1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Puluhan bahasa daerah yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur kini
mulai mendapatkan perhatian dari para linguis. Salah satu di antaranya ialah bahasa
Lamaholot dialek Nusa Tadon (selanjutnya disingkat BLDNT) yang menurut
keterangan dari hasil penelitian Mandaru,dkk. (1997:1) mempunyai penutur 230an ribu jiwa (bdk. Maryanto, 1984).
BLDNT
termasuk
kelompok
bahasa
Lamaholot
Barat
berdasarkan
merupakan
bagian dari kajian gramatika dari perspektif tipologis. Dari perspektif ini, BLDNT
dikategorikan sebagai bahasa yang bertipologi tata urut SVO dan SOV (Keraf,
1990:157). Japa (2000:147) mengatakan bahwa SOV merupakan alternasi dari tata
urut SVO; artinya struktur dasar (basic structure) klausa BLDNT adalah SVO.
1.2 Masalah
Kajian terhadap kesubjekan (subjecthood) dalam BLDNT didasarkan pada
masalah-masalah, sebagai berikut: Sejauhmanakah properti utama subjek dalam
BLDNT berdasarkan ciri gramatikal dan semantiknya?
Berdasarkan prominensi, subjek menduduki fungsi gramatikal inti (core
function) yang merupakan partisipasi sentral dari hal, peristiwa atau tindakan yang
dinyatakan pada verbanya. Karena merupakan inti, maka pada hierarki fungsi
argumen, subjek menduduki fungsi tertinggi. Meskipun demikian, berdasarkan relasi
gramatikal, subjek dapat merupakan konstituen wajib, dapat pula merupakan
konstituen opsional. Hal inilah yang menjadi fokus kajian terhadap kesubjekan
dalam BLDNT.
2.2 Konsep
Dalam mengkaji kesubjekan dalam BLDNT diperlukan beberapa konsep
acuan. Konsep-konsep dimaksud, yakni: struktur argumen dan properti subjek.
Argumen adalah unsur sintaksis yangdiperlukan oleh verba (Matthews,
1997:2425). Argumen diwujukan melalui hubungan gramatikal berupa: SUBJ(ek), OL (objek langsung), dll., atau melalui peran semantik berupa: agent (agt),
patient (pt), dll. Trask, 1993:20). Hubungan gramatikal maupun peran semantik
dimaksud ditentukan oleh karakteristik verba sebagai inti (head) klausa, yang
mencakup, baik ciri gramatikal maupun ciri semantisnya.
Hubungan gramatikal maupun peran semantik berkaitan dengan struktur
argumen. Struktur argumen (argument structure: a-str) menyiratkan jumlah dan tipe
argumen yang diperlukan oleh verba. Struktur argumen direpresentasikan sebagai
berikut: a-str
pukul < agt,pt >. Representasi ini dibaca sebagai berikut: verba
noninti (noncore)
OBL > COMPL
dan (4) dapat dilesapkan pada klausa bawahan jika berkoreferensi dengan subjek
klausa atasan.
Kedua konsep tersebut di atas akan sangat membantu menjelaskan
kesubjekan dalam BLDNT sebagai kaji-banding terhadap penelitian dan kajian yang
pernah dilakukan oleh Japa (2000) dan Arka (2001).
2.3 Teori
Kajian ini menggunakan teori Tipologi dan teori Tata Bahasa Leksikal
Fungsional, disingkat TLF (Lexical Functional Grammar, disingkat LFG). Kedua
teori ini dimanfaatkan secara eklektik (dengan penyesuaian) untuk menjelaskan
kesubjekan (subjecthood) dalam BLDNT.
Teori Tipologi yang diacu dalam kajian ini adalah tipologi tata urutan kata
(word order) sebagaimana dikemukakan oleh Greenberg (dalam Comrie, 1983:31
32; Malmkjaer and Anderson (eds.), 1991:277), yang disebutnya sebagai tipologi
SVO. Tipologi ini mencakup enam kemungkinan tata urutan, yakni: SVO, SOV,
VSO, VOS, OVS, dan OSV. Untuk menjelaskan kesubjekan, sangat diperlukan
pengidentifikasian tata urutan dasar (basic order).
Sebuah bahasa mungkin memiliki lebih dari satu tata urutan. Hal ini
memerlukan pengidentifikasian tata urutan, yang mencakup tata urutan dasar dan tata
urutan alternasi. Tata urutan dasar maupun tata urutan alternasi berimplikasi pada
posisi subjek dan posisi objek sebagai argumen inti menurut pandangan TLF.
