Anda di halaman 1dari 13

Seminar Nasional

DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN:


Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani
Bogor, 19 Nopember 2008

PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKAT


KAWASAN PESISIR AKIBAT PENURUNAN
PENDAPATAN SEBAGAI DAMPAK ABRASI
DAN ROB DI KABUPATEN DEMAK
oleh

Danang Manumono

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN


DEPARTEMEN PERTANIAN
2008

PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKAT KAWASAN PESISIR AKIBAT


PENURUNAN PENDAPATAN SEBAGAI DAMPAK ABRASI DAN ROB DI
KABUPATEN DEMAK
Danang Manumono
Staff Pengajar pada Prodi Agribisnis dan Manajemen Informasi Pertanian,
Fakultas Pertanian, INSTIPER Jogjakarta.

LATAR BELAKANG
Peningkatan pendapatan oleh masyarakat sering kali tidak memperhitungkan
akibat yang ditimbulkan, terutama dampaknya terhadap ekologis, yang secara simultan
berdampak terhadap sosial ekonomi secara menyeluruh. Kemajuan yang pesat bidang
teknologi memicu masyarakat turut serta memacu meningkatkan pendapatannya dengan
berbagai cara dengan melibatkan keseluruhan aspek kehidupan di lingkungannya.
Komoditi udang pada era awal 90-an terjadi booming permintaan dan harga yang
dikatakan sebagai era keemasan petambak udang windu/bego. Hal ini membuat
masyarakat berupaya meningkatkan produksinya semaksimal mungkin dengan berbagai
cara dan berupaya alih kegiatan menjadi petambak udang. Era tersebut banyak
petambak udang berubah statusnya menjadi lebih makmur.
Peningkatan produksi melalui ekstensifikasi dilakukan dengan merambah wilayah
non pertanian yang dikonversikan menjadi lahan pertanian atau perluasan areal dengan
mengkonversi lahan bukan peruntukan menjadi lahan peruntukan. Lahan-lahan tersebut
tidak hanya lahan marjinal namun dapat berupa lahan konservasi, hutan, atau lahan
perlindungan. Perluasan tambak udang lebih banyak terjadi pada perambahan pantai
yaitu kawasan hutan bakau atau mangrove. Hilangnya kawasan mangrove sebagai
penahan gelombang dan angin serta aliran air laut dan menimbulkan abrasi serta rob
yang lebih cepat ke daratan. Akibatnya sebagian tambak hilang, salinitas tambak
meningkat, tegalan dan sawah menjadi salin serta hilangnya sebagian pemukiman
Kondisi saat ini di areal pesisir dan pertambakan telah terkikis (abrasi pantai) dan
rob yang lebih dalam ke daratan. Tambak-tambak udang yang terkikis menjadi hilang
dan berubah kondisinya menjadi laut dan akibat pemanasan global menyebabkan air
masuk lebih dalam. Hilangnya tambak akibat terkikis, menghilangkan pendapatan
sebagian petani tambak yang dahulunya termasuk golongan petani kaya menjadi tidak

