Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Kedokteran Forensik (IKF) merupakan penerapan ilmu kedokteran yang
digunakan untuk kepentingan peradilan. Dilihat dari fungsinya, IKF dapat dikelompokkan ke
dalam ilmu-ilmu forensik (Forensic Sciences) seperti Ilmu Kimia Forensik, Ilmu Fisika
Forensik, Kedokteran Gigi Forensik, Psikiatri Forensik, Balistik, Entomologi Forensik, dan
lain sebagainya.
Entomologi forensik merupakan salah satu cabang dari ilmu forensik yang
mengevaluasi aktivitas serangga dengan berbagai teknik untuk membantu memperkirakan
saat kematian dan menentukan apakah ada jaringan tubuh atau tubuh mayat yang telah
dipindah dari suatu lokasi ke lokasi lain, atau tubuh pernah dikacaukan di waktu tertentu, baik
oleh hewan, maupun oleh pembunuh yang datang kembali ke TKP (Tempat Kejadian
Perkara). Entomologi tidak hanya bergelut dengan biologi dan histologi arthropoda, namun
saat ini entomologi dalam metode-metodenya juga menggeluti ilmu lain seperti kimia dan
genetika. Dengan penggunaan pemeriksaan DNA dalam entomologi forensik, saat ini juga
sedang diteliti kemungkinan mengidentifikasi DNA jaringan tubuh yang terkena kontak atau
dimakan oleh serangga. Dengan makin banyak dan makin kecilnya marker DNA yang dapat
digunakan untuk identifikasi manusia, maka kemungkinan deteksi semakin besar. Hal ini
akan memungkinkan untuk mengidentifikasi jaringan tubuh atau mayat seseorang melalui
serangga yang ditemukan pada tempat kejadian perkara.
B.
Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan
mengenai entomologi forensik sehingga diharapkan dengan mengetahui lebih
mendalam tentang entomologi dalam melaksanakan penyelidikan yang lebih
mendalam.
Tujuan Khusus
Mengetahui perihal entomologi forensik, serta hubungan dan batasannya
dalam ilmu forensik.
Mengetahui cara memperkirakan waktu kematian dengan memanfaatkan
entomologi forensik.
Mengetahui prosedur pemeriksaan dalam entomologi forensik, meliputi
pengumpulan, pengawetan, dan pengemasan spesies.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
kaitan dan aplikasinya untuk kepentingan hukum. Ilmu tersebut dikaitkan dengan jenazah
manusia sesuai dengan tujuan utamanya untuk menentukan lama perkiraan waktu sejak
kematiannya.1,2
Entomologi forensik pertama kali digunakan pada abad ke-13 di Cina dan pada abad
ke-19 ditemukan penggunaan ilmu tersebut di berbagai negara, dan pada awal abad ke-20
entomologi forensik banyak berperan pada banyak kasus-kasus besar. Dalam lima belas tahun
terakhir, entomologi forensik semakin sering digunakan dalam membantu proses investigasi
yang dilakukan oleh polisi. Berkaitan dengan hal tersebut, pengunaan entomologi forensik
terutama diterapkan pada kasus-kasus kematian yang diperkirakan telah berlangsung selama
tujuh puluh dua jam atau lebih, karena metode forensik lainnya dinilai lebih akurat dalam
menentukan waktu kematian sebelum tujuh puluh dua jam atau lebih. Namun, bila kematian
telah berlangsung lebih dari tiga hari bukti serangga dinilai lebih akurat dan terkadang bisa
menjadi satu-satunya metode pilihan dalam menentukan waktu kematian.2
Entomologi forensik dibagi dalam tiga aspek, yaitu urban, stored-product, dan
medikolegal/medikokriminal. Aspek urban menekankan keberadaan serangga hidup dalam
lingkungan di sekitar manusia. Hal tersebut dapat berguna dalam masalah hukum dengan
ditemukannya serangga atau hama urban yang hidup pada manusia baik yang masih hidup
ataupun yang sudah mati. Serangga tersebut dapat menyerang tubuh dan kemudian
menimbulkan kerusakan berupa luka yang dapat diinterpretasikan salah sebagai tanda
kekerasan yang terjadi sebelumnya.