Kajian ini menggunakan pula teori TLF yang berpandangan bahwa setiap
unsur kebahasaan dapat bergabung dengan unsur lain, atau dapat menghadirkan
unsur lainnya (Kaplan dan Bresnan, 1995:3031). Unsur-unsur dimaksud berupa
entri leksikal yang berperan dalam membangun konstruksi klausa. Hal itu berarti
sebuah unsur yang dalam konstruksi tertentu tak hadir, namun pada konstruksi
alternasinya mungkin hadir atau wajib dihadirkan agar sebuah konstruksi menjadi
berterima (well-formed).
Pemanfaatan teori TLF dalam mengkaji kesubjekan dalam BLDNT lebih
khusus mengacu pada pemetaan (mapping) fungsi antarstruktur (bdk. Bresnan dan
Moshi, 1988:5). Perubahan konstruksi/ tata urutan sebuah klausa mungkin diikuti
oleh perubahan fungsi gramatikal dan fungsi-fungsi argumen di dalam suatu relasi
gramatikal. Perubahan tersebut terkait erat dengan pola diatesis dan berbagai
pemarkahan, baik pemarkahan pada argumen (dependent marking) maupun
pemarkahan pada verbanya (head marking).
3. PEMBAHASAN
3.1 Struktur Klausa BLDNT
Berbagai hasil penelitian dan kajian terdahulu membuktikan, baik secara
struktural maupun secara tipologis bahwa BLDNT berstruktur klausa SVO dengan
alternasi SOV. BLDNT juga memiliki pemarkah pada verba (head marking), seperti
halnya bahasa Bali, Tetun, dan Dawan (Arka, 2000:22), di samping cukup
berperannya unsur suprasegmental pada tataran klausa.
Untuk menjelaskan berbagai konstruksi klausa BLDNT berdasarkan tata urutan
kata (word order), berikut ini disajikan contoh klausa dengan sejumlah tipe yang
bervariasi.
(1) Kopong hogo-r.
NAMA (mask) bangun-3TG
Kopong bangun
(2) Opu-k gute labu.
paman-POSS ambil baju
sarung
beri 1TG
secara ketat, artinya tidak dikenal tata urutan VSK. Sedangkan klausa transitif, baik
monotransitif maupun bitransitif mempunyai tata urutan alternasi di samping struktur
dasar tersebut di atas.
Perubahan tata urutan dasar klausa berupa tata urutan alternasi terjadi dengan
konsekuensi hadirnya pemarkah (marker). Perhatikan contoh klausa (2) dan klausa
(3) ditulis ulang sebagai klausa (4) dan (5) berikut.
(4) Labu opu-k gute-ro.
baju paman-POSS 1TG ambil-3TG
memukul,
bet
menendang;
(d) <agt,th>, misalnya klausa dengan verba, seperti: hul
melihat, peh
1JM.ink. jatuh-1JM.ink.
(ink. = inklusif)
Kami jatuh
(7b) Pati de-n de wato lolon.
Klausa (7a) dan (7b) adalah klausa intransitif yang hanya mempunyai 1
argumen inti. Argumen satu-satunya (sole argument) pada kedua klausa tersebut
menduduki fungsi SUBJ. Klausa (7c) dan (7d) merupakan klausa transitif yang
mempunyai 2 argumen, masing-masing sebagai SUBJ dan OBJ. Sedangkan klausa
(7e) merupakan klausa dwitransitif. Klausa ini memiliki 3 argumen, yakni: SUBJ,
OBJ, dan OBJ.
Klausa (7e) mempunyai tata urutan alternasi yang memungkinkan perubahan
fungsi OBJ. Klausa (7e) tersebut ditulis ulang alternasinya seperti klausa (8) berikut
ini.
(8) Bine-ka gnato doi ne ra.
