PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan diagnosa utama pada pasien rawat inap di rumah
sakit sebesar 1 juta orang per tahun di Amerika Serikat dan Eropa, dan angka
kematiannya di rumah sakit meningkat dari 4% menjadi 36% pada kasus berat
yang membutuhkan ventilasi mekanik (Gheorghiade et al. 2012; Ursella et al,
2007). Pasien dengan gagal jantung akut dapat hadir berupa edema paru akut
kardiogenik yang merupakan bentuk hipoksemia dari kegagalan pernafasan akut
(Gray et al, 2009).
Edema paru akut kardiogenik merupakan keadaan darurat medis yang
menyumbang hingga 15.000-20.000 orang masuk rumah sakit per tahun di
Inggris. Angka kematiannyapun cukup tinggi sebesar 10-20% terutama pada
pasien berkaitan dengan infark miokard akut (Alasdair et al, 2008).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
'
Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai suatu kelainan struktur atau fungsi
jantung yang menyebabkan kegagalan jantung untuk menghantarkan oksigen
yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan meskipun
tekanan pengisian normal (atau hanya terjadi peningkatan tekanan pengisian).
Gagal jantung secara klinis didefinisikan sebagai sindrom dengan gejala
(misalnya sesak napas, pembengkakan kaki, dan kelelahan) dan tanda-tanda
yang khas (misalnya tekanan vena jugularis meningkat, ronkhi pada paru, dan
pelebaran iktus jantung) akibat kelainan struktur atau fungsi jantung (Dickstein
et al, 2008; ESC, 2012).
Gagal jantung akut adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda tanda dari gagal jantung yang
Perubahan neurohormonal
juga turut berperan dalam aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron (RAA)
yang bersifat mempertahankan volume darah yang bersirkulasi dan
mempertahankan tekanan darah. Selain itu dilepaskan juga counter-regulator
peptides dari jantung seperti natriuretic peptides yang mengakibatkan
terjadinya vasodilatasi perifer, natriuresis dan diuresis serta turut mengaktivasi
sistem saraf simpatis dan sistem RAA.
c.
Dengan
bertambahnya
beban kerja jantung akibat respon terhadap
peningkatan kebutuhan maka terjadi berbagai macam remodeling termasuk
hipertrofi dan dilatasi. Bila hanya terjadi peningkatan muatan tekanan ruang
jantung atau pressure overload (misalnya pada hipertensi, stenosis katup),
hipertrofi ditandai dengan peningkatan diameter setiap serat otot. Pembesaran
ini memberikan pola hipertrofi konsentrik yang klasik, dimana ketebalan
dinding ventrikel bertambah tanpa penambahan ukuran ruang jantung. Namun,
bila pengisian volume jantung terganggu (misalnya pada regurgitasi katup atau
ada pirau) maka panjang serat jantung juga bertambah yang disebut hipertrofi
eksentrik, dengan penambahan ukuran ruang jantung dan ketebalan dinding.
Gambar 2.1 Klasifikasi Klinis Gagal Jantung Akut (dikutip dari ESC, 2008)
Ada beberapa klasifikasi lain gagal jantung akut yang bisanya dipakai
diperawatan intensif untuk menilai beratnya gagal jantung akut yaitu klasifikasi
Killip yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan foto toraks, klasifikasi Forrester
yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan karakteristik hemodinamik. Klasifikasi
ini cocok pada infark jantung akut. Klasifikasi yang ketiga yang merupakan
modifikasi dari klasifikasi Forrester (gambar 2.2) yang berdasarkan sirkulasi
perifer (perfusion) dan auskultasi paru (congestion) (Daulat, 2009; ESC, 2008).
2.2.2 Mekanisme
Pada paru normal (gambar 2.3), cairan dan protein keluar dari mikrovaskular
terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruang interstitial sesuai
dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta
permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke
ruang alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang
alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat.
Selain itu, ketika cairan memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan
dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem
limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar
tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari
mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang
dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein (Maria, 2010).
Kf = Kondukstan hidraulik
2. Sistem limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan balik
dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstitial
peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari
interstitium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini
ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila
kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan
terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan
istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan
kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200ml/jam pada orang dewasa dengan
ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem
limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk
mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat
mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema
interstitial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi
(Harun dan Sally, 2009).
2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus (Harun dan Sally,
2009):
1.
pleura yang besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan peningkatan volume
ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkhial).
2.
Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli: (ARDS = Adult
Respiratory Distress Syndrome).
Kedaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler
dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang
berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada
akibat ketidakseimbangan Straling Force
3.
Karsinomatosis, limfangitis
4.
