masih pemula.3
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat diperlukan penjelasan (inform consent) pada
pasien secara baik, termasuk alternatif, potensial risiko dan manfaat operasi bagi
pasien.1,2,3,4,7,8
withnalls
adalah
muskulus levator
yang
bertransformasi,
berstruktur seperti tendon yang berwarna putih berkilat. Levator aponeurosis membelah
menjadi lamella anterior dan posterior pada lokasi kira-kira 10-12 mm di atas tarsus. Lamella
posterior terdiri dari jaringan otot yang lembut yang diinervasi oleh saraf simpatis, disebut
juga dengan muskulus mullers, yang analog dengan muskulus tarsal palpebra inferior.
Muskulus muller kemudian berinsersi pada pinggir atas tarsus. Muskulus muller bagian
posterior melekat erat dengan lapisan konjungtiva dan bagian anterior melekat dengan
aponeurosis. Tidak ditemukan arkade pembuluh darah perifer pada anterior muskulus muller
dekat dengan insersi pinggir superior tarsus.2,3
Septum orbita bersatu dengan aponeurosis pada bagian superior lid-crease, tinggi lid-crease
dapat berfariasi. Pada pinggir inferior menyatu, lembaran mengecil pada jaringan superior
melewati septum orbicularis masuk ke jaringan subkutaneous palpebra dan memberi respon
terhadap pembentukan lid crease. Pada sentral lembaran aponeurosis ini mengangkat kulit
yang longgar ke atas lipatan lid crease ke atas crease, sehingga membentuk lipatan pada
palpebra superior, setengah anterior atas dari bentuk lempeng radiasi yang menyeluruh insersi
septum yang menyeluruh pada muskulus pretarsal orbicularis dan kulit. Bagian bawah
posterior dari lempeng
disisipkan dengan kuat ke bawah 7-8 mm dari anterior tarsus. Tempat yang sangat kuat
melekat 3 mm di atas margin palpebra.2,3
Perlekatan aponeurosis berfungsi untuk melekatkan sepanjang muskulus muller ke
konjungtiva penting untuk sinkronisasi pergerakan struktur dari palpebra superior dan posisi
dari sillia. Perlekatan pada tulang dari aponeurosis pada medial dan lateral horn. Lateral horn
lebih kuat dari medial horn, lewat melalui glandula lakrimal kemudain terbagi dalam lobus
palpebral dan orbital.Lateral horn melekat ke periorbita pada tuberkel orbita dan lateral
kanthal tendon. Medial horn tipis, strukturnya lembut dan melekat secara lembut dengan
bagian posterior dari medial kanthal tendon dan melengkung ke medial dan posterior dan
masuk ke posterior lakrimal dan berhubungan dengan periorbita pada dinding medial
orbital.2,3
Konjungtiva pada lapisan posterior palpebra yang mengandung sel goblet yang mensekresi
musin dan glandula lakrimal asesoris krause dan wolfring. Glandula lakrimal asesoris
ditemukan pada jaringan sub-konjungtiva terutama pada palpebra superior diantara pinggir
tarsus superior dan fornik.2,3
Gambar 1: Potongan melintang palpebra superior. (dikutip dari: American Academ Of
Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology
Monograf 8, Volume 2, 1998, page 85).
Gambar 2: Tampak depan mata. ((dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology:
Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8,
Volume 1,1998, page 86.
KLASIFIKASI PTOSIS
Ptosis dapat dIklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya dan berdasarkan kelainan yang
dijumpai, sebagian besar kasus ptosis kongenital akibat gangguan pembentukan jaringan
muskulus levator. Sedangkan ptosis didapat terjadi akibat penurunan regangan atau disinsersi
aponeurosis levator ( aponeurotic abnormality). Secara garis besar, maka blefaroptosis yang
diakibatkan karena kelainan pembentukan jaringan muskulus levator disebut ptosis
kongenital, sedangkan blefaroptosis akibat gangguan pada levator aponeurosis disebut ptosis
didapat.
Berikut sistim klasifikasi yang spesifik dan akurat berdasarkan penyebab terjadinya ptosis
termasuk:
Ptosis miogenik :
Kongenital: akibat dari gangguan pertumbuhan muskulus levator.
Didapat: ptosis ini jarang ditemukan, merupakan akibat dari kelainan muskuler lokal atau
menyeluruh, seperti distrofi muskuler, eksternal oftalmoplegia progresif kronik, miastenia
grafis, atau distrofi okulofaringeal.
