Anda di halaman 1dari 10

NASIONALISME, GLOBALISASI, KOSMOPOLITANISME

DAN PANCASILA
Indonesia adalah sebuah nation state yang besar dan kaya akan ciri
khasnya sehingga membedakannya dengan bangsa dan negara lain yang ada di
dunia ini. Indonesia hidup dalam posisi strategis yang membuatnya memiliki
beraneka ragam suku dan budaya. Perbedaan keyakinan dan adat istiadat,
seharusnya tidak menjadi penghalang untuk membentuk suatu persatuan. Dari
sinilah nasionalisme muncul, yakni tepat tanggal 28 Oktober 1928, ketika Sumpah
Pemuda digemakan oleh seluruh wakil masyarakat Indonesia hingga proklamasi
kemerdekaan diucapkan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945.
Perjuangan untuk melepas cengkraman penjajah selama lebih dari tiga
setengah

abad,

seharusnya

menjadikan

bangsa

ini

belajar

dan

tetap

mempertahankan tradisi kebersamaan yang ada. Pancasila yang telah disahkan


menjadi dasar arah kemudi negara, tidak hanya sekedar lima sila yang tertulis
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi juga merupakan sebuah
pandangan hidup yang menjadi pedoman untuk melaksanakan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Ir. Soekarno selalu mengucapkan kata Gotong
Royong, sebagai pemampatan dari kelima sila dasar yang menegakkan Indonesia
di bidang politik, sosial, budaya dan pertahanan. Bila Benedict Anderson
mengungkapkan bahwa bangsa adalah suatu imagined community, maka sekalipun
itu hanya sekedar perasaan, seharusnya ia tidak boleh pudar. Di awal berdirinya
negara ini, sisi ideologis nasionalisme bersifat pemersatu bangsa. Namun, di era
globalisasi seperti sekarang ini, sisi ideologis dimanfaatkan untuk menjadi wacana
meraih atau mempertahankan kekuasaan bahkan cenderung menjadi kognisi.
Globalisasi adalah sebuah era yang menempatkan nasionalisme menjadi
sebuah pertaruhan. Kemajuan sistem teknologi yang menyebabkan homogenitas
di seluruh belahan dunia menjadikan keutuhan bangsa menjadi terancam. Sebab,
keleluasaan berinteraksi dengan setiap orang di luar arena negara menjadi
semakin mudah. Bila hal ini terus dibiarkan dan tidak ada filter serta usaha dari

masyarakat untuk mempertahankan adat istiadatnya, maka jati diri bangsa akan
semakin tergerus, sehingga Pancasila tidak lagi memiliki kekuatan untuk
mewadahi penyelenggaraaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai luar
seperti matrealis, pragmatis dan hedonis yang larut dalam globalisasi akan
memudarkan nilai-nilai Pancasila yang bermoral. Hal ini dapat dilihat di
lingkungan sekitar, seperti maraknya kasus free sex and drugs consuming di
kalangan pemuda, KKN di kalangan elite politik dan pejabat keamanan di pusat
dan daerah, hilangnya semangat gotong royong dan toleransi terutama di
perkotaan metropolitan, tidak ada lagi yang melestarikan adat daerah serta gaya
hidup asli tradisional yang sudah ditinggalkan. Setiap orang mulai sibuk dengan
dirinya sendiri, fokus untuk mencari keuntungan yang dianggap akan
memposisikan dirinya dalam keadaan aman dari segala ancaman global. Keadaan
bangsa yang seperti ini akan menjadikan negara pada turbulensi yang kemudian
akan mengarahkannya pada kehancuran di segala aspek kehidupan.
Nasionalisme di Era Globalisasi
Nasionalisme merupakan refleksi perjuangan dari segenap komponen
bangsa. Tidak perduli dari suku mana ia berasal, bahasa apa yang digunakan, dan
agama apa yang dipeluknya, semuanya ingin bersatu dalam wadah sebuah bangsa.
Nasionalisme memiliki dua elemen yang berwujud idea dan aksi. Sebagai gagasan
ideal, sentimen nasional menjelma menjadi nasionalisme melalui perantaraan
sebuah gerakan tertentu dari para nasionalis.
Era globalisasi telah menimbulkan banyak perubahan dalam segala bidang
kehidupan manusia, antara lain terciptanya kehidupan dengan arus informasi yang
super cepat (information superhighway) dan terbentuknya suatu dunia tanpa batas
(borderless world) dimana batas-batas politik, ekonomi dan budaya antar bangsa
menjadi samar. Perubahan tersebut telah menimbulkan dampak dimana seluruh
ketergantungan dan hubungan antar bangsa menjadi transparan, yang pada
akhirnya telah menciptakan implikasi yang luas terhadap seluruh aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.

