halaman 1dari 18

GANGGUAN SOMATOFORM

I.Pendahuluan
1. Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani soma yang berarti
tubuh.1
2. Gangguan somatoform didefinisikan sebagai kelompok kelainan dimana 2 :
a. Gejala fisik yang mengarahkan kepada dugaan gangguan medis
namun tidak dapat dibuktikannya patologi atau bukti-bukti yang
mendukung penyakit fisik sebagai penyebab gejala
b. Adanya dugaan kuat bahwa gejala- gejala tersebut berkaitan dengan
faktor psikologis
3. Gangguan ini mencakup interaksi antara tubuh dengan pikiran (body-mind
interaction).
4. Gangguan-gangguan yang termasuk di dalam kategori gangguan
somatoform memiliki beberapa ciri umum yang sama 2 :
a. Manifestasi stres psikologik menjadi gejala somatik
b. Perilaku sakit yang abnormal (abnormal illness behavior) yaitu
disebabkan adanya ketidaksesuaian antara pengertian yang ditangkap
pasien tentang kondisi sakitnya (perceived illness) dengan penyakit
yang dialaminya (documented disease)
c. Adanya

amplifikasi,

yaitu

dimana

sensasi

dari

gejala

fisik

mengakibatkan rasa cemas (anxiety), kemudian rasa cemas dan


aktivasi autonomik yang diasosiasikan dengan rasa cemas tersebut
mengakibatkan eksaserbasi gejala fisik.
d. Penderitaan (distress) yang bermakna dan seringnya angka kunjungan
untuk pelayanan medis

II.

Klasifikasi Gangguan Somatoform


Terdapat beberapa versi penggolongan gangguan somatoform. 4
1. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth
edition (DSM-IV) terdapat 7 gangguan di dalam kategori gangguan
somatisasi
a. Gangguan somatisasi (somatization disorder)
b. Gangguan somatisasi tidak terinci

(undifferentiated somatoform

disorder)
c. Gangguan konversi (conversion disorder)
d. Gangguan nyeri (pain disorder)
e. Hipokondriasis (hypochondriasis)
f. Body Dysmorphic Disorder (BDD)
g. Gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (somatoform disorder
not otherwise specified-NOS)
2. Menurut ICD-10/PPDGJ-III
a. Gangguan somatisasi (F.45.0)
b. Gangguan somatoform tidak terinci (F.45.1)
c. Gangguan hipokondrik (F 45.2)
d. Disfungsi otonomik somatoform (F 45.3)
e. Gangguan nyeri somatoform menetap (F 45.4)
f.

Gangguan somatoform lainnya (F. 45.8)

3. Perbandingan antara DSM-IV-TR dengan ICD-10


DSM IV-TR memasukkan gangguan konversi dan body dysmorphic disorder
dalam gangguan somatoform sedangkan ICD-10 tidak. Dalam ICD-10
gangguan konversi dimasukkan ke dalam gangguan disosiatif, dan ICD-10 juga
2

merincikan yang disebut disfungsi otonomik somatoform dan gangguan


somatofrom jenis lainnya yang dalam DSM-IV gejala-gejalanya mirip dengan
gangguan cemas dan gangguan depresi. Dalam ICD-10, body dysmorphic
disorder dimasukkan ke dalam kelas hipokondriasis.4
III.

Gangguan Somatisasi
1. Gangguan somatisasi merepresentasikan bentuk ekstrim dari gangguan
somatoform dimana gejala multipel yang melibatkan berbagai sistem
organ tidak dapat dijelaskan secara medis. 2
Beberapa bentuk kronis dari proses somatisasi tidak dapat memenuhi
kriteria gangguan somatisasi,

sehingga dimasukkan dalam kategori

gangguan somatoform tidak terinci (lihat bab selanjutnya).