Aspek entomologi strored-product melibatkan keberadaan serangga atau arthropoda
atau bagian-bagian tubuh serangga pada makanan atau produk lainnya. Contohnya terdapat
serangga atau larva yang berada pada makanan, sayuran atau makanan kaleng membuat
konsumen menuntut pihak pembuat makanan atau restoran yang terkadang bisa merupakan
suatu penipuan yang dilakukan oleh seseorang dengan memasukkan serangga atau bagian
tubuhnya ke dalam makanan yang sudah dibeli terlebih dulu untuk menuntut produsen
makanan. Kasus tersebut dapat diselesaikan dengan bantuan entomologi forensik.
Entomologi medikolegal atau saat ini lebih dikenal dengan sebutan entomologi
medikokriminal, merupakan aspek yang penting karena kegunaannya dalam memecahkan
kasus kriminal, terutama kekerasan. Hal ini berkaitan dengan adanya suatu jenis serangga,
larva ataupun telur, kapan dan darimana asalnya, atau dalam keadaan yang bagaimana
organisme tersebut dapat muncul di tubuh manusia. Hal tersebut dapat sangat berguna dalam
memperkirakan waktu atau interval post mortem (post mortem interval) dan menentukan
lokasi terjadinya kematian karena beberapa spesies hanya berada pada tempat tertentu atau
hanya aktif pada saat-saat tertentu (musim atau waktu tertentu). Contoh kasus seperti yang
terjadi di Ohio ketika seorang laki-laki terbukti bersalah membunuh anak dan istrinya di
California karena pada mobilnya ditemukan belalang dan serangga yang muncul di malam
hari dan banyak terdapat pada daerah Amerika bagian barat. Aspek lain yang termasuk dalam
forensik medikolegal adalah entomotoksikologi, yaitu pengunaan serangga untuk analisis
toksikologi dengan menguji beberapa zat yang diduga menyebabkan kematian pada korban
karena jaringan serangga dapat mengasimilasi zat toksin yang terkumpul pada jaringan tubuh
sebelum kematian.2
Sebagaimana telah dijelaskan, entomologi medikolegal merupakan aspek yang lebih
sering digunakan dalam suatu proses investigasi kematian, pertama kali tercatat pada abad
ke-13 oleh Sung Tzu dalam bukunya Washing Away of Wrongs yang menuliskan beberapa
kasus tentang bagaimana seseorang meninggal dan sebab kemungkinan kematiannya. Dalam
bukunya, Sung Tzu juga menggambarkan sebuah kasus pembunuhan yang terungkap
pembunuhnya hanya gara-gara lalat. Hakim kampung tempat Sung Tzu tinggal mengundang
semua pekerja di kampung itu untuk berkumpul dengan membawa sabitnya sehingga ia dapat
menanyainya tentang mayat seorang laki-laki yang ditemukan mati di dekat sawah. Luka
bacokan di tubuh korban membuat hakim mencurigai seorang pekerja sawah yang
membunuh orang itu. Tidak lama setelah para pekerja tiba di depan sang hakim, lalat mulai
mengitari sabit milik seorang pekerja. Partikel-partikel mikroskopik darah kering dan kulit
yang menempel ke sabit menarik lalat yang memaksa pekerja itu mengakui tindakannya.
Informasi Sung Tzu yang terdapat di bukunya memperlihatkan awal pengetahuan Timur
tentang perilaku dan biologi serangga. Sung Tzu tidak hanya memasukkan pertimbangan
kasusnya, tetapi juga menggambarkan perilaku lalat pada mayat yang sedang membusuk,
pola lalat menginvasi berbagai lubang tubuh alami, dan berbagai ketertarikan serangga pada
luka.