Menurut Jenderal TNI (Purn.) Soemitro, globalisasi adalah konsep semu


pengisi kevakuman konsepsi, strategi dan kepemimpinan politik dunia, terutama
setelah berakhirnya perang dingin dan runtuhnya hegemoni Blok Timur
(Krisnamurti, 2004). Sebagai negara adidaya yang tersisa, Amerika Serikat (AS)
telah

mengubah

strategi

konfrontasi

menjadi

strategi

rekonsiliasi

dan

mengkampanyekan konsep globalisasi dengan tiga sasaran utama yaitu


perwujudan hak asasi manusia (HAM), kemerdekaan dan ekonomi liberal.
Melihat ketiga sasaran utama tersebut, semestinya globalisasi mampu membawa
dampak yang positif bagi umat manusia. Namun kenyataan yang terjadi adalah
sebaliknya, dimana negara-negara yang perekonomiannya tergolong lemah justru
semakin tersudutkan baik dalam bidang sosial, politik maupun ekonomi karena
tidak sanggup menghadapi pengaruh globalisasi tersebut.
Terkait hal ini, John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic
Hit Man, mengungkapkan bahwa di dunia ini kita tidak akan bisa menolak
bahwa selalu saja ada kekuatan-kekuatan pengintai yang membuat dunia ketiga
selalu bergantung secara ekonomi (Bachtiar Effendi, 2005). Negara-negara asing
yang perekonomiannya jauh lebih kuat akan selalu berusaha masuk dan terlibat
dalam perekonomian negara-negara dunia ketiga dan berperan sebagai agen
perusak ekonomi dengan melakukan konspirasi yang melibatkan lembagalembaga internasional, yang pada umumnya berkedok sebagai konsultan
pemerintah, dan pada akhirnya akan membuat perekonomian negara-negara dunia
ketiga tersebut menjadi tergantung dan dikuasai oleh negara asing (Dadang
Iskandar, 2007).
Hal yang sama juga telah diprediksikan oleh seorang sosiolog terkemuka,
Francis Fukuyama, dalam bukunya yang berjudul ''The End of History and The
Last Man''. Fukuyama memprediksikan bahwa dunia ke depan di abad ke-21
merupakan dunia yang hanya diwarnai oleh neoliberalisme sebagai pandangan
hidup, gaya dan agenda terpenting umat manusia. Setelah runtuhnya komunisme
Uni Soviet dan Eropa Timur, sejarah sudah berhenti berputar karena telah
mencapai terminasinya yaitu dunia yang neoliberal dan global. Pertarungan antara
ideologi sosialisme-komunisme melawan neoliberalisme akhirnya dimenangkan