kaya. Kondisi ini akan mengubah perilaku petambak yang tadinya sebagai juragan
berubah menjadi bukan juragan.
Perubahan pendapatan atau sumber mata pencaharian akan mengubah kondisi
masyarakat dan selanjutnya mengubah perilakunya. Seperti perubahan yang terjadi
sebelumnya, akibat booming udang windu/bego banyak muncul jutawan di daerah
pesisir. Era tersebut di Demak banyak orang menunaikan ibadah haji sebagai prestise
sosial yang tinggi dari hasil budidaya udang windu/bego, termasuk pada kondisi
tersebut perubahan sifat konsumtif masyarakat yang meningkat. Perubahan-perubahan
juga terjadi terhadap pandangan-pandangan masalah sosial seperti pendidikan, struktur
sosial, kelembagaan, keagamaan, kesehatan, pranata sosial, nilai, norma dan lain-lain.
Dengan perubahan kondisi pendapatan yang sebaliknya yaitu pendpatan masyarakat
menurun tentunya akan mempengaruhi perilaku sosialnya.
Perubahan perilaku masyarakat dapat bersifat intern maupun ekstern dan dapat
bersifat positif maupun negatif. Intern dalam arti perilaku keseharian yang menyangkut
diri sendiri seperti rasa apatis, apriori, traumatik dan lain-lain, sedang ekstern adalah
perilaku keseharian yang menyangkut terhadap orang lain baik di dalam keluarga
maupun luar keluarga seperti kerjasama, paternalistis dan lain-lain. Peningkatan
pendapatan mengakibatkan perubahan perilaku masyarakat yang ke arah konsumtif,
pemikiran yang lebih maju dan merubah perilaku sosial secara menyeluruh. Namun
sebaliknya kondisi saat ini di kawasan pertambakan Demakmengalami pendapatan
yang menurun atau dapat dikatakan kesejahteraannya menurun, maka yang terjadi
adalah munculnya kemiskinan baru, daya serap tenaga kerja menurun dan masyarakat
kawasan pesisir yang terimbas ikut menurun. Perubahan pendapatan akan mengubah
perilaku masayarakat tersebut. Perubahan tersebut dapat bersifat positif yaitu
menanggapi perubahan sebagai suatu tantangan untuk maju atau sebagai motivasi untuk
lebih baik, namun dapat sebaliknya menjadi negatif jika tanggapan perubahan
menjadikan dirinya apriori, apatis, acuh tak acuh dan sebagainya yang justru
menjadikan dirinya semakin terpuruk.

KAJIAN PUSTAKA

Usman (2003) mengemukakan bahwa lingkungan alam sekitar akan membentuk


sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi
sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang
2

melembaga dalam masyarakat. Dikatakannya pula perubahan lingkungan dapat


merubah konsep keluarga. Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas
manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu perubahan sosial.
Masyarakat kawasan pesisir cenderung agresif, dikemukakan oleh Suharti (2000)
karena kondisi lingkungan pesisir yang panas dan terbuka, keluarga nelayan mudah
diprovokasi, dan salah satu kebiasaan yang jamak di kalangan nelayan (masyarakat
pesisir) adalah karena kemudahan mendapatkan uang menjadikan hidup mereka lebih
konsumtif.
Zamroni (1992) menyatakan bahwa perilaku sosial merupakan hubungan antara
tingkah laku masyarakat dengan tingkah laku lingkungan.
Indikator-indikator perubahan perilaku sosial berbeda-beda pandangan setiap ahli.
Jayasuriya dan Wodon (2003) melakukan riset di sejumlah negara menggunakan 2
kategori utama yaitu pendidikan dan kesehatan. Sedangkan Africa (2003) menggunakan
indikator kebutuhan dasar minimum - sistim informasi data masyarakat (MBN-CBIS)
dengan 3 indikator utama yaitu survival, security dan enabling. Usman (2003)
memberikan 3 komponen utama dalam mengupas permasalahan di masyarakat yang
terkait dengan kondisi lingkungan yaitu: demografi, ekonomi dan budaya.
Purba (2002) menyatakan berbagai persoalan sosial dalam pengelolaan
lingkungan sosial antara lain: berkembangnya konflik atau friksi sosial, ketidakmerataan
akses sosial ekonomi, meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya angka
kemiskinan, meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan akses pengelolaan
sumberdaya, meningkatnya gaya hidup (konsumtif), kurangnya perlindungan pada hakhak masyarakat lokal/tradisional dan modal sosial, perubahan nilai, memudarnya
masyarakat adat, lemahnya kontrol sosial, perubahan dinamika penduduk, masalah
kesehatan dan kerusakan lingkungan.