2. Etiologi gangguan somatisasi adalah sebagai berikut :
a. Faktor Psikososial
Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara psikososial
gejala gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang
bertujuan untuk menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau
menyimpulkan perasaan. Pengajaran orang tua, contoh orang tua, dan
budaya

dapat

mengakibatkan

pasien

terbiasa

menggunakan

somatisasi.1
b. Faktor Biologis
Transmisi genetik yang berperan dalam gangguan somatisasi terjadi
pada 10-20% wanita turunan pertama sedangkan saudara laki-lakinya
cenderung menjadi penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian
antisosial.
3. Menurut DSM-IV-TR, gangguan somatisasi memiliki kriteria diagnosis
sebagai berikut1,2,3,4:
a. Riwayat gejala fisik yang banyak (atau suatu keyakinan bahwa dirinya
sakit) yang mulai sebelum usia 30 tahun, berlangsung selama

beberapa tahun, dan mengakibatkan perilaku mencari pertolongan


medis (medical seeking behavior) atau hendaya yang bermakna.
b. Kombinasi dari gejala-gejala yang tidak terjelaskan, yang terjadi
kapanpun selama perjalanan dari gangguan, yang semuanya harus
dipenuhi. Gejala-gejala yang dimaksud antara lain:
i. 4 gejala nyeri (melibatkan minimal 4 lokasi atau fungsi yang
berbeda meliputi kepala dan leher, abdomen, punggung, sendi,
ekstremitas, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan
seksual, dan saat berkemih)
ii. 2 gejala gastrointestinal selain nyeri (meliputi mual, kembung,
muntah, diare, dan intoleransi makanan)
iii. Satu gejala seksual (kehilangan keinginan seksual, disfungsi
seksual, mens ireguler, perdarahan mens yang berlebihan,
muntah-muntah selama hamil)
iv. Satu gejala pseudoneurologik yang bukan nyeri (meliputi
gangguan keseimbangan, kelemahan, kesulitan menelan, afonia,
retensi urin, halusinasi, pandangan ganda, kebutaan, ketulian,
kejang, disosiasi, dan kehilangan kesadaran)
c. Gejala-gejala tersebut bukanlah akibat gangguan kondisi medis,
ataupun kalau terdapat gangguan kondisi medis, gejala dan efeknya
pada pasien melebihi dari apa yang biasanya dapat disebabkan
gangguan kondisi medis tersebut.
d. Gejala-gejala tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat secara
sengaja atau berpura-pura
4. Diagnosis Diferensial
a. Gangguan medis dengan ciri gejala kronis yang multipel dan samar.
Biasanya penyakit-penyakit tersebut masuk dalam golongan infeksi
kronis, neoplasma, endokrin, reumatologik, dan neurologik. Macammacam kemungkinan yang dapat ditemukan 2 :Penyakit tiroid dan
4

paratiroid, Penyakit adrenal, Porfiria, Multipel Sklerosis, Lupus


Eritematosus Sistemik dan bentuk vaskulitis lainnya, Myasthenia
gravis, Endometriosis, Fibromyalgia, Gejala awal dari keganasan,Sifilis,
Penyakit Lyme, Infeksi HIV, Sindroma Temporomandibular, Irritable
bowel disease atau Inflammatory bowel disease, Sindroma lelah kronik
b. Gangguan

Psikiatrik

relevan

yang

mungkin

menjadi

diagnosa

diferensial utama ataupun ko-morbid :


i. Pada schizophrenia keluhan umumnya bersifat aneh-aneh, serta
disertai gejala khas psikotik seperti halusinasi dan gangguan
berpikir yang jelas.
ii. Gangguan panik : gejala fisik hanya saat episode serangan
iii. Malingering : terjadi ketika pasien hendak mendapatkan
secondary gain
iv. Depresi kronik
v. Gangguan cemas umum dengan manifestasi somatik multipel
vi. Penyalahgunaan zat
5. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosis
biasanya ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah
dimulai saat remaja. Masalah menstruasi merupakan gejala paling dini
yang muncul pada wanita. Keluhan seksual sering berkaitan dengan
perselisihan dalam perkawinan. Periode keluhan yang ringan 6-9 bulan,
sedangkan yang berat 9-12 bulan. Biasanya pasien sudah memulai
mencari pertolongan medis sebelum 1 tahun.
6. Tatalaksana
a. Pendekatan untuk tatalaksana gangguan somatisasi harus bersifat
realistis dan berfokus pada care dan bukan cure.

b. Beberapa poin klinis yang bermanfaat, berdasarkan asumsi bahwa


adanya kebutuhan psikologis yang merupakan penyebab mendasar
dari gangguan somatisasi:
i.