oleh neoliberalisme. Dunia neoliberalisme menurut imajinasi Fukuyama ialah


kehidupan masyarakat yang mengedepankan kebebasan individu, perdagangan
bebas (free trade), budaya kosmopolitan, demokrasi, HAM dan good governance
(I Gede Wahyu Wicaksana, 2005).
Gambaran diatas kiranya dapat menunjukkan kepada kita bahwa bangsa
Indonesia, sebagai salah satu bagian dari masyarakat global, juga tidak akan dapat
terlepas dari pengaruh globalisasi karena, mau tidak mau, bangsa Indonesia pasti
akan mengadakan hubungan dengan negara-negara lainnya di dunia. Bahkan pada
saat ini arus globalisasi tersebut sudah semakin deras memasuki wilayah
Indonesia. Pertanyaan yang relevan diajukan disini adalah bagaimana kesiapan
bangsa Indonesia menghadapi era globalisasi tersebut dan dampaknya bagi bangsa
Indonesia, terutama terhadap rasa nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa yang
berdaulat di tengah berbagai kepentingan bangsa-bangsa lain yang semakin
mengglobal. Hal ini dimaksudkan agar dapat menjadi sebuah refleksi kritis bagi
segenap komponen bangsa dalam rangka mengantisipasi dan atau menanggulangi
segala dampak dan permasalahan yang dibawa atau disebabkan oleh globalisasi
tersebut, terutama kaitannya dengan kondisi bangsa Indonesia pada saat ini yang
keadaannya sudah sangat memprihatinkan.
Arus globalisasi telah menyebabkan negara-negara di dunia menyatu
dalam sebuah global village sehingga terjadi suatu homogenisasi budaya yang
mengabaikan identitas parsial bangsa-bangsa (Media Indonesia Online, 2007).
Globalisasi juga telah menyebabkan masyarakat dunia masuk ke dalam kehidupan
dengan arus informasi dan perubahan yang super cepat. Akhirnya untuk dapat
beradaptasi dengan perubahan yang super cepat tersebut, tiap bangsa dituntut
memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Globalisasi akan
berdampak negatif pada suatu bangsa apabila tidak memiliki SDM yang
berkualitas. Disinilah letak kelemahan bangsa Indonesia dalam menghadapi
globalisasi. Kita harus mengakui bahwa SDM bangsa Indonesia masih sangat
rendah dibandingkan negara-negara lainnya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi telah menghasilkan
banyak perubahan positif dalam berbagai bidang kehidupan bangsa Indonesia,

yang tentunya akan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, yaitu antara lain
kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pertumbuhan
ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi dan sebagainya. Akan
tetapi kita juga harus berani melihat dari sudut pandang lain dan mengakui secara
jujur bahwa globalisasi juga telah menimbulkan berbagai dampak negatif yang
pada akhirnya akan merugikan bangsa Indonesia sendiri. Dampak negatif tersebut
secara umum dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) bidang (Krisnamurti, 2004),
yaitu sebagai berikut:
1) Bidang sosial
Globalisasi telah membawa manusia hidup dalam dunia dengan arus
informasi yang semakin mengglobal dan melahirkan masyarakat yang lebih
menghargai kualitas individu. Dari situ akan terformat masyarakat kompetitif,
sehingga persaingan antar individu akan memuncak. Namun tumbuhnya sikap
individualisme tersebut telah mengakibatkan kemampuan berinteraksi dalam
kehidupan bermasyarakat pada sebagian besar masyarakat Indonesia semakin
jauh menurun. Bukti nyata dari keadaan ini adalah bentuk-bentuk kegiatan
gotong royong, terutama pada generasi muda, yang sudah sangat jauh
menurun bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Semangat
kebersamaan yang dahulu sangat terjalin erat dalam lingkungan sosial
masyarakat Indonesia seolah sudah tidak relevan lagi pada saat ini.
2) Bidang ekonomi
Globalisasi dengan arus informasi yang semakin mengglobal telah
membawa angin segar bagi konsumerisme untuk tumbuh subur pada
masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda. Tingkat konsumsi menjadi
meningkat dan kemampuan produksi (produktifitas) semakin menurun. Di
lain pihak, pasar bebas yang menjadi salah satu perwujudan globalisasi akan
menuntut manusia yang kreatif, mampu berkreasi atau singkatnya disebut
manusia produktif. Disinilah terjadi tension, dimana masyarakat Indonesia
menjadi semakin tidak mampu memenuhi tuntutan zaman karena sudah
teracuni konsumerisme sehingga hanya ahli dalam mengkonsumsi. Bukti
nyata dari keadaan ini adalah perbandingan persentasi penemu dan peneliti di