TEMUAN
Temuan dari perubahan pendapatan masyarakat akibat abrasi dan rob yang lebih
ke dalam masuk daratan di tiga desa sample yaitu desa Sriwulan kecamatan Sayung
yang terletak di perbatasan dengan kota Semarang, desa Bedono Kecamatan Sayung dan
Desa Babalan Kecamatan Wedung yang merupakan desa pantai berbeatasan dengan
kabupaten Jepara, sebagai berikut:

Umur Kepala Keluarga


Keluarga yang digunakan untuk penarikan sample memiliki kepala keluarga
bukan pegawai. Dari hasil temuan umur kepala keluarga bervariasi dari 35 hingga 70
tahun. Diperoleh gambaran masih terdapat suami yang berusia muda, namun karena
bergabung dengan orang tua, maka status mereka bukan kepala keluarga.
Pendidikan
Pendidikan kepala keluarga mayoritas tidak tamat SD, hanya sebagian kecil yang
tamat Sekolah Dasar dan sebagian kecil lagi tamat Sekolah Lanjutan Pertama yaitu
sekolah Madrasah Tsanawiyah. Letak desa dan kondisi masyarakat

sangat

mempengaruhi sudut pandang terhadap pendidikan, desa dekat kota meskipun


pendapatan menurun mereka masih berorientasi pada sekolah-sekolah umum dan
berharap untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, tetapi karena pendapatan yan
menurun, jenjang pendidikan yang ditempuh sangat rendah. Desa yang berlokasi jauh
dari kota (contoh: Desa Babalan, Wedung, Demak), lebih cenderung mengenyam
pendidikan di sekolah-sekolah agama seperti Madrasah Diniyah setara SD (jam belajar:
14.00 17.30), dan Madrasah Wusto setara SMP. Dan dilanjutkan ke pondok-pondok
pesantren maupun Madrasah Al Uhya (setara SLA). Sekolah-sekolah tersebut bersifat
swadaya masyarakat dan pengajarnya bersifat sukarela. Bagi anak-anak usia sekolah
dasar yang keluarganya relatif mampu melakukan pembelajaran di SD negeri dan sore
dilanjutkan ke Madrasah Diniyah, dan jika lulus melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah.
Keluarga yang telah banyak mengalami penurunan pendapatan yang mengakibatkan
kemiskinan, mereka tidak dapat melanjutkan sekolah hingga tamat SD dengan alasan
membantu menambah pendapatan keluarga sebagai nelayan.
Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga relatif cukup banyak, meskipun telah mengalami
penurunan pendapatan keluarga mereke masih memiliki kecenderungan untuk
menambah anak, dengan alasan lebih pada pendekatan agamis, bahwa setiap anak
membawa rejekinya masing-masing dan perolehan anak adalah sebuah rejeki yang
diterima dari Tuhan dan harus dinikmati. Penurunan pendapatan tidak mempengaruhi
pandangan mereka terhadap jumlah anak. Pada masayakat yang relatif mampu maupun
miskin memiliki anak 2 - 6, dan ditemukan kepala keluarga dengan usia 45 tahun
namun masih memiliki anak usia 2 tahun.