Pasien tidak selalu mencari kesembuhan tetapi mungkin


menginginkan adanya relasi dengan praktisi

ii.

Pasien ingin dokter mengakui bahwa dirinya sakit

iii.

Berikan reassurance (dukungan) secara lambat dan berhati-hati.


Pasien seringkali tidak suka dan menolak (resisten) dengan
pernyataan-pernyataan

bahwa

dirinya

tidak

sakit,

bahwa

gejalanya bersumber dari emosi/psikis.


iv.

Tunjukkan kepedulian pada distress pasien dan tunjukkan


keinginan untuk menolong

c. Buat jadwal pertemuan terencana, misalnya 1 bulan sekali


d. Batasi penggunaan alat diagnostik dan obat-obatan. Beberapa
pemeriksaan fisik yang terfokus dan pemeriksaan lab yang kadangkadang saja sifatnya. Tanda (sign) harus lebih diandalkan daripada
gejala (symptoms)
e. Belum terdapat psikofarmaka yang efektif untuk mengatasi gejala
gangguan somatisasi, dan hanya dianjurkam bila terbukti ada komorbid
gangguan psikiatris lainnya.
7. Prognosis
Gangguan somatisasi cenderung bersifat kronis dan berfluktuasi. Remisi
total jarang tercapai. Dengan tatalaksana yang tepat maka distress dapat
dikurangi namun tidak dapat sama sekali dihilangkan.
IV.

Gangguan Somatoform Tidak Terinci


Pasien yang memiliki riwayat gangguan somatisasi dan pada kunjungan tidak
memenuhi kriteria lengkap (jumlah dan lokasi spesifik) dari gangguan

somatisasi

dimasukkan

sebagai

gangguan

somatoform

tidak

terinci

(undifferentiated somatoform disorder), yang cirinya adalah 4 :


a. Satu atau lebih gejala fisik selain nyeri (lelah, hilang nafsu makan, gejala
gastrointestinal atau berkemih)
b. Gejala bukan akibat kondisi medis umum, yang kalaupun ada, tidak
diperkirakan memiliki dampak yang sedemikian berlebihan pada pasien
c. Gejala bukan dibuat-buat dan disengaja
d. Durasi 6 bulan atau lebih
e. Bukan diakibatkan gangguan mental lain seperti depresi
V.

Gangguan Konversi
1. Gangguan konversi didefinisikan sebagai kehilangan fungsi tubuh yang
tidak sesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat
dan tepi. DSM-IV membatasi gangguan konversi hanya pada gejala
neurologik.
2. Etiologi
a. Faktor Psikoanalitik
Sesuai nama gangguan ini yaitu konversi, menurut teori psikoanalitik
pasien-pasien tersebut memiliki konflik alam bawah sadar yang tidak
terselesaikan. Konflik terjadi ketika muncul hasrat tetapi oleh alam
bawah sadar dikenali sebagai sesuatu yang terlarang. Konflik ini
menimbulkan suatu kecemasan yang kemudian demi mengurangi rasa
cemas itu maka dikonversikan menjadi gejala fisik yang sebetulnya
adalah ekspresi samar dari hasrat terlarang tersebut. Misalnya pasien
gangguan konversi dengan gejala vaginismus mengeluarkan gejala
tersebut untuk melindungi pasien dari konflik akibat hasrat seksual
yang terlarang. Jadi dapat disimpulkan pada gangguan somatoform
gejala-gejalanya bersifat simbolik.