Ptosis aponeurotik:
Kongenital: akibat kegagalan insersi aponeurosis pada posisi normal di permukaan anterior
tarsus.
Didapat: akibat kelemahan,
aponeurosis
levator
dari
kedudukan normal.
Ptosis neurogenik:
Kongenital: disebabkan karena adanaya defek neurogenik yang terjadi pada saat
perkembangan embrio. Ptosis ini jarang ditemukan dan sering berhubungan dengan
kelumpuhan nervus kranial III kongenital, horner sindrom kongenital, atau Marcus Gunn
jaw-winking sindrom.
Didapat: disebabkan karena putusnya hubungan persarafan normal yang paling sering
terjadi akibat sekunder dari kelumpuhan nervus kranial III didapat, sindrom horner atau
miastenia grafis didapat.
Ptosis mekanikal:
Ptosis mekanikal biasanya terjadi akibat neoplasma yang
mendorong palpebra superior ke inferior, hal ini dapat disebabkan oleh kelainan kongenital
seperti neuroma fleksiform, hemangioma, atau oleh neuplasma didapat seperti khalazion
besar, basal sel atau squamous sel karsinoma. Edema setelah operasi atau trauma, yang dapat
menyebabkan ptosis mekanikal sementara.
Ptosis traumatik:
Ptosis traumatik terjadi akibat trauma tajam dan tumpul pada muskulus atau aponeurosis
levator. Seperti laserasi palpebra superior, prosedur bedah saraf orbital. Pada kasus ptosis
troumatik dokter mata harus melakukan observasi selama 6 bulan sebelum melakukan
koreksi ptosis, karena ptosis ini kadang-kadang dapat sembuh spontan.
Pseudoptosis:
Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pseudotosis, termasuk hipertropia,
enoftalmos, mikroftalmos, anoftalmos, ptisis bulbi, defek sulkus superior akibat trauma, atau
kasus lainnya.1,2,3,5,7,8,10
Anamnesa meliputi identitas pasien dan riwayat penyakit, dapat ditanyakan dari pasien
sendiri atau anggota keluarga. Pasien kita suruh membawakan foto untuk memadukan
riwayat permulaan ptosis. Terutama jika riwayatnya ptosis samar-samar atau tidak konsisten
dengan pemeriksaan fisik.2,3,9,13
B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik awal pada pasien ptosis dimulai dengan empat ukuran klinik:
Fissura interpalpebra vertikal: Jarak antara margo palpebra superior dan inferior pada posisi
penglihatan primer.
Gambar 5: ukuran fisura palpebra (dikutip dari: Kansky. JJ, Eyelid Ptosi in Clinical
Ophthalmology A Systemic Approach, Sixth Edition, Butterworth-Heinemann Elsevier,
2005, Page 133).
Margin reflek distance (MRD): Penderita disuruh melihat pada posisi primer, kemudian
diukur jarak antara margo palpebra superior dan reflek cahaya, normal 4 mm.
Gambar 4: Ukuran margin reflek distan. (Kansky. JJ, Eyelid Ptosis in Clinical Ophthalmology
A
Systemic Approach, Sixth Edition, Butterworth - Heinemann Elsevier, 2005, Page 133).
Lid-crease palpebra superior: Jarak antara lipatan kulit palpebra superior dengan margin
palpebra. akibat insersi jaringan muskulus levator ke dalam kulit sehingga membentuk lidcrease. Disinsersi aponeurosis levator membentuk lid-crease pada posisi tinggi, ganda, dan
asimetris. Lid-crease biasanya tinggi pada pasien ptosis involusional. Pada ptosis kongenital
biasanya samar-samar atau tidak ada. Ciri khas lid-crease orang Asia biasanya rendah dan
tidak jelas, walaupun tidak ada ptosis.
Fungsi levator: Penderita diminta melihat ke bawah maksimal, pemeriksa
memegang
penggaris dan menempatkan titik nol pada margo palpebra superior, juga pemeriksa menekan
otot frontal agar otot frontal tidak ikut mengangkat kelopak, lalu penderita diminta melihat ke
atas maksimal dan dilihat margo palpebra superior ada pada titik berapa. Aksi levator normal
14-16 mm.