Jenis Pekerjaan dan Angkatan Kerja


Jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan masyarakat desa sampel adalah nelayan
tangkap baik buruh maupun nakoda, nelayan jaring, nelayan pasang, petambak, atau
pedagang ikan/udang. Dari temuan sampel sudah tidak ditemukan lagi petani pangan
maupun non pangan, meskipun sebelumnya mereka adalah petani pangan dan palawijo.
Para nelayan tangkap di ketiga desa sampel memiliki ciri yang relatif sama. Nelayan
sampan (kapasiatas 1 - 2 orang) hanya melakukan penangkapan ikan jarak dekat artinya
hanya sekitar kawasan pantai di sekitar mereka tinggal dan melakukan penangkapan
ikan setiap hari jika memungkinkan. Hal yang tidak memungkinkan melakukan
penangkapan adalah jika hari hujan turun deras. Hal ini berbeda dengan nelayan
tangkap jauh yaitu yang menangkap ikan menjauh ke arah laut, apabila cuaca terlihat
tidak memungkinkan, meskipun tidak turun hujan, mereka tidak pergi melaut. Nelayan
sampan kebanyakan adalah bekas petambak yang telah hilang tambaknya akibat abrasi
namun masih memiliki sampan dan alat tangkapnya, sedang nelayan tangkap adalah
para nelayan lama yang sejak dahulu berprofesi sebagai nelayan. Namun petambak yang
sudah tidak memiliki sampan, mereka melakukan pekerjaan apapun untuk dapat
menopang hidup keluarganya (serabutan) dan lebih banyak sebagai buruh dan nelayan
seser atau justru tanpa bekerja apapun dan mengandalkan keluarga lainnya untuk
menopang hidupnya, meskipun berstatus Haji.
Anak-anak nelayan di tiga desa memberikan gambaran yang berbeda terhadap
jenis pekerjaan dan keinginan pekerjaan, meskipun sudut pandang mereka sangat
tergantung dengan kondisi kesejahteraan keluarga. Anak-anak desa Sriwulan memiliki
sudut pandang yang berbeda dibanding anak-anak di dua desa lainnya, yaitu lebih
cenderung memilih jenis pekerjaan dikota atau menjadi buruh dan pegawai dibanding
menjadi nelayan. Para orang tua di desa Sriwulan pada awalnya (sebelum musibah
hancurnya tambak mereka) masih mengharapkan anak-anak mereka bekerja di
pertambakan, karena kekayaan yang diperoleh dari tambak cukup menjajikan.
Masyarakat desa Bedono dan Babalan relatif sama yaitu jenis pekerjaan yang
diharapkan digeluti si anak adalah jenis pekerjaan disekitar mereka, yaitu dengan
aktifitas pertambakan, meskipun memberikan hasil yang relatif kecil. Bagi nelayan
tangkap meskipun secara khsusus memberikan kesempatan terhadap anak untuk bekerja
sesuai keinginan, namun mereka memiliki kecenderungan mengharapkan anak-anak
mereka juga bekerja sebagai nelayan. Hal ini dengan alasan karena tidak dapat

menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi dengan alasan masalah
ekonomi.
Kesempatan kerja tampaknya relatif terbatas terutama di desa Bedono dan
Babalan. Berbeda dibanding dengan desa Sriwulan yang suasana telah menjadi kota
satelit, kesempatan kerja di luar kegiatan tambak dan nelayan relatif tinggi, seperti
buruh bangunan, dagang, jasa, pengecer dan lain-lain. Khusus desa Babalan kesempatan
kerja meskipun terbatas namun lebih menjanjikan untuk hidup dan tidak ada batasan
adalah sebagai nelayan tangkap. Informasi dari perankat desa menyatakan bahwa
apabila mau turun ke laut apapun kegiatannya dapat dipastikan memberikan hasil. Hal
ini dapat dikatakan bahwa di pantai sangatlah mudah untuk memperoleh pendapatan
meskipun kecil.
Angkatan kerja merupakan anak yang dapat bekerja dan memperoleh penghasilan
dan

secara umum usia angkatan kerja adalah 15 tahun ke atas. Hasil temuan

menunjukkan usia kerja nelayan adalah 14 tahun, sedang untuk petani tambak
menganggap usia kerja adalah 17 tahun. Pada kondisi khusus dimana ekonomi petani
atau nelayan tergolong miskin akan memperkejakan anaknya dibawah usia tersebut.
Kepemilikan Lahan
Lahan yang diusahakan masyarakat adalah lahan sendiri, baik karena waris
maupun beli. Lahan yang digunakan adalah tambak, baik tambak lokasi maupun
tambak alam. Lahan sawah saat ini sudah tidak ditemukan lagi, baik telah berubah
fungsi menjadi tambak maupun yang sudah tenggelam menjadi laut. Lahan sawah yang
tenggelam menjadi laut hanya terdapat di Desa Sriwulan, sedang di dua desa lainnya
tidak ditemukan. Tidak ditemukan lagi transaksi kepindahan hak milik penguasaan
lahan tambak sejak fenomena abrasi terjadi.
Pendapatan
Pendapatan nelayan saat ini relatif kecil dibanding dengan beberapa tahun
sebelumnya.