b. Faktor Biologis
Terjadi hipometabolisme pada area hemisfer serebri yang dominan dan
hipermetabolisme pada area yang non-dominan
3. Gejala Klinis
Dapat terjadi berbagai macam gejala neurologis pada gangguan konversi.
Presentasi klinis yang dianggap paling umum adalah psychogenic nonepileptic seizure (pseudoseizure). Gejala pseudoneurologik berupa
kelemahan ekstremitas lebih jarang. Gejala konversi yang ringan kadangkadang terjadi, misalnya nyeri dada pada saat kehilangan orang yang
dicintai.
4. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis menurut DSM-IV adalah1,2,3,4 :
a. Satu atau lebih gejala atau defisit motorik volunter atau sensorik yang
diperkirakan sebagai suatu kondisi neurologis atau kondisi medik
umum lainnya
b. Faktor psikologis dinilai berkaitan dengan gejala dan defisit karena
permulaan atau eksaserbasi gejala dan defisit didahului stressor
psikologis
c. Gejala atau defisit tidak dengan sengaja dibuat atau berpura-pura
d. Gejala atau defisit setelah cukup penelusuran tidak dapat dijelaskan
secara penuh sebagai kondisi medik umum atau sebagai akibat
langsung dari zat, atau secara kultural sebagai perilaku atau
pengalaman penebusan.
e. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan atau hendaya yang
bermakna secara klinis di bidang sosial, pekerjaan atau fungsi lain atau
menuntut evaluasi medis

f. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual,
tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan
bukan karena gangguan mental lainnya.
5. Diagnosis Diferensial
a. Gangguan Medis
Gangguan medis seperti yang tercantum dalam diferensial diagnosis
untuk gangguan somatisasi perlu dipertimbangkan sebelum membuat
diagnosis gangguan konversi
b. Gangguan Psikiatris
Lihat daftar yang sama pada bagian diferensial diagnosis untuk
gangguan somatisasi
6. Perjalanan Penyakit
Hampir semua gejala awal (90-100%) dari pasien dengan gangguan
konversi membaik dalam waktu beberapa hari sampai kurang dari
sebulan.
7. Tatalaksana
Sebelum memulai tatalaksana kita perlu kembali pada pemahaman teori
gangguan konversi bahwa gejala merupakan suatu bentuk perlindungan
pasien terhadap kecemasan akibat konflik intrapsikik. Menghilangkan
mekanisme defense ini (misal melalui hypnosis) akan membuat pasien
merasa rentan dan tak berdaya, sehingga penanganan haruslah
memperhatikan stresor psikologis yang mendasari munculnya gejala
konversi.2
a. Terapi non farmakologis
Sugesti yang kuat serta pendidikan yang empatik sangat penting. Mirip
dengan gangguan somatisasi pasien perlu diajarkan hubungan erat
antara pikiran, otak, dan tubuh. Dokter perlu berbicara secara apa
adanya tentang definsi dan pemahaman medis terkini mengenai
9

gangguan konversi serta berbicara dengan yakin bahwa gejala ini akan
sembuh dengan cepat
b. Wawancara pasien dibawah pengaruh hypnosis 2
Ketika sugesti dan edukasi tidak berhasil dilakukan, maka teknik
hypnosis dapat dicoba. Penggunaan teknik ini membutuhkan pelatihan
dan pengalaman, dapat membantu praktisi untuk memasuki wilayah
konflik intrapsikis yang sebelumnya ditutup oleh pasien. Perlu diingat
adalah obat anti kejang sehingga ia dapat mengurangi gejala kejang
akibat real-seizure.
8. Prognosis
Faktor-faktor yang membuat prognosis lebih baik antara lain onset yang
akut, stresor yang teridentifikasi, durasi gejala singkat, level kecerdasan
pasien, gejala kelumpuhan, gejala kebutaan. Pasien dengan gejala
kejang atau tremor biasanya memiliki prognosis lebih buruk. 1
VI.