Selain itu, dalam bukunya juga dijelaskan bagaimana memeriksa jenazah sebelum
atau sesudah dimakamkan, dan penjelasannya mengenai beberapa kasus yang dialaminya
menjadi dasar bagi perkembangan entomologi forensik.3
Dr Bergeret d' Arbois merupakan yang pertama kali menerapkan ilmu entomologi
forensik dalam menentukan interval post mortem. Kemudian selanjutnya entomologi semakin
berkembang sejak awal abad ke-20 dengan adanya pembagian taksonomi serangga-serangga
yang berkaitan dengan kepentingan medikolegal. Didalamnya termasuk dua famili utama,
yaitu Sarcophagidae dan Calliphoridae.4
Berkaitan dengan tujuan penerapan entomologi forensik dalam memperkirakan waktu
kematian, terdapat dua cara untuk menghubungkan serangga dengan terjadinya waktu
kematian. Cara pertama yaitu berdasarkan fakta bahwa tubuh manusia atau bangkai lainnya
mendukung terjadinya perubahan ekosistem dalam beberapa saat tergantung dari kondisi
geografisnya. Selama proses pembusukan, terjadi perubahan fisik, biologi dan kimia.
Perbedaan stadium dari fase pembusukan tersebut dapat menarik jenis serangga tertentu
untuk muncul. Jenis Calliphoridae dan Muscidae dapat ditemukan berada di daerah atau
cairan tubuh lainnya dalam beberapa menit sesudah kematian. Jenis Piophilidae tidak muncul
saat jenazah masih baru, tetapi akan muncul beberapa saat setelah terjadinya fermentasi
protein dalam tubuh. Cara kedua dalam memperkirakan interval kematian adalah dengan
menggunakan umur larva. Umur larva dapat menentukan perkiraan interval kematian yang
terjadi dalam satu minggu pertama sejak kematian. Spesies tertentu ditemukan di tubuh
jenazah kemudian meninggalkan telurnya yang kemudian nantinya akan berkembang sesuai
siklus hidupnya Stadium dalam siklus hidup larva tersebut dapat ditentukan berdasarkan
ukuran dan spirakelnya. Selanjutnya perkembangan stadium memerlukan waktu tertentu yang
dipengaruhi juga oleh temperatur di sekitarnya, karena serangga adalah makhluk berdarah
dingin yang perkembangannya tergantung pada suhu sekitar.2
Karakteristik spesies
Implikasi penting untuk memperkirakan interval postmortem adalah bahwa
spesies serangga pada bangkai berbeda dalam kecepatan pertumbuhan dan waktu tiba
di bangkai.
Tipe makanan
Beberapa lalat bangkai dapat berkembang biak dalam beberapa macam tipe
makanan. Contohnya Megaselia scalaris yang dapat memakan invertebrata yang hidup
maupun yang sudah mati. Lucilia sericata tumbuh lebih lambat pada medium sayuran
daripada medium daging.
5
Perkembangan serangga
Konsep dasar dari penggunaan serangga dalam menentukan perkiraan waktu kematian
didasarkan pada cara serangga tersebut bertumbuh dan berkembang. Beberapa jenis serangga
mengalami metamorfosis sempurna dan memiliki bentuk immatur yang tidak dapat bergerak
dan bentuk dewasa yang dapat bergerak bebas. 7 Beberapa jenis serangga ini memiliki
kekhususan untuk berkembang pada tubuh yang telah mati. Bentuk dewasa akan terbang dan
kemudian hinggap dan meletakan telur-telurnya pada tubuh mayat. Telur-telur ini lalu
menetas menjadi larva yang akan mengalami tiga fase perkembangan. Larva melepaskan diri
dari kapsul pembungkusnya namun tetap berada di dalam kapsul. Kapsul ini akan mengeras
yang kemudian disebut kantung pupa atau puparia yang berfungsi untuk melindungi larva
yang sedang mengalami fase perubahan menjadi pupa.8
Pupa yang baru terbentuk kemudian akan berwarna pucat, dan tidak dapat bergerak. Ia
akan berubah menjadi semakin gelap sampai akhirnya berwarna coklat gelap dalam beberapa
jam. Pupa merupakan bentuk dewasa yang tidak bersayap dan tidak mampu bergerak. 7 Dalam
waktu beberapa hari ia akan berkembang menjadi bentuk dewasa bersayap.8 Namun bentuk
dewasa bersayap ini tidak akan terbang dalam satu hingga dua hari sampai seluruh tubuhnya
mengeras. Bentuk dewasa akan terbang dan meninggalkan kantung pupa yang kosong yang
dapat menjadi bukti perkembangannya.