Gambar 3: ukuran aksi levator.(dikutip dari: Kansky. JJ, Eyelid Ptosis in Clinical
Ophthalmology A
Derajat atau jenis ptosis serta besarnya fungsi levator merupakan faktor yang dapat
menentukan dalam memilih prosedur operasi. Pengalaman dan tingkat kenyamana operator
juga merupakan faktor yang paling penting dalam menetukan jenis prosedur operasi
blefaroplasti. Pada pasien dengan fungsi levator yang baik, koreksi umumnya langsung
diarahkan ke aponeurosis levator. Apabila fungsi levator jelek atau tidak ada, maka tehnik
yang dipilih frontalis muscle suspension.1,3,6,9,13
TEHNIK OPERASI RESEKSI APONEUROSIS LEVATOR MELALUI KULIT
Perhitungan besarnya reseksi levator aponeurosis = (margin limbal distan mata normal margin limbal distan mata ptosis) x 3. 6
Koreksi ptosis kongenital pada pasien anak atau bayi diharuskan menggunakan anastesi
umum. Sedangkan pada pasien remaja atau dewasa lebih dianjurkan menggunakan anastesi
lokal.
Kira-kira 10-15 menit sebelum operasi, 1 cc lidocain 2% dengan 1: 100.000 atau 1:
200.000 epinefrin diinjeksi subkutis pada palpebra sepanjang garis insisi yang direncanakan,
kemudian diberikan 1-2 tetes anastesi topikal setiap 2 menit untuk lima kali pemberian.
Lensa konta sklera berwarna dipasang pada permukaan okular untuk mencegah kerusakan
mata selama operasi.
Benang kromik 4-0 dijahit pada fornik superior serta menembus rektus superior dan
kemudian diikat, benang dibiarkan selama operasi berlangsung.
Benang
ini
Gambar 7: Insisi kulit sepanjang garis lokasi insisi. (dikutip dari: American Academy Of
Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology
Monograf 8, Volume 2, 1998, page 102).
Insisi muskulus orbikularis pada bagian tengah sampai menembus ke permukaan fasia
orbikularis posterior dengan gunting, diperluas ke medial dan lateral. Kemudian muskulus
orbikularis pretarsal dipisahkan dengan muskulus orbikularis preseptal sepanjang insisi,
dengan menegangkan kulit dan muskulus orbikularis terlebih dahulu.
Muskulus orbikularis pretarsal dibebaskan dengan permukaan superior tarsus dengan cara
diseksi tumpul. Diseksi tumpul ke inferior tidak boleh lebih 3-4 mm di atas garis bulu mata,
untuk mencegah kerusakan akar bulu mata, yang mengakibatkan hilangnya bulu mata secara
permanen. Kemudian orbicular preseptal dibebaskan dari septum orbita sampai lebih kurang
15
mm superior rima orbita. Jika reseksi levator yang direncanakan berukuran sedang
sampai dengan lebar, maka orbikularis harus dibebaskan dari kulit lebih luas ke superior,
yang di mulai dari pinggir insisi. Kemudian eksisi kulit berbentuk bulan sabit (crescent)
sepanjang pinggir atas insisi. Tehnik ini sama seperti penatalaksanaan operasi blefaroplasti.
Hal ini dapat mencegah kedutan pada kulit palpebra superior post-operasi, sehingga
mendapatkan hasil kosmetik lebih sempurna.
Septum orbita dikondisikan pada posisi menegang, insisi pada bagian tengah dengan
gunting. Kemudian septum dibebaskan ke medial dan lateral dari aponeurosis levator dengan
diseksi tumpul dan tajam. Ketika septum orbita dibuka lalu dijumpai rongga preaponeurotik,
yang berada di belakang septum dan di depan muskulus levator aponeurosis. Lemak yang
berada dalam rongga ini dapat menjulur dan menyebar ke anterior, biasanya akibat dorongan
bola mata yang akan prolap melalui rongga ini. merupakan anatomi penting sebagai petunjuk
kepada ahli mata bahwa lapisan berikutnya setelah lamak ini adalah aponeurosis levator.
Gambar 8: menggunting
pada bagian
tengah
(dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and
Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 102).
Jika levator aponeurosis lengket, dibuat insisi lubang kancing (buttenhole) pada pinggir
medial dan lateral levator aponeurosis dekat pinggir atas tarsus. Kemudian dibuat terowongan
di bawah aponeurosis sejajar pinggir atas tarsus tanpa menembus muskulus muller atau
konjungtiva, secara diseksi tumpul dengan menggunakan gunting. Kemudian klem ptosis
atau hemostat dimasukkan dalam terowongan ini, dilakukan insisi aponeurosis pada pinggir
distal klem, setelah itu pisahkan aponeurosis dari permukaan anterior tarsus.