Emboli paru
Eklamsia
Pasca anastesi
Gambar 2.4 Patofisiologi Edema Paru (dikutip dari Lorraine et al, 2005)
Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis Acute
Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai munculnya gejala
dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak
normal (Maria, 2010).
Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan
dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan
tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa
perubahan pada permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan
hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan
sesak nafas (Harun dan Sally, 2009).
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru
akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara
diparu dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada
keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai
ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup (Harun dan Sally,
2009).
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema
interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar
dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan
mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan
petanda septum interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi
kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas
dan peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut,
dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan
refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan
mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang
semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya
2.3.2 Diagnosis
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai
beberapa kemiripan.
Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya
riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung
kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi
pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang
menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang
akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
Pemeriksaan fisik
Laboratorium
Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel
vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis
kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran
ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler
< 60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal
dan lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru.
Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan
dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto
thorax terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan
diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya
terkesan menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang membentang
dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose
antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis
pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus
yang menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis kerley C berupa
garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk
melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah (Koga dan
Fujimoto, 2009).
Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru
kardiogenik dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan
yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai
jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat
mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi,
ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Tabel 2.1 Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non
Kardiogenik (dikutip dari Lorraine et al, 2005)
Gambaran Radiologi
Ukuran Jantung
Distribusi Edema
Efusi pleura
Penebalan Peribronkial
Garis septal
Air bronchogram
Biasanya Normal
rata / Sentral
Ada
Biasanya normal
Normal/seimbang
Patchy atau perifer
Biasanya tidak ada
Ada
Ada
Tidak selalu ada
2.6 Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari Koga dan
Fujimoto, 2009)
Ekokardiografi
EKG
Kateterisasi pulmonal
gagal jantung kongesti dapat mengalami ALI karena pneumonia (Lorraine et al,
2005; Maria, 2010).
Gambar 2.7 Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik
dan Non Kardiogenik (dikutip dari Lorraine et al, 2005)
2.3.3 Penatalaksanaan
4.
Contoh, pemberian morfin 48 mg ditambah metocloperamide 10 mg;
obeservasi adanya depresi pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.
5.
Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit,
bingung/kesadaran menurun, iskemia miokardial.
6.
Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2.5 g/kg/menit, dosis
dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit tergantung respon (titrasi dosis dibatasi jika
terdapat takikardia, aritmia atau iskemia). Dosis >20 g/kg/menit jarang sekali
diperlukan. Bahkan dobutamine mungkin memiliki aktivitas vasodilator ringan
sebagai akibat dari stimulasi beta-2 adrenoseptor.
7.
Pasien harus diobservasi ketat secara reguler (gejala, denyut dan ritme
jantung, SpO2, tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan pulih.
8.
Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 g/menit dan dosis dinaikkan 2x
lipat tiap 10 menit tergantung respon (biasanya titrasi naiknya dosis dibatasi
oleh hipotensi). Dosis >100 g/min jarang sekali dipelukan.
9.
Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dypsnea, diuresis
yang adekuat (produksi urine >100 mL/jam dalam 2 jam pertama), peningkatan
saturasi O2 (jika hipoksemia) dan biasanya terjadi penurunan denyut jantung
dan frekuensi pernafasan yang seharusnya terjadi dalam 1-2 jam pertama. Aliran
darah perifer juga dapat meningkatkan seperti yang ditandai oleh penurunan
vasokonstriksi kulit, peningkatan suhu kulit, dan perbaikan dalam warna kulit.
Serta adanya penurunan ronkhi.
10. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi iv
dengan pengobatan diuretik oral.
11. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dyspnea, ortopnea, paroxysmal
nocturnal dyspnoea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia miokard),
dan efek samping pengobatan (misalnya simptomatik hipotensi). Menilai tandatanda kongesti/edema perifer dan paru, denyut dan irama jantung, tekanan
darah, perfusi perifer, frekuensi pernapasan, serta usaha pernapasan. EKG (ritme
/ iskemia dan infark) dan kimia darah / hematologi (anemia, gangguan elektrolit,
gagal ginjal) juga harus diperiksa. Pulse oximetry (atau pengukuran gas darah
arteri) harus diperiksa dan diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan.
12. Produksi urine < 100 mL/jam dalam 12 jam pertama adalah respon awal
pemberian diuretik iv yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter urine).
13. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah / shock, dipertimbangkan
diagnosis alternatif (emboli paru misalnya), masalah mekanis akut, dan penyakit
katup yang berat (terutama stenosis aorta). Kateterisasi arteri paru dapat
mengidentifikasi pasien dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang tidak
adekuat ( lebih tepat dalam menyesuaikan terapi vasoaktif).
14. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus
dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.
15. CPAP or NIPPV harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat
kontraindikasi.
Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure (CPAP) dan non-invasive
intermittent positive pressure ventilation (NIPPV) mengurangi dyspnea dan
meningkatkan nilai fisiologis tertentu (misalnya saturasi oksigen) pada pasien
dengan edema paru akut. Namun, penelitian RCT(Randomized controled trial)
besar yang terbaru menunjukkan bahwa ventilsasi non-invasif atau invasif tidak
ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan angka kematian bila
dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat (dalam 90% dari pasien)
dan opiat (di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda dengan penelitian dari
metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih kecil. Ventilasi Non-invasif
dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk meringankan gejala pada
pasien dengan edema paru dan gangguan pernapasan parah atau pada pasien
yang kondisinya gagal membaik dengan terapi farmakologis. Kontraindikasi
untuk penggunaan ventilasi non invasif meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan
pneumotoraks, dan depressed consciousness.
16. Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan
ventilasi invasif jika hipoksemia memburuk, gagal upaya pernapasan,
meningkatnya kebingungan / penurunan tingkat kesadaran , dll
17. Meningkatkan dosis loop diuretik hingga setara dengan furosemide 500 mg
( dosis 250 mg harus diberikan melalui infus lebih dari 4 jam).
18. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretik meskipun
tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur secara
langsung) maka mulai infus dopamin 2,5 g / kg / menit. Dosis yang lebih tinggi
tidak dianjurkan untuk meningkatkan diuresis.
19. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan
pasien tetap terjadi edema paru maka ultrafiltrasi terisolasi venovenous harus
dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and
Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016:
2.
Alasdair et al. Noninvasive Ventilation In Acute Cardiogenic Pulmonary
Edema. N Engl J Med 2008;359:142-51.
3.
Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant.
(Online). Tersedia: Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-xray-heart-failure.html. (24 November 2012)
4.
Daulat. Tatalaksana Gagal Jantung Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th
Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1515-1519
5.
Dickstein et al. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute
and Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of Cardiology. Developed
in Collaboration with the Heart Failure Association of the ESC (HFA) and Endorsed
by the European Society of Intensive Care Medicine (ESICM). Eur J Heart Fail
2008;10:933989.
6.
ESC. 2008. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure 2008. European Heart Journal (2008) 29, 23882442
doi:10.1093/eurheartj/ehn309
7.
ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 17871847
doi:10.1093/eurheartj/ehs104
8.
Gheorghiade Metal. Acute Heart Failure Syndromes: Current State and
Framework for Future Research. AHA 2005; 112; 3958-3968.
9.
Gray et al. Multicentre Randomised Controlled Trial of The Use of
Continuous Positive Airway Pressure and Non-Invasive Positive Pressure
Ventilation in The Early Treatment of Patients Presenting to the Emergency
Department with Severe Acute Cardiogenic Pulmonary Oedema: the 3CPO
trial.Leeds. Health Technology Assessment 2009; Vol. 13: No. 33
10. Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. p. 1651-1653
11. Koga dan Fujimoto. Kerleys A, B and C Lines. NEJM. 360;15 nejm.org april 9,
2009
13. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis
VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52
14. McCance KL. 2006. Structure and Function of The Cardiovascular and
Lymphatic Systems. In: McCance KL, Huether SE. Pathophysiology: The Biologic
Basis for Disease in Adults and Children. USA: Elsevier Mosby; p. 1075.
16. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI
Ilmu Penyakit Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD. DR Soetomo Surabaya, hal 113-19
17. Ursella et al. The Use of Non-Invasive Ventilation in The Treatment of Acute
Cardiogenic Pulmonary Edema. European Review for Medical and
Pharmacological Sciences. 2007; 11: 193-205
PENDAHULUAN
DEFINISI
I.
II.
Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory
Distress Syndrome)
Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO2, dsb).
Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alphanaphthyl thiourea).
Aspirasi asam lambung.
Pneumonitis radiasi akut.
Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
G Disseminated Intravascular Coagulation.
Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
Pankreatitis Perdarahan Akut.
III.
Insufisiensi Limfatik :
IV.
Post Anesthesia.
Post Cardiopulmonary Bypass.
Dari klasifikasi di atas edema paru dapat disebabkan oleh banyak penyakit.
Untuk pengobatan yang tepat tentunya harus diketahui penyakit dasarnya(3).
Terjadi beban yang berlebihan terhadap ventrikel pada saat sistolik. Contohnya
ialah Hipertensi dan Stenosis Aorta.