Kantung pupa ini biasanya ditemukan bukan pada tubuh mayat namun terletak di
sekitarnya. Sebagai contoh dapat ditemukan pada daerah lipatan baju, atau bahkan sampai 30
kaki jaraknya dari posisi mayat, pada celah diantara tumpukan karpet atau pada lipatanlipatan tirai di dalam ruangan Penemuan kantung pupa sangat berguna pada kasus-kasus
kriminal mengingat bentuk ini merupakan bentuk tertua dari serangga yang secara pasti dapat
dikaitkan dengan tubuh mayat yang ditemukan.7
Sebaliknya, bentuk dewasa terbang merupakan salah satu makhluk dengan tingkat
mobilitas yang sangat tinggi, sekaligus dapat sangat nyata terlihat pada tubuh mayat. Bentuk
ini dapat membantu pekerjaan ahli entomologi forensik apabila ditemukan namun seringkali
tidak bermakna sebagai indikator akibat daya mobilitasnya yang tinggi.7
6
Telur
Telur berwarna putih dengan bentuk seperti sosis dan berukuran sangat kecil,
bergerombol, dan sering ditemukan pada luka terbuka, lubang yang ada pada tubuh
maupun pada pakaian yang menempel pada tubuh mayat.8
berkembang menjadi larva yang berkembang dengan cara memakan bagian tubuh
mayat.7
7
Larva
Larva muncul dari telur yang menetas. Berwarna sangat putih namun
berbentuk menyerupai kerucut. Terdapat mulut pada puncak kerucut dengan sepasang
kait yang digunakan oleh larva untuk melekatkan dirinya pada jenazah ketika ia
memakannya. Larva tidak dapat bergerak terlalu jauh dan berubah menjadi dewasa
dengan melalui fase intermediate yang disebut pupa.7
Pupa
Pupa terbentuk setelah larva mengalami tiga kali pengelupasan kulit. Kulit
akan memendek sehingga memberi kesan bentuk seperti kapsul, yang semakin lama
akan semakin keras namun rapuh. Kulit ini sebenarnya tidak benar-benar terlepas,
namun hanya berganti menjadi lapisan baru yang menutupi serangga di bagian
dalamnya.7
Dewasa
Bentuk ini sebenarnya kurang bermakna sebagai indikator untuk kepentingan
forensik. Serangga pada fase dewasa memiliki mobilitas yang tinggi sehingga mereka
hanya berguna untuk membantu menetapkan spesies serangga apa yang berada pada
tubuh mayat walaupun kita tidak dapat menentukan dengan pasti apakah serangga
tersebut benar berasal dari mayat tersebut atau merupakan serangga yang datang dari
luar untuk meletakkan telurnya.8
Jenis-Jenis Serangga
1
Lalat(ordoDiptera)
Lalat termasuk ordo diphtheria pada kelas insecta, dengan ciri - ciri sepasang
sayap yang terletak di mesothorax. Sepasang sayap lainnya bereduksi menjadi alat
keseimbangan terbang yang disebut halter. Bentuk mulut bervariasi untuk menghisap,
menusuk dan mengunyah.9 Lalat adalah jenis serangga yang dapat ditemukan di
habitat manapun.10
Ordo diptera dibagi menjadi 3 subordo yaitu Nematocera, Brachycera,
Cyclorrhapha. Subordo Nematocera dan Brachycera disebut juga ordo Orthorrapha
yang akan meninggalkan bekas pecahan seperti huruf T atau Y pada kulit larvanya
saat menjadi dewasa. Sedangkan ordo Cyclorrapha meninggalkan pecahan berbentuk
sirkuler.11
Terdiri dari segolongan famili, tetapi hanya tiga famili lalat yang berperan
dalam entomologi forensik yaitu famili Calliphoridae, Sarcophagidae dan Muscidae.