Pendapatan berbagai jenis pekerjaan juga membedakan pendapatan

mereka maupun perubahan pendapatan mereka. Para petambak lebih besar


perubahannya dibanding dengan nelayan tangkap. Rata-rata petambak memberikan
argumen bahwa pendapatan mereka turun berkisar antara 60 80 persen, sedang
nelayan penurunan pendapatan mereka relatif lebih kecil berkisar antara 25 50 persen
dari sebelumnya, meskipun dinyatakan harga per unit produk naik. Perubahan
pendapatan ini terutama disebabkan adanya rob sehingga budidaya tambak, baik
bandeng maupun udang mengalami penurunan akibat kualitas air yang tidak baik (lebih
6

salin). Berbeda dengan petambak yang telah hilang tambaknya, mereka telah betulbetul tidak memperoleh pendapatan dari hasil tambak, dan penghasilan yang diperoleh
adalah dari buruh serabutan. Beberapa temuan yaitu di desa Bedono dan Sriwulan
pendapatan mereka berkisar antara Rp 2.500 Rp 50.000 per hari dan fluktuatif.
Berbeda dengan nelayan sampan dan nelayan jaring, pendapatan mereka relatif stabil
dan cukup besar yaitu berkisar antara 25.000 60.000 per hari dan dapat dimungkinkan
melakukan aktifitas setiap hari selama setahun. Desa Babalan lebih sedikit pendapatan
yang diperoleh, nelayan pasang memiliki pendapatan berkisar antara Rp 12.500 - Rp
75.000 dan sangat tergantung dengan musim. Nelayan sering menyebut dengan nama
musim kesongo sebagai musim panen dimana udang dan ikan kecil dari laut banyak ke
arah daratan dan tertangkap di sekitar pantai dan muara sungai. Perubahan pendapatan
meskipun tidak digambarkan secara jelas, namun dari beaya sewa (pajak) pasang jaring
tangkap di muara sungai pada periode sebelumnya mencapai Rp 12 juta per tahun per
patok, kini hanya Rp 2,5 juta per tahun per patok.
Kesehatan
Permasalahan kesehatan dapat dikatakan relatif rumit, karena sangat terkait
dengan lingkungan dan ekonomi. Dalam menjaga kesehatan para petani dan nelayan
tidak melakukan kegiatan khusus, karena kehidupan mereka yang cukup keras artinya
setiap langkah kehidupan mereka adalah untuk memperoleh penghasilan. Warga
masyarakat dalam mengatasi sakit yang dideritanya berbeda sesuai dengan karakteristik
desa. Warga desa Sriwulan memiliki fasilitas kesehatan lebih baik, cenderung
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada. Namun dengan alasan ekonomi, mereka
menganggap dirinya tidak mampu maka mereka melakukan pengobatan sendiri dengan
obat-obat yang dijual bebas sampai batas terntentu kemudian dilakukan perawatan yang
lebih baik jika sakit parah. Terlebih akibat penurunan pendapatannya, para nelayan
lebih memprioritaskan konsumsi pangan, sehingga sakit yang tidak parah akan
dilakukan pengobatan sendiri menggunakan obat bebas.
Kepemimpinan
Pranata kepemimpinan warga desa sampel relatif tidak berubah dari tahun ke
tahun. Masyarakat membedakan kepemimpinan bidang agama dan kepemimpinan
bidang administrasi sosial. Jika masalah dihadapi adalah masalah agama, maka mereka
akan melakukan pendekatan dengan pemimpin agama, dan sebaliknya jika
permasalahan yang dihadapi adalah masalah administrasi maka mereka melakukan
pendekatan melalui perangkat desa.
7

Konflik sosial yang terjadipun sudah tidak menggunakan fasilitas kepemimpinan


agama. Sebagai contoh perselisihan akibat penggunaan lahan atau penyerobotan ikan ke
penguasaan orang lain, yang dapat berbuntut pada konflik sosial yang lebih jauh,
pendekatan atau penyelesaian yang terjadi sudah tidak menggunakan tokoh-tokoh sentra
agamis, namun menggunakan perangkat desa, sehingga dapat dikatakan kepemimpinan
yang dianut dalam konflik sosial yang terjadi adalah menggunakan kepemimpinan
formal.
Pranata Pernikahan
Masyarakat memiliki pandangan yang berbeda dalam pernikahan. Masyarakat
desa Sriwulan memiliki karakteristik yang relatif berbeda dibanding dengan dua desa
lainnya. Pernikahan secara umum sama dalam kegunaannya yaitu untuk membentuk
sebuah keluarga baru.