Diseksi aponeurosis ini dapat juga dilakukan tanpa menggunakan klem, pada ujung insersi
inferior dari aponeurosis dapat dipegang dengan forsep saja. Dengan diseksi tumpul,
permukaan dalam aponeurosis dibebaskan dari muskulus muller dan konjungtiva ke superior
sampai batas ligamen transfersal (withnall ligament). Jika perlu, dibuat dua buah insisi
vertikal dengan gunting dimulai dari ujung aponeurosis yang bebas dengan ukuran lebihkurang 2/3 luas aponeurosis. Metode pemisahan aponeurosis seperti ini sangat
direkomendasikan sekarang.
Gambar 9: Insisi lubang kancing (buttonhole): (dikutip dari: American Academy Of
Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology
Monograf 8, Volume 2, 1998, page 102. .
Gambar 10: Klem
ptosis
dimasukkan
ke
dalam
lubang
melalui
subaponeurosis.
(dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid,Orbit, and
Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 102).
Gambar 11: Potongan melintang, klem ptosis diantara Aponeurosis dan muskulus muller.
(dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit,and
Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 109).
Jika
operator
melakukan diseksi
aponeurosis
dilakukan dengan membuat insisi lubang kancing (buttonhole) di bagian medial dan lateral
aponeurosis levator pada pinggir atas tarsus sampai menembus konjungtiva tarsal. Klem
ptosis atau hemostat dimasukkan melalui lubang insisi bagian medial dan dikeluarkan lewat
lobang insisi bagian lateral. Klem menjepit konjungtiva di bagian posterior, muskulus muller
dan levator aponeurosis bagian anterior, klem kemudian ditutup dan dikunci. Jaringan yang
dijepit tadi kemudian dipisahkan secara diseksi tajam dari permukaan anterior tarsus.
Kemudian konjungtiva tarsaldimunculkan dengan mengangkat klem ke atas. Untuk
membantu
memisahkan
konjungtiva
dengan
muskulus
muller
dilakukan
injeksi
subkonjungtiva dengan normal saline atau lidokain dengan spuit G 25. Selanjutnya
konjungtiva dibebaskan dari permukaan posterior muskulus muller dan levator bagian
belakang dalam orbita dengan diseksi secara hati- hati. Kemudian potong konjungtiva pada
bagian bawah dari klem dan jahit konjungtiva ke pinggir superior tarsus dengan benang
kromik catgut 6-0 secara kontiniu.
Gambar 12: Diseksi konjungtiva dari muskulus muller. (dikutip dari: American Academy Of
Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology
Monograf 8, V olume 2, 1998, page 105.
Gambar 13: Konjungtiva dijahit ke pinggir tarsus jika digunakan tehnik full- thickness.
(dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and
Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 105).
Gambar 14: Konjungtiva
aponeurosis levator dari permukaan posterior ke anterior pada bagian distal klem dengan
jaraknya sesuai panjang rencana reseksi. Jika dibuat reseksi 14 mm, maka dijahit pada posisi
14 mm dari ujung proksimal aponeurosis levator. Apabila jumlah reseksi tidak dapat
diperhitungkan, jahitan pada aponeurosis levator dapat disesuaikan dengan kebutuhan untuk
mengangkat margin palpebra sesuai dengan yang diinginkan. Jahitan disimpul dengan slip
knot, kemudian klem dibuka dari aponeurosis levator, kelengkungan dan ukuran margin
palpebra dapat dievaluasi pada mata dengan memegang forsep kemudian dijepit dan pastikan
pandangan pada posisi primer. Jika kelengkungan atau batas atas kornea tidak memuaskan,
satu atau lebih jahitan dapat dilepas dan reposisi ke atas atau ke bawah seperlunya. Ketika
kurva dari pelpebra superior dan ukurannya mencukupi, simpul diikat kembali kemudian
dipotong. Muskulus levator bagian distal dari simpul direseseksi dengan gunting lebih kurang
2 mm distal dari simpul.
Gambar 16: Jahitan
Academy Of Ophthalmology:
in
in
page 107).
Selanjutnya oleskan antibiotik salap mata, kemudian tutup dengan kain kasa.3,5,6,10,11,13
PERAWATAN SETELAH OPERASI
Pada prosedur reseksi levator, sering mengalami lagoftalmos, maka digunakan jahitan Frost
untuk menarik palpebra inferior ke atas supaya melindungi kornea. Oleskan antibiotik salap
pada mata kemudian tutup dengan kain kasa dan dibiarkan selama 24 jam.
