Anda di halaman 1dari 1

ANDA DAN HUKUM DALAM KESEHARIAN - 54

HUMAN TRAFFICKING (PERDAGANGAN MANUSIA)

ONDISI masyarakat Aceh yang merupakan korban konflik dan sekaligus


korban tsunami sangat rentan dengan kondisi apapun. Apalagi, situasi ini
terkadang diperparah dengan terpuruknya kondisi ekonomi, sosial dan
pendidikan. Himpitan kehidupan ini kemudian menimbulkan masyarakat
untuk mencari jalan keluar dengan melakukan segala daya upaya dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya sendiri. Dalam pemenuhan itu, kadang kala mereka tidak
memikirkan dampak dari apa yang mereka kerjakan. Yang penting bagi mereka, hidup
harus terus berjalan.
Rendahnya tingkat ekonomi, pendidikan dan situasi psikologis inilah menjadi
salah satu penyebab yang tidak disadari sebagai peluang munculnya human trafficking atau perdagangan manusia. Istilah yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia dengan kata trafiking ini, sampai saat ini belum mendapat perhatian yang
maksimal dari pihak-pihak terkait. Tidaklah mengherankan jika korban trafiking terus
berjatuhan, bahkan, rentetan korban demi korban masih mungkin akan terus
bertambah. Karenanya, untuk mencegah bertambahnya korban yang lebih banyak
lagi terhadap masyarakat khususnya masyarakat Aceh, masyarakat perlu mengetahui
apa yang dimaksud dengan trafiking.
Human Trafficking
Apa itu Human Trafficking? Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mendefenisikan human trafficking atau perdagangan manusia sebagai: Perekrutan, pengiriman,
pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau
penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan,
kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima
bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang
atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah,
Menanggulangi dan Menghukum Trafiking terhadap Manusia, khususnya perempuan
dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara).
Tabel dibawah ini, yang disarikan dari Definisi PBB diatas, adalah alat yang berguna
untuk menganalisis masing-masing kasus untuk menentukan apakah kasus tersebut
termasuk trafiking atau tidak. Agar suatu kejadian dapat dikatakan sebagai trafiking,
kejadian tersebut harus memenuhi paling tidak satu unsur dari ketiga kriteria yang
terdiri dari proses, jalan/cara dan tujuan.

Jika satu unsur dari masing-masing ketiga kategori di atas muncul, maka hasilnya
adalah trafiking.
Faktor Penyebab Trafiking
Tidak ada satupun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafiking manusia
di Indonesia atau di Aceh. Trafiking terjadi karena bermacam-macam kondisi serta
persoalan yang berbeda-beda. Tetapi dapat disimpulkan beberapa faktor, antar lain:
1. Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui
bahaya trafiking dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban.
2. Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja,
tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut
3. Kultur/budaya yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi
anak yang harus menuruti kehendak orang tua dan juga perkawinan dini, diyakini
menjadi salah satu pemicu trafiking. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari
pekerjaan sampai ke luar negeri atau ke luar daerah, karena tuntutan keluarga
atau orangtua
4. Lemahnya pencatatan /dokumentasi kelahiran anak atau penduduk sehingga
sangat mudah untuk memalsukan data identitas
5. Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam
melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafiking.
Lantas apa yang harus dilakukan seseorang jika dia merasa sudah terjebak dalam
kasus trafiking. Dijelaskan Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Ditreskrim
Polda NAD, Inspektur satu (Iptu) Elviana, jangan pernah takut untuk melaporkan kejadian
trafiking. Baik korban maupun masyarakat yang mengetahuinya, harus segera
melaporkan. Laporan dapat disampaikan kepada aparat kepolisian di tingkat Polsek
atau Polres. Oleh karena itu, menurutnya saat ini aparat kepolisian di seluruh tingkatan
telah dilatih untuk menangani kasus-kasus yang menimpa perempuan dan anak,
meskipun di kantor-kantor tersebut tidak memiliki polisi wanita (Polwan), tetapi
penanganan khusus untuk perempuan dan anak tetap dapat dilakukan oleh polisi
laki-laki.
Meskipun kasus trafiking tidak didominasi oleh korban dari pihak perempuan dan
anak, ada kecenderungan korban trafiking adalah perempuan dan anak.
Di kepolisian, sebut Iptu Elviana, sudah ada unit Pelayanan Perempuan dan Anak
(PPA) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Kapolri No.10 Tahun 2007 tertanggal 6