Ketiganya tergolong dalam subordo Cyclorrapha.11
1
Spesies dari famili ini ditemukan pada daerah dengan iklim tropis dan panas.
Dinamakan sebagai lalat daging didasarkan pada perilaku larvanya yang memakan
materi-materi yang berasal dari binatang.7
Lalat dewasa memiliki panjang 2-14 mm, dengan warna belang abu-abu hitam
pada thorax. Beberapa spesies memiliki warna mata merah terang. Larva flesh flies
memiliki spirakel posterior di ujung abdomen dan dikelilingi oleh tuberkel. Spirakel
posterior pada famili Sarcophagidae memiliki 3 buah spiracular slits yang tersusun
convergen terhadap botton.7
Lalat ini tertarik terhadap mayat atau bangkai dalam berbagai keadaan, baik
panas, kering, teduh, basah, dalam maupun luar ruangan. Berbeda dari famili lainnya,
mereka tidak meletakkan telurnya pada tubuh mayat. Sehingga ketika menghitung
interval postmortem, waktu yang diperlukan bagi telur untuk berkembang menjadi
larva harus dihilangkan.
Famili Muscidae
Lalat dari famili ini berukuran sedang, dengan panjang sekitar 3-10 mm.
Mereka biasanya berwarna keabuan hingga gelap, meskipun beberapa spesies
memiliki warna metalik. Larva maturnya memiliki panjang 5-12 mm dan berwarna
putih hingga kekuningan.7
Famili ini biasanya muncul pada tubuh mayat sesudah blow flies dan flesh
flies. Mereka juga meletakkan telur-telurnya pada lubang-lubang yang ada pada
tubuh.
Telur
Telur lalat bervariasi bentuk dan ukurannya. Lalat biasanya meletakkan
telurnya secara berkelompok yang dapat mencapai 40-200 telur sekali bertelur. Telur
lalat akan menetas menjadi larva kira-kira setelah 1 hari.
2
Larva
Larva lalat tidak memiliki kaki (legless larva / apodous). Larva akan
mengalami pengelupasan kulit sebanyak tiga kali sebelum akhirnya bermigrasi untuk
menjadi pupa. Terdapat tiga perkembangan larva lalat:
1st instar
Stadium ini membutuhkan waktu paling sedikit diantara stadium lain.
Kebanyakan larva lalat membutuhkan waktu 11-38 jam untuk menyelesaikan
stadium ini sejak telur menetas, dengan puncak pertumbuhan pada 22-28 jam.
Panjang larva pada stadium ini mencapai kurang lebih 5 mm atau seukuran
bulir nasi.
2nd instar
Kebanyakan larva menyelesaikan 11-22 jam sejak 1st instar untuk kemudian
menjadi 3 rd instar. Larva membentuk koloni yang disebut maggot mass dan
menyebabkan temperature di sekitar larva sedikit meningkat yang disebut
maggot mass temperature. Panjang larva pada stadium ini kurang lebih 10 mm
dan mulai terbentuk spirakel posterior untuk respirasi.
3rd instar
Stadium ini adalah stadium terlama yang dibagi menjadi dua tahap.Tahap
pertama larva melanjutkan memakan mayat sampai 20-96 jam, pada tahap ini
larva memiliki empat spirakel posterior dan mencapai panjang kurang lebih 17
mm. Tahap kedua akan berlangsung 80-112 jam. Setelah larva berhenti makan,
kemudian akan berpindah ke daerah yang lebih kering untuk memulai stadium
pupa. Larva berubah warna agak coklat kemerahan.
