Sebuah cermin besar terpasang di sisi bagian kepala tempat
tidur Chiyoko.
"Oh, ini sangat terasa panas. Lepaskan kaos kakiku dan
hangatkan kedua kakiku."
Setiap malam, saat dia mulai merebahkan tubuhnya dan
membiarkan rambutnya terurai dengan satu pipi menempel di bantal, dia selalu memandangi cermin. Membayangkan tiga puluh atau empat puluh ekor ikan mas, yang wujudnya serupa merahnya mawar yang hidup di dalam pot akuarium berisi air. Beberapa malam, gambaran itu juga yang terpantul pada bulan.
Sambil masih menangis, Chiyoko menuruti perintah itu,
melepaskan kaos kakinya dan kemudian menghangatkannya dengan menahan dua telapak kaki kakaknya di payudara.
Tetapi tidak seperti biasanya, kali ini bulan tidak menampakkan
cahayanya di kaca jendela; sebagai gantinya Chiyoko melihat pantulan bulan seperti yang ia rasakan sewaktu berada di taman kecil yang ada di loteng rumahnya. Cermin di dekat kepalanya yang bertirai cahaya keperakan itu sedang menawarkan ilusi. Masa kecilnya bermunculan seperti potongan gambar yang menuntut penjelasan darinya, dari tatapannya. Ia masih merasa malas untuk beranjak dari tempat tidur, pikirannya berlari dan melayang kembali ke masa-masa silam. Rambutnya yang hitam kusut terurai di bantal berwarna putih, yang selalu mampu memenuhi bayangannya tentang masa kecil yang sempurna Pada suatu malam, ketika cahaya perlahan-lahan merangkak menyusuri pigura yang terbuat dari kayu mahoni, Chiyoko melompat dari tempat tidurnya dan berlari kecil mengetok pintu kamar tidur ayahnya. "Ayah, ayah, ayah!" Chiyoko menarik-narik lengan ayahnya, lalu kedua kakinya yang mungil melangkah menuju ke sebuah taman sederhana di loteng rumah. Sesampai di atas, ia menjumpai salah seekor satu ikan mas mati, isi perutnya membuncah keluar karena hamil. "Ayah, maaf. Maukah kau memaafkanku? Aku belum mau tidur. Aku ingin menjaganya sepanjang malam." Ayahnya tidak menjawab apa-apa. Ia hanya menatap enam pot akuarium kecil berisi air di hadapannya, seolah sedang menatap enam peti mati yang menyimpan mayat laki-laki.
Kemudian, rumah bergaya Jepang dengan cepat berganti model
menjadi bangunan berarsitektur barat. Ayahnya meletakkan enam buah pot akuarium kecil berisi ikan mas di loteng, dan sejak itu selalu berada di sana siang-malam. Dia mengundang dokter hewan dari seluruh negeri, supaya ikan yang baru dipindahkannya tiga atau empat ratus mil dari tempat semula itu bisa bertahan. Belakangan, Chiyoko menjadi lebih perhatian dengan keberadaan ikan-ikan itu. Ia tumbuh menjadi sosok melankolis, dan tidak melakukan apa-apa selain memandangi ikan mas dari hari ke hari. Ketika ibu Chiyoko kembali ke Jepang dan memilih untuk menjaga jarak dengan tinggal di sebuah pondokan di tempat lain, Chiyoko menangis histeris. Setelah tenang, ia tumbuh besar dalam kemuraman yang kesepian. Namun kecantikan di wajahnya tetap tidak berubah sejak ia di Peking, meski makin lama ia mulai merasa terasing dengan dirinya sendiri. Karena kecantikannya itu beberapa pemuda sempat datang berkunjung ke rumahnya untuk meminang dirinya. Tetapi Chiyoko hanya berkata kepada mereka, "Tolong bawakan aku makanan ikan, beberapa cacing air. Aku ingin memberikannya pada ikan." "Dimana aku bisa mendapatkannya?" "Mungkin kamu bisa mencarinya di selokan." Dan sejak saat itu setiap malam ia selalu menatap ke dalam cermin. Dia tumbuh dan menua dalam kemuraman. Kini usianya menginjak dua puluh enam.
Sejak ayahnya tiba dari Peking, dialah yang membesarkan ikanikan itu.
Ayahnya sudah lama meninggal. Tetapi sebelum kejadian itu ia
sempat membukakan pintu pada pemuda yang berniat ingin meminangnya. Waktu itu ayahnya sempat berkata, "Chiyoko bukan anakku."
Sebelumnya dia tinggal cukup lama bersama dengan gundiknya
di Peking. Sementara Chiyoko, menetap bersama saudara perempuannya yang lebih tua, yaitu anak dari gundik ayahnya.
Mendengar itu, Chiyoko masuk ke kamar dan menangis. Saat ia
menatap cermin di sisi kepala tempat tidurnya, dia berteriak lalu berlari menuju loteng.
Chiyoko berusia enam belas tahun ketika tiba di Jepang. Waktu
itu sedang musim dingin. Meja dan kursi yang memang sengaja dibawanya dari Peking menghiasi ruangan tempat tinggal barunya yang bergaya Jepang. Saudara perempuan yang umurnya lebih tua itu duduk di kursi, sementara Chiyoko duduk di lantai di depannya sambil menatapnya.
Darimana ia datang? Ibunya telah berdiri di samping pot
akuarium kecil, mukanya gelap. Dan mulutnya penuh dengan ikan mas. Salah satu ekor ikan keluar dari mulutnya menjulur seperti lidah. Seperti yang pernah dikatakan oleh kakaknya, ibunya menolak kehadiran dirinya seperti ia mengunyah ikan dari pot akuarium kecil.
"Secepatnya aku akan menjadi bagian dari keluarga ini. Tapi
harus paham, kamu bukan ayah kandungnya. Kamu sendiri yang datang ke rumah ini dan beruntung ibuku memberi perhatian lebih kepadamu. Jangan sampai kau itu."
"Oh, ayah!" Perempuan itu berteriak dan langsung menabrak
ibunya. Lalu perempuan yang dihadapannya itupun terguling menabrak kaca dan mati dengan ikan-ikan mas di mulutnya.
Saat Chiyoko mengalihkan pandangannya ke lantai, dua kaki
kakaknya yang duduk di kursi berada di pundak Chiyoko kecil, kemudian dengan satu kakinya ia menaikkan dagu Chiyoko supaya Chiyoko melihatnya. Chiyoko kecil memegangi kaki kakaknya sambil menangis. Kakaknya langsung menjauhkan kakinya dari pundak dan beralih ke kimono Chiyoko.
Sejak itu, Chiyoko terbebas dari bayangan ibu dan ayahnya.
Dia mendapatkan kembali masa mudanya dan hidup bahagia. -*Diambil dari kumpulan cerita pendek Yasunari Kawabata berjudul Tenohira, diterjemahkan dari Bahasa Jepang ke dalam Bahasa Inggris oleh J.Martin Holman, dan diIndonesiakan secara amatir dari Bahasa Inggris oleh belvage.