Antibiotik-steroid salap mata dapat dipakai pada jahitan palpebra dan bola mata saat selesai
operasi untuk mencegah dehidrasi kornea. Pada umumnya salap mata perlu diberikan selama
1-2 minggu untuk menjaga kestabilan palpebra hingga sembuh dengan sempurna. Jika
dijumpai adanya tanda-tanda dehidrasi permukaan kornea atau defek epitel yang menetap,
jahitan Frost dapat dibiarkan sampai terjadi penyembuhan. Pada hari ke 5-7 setelah operasi,
jahitan dapat dibuka dan pasien diharuskan untuk kontrol ulang. Apabila lagopthalmus masih
terlihat berat dan pasien tidak dapat menutup mata sama sekali, palpebra dapat ditarik dengan
plester pada malam hari. Setelah stabil, evaluasi terhadap hasil akhir operasi dalam waktu 1-2
bulan.1,3,8,9,12,13
KOMPLIKASI SETELAH OPERASI
Underkoreksi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada operasi blefaroptosis.
Sebagian ahli bedah ptosis underkoreksi ini dapat dicegah dengan mengukur jumlah reseksi
aponeurosis levator yang tepat sebelum ujung aponeurosis dipotong dan dijahit pada pinggir
tarsus. Koreksi ulang apabila dijumpai underkoreksi dapat dilakukan dalam minggu pertama
setelah operasi atau pada saat pasien masih dirawat di rumah sakit. Dalam hal ini harus dapat
dibedakan underkoreksi karena edema setelah operasi dengan underkoreksi yang sebenarnya.
Komplikasi lainnya yang mungkin terjadi adalah: overkoreksi, kontour palpebra yang tidak
simetris atau tidak sempurna, berparut pada bekas insisi, luka operasi yang tidak sembuh,
eyelid-crease yang tidak simetris, prolap konjungtiva, eversi tarsal, dan lagoftalmos yang
dapat menyebabkan keratitis eksposur. Lagoftalmos yang terjadi setelah operasi ptosis
biasanya terjadi pada pasien dengan fungsi levator yang kurang. Kondisi ini biasanya tidak
menetap, dalam hal ini memerlukan pengobatan dengan artifisial tear atau salap mata sampai
lagoftalmos berkurang.1,2,3,6,8,9,10,11,12,13
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy Of Ophthalmology: Orbit, Eyelids, and Lacrimal System in Basic and
Clinical Science Course, Section 7, 2005-2006, page 205-219.
2. Kansky. JJ, Eyelid Ptosis in Clinical Ophthalmology A Systemic Approach, Sixth Edition,
Butterworth- Heinemann Elsevier, 2005, Page 133-142.
3. American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System
in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 84-131.
4. American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System
in Ophthalmology Monograf 8, Volume 1, 1998, page 86.
5. Perdami, Penanganan Ptosis Palpebra dalam: Kumpulan Makalah Kursus Okuloplastik,
Palembang, 29-30 Agustus 1991, Halaman 1-10.
6. Perdami, Penatalaksanaan Blefaroptosis dalam: Prosedur Diagnostik dan Penatalaksanaan
Bedah Pastik Mata dan Rekonstruksi, Jakarta 2003, halaman 1-8.
7. Jacques C.M, Joseph S.G, Neuromuskular anomalies in Color Atlas And Text of Ocular
Plastic Surgery, Mosby-wolfe, 1996, Page 83-94.
8. W. Jackson Iliff, Elba M. Pacheco, Ptosis Surgery in Duene's Clinical Ophthalmology,
Volume 5, Chapter 72, Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia 2004, Page 1-17.
9. Collin J.R.O, Ptosis in: A Manual of Systematic Eyelid Surgery, Second Edition, Churchill
Livingstone, 1999, Page 41-71.
10.John Harry K, Joseph ACW, Blepharoptosis in: An Atlas of Ophthalmic Surgery, Third
Edition, J.B. Lippincott Philadelphia Toronto, 1991, Page 161-209.
11.Arthur J.S, Surgical Techniques for Congenital and Acquired Ptosis, in: Ophthalmic
Plastic and Reconstructive surgery, Rochester, Minnesota, 2000, Page 164-204.
12.Ptosis Surgery in:
http://www.emedicine.com/blepharoplasty/topic 739.htm.