Pupa
Diperlukan waktu kira-kira 10 hari dalam puparium, untuk transformasi dari
larva menjadi lalat dewasa. Tahap pupa dapat bertahan dari keadaan panas, dingin
ataupun banjir.
Dewasa
Setelah 3 hari, larva yang sudah berubah menjadi bentuk lalat dewasa akan
keluar dari pupa dan dapat memulai siklus hidupnya lagi dengan bertelur.
1
Kumbang (ordo Coleoptera)
Serangga ini memiliki karakteristik yaitu sayap yang berkulit keras yang
menutupi dan melindungi lapisan sayap dibawahnya. Mereka dapat memakan
bangkai, tumbuhan, maupun segalanya, dengan beberapa diantaranya dapat hidup
sebagai parasit. 7
i. Aktivitas Serangga
Serangga yang tertarik pada mayat, secara umum dapat dikategorikan menjadi
tiga kelompok yaitu
terhadap
melalui
peningkatan
aktivitas
C.Prosedur Pemeriksaan
1) Pengumpulan Sampel
Pengumpulan sampel adalah hal yang amat penting dan harus dilakukan dengan
benar. Pengumpulan sampel dan prosedur hukum tiap negara mungkin berbeda, namun Mark
Benecke telah membuat suatu pedoman umum mengenai pengumpulan sampel entomologi
yang dinamainya Ten Basic Rules for Collection
Ambil foto close-up dari semua lokasi artropoda diambil.
Karena larva umumnya tidak terlihat saat penggunaan blitz, usahakan untuk tidak
menggunakan blitz terutama pada foto digital.
Selalu sertakan alat ukur dalam setiap foto yang diambil untuk menjelaskan ukuran
larva atau bentuk serangga lain.
Kumpulkan kira-kira satu sendok makan penuh sertangga dari minimal 3 lokasi
berbeda dari tempat kejadian perkara dan untuk serangga dari tubuh mayat, letakkan
pada 3 wadah bertutup yang bening.
Jangan memasukkan serangga ke dalam isopropyl atau formalin, sebagai gantinya
gunakan ethanol 98% bagi setengah dari jumlah serangga yang kita kumpulkan.
Matikan serangga dengan air panas sebelum meletakkannya dalam ethanol.
Masukkan setengah jumlah spesimen pada pendingin.
Lengkapi setiap wadah sampel dengan label yang dilengkapi dengan informasi
tanggal, inisial, waktu dan lokasi.
Konsultasikan dengan entomology forensik yang berpengalaman untuk setiap
pertanyaan yang timbul saat pengumpulan sampel dan pemrosesannya.
Identifikasi dan analisa harus dilakukan dengan bantuan entomolog.15
Metode modern yang saat ini umum digunakan dalam analisa bidang entomologi
adalah Scanning electron microscopy (SEM), sebuah metode yang meneliti morfologi telur
dan larva dengan seksama di bawah sebuah mikroskop elektron. Melalui sebuah penelitian
yang dilakukan pada tahun 2007, telah dibuktikan bahwa SEM dapat membuat identifikasi
secara array morfologi dari serangga hingga penentuan spesies menjadi jauh lebih akurat.
Penentuan spesies ini akan amat membantu dalam membuat perkiraan saat kematian yang
lebih akurat, serta menentukan penanganan yang tepat pada kasus entomologi forensik urban
dan bidang produk.
Telur
Telur dapat dikumpulkan dengan menggunakan kuas atau forsep
Larva
Larva dikumpulkan berdasarkan ukuran. Larva yang berukuran
besar biasanya lebih tua dan sangat penting untuk penyelidikan. Larva
dikumpulkan
dari
berbagai
area
tubuh
dan
sekitarnya
kemudian
Pupa
Siklus pupa sangat penting dan sangat mudah hilang. Pupa
Lalat Dewasa
Lalat dewasa tidak terlalu penting. Lalat dewasa ini hanya
Kumbang
Kumbang bergerak dan berpindah dengan cepat serta sering
pada
sebuah
botol
dengan
sedikit
udara.