Hipokondriasis
1. Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi
dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius dan
tidak mau menerima penjelasan medis yang menunjukkan bahwa dirinya
tidak menderita sakit.1,2
2. Epidemiologi
Prevalensi hipokondriasis pada rawat jalan adalah 4-9%
3. Etiologi
Hipokondriasis disebabkan pasien memiliki skema kognitif yang salah.
Pasien menginterpretasikan sensasi fisik yang mereka rasakan secara
berlebihan. Menurut teori psikodinamik hipokondriasis terjadi karena
permusuhan dan agresi dipindahkan ke dalam bentuk somatik melalui
mekanisme repression dan displacement. Kemarahan yang dimaksud
berasal dari kejadian penolakan dan ketidakpuasan di masa lalu. Selain
kemarahan, dapat juga penyebabnya adlaah rasa bersalah dan gejala
10

timbul karena pasien ingin menebus kesalahannya melalui penderitaan


somatik.
4. Gambaran Klinik
Pasien terus merasa dirinya menderita penyakit serius yang belum bisa
dideteksi walaupun hasil laboratorium sudah menyatakan negatif dan
dokter sudah meyakinkan bahwa pasien tidak mengidap sakityang serius.
5. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan DSM-IV, kriteria diagnosis hipokondriasis adalah
sebagai berikut1,2,3,4 :
a. Preokupasi dengan ketakutan atau ide bahwa seseorang mempunyai
penyakit serius berdasarkan interpretasi yang salah terhadap gejalagejala tubuh
b. Preokupasi menetap meskipun telah dilakukan evaluasi medik dan
penentraman
c. Keyakinan pada kriteria A tidak mempunyai intensitas seperti waham
d. Preokupasi menimbulkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau hendaya dlaam bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting
lainnya
e. Lamanya gangguan sekurangnya 6 bulan
f. Preokupasi

bukan

disebabkan

gangguan

cemas

menyeluruh,

gangguan obsesif kompulsif, gangguan panik


6. Diferensial Diagnosis
a. Gangguan Medis
i.

Gangguan reumatologik, endokrinologik, infeksi, neoplasma,


neurologik harus disingkirkan sebelum mendapatkan diagnosis
hipokondriasis

11

ii.

Komorbid yang sering adalah fibromyalgia, irritable bowel


syndrome, chronic fatigue syndrome

b. Gangguan Psikiatrik
i.

Gangguan Obsesif-Kompulsif

ii.

Body Dysmorphic Disorder

iii.

Malingering

iv.

Gangguan Somatoform lain

7. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit hipokondriasis biasanya episodik, yang durasinya
setiap episode berkisar antara bulan-tahun. Dapat terjadi periode tenang
di antara episode-episode.
8. Tatalaksana
a. Kesabaran dan reassurance adalah kunci sebab pasien hipokondriasis
sering menggunakan sumber daya medis dan menguras waktu dokter
b. Psikoterapi
i.

Terapi Suportif bermanfaat bila didukung hal-hal berikut :


Ada informasi akurat mengenai gejala
Edukasi mengenai mispersepsi dan misinterpretasi gejala
dan sensasi somatik
Kunjungan dan pemeriksaan fisik secara berkala
Penggunaan anxiolytic singkat selama periode stress tinggi

c. Farmakoterapi
`Obat golongan SSRI bermanfaat pada pasien dengan hipokondriasis
terisolasi (tanpa ko-morbid psikiatris seperti gangguan cemas atau

12

panik). Fluoxetine atau paroxetine dengan dosis max 60 mg/h dan


dapat juga sertraline dosis minimal 150 mg/h.
9. Prognosis
Hipokondriasis cenderung menjadi kronis dengan periode remisi dan
eksaserbasi yang dipicu stres. Prognosis yang baik berkaitan dengan
status sosial ekonomi yang tinggi, pengobatan terhadap cemas dan
depresi yang responsif, onset gejala mendadak, tidak ada gangguan
kepribadian, dan tidak ada gangguan medis non-psikiatrik yang terkait.
Bila yang menderita hipokondriasis adalah anak-anak maka akan
membaik saat remaja atau dewasa awal.1
VII.