Indonesia yang sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk


Indonesia. Produktifitas yang semakin menurun tersebut merupakan sebuah
ancaman bagi negara kita dan apabila tidak segera diatasi akan
mengakibatkan negara kesatuan ini semakin terpuruk dalam lingkaran setan
yang tidak ada habisnya.
3) Bidang budaya
Bidang atau segi budaya adalah segi yang paling rentan terkena
dampak negatif globalisasi. Dampak negatif tersebut lebih jauh akan
mempengaruhi pola berpikir dan bertindak bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa dampak negatif globalisasi
dalam bidang ekonomi adalah meningkatnya sikap konsumerisme. Kaitannya
dengan bidang budaya adalah bahwa sikap konsumerisme tersebut pada
akhirnya akan mencapai titik jenuh dalam bentuk quasi religion. Hal-hal
duniawi yang semu dan tidak kekal akan dicari dan dinomorsatukan,
sementara hal-hal yang merupakan agama murni justru akan ditinggalkan.
Keadaan ini hanya akan menciptakan manusia-manusia yang rakus dan
mendewakan segala bentuk materi, atau sering diungkapkan dengan
terminologi hedonisme. Akibatnya timbul transformasi budaya yang bercorak
revolutif. Pada titik ini, masyarakat akan mengalami alienasi budaya. Alienasi
budaya yang dimaksudkan disini adalah untuk mengungkapkan suatu bentuk
perasaan terpisah atau terpecah dalam arti yang lebih dalam, yang
mengakibatkan masyarakat Indonesia mengalami keterasingan dengan
budayanya sendiri sehingga terjadi krisis identitas yang intensif karena
pergeseran budaya yang amat cepat dan tidak disadari.
Ironisnya, yang paling rentan terkena dampak negatif globalisasi tersebut
adalah generasi muda, yang merupakan tulang punggung pembangunan bangsa di
masa depan. Oleh karena itu, demi mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi
bangsa Indonesia, harus segera diupayakan langkah-langkah strategis untuk
menangkal dan menanggulangi dampak negatif globalisasi tersebut. Dapat
dibayangkan bagaimana keadaan bangsa ini di masa mendatang apabila generasi
muda pada saat ini telah rusak karena diracuni globalisasi. Kualitas bangsa

Indonesia di masa mendatang akan ditentukan oleh seberapa baik kualitas


generasi muda pada saat ini. Apabila generasi muda bangsa Indonesia pada saat
sekarang tidak mempunyai kualitas yang baik dan bisa diandalkan, dapat
dipastikan di masa mendatang bangsa Indonesia juga tidak akan mempunyai
kualitas yang baik dan bisa dibanggakan.
Kosmopolitanisme
Manusia dan ruang tempat ia tinggal telah melahirkan pemikiranpemikiran penting yang menjadi respon akan kondisi tersebut, yaitu
kosmopolitanisme, nasionalisme, dan fundamentalisme. Ketiga nosi tersebut
memiliki keterkaitan satu sama lain. Ketika nasionalisme mendasarkan
pemikirannya pada konsepsi nation dan fundamentalisme berdasar pada nilai-nilai
fundamental yang preskriptif dan tekstual, kosmopolitanisme menawarkan filosofi
yang mengedepankan multikulturalitas. Kosmopolitanisme sebagai sebuah filosofi
merupakan salah satu aliran pemikiran yang berpengaruh, terutama dalam sebuah
era dimana sayap-sayap globalisasi telah menyentuh segala aspek kehidupan dan
budaya manusia.
Secara literal, kosmopolitanisme berasal dari kata kosmos yang berarti
ruang (space) dan polites yang berarti warga (citizen). Oleh karena itulah I am
the citizen of the world merupakan salah satu kalimat yang mencerminkan
gagasan

inti

kosmopolitanisme.

Sebagai

filosofi,

kosmopolitanisme

mengutamakan penerimaan akan kebudayaan yang beragam. Identitas manusia


sebagai bagian dari suatu kelompok kebudayaan juga dibarengi dengan
keberadaan identitasnya sebagai bagian dari satu kosmos yang sama. Atau dengan
kata lain, manusia melakukan interaksi dan kontak dengan budaya lain, namun di
saat yang sama ia masih dapat memelihara budayanya. Kosmopolitanisme juga
seringkali diibaratkan sebagai salad bowl alih-alih melting pot dimana setiap
budaya dapat mempertahankan karakteristik khas dan tradisinya masing-masing.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa elemen-elemen yang terkandung
dalam kosmopolitanisme ialah (1) perdamaian, (2) persatuan, (3) kebebasan, (4)
toleransi, serta (5) rasa penasaran akan kebudayaan lain.