Mereka
membutuhkan makanan jika disimpan lebih dari dua puluh empat jam
sebelum diberikan kepada ahli entomologi forensik. Kumbang adalah
kanibal sehingga tidak boleh ditempatkan dalam botol yang sama. 15
2) Pemberian Label Spesimen
Serangga yang dikumpul dari suatu bagian tubuh harus dipisahkan dari
bagian tubuh yang lain. Spesies yang berbeda juga dipisahkan. Setiap botol
sebaiknya diberi label yang terdiri dari :15
7
Nama kolektor
10
3) Pengambilan Spesimen
Hampir semua spesimen rapuh dan mungkin paling baik diambil dengan
menggunakan sarung tangan, yaitu spesimen yang ramping dan diambil dengan
menggunakan sikat yang dicelupkan pada air atau alkohol. Yakinkan bahwa semua ampul
tersebut tertutup dengan baik.
4) Pengemasan Spesimen
obat-obatan
yang
dapat
mempengaruhi
kecepatan
dekomposisi.
13.Posisi jenazah
14.Tahap-tahap dekomposisi.
15.Keberadaan larva dan jumlahnya.
16.Keberadaan daging atau bangkai di sekitar jenazah yang mungkin
dapat menarik serangga.
17.Mencatat keadaan yang tidak umum, yang disebabkan oleh manusia, dan tanda
sudah terdapatnya tanda pembusukan.
BAB III
KESIMPULAN
Penentuan perkiraan saat kematian dalam suatu kasus forensik adalah hal yang
memegang peranan penting sehingga selalu dicantumkan dalam sebuah kesimpulan autopsi
forensik. Perkiraan saat kematian membantu pihak kepolisian dalam menyelidiki dan
melakukan konfirmasi alibi seseorang, yang pada gilirannya akan mempersempit daftar
tersangka di tangan kepolisian. Tersusunnya daftar tersangka yang tajam dan tepat akan
menghemat waktu, tenaga dan dana dalam suatu penyidikan. Dalam ilmu kedokteran,
memperkiraan saat kematian tidak dapat dilakukan dengan 1 metode saja, gabungan dari 2
atau lebih metode akan memberikan hasil perkiraan yang lebih akurat dengan rentang bias
yang lebih kecil.
Entomologi forensik mengevaluasi aktifitas serangga dengan berbagai teknik untuk
membantu memperkirakan saat kematian dan menentukan apakah jaringan tubuh atau mayat
telah dipindah dari suatu lokasi ke lokasi lain. Penetuan waktu kematian dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi umur serangga maupun telur yang ada pada mayat, sehingga dapat
memperkirakan dengan lebih tepat waktu kematian mayat tersebut. Asumsi pokok bahwa
mayat manusia yang masih baru belum dikerumuni serangga dan serangga tersebut belum
berkembang dalam mayat. Dengan demikian umur serangga yang semakin tua beserta telur
yang ditemukan pada mayat dapat dijadikan dasar perkiraan interval post-mortem minimum.
Untuk menentukan apakah suatu mayat telah dipindahkan dari lokasi pembunuhan yang
sebenarnya dapat dilakukan dengan mengidentifikasi serangga yang terdapat pada mayat dan
dibandingkan dengan serangga serupa yang terdapat di sekitarnya. Identifikasi terutama
secara molekular akan diperoleh data apakah serangga yang terdapat pada mayat berasal dari
daerah tempat mayat tersebut ditemukan ataukah berasal dari tempat lain, karena pada
dasarnya bahkan serangga yang sejenis dapat memiliki variasi genetik yang berbeda antara
lokasi satu dengan yang lain.