Juli 2007 lalu. Sesuai pasal 6 ayat (3) disebutkan, PPA menangani kasus trafiking/
perdagangan orang selain pidana lainnya seperti penyeludupan manusia, kekerasan,
pelecehan seksual, pencabulan, adopsi illegal, prostitusi, pornografi/pornoaksi, money
laundry dari kejahatan-kejahatan yang disebut di atas tadi, perlindungan anak dan
perempuan sebagai korban/saksi atau pelaku.
Dicontohkannya dalam kasus trafiking yang terjadi di Kabupaten Bener Meriah,
terungkap karena ada laporan dari masyarakat yang menyadari bahwa sudah
terperangkap dalam kejahatan trafiking. Laporan ini kemudian ditindaklanjuti oleh gugus
tugas yang sudah ada. Gugus tugas yang sudah ada saat ini berada di Biro
Pemberdayaan Perempuan di tingkat provinsi. Meski begitu, masyarakat tetap dapat
melaporkan ke kepolisian setempat.
Sepanjang tahun 2007, ada tiga kasus yang ditangani PPA. Kasus yang
keseluruhannya berasal dari Bener Meriah ini dilakukan dengan modus operandi para
korban dijanjikan akan diberi pekerjaan yang layak di Malaysia. Selain pekerjaan layak,
mereka juga akan mendapat gaji yang tinggi. Tetapi setelah para korban berada di
Malaysia, mereka dipekerjakan di tempat-tempat yang tidak layak, bahkan dipekerjakan
di lingkungan prostitusi. Kasus ini terungkap setelah salah satu korban tertangkap pihak
keamanan Malaysia karena tidak memiliki dokumen-dokumen yang sah. Salah satu
pelakunya sampai saat ini masih mendekam di Polres Bener Meriah. Sedangkan satu
korban lainnya yang ternyata masih di bawah umur masih berada di Malaysia.
Keberadaannya hingga kini masih terus dicari. Kasus trafiking lainnya, pelaku sudah
dilimpahkan ke kejaksaan. Tahun 2006, ada 2 kasus yang ditangani. Keduanya
merupakan kasus dari Kabupaten Bener Meriah.
Sementara itu, menurut data yang dilansir Yayasan Pusaka Indonesia -sebuah
yayasan yang konsern dengan perlindungan hak-hak anak- pasca tsunami, ada
beberapa kasus trafiking yang berasal dari Aceh. Disebutkan, International Organization for Migration (IOM) telah menemukan 13 kasus orang Aceh korban trafiking, Koalisi
Perempuan Jakarta telah menemukan 9 kasus korban dan International Catholic Migration
Commission (ICMC) bersama dengan NGO lokal di Batam juga telah menemukan 8 kasus.
Jumlah kasus ini menurut Iptu Elviana bisa jadi jauh lebih banyak. Tetapi umumnya
korban atau masyarakat yang mengetahuinya takut atau malu untuk melaporkan.
Kasus-kasus seperti ini harus membuat kita waspada terhadap para pencari kerja
yang umumnya menjanjikan pekerjaan yang
lebih baik. Untuk itu kewaspadaan terhadap
para pencari kerja perlu dilakukan, khususnya
pencari kerja perempuan dan juga anak-anak.
Biasanya, para korban dijanjikan akan dikirim ke
Malaysia atau negara tetangga lainnya juga
daerah di luar Aceh. Mereka diiming-imingi gaji
besar dan hidup enak.
Indikasi penipuan ini sebenarnya sudah
bisa tercium jika para pencari kerja itu sudah
melakukan penipuan terhadap dokumen para
korban. Jadi, hendaknya waspada jika para
pencari kerja ini memalsukan sejumlah
dokumen, semisal paspor atau visa. Untuk itu,
tanggungjawab dan kewaspadaan perangkat
desa sangat diharapkan. Persoalannya,
semua pengurusan dokumen berawal dari kerja-kerja yang dilakukan oknum di tingkat
desa.
Dalam kasus trafiking yang ditangani PPA, para korban dikatakan Iptu Elviana tidak
hanya kaum perempuan atau laki-laki dewasa, tetapi juga anak-anak perempuan dan
laki-laki yang masih di bawah umur
Meski ada juga modus kasus lainnya, seperti yang dialami seorang anak sebut
saja namanya Ahmad yang berusia 8 tahun. Anak korban tsunami yang kehilangan
keluarganya ini, dibawa oleh seseorang ke Medan, pasca tsunami. Sesampai di Medan,
Ahmad dijadikan pekerja anak. Setelah 2,5 tahun dipekerjakan, akhirnya Ahmad dapat
lolos setelah bertemu dengan seorang warga Aceh dan dikembalikan ke kampung
halamannya di Banda Aceh. Untuk itu, anak-anak yang tidak memiliki keluarga lagi,
juga harus berhati-hati jika ada orang yang ingin membawanya ke luar Aceh berdalih
ingin menolong atau memberi pekerjaan yang layak.
Ditambahkannya, dalam menangani kasus-kasus trafiking ini, kepolisian tidak
sendirian. Untuk advokasi dan juga penanganan psikososial untuk para korban,
kepolisian dibantu lembaga lainnya yang tergabung dalam gugus tugas; seperti Biro
Pemberdayaan Perempuan, Kejaksaan, LSM yang fokus terhadap perempuan dan
anak seperti MiSPI (Mitra Sejati Perempuan Indonesia), lembaga yang selama ini fokus
dengan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan juga Plan International,
lembaga yang bekerja di Aceh sejak Januari 2005. Plan aktif dalam melakukan program-program pemulihan korban paska tsunami, seperti perlindungan terhadap hakhak anak, kesehatan, pendidikan dan juga program-program livelihood.
Sementara itu, korban yang membutuhkan penanganan khusus untuk mengobati
trauma atau penyembuhan biasanya akan dirujuk ke Pusat Pelayanan Terpadu (PPAT)
yang ada di Rumah Sakit Bhayangkara, Banda Aceh.
Dari berbagai sosialisasi, advokasi dan juga penanganan psikososial korban
trafiking yang dilakukan, diharapkan pemahaman masyarakat tentang trafiking akan
bertambah. Karena dengan meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap trafiking,
akan dapat mencegah masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan
yang berkaitan dengan indikasi adanya trafiking.

Semua artikel dalam seri ini dapat ditemukan pada website


IDLO di http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM

Rubrik ini dipublikasikan atas kerjasama Harian Serambi

INDONESIA

dengan IDLO

Anda mungkin juga menyukai