Saudari-POSS uang PREP 3JM
<->
1
f-str:
SUBJ
Pati
PRED
goka <SUBJ>
10
f-str:
SUBJ
PRED
PRED
ple
OBJ
Somi
labu
ADJUNCT PRED wu
(3) Klausa 3 argumen
(Contoh klausa (7e))
a-str: gnato < -,-,- >
123
f-str:
SUBJ
PRED
bineka
PRED
OBJ
PRED
doi
OBL
PRED
ra
Struktur fungsional klausa (8) tersebut merupakan alternasi dari klausa (7e) dengan
rumus struktur fungsionalnya, sebagai berikut:
f-str:
SUBJ
PRED
PRED
gnato
bineka
< SUBJ,OBJ,OBJ >
OBJ
PRED
ra
OBJ
PRED
do
11
SUBJ, OBJ, maupun OBL yang terdapat pada sebelah kiri matriks adalah atribut,
sedangkan PRED merupakan poros fungsionalnya. Kehadiran atribut dimaksud
dalam sebuah klausa jika diizinkan oleh poros fungsionalnya. Jika poros
fungsionalnya tidak mengizinkan, maka atribut tertentu tidak akan hadir dalam
klausa. Kahadiran atribut yang tak diizinkan oleh poros fungsional akan
menghasilkan klausa yang tidak gramatikal. Sebaliknya, jika kehadiran atribut
diizinkan oleh poros fungsional, maka klausa yang dihasilkan berterima (baca Arka,
2000b:10). Hal ini mempertegas peran verba sebagai inti (head) dari sebuah klausa.
Sebuah klausa dikatakan gramatikal jika poros fungsionalnya telah diberi nilai
(value) (cf. Huang, 1995:127). Nilai yang diberikan pada sebuah poros fungsional
harus logis. Jika tidak, maka ketidaklogisan hubungan itu berimplikasi pada
terbentuknya klausa yang tidak gramatikal (ungrammatical). Arka (2000a:24)
menjelaskan nilai poros fungsional mencakup, antara lain: keunikan, konsistensi,
ketuntasan, dan koherensi yang tidak dibahas dalam tulisan ini.
Jika dicermati perihal nilai pada sebuah poros fungsional, maka sukar
dipisahkan dari struktur semantik (semantic structure: s-str). Hal demikian berarti
terdapat hubungan antara
12
a-str : hope
< , , >
f-str:
s-str:
atau
< , , >
Saya duduk
(10b) *Tobo-rk go.
Duduk saya
(10c) Tobo-rk.
Duduk (saya)
13
Subjek klausa (10a) tidak bisa menempati posisi posverba sebagaimana terlihat
pada klausa (10b). Walaupun diterima bahwa konstruksi inversi tidak berterima,
namun klausa (10c) menunjukkan bahwa subjek klauasa intransitif dalam BLDNT
bisa dilesapkan. Subjek NP muncul dalam bentuk kopi pronomina berupa enklitik rk. Kopi pronomina pada klausa intransitif BLDNT mengikuti kaidah persesuaian,
seperti tampak pada susunan paradigmatik berikut ini.
(11)
Go
(1TG)
tobo
-rk/ -nk
Na (3TG)
-r/ -n
Mo
-ro/ -no
(2TG)
Kame (1JM,eks.)
-rm/ -rm
Tite
(1JM,ink.)
-rt/ -nt
Mio
(2JM)
re/ -ne
Ra
(3JM)
-ra/ -na
Kaidah ini berlaku bersifat teratur dan berlaku umum untuk semua verba
intransitif, baik untuk verba intransitif yang memerlukan subjek sebagai agen
maupun sebagai pasien. Hal itu berarti BLDNT tidak menganut sistem S-terpilah
(bdk. Arka, 2000b:4). Bandingkan kedua klausa berikut ini:
(11a) Kopong goka-r.
NAMA jatuh-3TG
Kopong jatuh
(11b) Kopong hogo-r.
NAMA bangun-3TG
Kopong bangun
Verba goka jatuh pada klausa (11a) mengizinkan hadirnya argumen subjek
sebagai pasien. Sedangkan verba hogo bangun pada klausa (11b), berdasarkan ciri
semantiknya, mengizinkan hadirnya argumen subjek sebagai agen. Kendatipun peran
subjek dari kedua klausa tersebut berbeda, namun verba sebagai poros fungsional
dari kedua klausa tersebut menggunakan markah subjek yang sama, yakni: -r (atau
n pada varian tertentu).
14
Perlu dijelaskan juga bahwa sejumlah verba intransitif dalam BLDNT dengan
subjek 3TG menggunakan pemarkah samar-samar (covert marking). Jika tidak
dicermati secara sungguh-sungguh, verba-verba tersebut dianggap tidak bermarkah.
Beberapa contoh verba jenis ini, antara lain: tani menangis, pla lari, dan hbo
mandi. Perhatikan contoh pemakaiannya berikurt ini.
(12)
Nae tan.
