Anda di halaman 1dari 1

Minggu, 230815.

12:00

Ikan di Langit-langit*
-Yasunari Kawabata -

Sebuah cermin besar terpasang di sisi bagian kepala tempat


tidur Chiyoko.

"Oh, ini sangat terasa panas. Lepaskan kaos kakiku dan


hangatkan kedua kakiku."

Setiap malam, saat dia mulai merebahkan tubuhnya dan


membiarkan rambutnya terurai dengan satu pipi menempel di
bantal, dia selalu memandangi cermin. Membayangkan tiga
puluh atau empat puluh ekor ikan mas, yang wujudnya serupa
merahnya mawar yang hidup di dalam pot akuarium berisi air.
Beberapa malam, gambaran itu juga yang terpantul pada bulan.

Sambil masih menangis, Chiyoko menuruti perintah itu,


melepaskan kaos kakinya dan kemudian menghangatkannya
dengan menahan dua telapak kaki kakaknya di payudara.

Tetapi tidak seperti biasanya, kali ini bulan tidak menampakkan


cahayanya di kaca jendela; sebagai gantinya Chiyoko melihat
pantulan bulan seperti yang ia rasakan sewaktu berada di taman
kecil yang ada di loteng rumahnya. Cermin di dekat kepalanya
yang bertirai cahaya keperakan itu sedang menawarkan ilusi.
Masa kecilnya bermunculan seperti potongan gambar yang
menuntut penjelasan darinya, dari tatapannya. Ia masih merasa
malas untuk beranjak dari tempat tidur, pikirannya berlari dan
melayang kembali ke masa-masa silam. Rambutnya yang hitam
kusut terurai di bantal berwarna putih, yang selalu mampu
memenuhi bayangannya tentang masa kecil yang sempurna
Pada suatu malam, ketika cahaya perlahan-lahan merangkak
menyusuri pigura yang terbuat dari kayu mahoni, Chiyoko
melompat dari tempat tidurnya dan berlari kecil mengetok pintu
kamar tidur ayahnya.
"Ayah, ayah, ayah!"
Chiyoko menarik-narik lengan ayahnya, lalu kedua kakinya
yang mungil melangkah menuju ke sebuah taman sederhana di
loteng rumah.
Sesampai di atas, ia menjumpai salah seekor satu ikan mas mati,
isi perutnya membuncah keluar karena hamil.
"Ayah, maaf. Maukah kau memaafkanku? Aku belum mau
tidur. Aku ingin menjaganya sepanjang malam."
Ayahnya tidak menjawab apa-apa. Ia hanya menatap enam pot
akuarium kecil berisi air di hadapannya, seolah sedang menatap
enam peti mati yang menyimpan mayat laki-laki.

Kemudian, rumah bergaya Jepang dengan cepat berganti model


menjadi bangunan berarsitektur barat. Ayahnya meletakkan
enam buah pot akuarium kecil berisi ikan mas di loteng, dan
sejak itu selalu berada di sana siang-malam. Dia mengundang
dokter hewan dari seluruh negeri, supaya ikan yang baru
dipindahkannya tiga atau empat ratus mil dari tempat semula
itu bisa bertahan.
Belakangan, Chiyoko menjadi lebih perhatian dengan
keberadaan ikan-ikan itu. Ia tumbuh menjadi sosok melankolis,
dan tidak melakukan apa-apa selain memandangi ikan mas dari
hari ke hari.
Ketika ibu Chiyoko kembali ke Jepang dan memilih untuk
menjaga jarak dengan tinggal di sebuah pondokan di tempat
lain, Chiyoko menangis histeris. Setelah tenang, ia tumbuh
besar dalam kemuraman yang kesepian. Namun kecantikan di
wajahnya tetap tidak berubah sejak ia di Peking, meski makin
lama ia mulai merasa terasing dengan dirinya sendiri.
Karena kecantikannya itu beberapa pemuda sempat datang
berkunjung ke rumahnya untuk meminang dirinya. Tetapi
Chiyoko hanya berkata kepada mereka, "Tolong bawakan aku
makanan ikan, beberapa cacing air. Aku ingin memberikannya
pada ikan."
"Dimana aku bisa mendapatkannya?"
"Mungkin kamu bisa mencarinya di selokan."
Dan sejak saat itu setiap malam ia selalu menatap ke dalam
cermin. Dia tumbuh dan menua dalam kemuraman. Kini
usianya menginjak dua puluh enam.

Sejak ayahnya tiba dari Peking, dialah yang membesarkan ikanikan itu.

Ayahnya sudah lama meninggal. Tetapi sebelum kejadian itu ia


sempat membukakan pintu pada pemuda yang berniat ingin
meminangnya. Waktu itu ayahnya sempat berkata, "Chiyoko
bukan anakku."

Sebelumnya dia tinggal cukup lama bersama dengan gundiknya


di Peking. Sementara Chiyoko, menetap bersama saudara
perempuannya yang lebih tua, yaitu anak dari gundik ayahnya.

Mendengar itu, Chiyoko masuk ke kamar dan menangis. Saat ia


menatap cermin di sisi kepala tempat tidurnya, dia berteriak
lalu berlari menuju loteng.

Chiyoko berusia enam belas tahun ketika tiba di Jepang. Waktu


itu sedang musim dingin. Meja dan kursi yang memang sengaja
dibawanya dari Peking menghiasi ruangan tempat tinggal
barunya yang bergaya Jepang. Saudara perempuan yang
umurnya lebih tua itu duduk di kursi, sementara Chiyoko duduk
di lantai di depannya sambil menatapnya.

Darimana ia datang? Ibunya telah berdiri di samping pot


akuarium kecil, mukanya gelap. Dan mulutnya penuh dengan
ikan mas. Salah satu ekor ikan keluar dari mulutnya menjulur
seperti lidah. Seperti yang pernah dikatakan oleh kakaknya,
ibunya menolak kehadiran dirinya seperti ia mengunyah ikan
dari pot akuarium kecil.

"Secepatnya aku akan menjadi bagian dari keluarga ini. Tapi


harus paham, kamu bukan ayah kandungnya. Kamu sendiri
yang datang ke rumah ini dan beruntung ibuku memberi
perhatian lebih kepadamu. Jangan sampai kau itu."

"Oh, ayah!" Perempuan itu berteriak dan langsung menabrak


ibunya. Lalu perempuan yang dihadapannya itupun terguling
menabrak kaca dan mati dengan ikan-ikan mas di mulutnya.

Saat Chiyoko mengalihkan pandangannya ke lantai, dua kaki


kakaknya yang duduk di kursi berada di pundak Chiyoko kecil,
kemudian dengan satu kakinya ia menaikkan dagu Chiyoko
supaya Chiyoko melihatnya. Chiyoko kecil memegangi kaki
kakaknya sambil menangis. Kakaknya langsung menjauhkan
kakinya dari pundak dan beralih ke kimono Chiyoko.

Sejak itu, Chiyoko terbebas dari bayangan ibu dan ayahnya.


Dia mendapatkan kembali masa mudanya dan hidup bahagia. -*Diambil dari kumpulan cerita pendek Yasunari Kawabata
berjudul Tenohira, diterjemahkan dari Bahasa Jepang ke dalam
Bahasa Inggris oleh J.Martin Holman, dan diIndonesiakan
secara amatir dari Bahasa Inggris oleh belvage.

Anda mungkin juga menyukai