Namun usia pernikahan di kedua kelompok desa tersebut

berbeda. Desa Sriwulan yang relatif sudah terpengaruh oleh masyarakat perkotaan
memandang usia pernikahan relatif lebih tua dibanding dua desa lainnya, yaitu usia
pernikahan untuk wanita di atas 16 tahun, sedang pria di atas 17 tahun. Sedangkan
masyarakat desa Bedono dan Babalan memiliki kesamaan dalam usia siap nikah, yaitu
wanita dapat dilakukan pernikahan di usia 14 tahun, sedang laki-laki di atas 17 tahun.
Para orang tua di desa Bedono dan Babalan memiliki kecenderungan segera melepas
anaknya untuk menikah dan tidak perlu membiayai lagi atau menjadi beban keluarga.
Sehingga apabila terdapat lamaran atau peminangan anak wanitanya kapanpun akan
diterima untuk diserahkan guna dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Sedangkan untuk
anak laki-laki, masyarakat desa Bedono dan Babalan memiliki kecenderungan menunda
atau semakin tua semakin baik. Hal ini ditujukan untuk turut serta menopang kehidupan
keluarga. Akibat penurunan pendapatannya para orangtua di ketiga desa memiliki
pandangan segera menikahkan anak perempuan mereka agar tidak menajdi tanggungan
keluarga.
Organisasi Sosial
Organisisai sosial yang ada telah mengalami penurunan sebagai akibat kondisi
sosial yang kurang menguntungkan yaitu berkurangnya kesejahteraan mereka akibat
abrasi dan rob. Pada era sebelum musibah organisasi kesenian, seperti Qasidah dan
Rebana dimiliki dan aktif di semua desa, namun setelah terjadinya perubahan kondisi
masyarakat dengan meningkatnya kemiskinan, organisasi kesenian tersebut sudah tidak
aktif lagi, meskipun secara administrasi statistik masih terdaftar. Kelompok kesenian
yang tersisa yaitu di desa Sriwulan dan Desa Bedono merupakan kelompok perorangan
8

yang bersifat komersil. Organisai sosial yang tersisa bersifat sosial agama, seperti majlis
pengajian Yasinan, maupun kelompok pengajian rutin keliling.
Sikap
Sikap warga masyarakat terhadap lingkungan sosialnya merupakan tanggapan
terhadap perilaku masyarakat lain. Secara umum dari ketiga desa Sampel,
masyarakatnya relatif tidak mengalami perubahan sikap terhadap warga masyarakat
lainnya. Rasa gotong royong, toleransi dan peduli dengan tetangga masih tinggi namun
tingkat kepeduliannya menurun.
Secara umum sifat yang dimiliki masyarakat pesisir yaitu konsumtif tanpa
perencanaan masih tampak. Sifat ini sering disebut dengan istilah wani sebrakane,
yaitu berani membelanjakan uang yang ada sekarang tanpa memperhitungkan di
kemudian hari, dan bahkan melakukan kredit tanpa perencanaan.
Kondisi dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam
Desa Sriwulan dan desa Bedono mengalami perubahan kondisi sumberdaya yang
relatif sama, yaitu wilayah yang dahulunya merupakan lahan pertambakan menjadi laut
atau pantai, lahan yang dahulunya merupakan lahan sawah telah berubah menjadi lahan
tambak. Sedangkan desa Babalan perubahan lahan sawah menjadi laut tidak terjadi,
yang terjadi adalah perubahan lahan tambak yang menjadi laut dan lahan sawah menjadi
lahan tambak. Terjadinya perubahan lahan relatif hampir bersamaan, perubahan lahan
sawah menjadi tambak terjadi mulai 1993 akibat konversi menjadi tambak udang yang
lebih menguntungkan. Namun pada 1995 akibat rob yang lebih jauh ke dalam
mengakibatkan lahan sawah terkena air asin sehingga tidak dapat ditanami dengan jenis
tanaman darat. Hal ini menyebabkan petani mengkonversikan menjadi lahan tambak
murni tanpa tanaman. Dengan semakin jauhnya rob ke daratan mengakibatkan lahan
tambak darat ikut terimbas air laut, sehingga tanaman darat mati. Dan sejak 2000 di
desa Sriwulan dan Bedono, tambak-tambak mulai tenggelam, dan batas antar tambak
banyak yang sudah tidak tampak sehingga batas kepemilikan menggunakan waring
(jaring).
Khusus di desa Bedono terdapat dua dusun (perkampungan) yang telah terkena
rob cukup dalam sehingga sebagian rumah-rumah penduduk secara rutin lantainya
tenggelam di saat rob muncul dan keadaannya basah (becek) setiap saat.
Potensi sumberdaya alam yang tersisa di ketiga desa adalah sumberdaya alam
yang berkaitan air laut. Jenis tanaman yang tersisapun jenis tanaman yang tahan

