yang paling mengerikan sekalipun, sesungguhnya telah direncanakan oleh Allah untuk menguji mereka.
Orang-orang yang menghadapi semuanya ini dengan sabar dan bertawakal kepada Allah atas takdir yang
telah Dia ciptakan, mereka akan dicintai dan diridhai Allah. Mereka akan memperoleh surga yang kekal
abadi. Itulah sebabnya orang-orang yang beriman memperoleh kenikmatan, ketenangan, dan kegembiraan
dalam kehidupan mereka karena bertawakal kepada Tuhan mereka. Inilah nikmat dan rahasia yang
dijelaskan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman. Allah menjelaskan dalam al-Qur'an bahwa Dia
mencintai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (Q.s. Ali 'Imran: 159) Rasulullah saw. juga
menyatakan hal ini, beliau bersabda:
"Tidaklah beriman seorang hamba Allah hingga ia percaya kepada takdir yang baik dan buruk, dan
mengetahui bahwa ia tidak dapat menolak apa saja yang menimpanya (baik dan buruk), dan ia tidak dapat
terkena apa saja yang dijauhkan darinya (baik dan buruk)."1
--o0o
Apakah tanda keimananmu?, suatu kali Rasulullah bertanya kepada para sahabatnya. Mereka
menjawab: Kami bersyukur menghadapi kelapangan, bersabar menghadapi bencana, dan ridha dengan
qadha (ketentuan) Allah. Kemudian Nabi Saw bersabda lagi: (Kalian adalah) benar-benar orang- orang
mukmin, demi Tuhan-nya Kabah.
Betapa tidak? Melebihi syukur dan sabar, ridha tak lagi membagi-bagi apa yang datang kepada kita
sebagai musibah (bencana) atau karunia (anugerah). Bagi orang yang telah memiliki karakter ridha, apa
saja yang datang kepada kita (dari Allah) adalah karunia. Semua yang datang dari Allah sesungguhnya
adalah baik. Perbedaan di antara keduanya dipercayai hanya pada kemasannya. Yang tampak sebagai
bencana sesungguhnya juga karunia, hanya bungkusannya saja yang menjadikan ia tampak sebagai
bencana. Dengan kata lain, ia hanya persoalan persepsi.
--o0o--
Tersebut sebuah kisah tentang seorang raja dan pembantunya. Suatu hari sang raja, ditemani
pembantunya, pergi berburu. Tanda diduga, sang raja mengalami kecelakaan, sehingga salah satu jarinya
terpotong. Raja merasa sedih dan kesal. Tapi, dengan polos pembantunya meminta sang raja bersyukur
atas kejadian yang menimpanya, sambil meyakinkan bahwa segala sesuatu yang menimpa kita pasti ada
hikmahnya. Mendengar itu raja marah dan memerintahkan pengikutnya agar memenjarakan sang
pembantu. Pada kali yang lain, sang raja pergi berburu lagi, kali ini sendirian. Di tengah jalan, raja
disergap oleh segerombolan orang dari suku primitif yang perkasa. Mereka menangkap raja dan
bermaksud mengorbankannya untuk para dewa. Tapi, mereka membatalkan rencananya, dan melepas
sang raja, karena melihat tangannya yang cacat. Persembahan bagi dewa mestilah manusia yang
sempurna tubuhnya.
Sepulangnya dari kejadian itu, raja ingat kebenaran ucapan pembantunya, dan memerintahkan agar dia
dilepas. Ketika bertemu pembantunya, raja menyampaikan terima kasih sambil berkata:
Masih ada ganjalan di hati saya sehubungan dengan ucapanmu. Benar ada hikmah dalam kecelakaan
yang menyebabkan salah satu jariku terputus. Tapi, apa hikmahnya engkau dipenjarakan? Sang
pembantu menjawab: Kalau Baginda tak memenjarakan hamba, niscaya hamba sudah dijadikani korban
bagi para dewa. Sikap menerima segala sesuatu sebagai kebaikan yang penuh hikmah inilah yang biasa
disebut sebagai "ridha".
Dalam berbagai kepustakaan sufi, ridha tak jarang disebut sebagai maqam tertinggi dalam perjalanan
spiritual. Hal itu disebabkan karena ridha adalah manifestasi langsung dari keimanan. Sebuah dialog
Rasulullah Saw dan para sahabatnya menegaskan hal ini.
2
Apakah tanda keimananmu?, suatu kali Rasulullah bertanya kepada para sahabatnya. Mereka
menjawab: Kami bersyukur menghadapi kelapangan, bersabar menghadapi bencana, dan ridha dengan
qadha (ketentuan) Allah. Kemudian Nabi Saw bersabda lagi: (Kalian adalah) benar-benar orang- orang
mukmin, demi Tuhan-nya Kabah.
Betapa tidak? Melebihi syukur dan sabar, ridha tak lagi membagi-bagi apa yang datang kepada kita
sebagai musibah (bencana) atau karunia (anugerah). Bagi orang yang telah memiliki karakter ridha, apa
saja yang datang kepada kita (dari Allah) adalah karunia. Semua yang datang dari Allah sesungguhnya
adalah baik. Perbedaan di antara keduanya dipercayai hanya pada kemasannya. Yang tampak sebagai
bencana sesungguhnya juga karunia, hanya bungkusannya saja yang menjadikan ia tampak sebagai
bencana. Dengan kata lain, ia hanya persoalan persepsi.
Seseorang yang memiliki sifat ridha percaya bahwa di balik segala (yang tampak sebagai) musibah
sesungguhnya terdapat hikmah. Bahwa musibah tersebut hanyalah perantara bagi sampainya karunia
kepada kita. Terkadang berfungsi sebagai pembelok jalan, justru menuju apa yang kita cari.
Dalam sebuah ayat al-Quran, Allah mengajar kita untuk percaya bahwa:
Tak ada yang menimpa kami kecuali itu telah ditetapkan-Nya." (QS. At-Taubah: 51)
Sementara itu, dalam ayat yang lain, Dia berfirman :
Apa-apa saja yang berupa kebaikan, datangnya dari Rabb-mu. Sedangkan apa-apa yang berupa
keburukan, datang dari dirimu sendiri" (QS. An-Nisaa: 79)
Dengan menyejajarkan kedua ayat ini, dan berdasar keyakinan bahwa ayat-ayat al-Quran tak mungkin
bertentangan satu sama lain, kita dapat menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang sampai kepada kita
adalah kebaikan. Yakni, segala sesuatu adalah datang dari Allah, dan segala sesuatu yang datang dari
Allah adalah baik. Persepsi kitalah yang menjadikan (sebagian dari)-nya tampak buruk (yakni, sebagai
bencana).