Gangguan Nyeri
1. Menurut DSM-IV gangguan nyeri adalah nyeri yang merupakan keluhan
utama dan menjadi fokus perhatian klinis. Faktor psikologislah yang
berperan dalam pengalaman nyeri pasien dan perilaku mencari
pertolongan medis.1
2. Etiologi
a. Faktor Psikodinamik
i.

Pasien dengan aleksitimia tidak mampu perasaannya secara


verbal sehingga menggunakan tubuh untuk mengekspresikan diri

ii.

Beberapa orang menganggap luka emosional sebagai kelemahan


sehingga memindahkan (displacing) masalah pada tubuh

iii.

Bisa juga sebagai bentuk penebusan terhadap rasa berdosa atau


bersalah

iv.

Cara untuk mencari cinta

b. Faktor Biologis
Defisiensi endorfin dapat menjadi penyebab. Demikian juga pada
pasien dengan kelainan struktur limbik dan sensorik, abnormalitas
tersebut dapat menjadi faktor predisposisi.
13

3. Gambaran klinis
Pasien dengan gangguan nyeri akan datang dengan keluhan utama nyeri
di berbagai lokasi biasanya nyeri pinggang bawah, nyeri kepala, nyeri
fasial atipikial. Pasien umumnya punya riwayat panjang perawatan medis
dan pembedahan. Banyak yang mengunjungi beberapa dokter, meminta
obat dalam jumlah besar, bahkan mendesak pembedahan.
4. Kriteria Diagnosis
Berdasarkan DSM-IV1,2,3,4
a. Nyeri pada satu tempat atau lebih yang menjadi fokus utama dan
cukup berat untuk menjadi perhatian klinis
b. Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya dalam
bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya
c. Faktor

psikologis

berperan

penting

dalam

awitan,

keparahan,

eksaserbasi, atau bertahannya nyeri


d. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau berpura-pura
e. Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan mood, cemas,
atau psikotik, dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.
5. Diagnosis Diferensial
a. Gangguan nyeri berasosiasi dengan kondisi medik umum
b. Gangguan somatisasi yang menonjol gejala nyerinya
c. Hipokondriasis
d. Malingering
6. Perjalanan Klinis
Nyeri muncul secara tiba-tiba dan derajat keparahan meningkat dalam
beberapa minggu atau bulan

14

7. Tatalaksana
a. Kenali dan tangani semua gangguan medis umum yang mungkin
berkontribusi terhadap gejala nyeri
b. Seperti

pada

gangguan

somatisasi

dan

hipokondriasis,

target

tatalaksana bukanlah kesembuhan melainkan perawatan, sebab tidak


mungkin menghilangkan nyeri
c. Terapis perlu mendiskusikan sejak awal bahwa sumber nyeri pasien
adalah psikogenik,
d. Farmakoterapi yang dapat menolong adalah golongan antidepresan
trisiklik dan SSRI. Golongan analgetik, sedatif, dan anticemas tidak
bermanfaat

bahkan

dapat

menimbulkan

ketergantungan

dan

memperparah gejala.
8. Prognosis
Prognosis umumnya kronik dan pada akhirnya menimbulkan penderitaan
dan ketidakberdayaan.
VIII.

Body Dysmorphic Disorder


1. Pasien dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD) mempunyai perasaan
subyektif pervasif bahwa penampilannya buruk padahal penampilannya
normal atau bahkan baik. Inti dari kelainan ini adalah bahwa pasien
berkeyakinan kuat bahwa dirinya tidak menarik atau menjijikkan.
Keyakinan ini sulit diredakan dengan pujian atau penentraman. Pasien
biasanya mencari ahli kulit, bedah plastik, atau internis. 2
2. Etiologi
Penyebab

penyakit

ini

belum

banyak

diketahui.

Menurut

teori

psikodinamik, BDD disebabkan konflik seksual atau emosional yang


dipindahkan ke organ tubuh lain yang tak terkait.