3TG tangis
Dia menangis
Tekanan yang diletakkan pada vokal suku akhir sesungguhnya adalah markah
sebagai persesuaian dengan orang subjek 3TG. Jika subjeknya berupaorang 2TG,
verba-verba tersebut akan mendapatkan markah ko sehingga
menjadi: tanhi-ko, pla-ko, dan hbo-ko.
Klausa transitif memiliki 2 argumen inti. Klausa jenis ini memungkinkan
perubahan tata urutan argumen inti. Lihat contoh berikut:
(15) Na may go wia rm.
3TG panggil 1TG kemarin malam
Dia memanggil saya kemarin malam
15
urutan kanonis. Kalaupun subjek dan verba bisa disisipi unsur lain, maka unsur lain
tersebut adalah juga nomina dengan konsekuensi pemunculan markah -nk, seperti
pada klausa (16, (18), dan (19) yang merupakan pemarkah diatesis obketif (objective
voice: OV). Dengan demikian, nomina paling kiri dari tata urutan SOV adalah objek
gramatikal tetapi berfungsi sebagai subjek, bukan nomina praverba.
Untuk klausa dwitransitif, posisi kanonis subjek BLDNT yakni praverba,
sebagaimana tampak pada contoh berikut ini.
(20) Beda hope Somi labu wu to.
NAMA (mask) beli NAMA(fem) baju baru satu
3. Simpulan
Berdasarkan uraian terdahulu, dapat dirumuskan beberapa simpulan berkaitan
dengan kesubjekan (subjecthood) dalam BLDNT.
a. Pada klausa intransitif, subjek gramatikal bisa dilesapkan karena adanya
mekanisme persesuaian. Subjek dan markah persesuaian itu dapat hadir
bersamaan dalam klausa intransitif. Kehadiran subjek tanpa markah tidak lazim
16
benefaktif.
c. Pada klausa dwitransitif
argumen berada pada posisi praverba sebagai tata urutan alternasi. Pada tata
urutan tersebut, nomina dekat verba merupakan subjek gramatikal, sedangkan
nomina paling kanan merupakan subjek pada struktur argumen.
17
DAFTAR PUSTAKA
Arka, I Wayan. 1998. From Morphosyntax to Pragmatics in Balinese. Ph.D.
Dissertation, Linguistics Departement, University of Sydney.
Arka, I Wayan. 2000b. Beberapa Aspek Intransitif Terpilah pada Bahasa-bahasa
Nusantara. Denpasar: Program Pasca Sarjana Linguistik, Universitas
Udayana.
Arka, I Wayan. 2000c. Voice and Being Core: Evidence from (Eastern) Indonesian
Languages. Denpasar: University of Udayana.
Artawa, I Ketut. 1995a. Teori Sintaksis dan Tipologi Bahasa, dalam Linguistika,
Tahun II, Edisi Ketiga. Denpasar: Program Magister Linguistik
Universitas Udayana.
Blake, Berry J. 1994. Case. Cambridge: Cambridge University Press.
Comrie, Bernard. 1983. Language Universal and Linguistic Typology. Oxford: Basil
Blackwell.
Foley, William A. dan Robert D. Van Valin. 1984. Functional Syntax and Universal
Grammar. Cambridge: Cambridge University Press.
Japa, I Wayan. 2000. Properti Argumen Inti, Interpretasi Tipologis, dan Struktur
Kausatif Bahasa Lamaholot Dialek Nusa Tadon. Tesis S2 (tidak
diterbitkan). Denpasar: Universitas Udayana.
Kaplan, Ronald dan Joan Bresnan. 1995. Lexical Functional Grammar: A Formal
System for Grammatical Representation, dalam Mary Dalrymple, Ronald
M. Kaplan, John T. Maxwell III, Annie Zaenan (eds.). Formal Issues in
Lexical Functional Grammar. California: CSLI.
Malmkjaer, Kirsten dan James M. Anderson (eds.). The Linguistics Encyclopedia.
London and New York: Routledge.
Mandaru, A. Mans, dkk. 1997. Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis Bahasa
Lamaholot Dialek Nusa Tadon (Laporan Penelitian, tidak diterbitkan).
Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Daerah NTT, Pusat Bahasa,
Depdikbud.
Trask, R.L. 1993. A Dictionary of Grammatical Terms in Linguistics. London and
New York: Routledge.
18
Oleh
Ida Bagus Putra Yadnya
NIM: 9913017101