Seperti

telah

dijelaskan

sebelumnya,

kosmopolitanisme

memiliki

keterkaitan dengan nasionalisme dan fundamentalisme. Kosmopolitanisme dalam


satu

aspek

bertentangan

dengan

fundamentalisme,

yakni

ketika

kaum

fundamentalis menginginkan adanya universalitas di bawah suatu nilai tertentu


yang tertulis dalam preskripsi, sementara kaum kosmopolitan mengedepankan
unity of tolerance. Sedangkan mengenai hubungannya dengan nasionalisme,
kosmopolitanisme tak bertentangan dengan paham tersebut selama nasionalisme
tidak bersifat etnonasionalis dan xenophobic. Singkatnya, kosmopolitanisme
merupakan filosofi yang menghargai diversitas kultural yang ada dan
mengedepankan toleransi terhadap keberagaman tersebut, karena manusia berbagi
identitas yang sama sebagai human race dan warga satu dunia yang sama.
Nilai Dasar Pancasila sebagai Filter Arus Global
Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik
Indonesia. Pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan negara
Republik Indonesia. Maka manusia Indonesia menjadikan pengamalan Pancasila
sebagai perjuangan utama dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan
kengaraan. Oleh karena itu pengalamannya harus dimulai dari setiap warga negara
Indonesia, setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang
menjadi pengalaman Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan, baik dipusat maupun di daerah.
Kita mempunyai nilai dasar yang dapat membentengi pengaruh buruk
akibat arus globalisasi. Nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila merupakan
nilai-nilai yang digali dari budaya luhur bangsa.
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan pemahaman kepada bangsa
Indonesia untuk percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab memberikan pemahaman kepada
bangsa Indonesia untuk bersikap adil kepada sesama, menghormati harkat
dan martabat manusia, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Nilai persatuan Indonesia memberikan pemahaman kepada bangsa Indonesia


untuk senantiasa menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan

memberikan

pemahaman

kepada

bangsa

Indonesia untuk bersikap demokratis yang dilandasi dengan tanggung jawab.


Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memberikan pemahaman
dan penyadaran kepada bangsa Indonesia atas hak dan kewajibannya yang
sama dalam menciptakan keadilan dan kemakmuran. Oleh karena itu, kita
harus

dapat

mengembangkan

nilai

dan

sikap

kekeluargaan

dan

kegotongroyongan dalam kehidupan masyarakat.


Seperti salah satu fungsinya, yaitu sebagai cermin jati diri bangsa,
seharusnya Pancasila dapat menjadi tolak ukur untuk kehidupan masyarakat
Indonesia, terutama keadaan moralnya. Tetapi sekarang, melihat kenyataan di
sekitar kita bahwa nilai-nilai Pancasila tidak lagi ada pada diri masyarakat, kita
patut bertanya, dimana nilai-nilai luhur itu berada? Tidak pantas jika hanya
menyalahkan segelintir orang karena masalah ini. Kita seharusnya juga ikut
bertanggung jawab dengan apa yang terjadi pada Pancasila karena Pancasila
adalah milik seluruh warga Indonesia, bukan milik sekelompok orang saja. Maka
dari itu, kita juaga harus mempertajam rasa tanggung jawab dan kesadaran diri
kita sendiri terhadap Pancasila agar kita juga bisa mengoreksi diri sendiri jika
melakukan sesuatu diluar tatanan dan tuntunan Pancasila sebagai ideologi dan
pandangan hidup manusia Indonesia karena Pancasila memang seharusnya berada
di tempat yang seharusnya dia berada, yaitu di hati, pikiran dan tingkah laku
semua masyarakat Indonesia tanpa kecuali.
Lunturnya nasionalisme, semakin derasnya arus globalisasi, munculnya
kosmopolitanisme yang pada akhirnya memunculkan paradigma bepikir yang
salah bukan satu-satunya penyebab kehancuran bangsa Indonesia. Tidak adanya
rasa ingin tahu dan pengenalan terhadap diri sendiri juga membuat jurang ini
semakin dekat. Perbedaan pandangan tentang kepribadian harus ditata ulang,
sehingga masyarakat mampu mendeskripsikan dirinya dengan baik. Dalam

konsep Notonagoro, manusia adalah tempat berkumpulnya segala sisi positif dan
sisi negatif. Konsep ini sudah menjadi acuan bagi penstudi Pancasila untuk terus
mengembangkannya. Konstruksi diri yang tepat dalam dua sisi yang bertolak
belakang akan menajdikan suatu pribadi yang mulia. Sebab, manusia pada
hakikatnya merupakan tujuan dari setiap orang. Orang-orang yang berusaha
mengkonstruksi dirinya menjadi manusia, akan memimpin negeri ini menuju
negeri yang mulia. Sebab, di dalam negeri yang mulia, di dalamnya terdapat
manusia-manusia yang mulia.

Anda mungkin juga menyukai