terhadap air laut, seperti jenis tanaman mangrove yaitu bakau dan api-api dan yang
sedikit toleran dengan air laut seperti tanaman waru dan tanaman turi.
Tanaman yang berpotensi menghasilkan dan diharapkan dapat dikembangkan
secara komersial adalah tanaman api-api yang menghasilkan buah brayo. Buah ini
secara tradisional dimanfaatkan sebagai makanan ringan karbohidrat yaitu direbus dan
dimakan bersama parutan kelapa dan sebagian telah diperdagangkan. Hingga saat ini
buah brayo belum dimanfaatkan selain tersebut di atas, namun sangat berpotensi
untuk dimanfatkan dan dikomersialkan untuk diolah lebih lanjut menjadi pangan lain,
seperti emping atau yang lainnya.
Potensi alam baik tambak udang bego maupun tambak bandeng telah mengalami
penurunan produktivitas. Penurunan ini oleh petani tambak dianggap telah menurun
hingga yang tersisa sekitar 20 %. Berbeda dengan tambak-tambak alam udang bego,
dimana tambak-tambak yang tersisa masih dapat diharapkan dari hasil rob dengan ratarata per hari diperoleh 0,5 2 kg per hektar per hari, meskipun dianggap telah turun
mencapai 50 %..
Fenomena yang muncul
Fenomena-fenomena yang muncul di kalangan petani dan nelayan yang
mengalami rob dan abrasi sangat bervariatif. Secara umum perubahan perilaku mereka
mengarah negatif, yaitu para petani dan nelayan menjadi terpuruk. Meskipun secara
keahlian mereka bertambah yaitu yang sebelumnya bukan nelayan, saat ini menjadi
nelayan.
Desa Babalan dalam menghadapi rob tidak menjadi masalah, karena kejadian rob
dianggap kejadian yang biasa mereka alami. Yang menjadi masalah adalah bahwa rob
yang datang bersifat menghancurkan tambak-tambak mereka. Pada era sebelumnya
yaitu di tahun-tahun sebelum 1995 rob yang datang justru diharapkan, karena rob
tersebut membawa udang bego dan ikan-ikan kecil yang terjebak di tambak-tambak
mereka. Di lain pihak rob yang datang juga membawa lumpur yang dapat menjebak
jenis ikan dan udang tersebut di tambak dan tambak-tambak dapat terbentuk atau
bertahan. Namun dengan berjalannya waktu, rob yang datang saat ini tidak membawa
lumpur namun justru mengikis tanggul-tanggul tambak dan rob yang datang menjadi
lebih banyak sebagai akibat pemanasan global akibatnya tambak terabrasi dan
tenggelam. Para pemilik tambak yang dahulunya dapat menikmati hasilnya dengan baik
kini sudah tidak dapat melakukan aktifitas yang memadai, karena disamping terganggu
jiwanya juga tidak memiliki keahlian lain. Akibatnya beberapa orang mengalami
10