15

3. Gambaran klinis
Pasien mengeluhkan bagian tubuh tertentu yang paling sering ialah wajah
dan hidung, rambut, buah dada, dan genitalia. Ada penelitian menyatakan
pasien mengeluhkan 4 bagian tubuh selama penyakit berlangsung. Varian
pada pria adalah usaha untuk memperbesar otot-ototnya sampai
menganggu

kehidupan

sehari-hari.

Pasien

seringkali

mempunya

kepribadian dengan ciri obsesif-kompulsif, skizoid, dan narsistik. 1


4. Kriteria Diagnosis
BDD menurut DSM-IV :
a. Preokupasi dengan cacat yang dikhayalkan, kalaupun ada anomali
ringan, keprihatinannya sangat berlebihan
b. Preokupasinmya mengakibatkan penderitaan dan hendaya yang
bermakna secara klinis di bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting
lainnya
c. Preokupasinya bukan karena gangguan mental lainnya, seperti
ketidakpuasan bentuk dan ukuran tubuh pada anoreksia nervosa
5. Diagnosis Diferensial
a. Depresi
b. OCD. Memiliki kemiripan secara fenomena maupun neurobiologis
dengan BDD. Pasien BDD akan berulangkali melihat tubuhnya di
cermin dan memakan waktu berjam-jam untuk memikirkan penampilan
mereka.
c. Gangguan waham, tipe somatik
6. Perjalanan Klinis
Awitan bertahap, dimana kepedulian tehadap bagian tubuh tertentu akan
semakin menjadi-jadi sehingga mencari bantuan medis atau operasi
untuk mengatasinya. Derajat kepedulian dapat meningkat atau menyusut,
tetapi umumnya menjadi kronis bila tidak diobati. 1
16

7. Tatalaksana
a. Tidak ada bukti bahwa bila permintaan bedah plastik dilakukan akan
memperbaiki persepsi pasien tentang cacat tubuhnya.
b. Obat yang dipakai untuk gangguan obsesif-kompulsif seperti SSRI dan
Clomipramine dapat memberi kelegaan pada pasien BDD
c. Golongan antipsikotik dapat diberi bila muncul gejala psikotik
d. Karena BDD sering komorbid dengan depresi, maka dalam kasuskasus seperti ini pengggunaan antidepresan dapat dibenarkan
IX.

Gangguan Somatoform yang tidak tergolongkan


Kategori ini adalah suatu kategori untuk pasien yang memiliki gejala
diperkirakan sebagai gangguan somatoform tetapi tidak memenuhi kriteria
spesifik untuk salah satu jenis gangguan somatoform. Bisa jadi pasien tersebut
memiliki gejala yang tidak ada pada kategori lain seperti pseudocyesis atau
tidak memenuhi kriteria waktu 6 bulan4.

X.

Kesimpulan
Gangguan somatoform adalah jenis gangguan mental dimana terdapat proses
somatisasi sehingga konflik intra-psikis dimanifestasikan sebagai gejala fisik.
Gejala fisik merupakan keluhan utama pasien, yang tidak disebabkan atau
dijelaskan sepenuhnya oleh gangguan kondisi medis umum lainnya ataupun
gangguan mental lainnya. Perjalanan klinis gangguan-gangguan yang
termasuk dalam gejala ini umumnya kronis dan cenderung berulang atau
menetap. Tatalaksana diarahkan pada management dan bukan cure. Edukasi,
dukungan, dan psikoterapi bermanfaat dalam membantu meringankan gejala.
Psikofarmaka dapat bermanfaat pada beberapa jenis gangguan tetapi tidak
pada jenis lainnya.

17

DAFTAR PUSTAKA

1.

Elvira, S. D., & Hadisukanto, G. (2010). Gangguan Somatoform. Jakarta:


FKUI.

2. Goldberg, R. M. (2007). Practical Guide to the Care of the Psychiatric


Patient. Philadelphia: Elsevier Mosby.
3. Maslim, R. (2003). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
4. Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2007). Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New
York: Lippincott William&Wilkins.

18

Anda mungkin juga menyukai