Peningkatan preload (Volume overload) :
Pada Infark Miokard Akut jaringan otot yang sehat berkurang, sedangkan pada
Kardiomiopati Kongestif terdapat gangguan kontraksi miokardium secara
umum(3).
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto
toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik
sukar dideteksi dini(3).
Stadium 1. Adanya distensi dari pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi
gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas
saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas
yang tertutup pada saat inspirasi(3).
Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh
darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan
kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di
daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks
bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda
gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran
limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan
spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja(3).
Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali
dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain
turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt.Penderita biasanya
menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia
dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan
dengan hati-hati (Ingram and Braunwald, 1988)(3).
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteria
koronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat
dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa
dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase
akan mengurangi edema paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas
alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Kadang-kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan
kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya
pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru
sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup
yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung (Ingram and Brauhwald, 1986)
(3).
Edema Paru Kardiogenik Akut merupakan keluhan yang paling berat dari
penderita dengan Payah Jantung Kiri. Gangguan fungsi sistolik dan/atau fungsi
diastolik ventrikel kiri, stenosis mitral atau keadaan lain yang menyebabkan
peningkatan tekanan atrium kiri dan kapiler paru yang mendadak dan tinggi
akan menyebabkan edema paru kardiogenik dan mempengaruhi pula
pemindahan oksigen dalam paru sehingga tekanan oksigen arteri menjadi
berkurang. Di lain pihak rasa seperti tercekik dan berat pada dada menambah
ketakutan penderita sehingga denyut jantung dan tekanan darah meningkat
yang menghambat lebih lanjut pengisian ventrikel kiri. Adanya kegelisahan dan
napas yang berat menambah pula beban jantung yang selanjutnya lebih
menurunkan fungsi jantung oleh karena adanya hipoksia. Apabila lingkaran setan
ini tidak segera diputus penderita akan meninggal(3).
Auskultasi pada permukaan terdengar ronkhi basah basal halus yang akhimya ke
seluruh paru-paru apabila keadaan bertambah berat: mungkin terdengar pula
wheezing. Auskultasi jantung mungkin sukar karena suara napas yang ramai,
tetapi sering terdengar suara 3 dengan suara pulmonal yang mengeras(3).
Penderita mungkin merasa nyeri dada hebat terdapat edema paru sekunder
akibat Infark Miokard Akut. Bila tidak terdapat Cardiogenic Shock, biasanya
tekanan darah melebihi normal akibat kegelisahan dan peningkatan rangsang
simpatik. Karena itu sering keliru diduga edema paru disebabkan Penyakit
Jantung Hipertensi. Untuk mengetahui hal ini pemeriksaan fundoskopi mata
sangat membantu. Apabila tak cepat diobati akhirnya tekanan darah akan turun
sebelum penderita meninggal(3).
DIAGNOSIS BANDING
DIAGNOSA BANDING DENGAN EDEMA PARU NON-KARDIOGENIK
PENGOBATAN
Oksigen
Posisi setengah duduk
Nitrogliserin IV 10 20 mcg/menit atau bolus IV 3 mg setiap 5 menit
Diuretik. Dengan Furosemid 40 60 mg IV selama 2 menit
Morfin 2 5 mg dengan Dextrosa atau larutan elektrolit IV selama 3 menit. Kalau
tidak begitu gawat diberikan 8 15 mg SC atau IM.
ACE-Inhibitor. Enalapril 1,25 mg IV atau Kaptopril 25 mg sublingual.
v
Golongan inhibitor fosfodiesterase (Amrinone, Milrinone, Enoximone,
Piroximone)
Aminofilin berguna apabila edema paru disertai bronkokonstriksi. Dosis biasanya
5 mg/kg BB IV dalam 10 menit lanjut drip IV 0,5 mg/kg BB/jam(3).
KESIMPULAN
Edema Paru terjadi akibat aliran cairan dari darah ke ruang intersisial melebihi
aliran cairan kembali ke darah dan saluran limfe. Edema Paru Kardiogenik Akut
akibat Payah Jantung Kiri Akut atau Payah Jantung Khronik yang mendapatkan
faktor presipitasi. Edema Paru Kardiogenik Akut (Asma Kardiale) harus dibedakan
dengan Edema Paru Nonkardiogenik dan Asma Bronkhiale.
Obat inotropik yang dapat diberikan ialah Digitalis pada penderita yang belum
pernah mendapat digitalis. Obat lain yang dapat diberikan ialah gplongan
simpatomimetik (Dopamine dan Dobutamine) dan golongan inhibitor
phosphodiesterase (Amrinone, Milrinone, Enximone tan Piroximone).
Tindakan yang lain dapat membantu ialah oksigen, posisi duduk, rotating
tourniquet, atau phlebotomy.