gangguan kejiwaan (stress) dan beberapa orang melakukan kegiatan apa adanya agar
mendapatkan penghasilan.
Desa Bedono dan desa Sriwulan tidak hanya mengalami rob namun sekaligus
mengalami abrasi tambak yang mengakibatkan tenggelamnya tambak cukup luas.
Perubahan perilaku relatif sama dengan yang terjadi di desa Babalan. Para petani
tambak ini mengalami gangguan kejiwaan (stress) sehingga mereka bingung untuk
melakukan kegiatan atau aktifitas yang menguntungkan lainnya. Perbedaan yang ada
dibanding di desa Babalan adalah para petani tambak di dua desa ini dahulunya
merupakan juragan, artinya segala aktifitas tambak menggunakan tenaga buruh dan
tidak melakukan aktifitas tambak sendiri (dikerjakan orang lain). Namun akibat
tenggelamnya tambak mereka dan tidak dapat memperoleh pendapatan dari tambak,
maka para juragan ini melakukan kegiatan serabutan sebagai buruh untuk
memperoleh pendapatan guna menghidupi keluarga mereka. Aktifitas tersebut dapat
berupa menjadi buruh bangunan, berdagang maupun nelayan seser. Sedangkan petani
dan nelayan yang masih memiliki tambak-tambak yang tersisa, saat ini tidak
diburuhkan, artinya segala aktifitas ushatani tambak dikerjakan sendiri. Hal ini
disebabkan produktifitas rendah yang mengakibatkan pendapatan rendah sehingga tidak
mampu membayar tenaga kerja upahan. Kondisi petani dan nelayan yang kehilangan
matapencaharian, terutama yang tidak mampu bekerja karena gangguan kejiwaan, lebih
mengandalkan bantuan dari kerabatnya, meskipun demikian penampakan warga
tersebut masih berusaha menunjukkan seolah-olah dirinya adalah juragan.

KESIMPULAN

Secara umum para petani tambak dan nelayan yang mengalami penurunan
pendapatan akibat abrasi tambak dan rob mengalami perubahan perilaku yang bersifat
negatif yaitu apriori, apatis dan mengalami gangguan jiwa.
Perubahan mata pencaharian petani dan nelayan yang hilang tambaknya adalah
menjadi buruh serabutan, nelayan seser ataupun nelayan tangkap (sampan dan jaring)
sedang petambak yang tersisa, dahulu juragan, berubah menjadi petani penggarap.
Pendidikan relatif rendah disamping karena budaya juga diperparah akibat
kemiskinan yang muncul. Pendidikan jalur agama Islam (MD, MW dan Pondok
Pesantren) dianggap lebih penting dibanding pendidikan formal. Akibat penurunan

11

pendapatan para nelayan dan petani tambak tidak dapat menyekolahkan anaknya lebih
tinggi.
Lahan tambak yang tersisa saat ini berstatus lahan milik sendiri dan tidak ada
yang berstatus penyakap maupun penyewa. Penghasilan nelayan turun antara 25 50 %
sedang pendapatan petambak turun antara 60 80 %.
Potensi sumberdaya alam yang memungkinkan untuk diberdayakan guna
meningkatkan pendapatan petani dan nelayan disamping laut dan tambak tersisa adalah
buah tanaman api-api (buah brayo) yang dapat dijadikan sebagai emping atau
makanan ringan lainnya, disamping tanamannya sebagai konservasi lahan.

DAFTAR PUSTAKA

Africa, T., 2003. Social Statistics in the Development Agenda: Two Cases for Relevance
Suistainability. United Nations statistics Division, Paper at presented at the Expert
Group Meeting on Setting the Scope of Social Statistics, United Nations, New
York, 6-7 Mey 2003.
Jayasuriya, R. and Q. Wodon, 2002. Explaining Country Efficiency in Improving Health
and Education Indicato: The Role of urbanization. The World Bank.
Prayitno, 2001. Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pantai Akibat Perubahan
Ekosistem Pantai. Studi Kasus di Kawasan Segoro Anakan, Cilacap. Tesis
Program Pasca Sarjana, Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Purba, Johny, 2002. Pengelolaan Lingkungan sosial. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
156.
Suharti, 2000. Potret
00000007.htm

Nelayan

Kenjeran.

Socialforum.hyoermart.net/_cusudi/

Tim Peneliti Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Stiper. 2003. Pola Pengelolaan
Pantai Utara Jawa Tengah. (Laporan Sementara). Instiper. Yogyakarta.
Usman, S. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 310 hal
Zamroni, 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta. 208
hal.

12

Anda mungkin juga menyukai