Entomologi medik termasuk di dalamnya entomologi forensik terus berkembang
pesat, dan jasa entomolog medik amat dibutuhkan. Keahlian tenaga entomolog dibutuhkan
dalam penyidikan, di peradilan maupun dalam pengawasan bidang kedokteran untuk
menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Walau di Indonesia bidang ini belum
sepopuler ilmu medik yang lain, namun dengan era informasi dan globalisasi saat ini, trend
entomologi diharapkan akan sepopuler disiplin entomologi di bagian dunia yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Byrd JH. Forensic entomology [online]. 1998 [cited on 20013 Desember 19]. Available
from : URL http://www.forensicentomology.com/definition.htm
2. Anonymous. Forensic Entomology. 2008 [cited 2013 Desember 19]. Available from URL : 3.
3. http://www.en.wikipedia.org/wiki/forensic_entomological/decomposition
4. Hadley D. An Early History of Forensic Entomology, 1300-1900. 2010. Available
at:
www.insects.about.com/od/forensicentomology/p/early_forensic/ento_history.htm
5. Anonym. Forensic entomology [online].2008 [cited on 2013 Desember 19]. Available from
URL : http://www.en.wikipedia.org/wiki/forensic_entomological
6. Anonymous. Insect and Forensic Entomology 2008 [cited 2013 Desember 19]. Available
from URL: http://agspsrv34.agrie.wa.gov.au/ento/forensic.htm
7. Morten Staerkeby. What is Forensic Entomology? 2002 [cited 2013 Desember 19]. Available
from URL: http://cienciaforense.com/pages/entomology/overview.htm
8. Bullington, Stephen. Forensic Entomology. 1998 [cited 2013 Desember 19]. Available from
URL: http://www.FORENSIC-ENT.com
9. Gail. S, dr. Forensic Entomology : The Use of Insect in Death Investigation. 1998 [cited 2013
Desember 19]. Available from URL : http://www.sfu.ca/ganderso/forensicentomology.htm
10. Serangga. In Scribd. [serial online]. 2010 [cited 2013 Desember 19]. Available from :
http://www.scribd.com/doc/13066004/Insecta
11. Meyer Jhon R. Diptera. Department of Entomology NC State University: 2005 [cited 2013
Desember 20]. Available from:
http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425/library/compendium/diptera.html
12. Isfandiari Adelia B. Perbedaan Genus Larva Lalat Tikus Wistar Mati pada Dataran Tinggi dan
Rendah di Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro. 2009.
13. Putra NS. Entomologi forensic : satu lagi manfaat serangga bagi kepentingan manusia. 2009
[cited 2013 Desember 20]. Available from :
http://ilmuserangga.wordpress.com/2009/12/23/entomologi-forensik-satu-lagi-manfaatserangga-bagi-kepentingan-manusia/
14. Idries AM, et al. Peran Ilmu Kedokteran Forensik dalam proses penyidikan. Jakarta : Sagung
Seto, 2008. Page : 190 210.
15.Wangko T, et al. Peran Entomologi Forensik Dalam Perkiraan Saat Kematian Dan
Oleh Tempat Kejadian Perkara Sisi Medis (Introduksi Entomologi Medik). Bagian
Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK UNSRAT.2009.
16. Anderson, S Gall. Forensic Entomology : The Use of Insects In Death Investigations. School
of Criminology, Simon Fraser University. 1998. Available on : http://www.rcmplearning.org/docs/ecdd0030.htm
17. Dadour, Ian and Cook, David. Forensic Entomology, Collecting From A Corpse. Available on
: agspsrv34.agric.wa.gov.au/ento/forensic.htm
18. Brandt, Amoret and Hall, Martin. Forensic Entomology. Natural History Museum. London.
2006. Available on : www.scienceinschool.org/2006/issue2/forensic/
19. Mayasari D. Hubungan Panjang Larva Lalat dengan Lama Waktu Kematian Tikus Wistar
yang Didislokasi Tulang Leher di Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro. 2008