Anda di halaman 1dari 5

The Archer Clear Universe

The Art of Knowing is Knowing What to Ignore ~ Rumi

Sains dan Pencarian Makna: Menyiasati Konflik Tua


Antara Sains dan Agama
Filed under: Artikel TACU Leave a comment
March 12, 2013
oleh: F. Budi Hardiman
Tujuan agama sejati seharusnya adalah memaknai asas-asas dunia indrawi jauh ke dalam jiwa.
Leibniz
Di samping agama dan filsafat, sains merupakan salah satu bentuk pengetahuan manusia yang
gigih mencari makna. Mungkin sains tidak menuntaskan banyak misteri kehidupan manusia,
seperti misteri asal-usul kehidupan dan misteri kematian, namun langkah-langkah untuk
memecahkan enigma-enigma seperti itu tampaknya berjalan progresif dalam sains. Kesan bahwa
sains ingin menyaingi agama atau bahkan menggantikannya dalam perannya sebagai juru tafsir
dunia cukuplah beralasan. Sains berambisi menjadi sistem pandangan dunia menyeluruh dan
itulah yang terjadi dalam scientism. Di dalam saintisme kesahihan agama dalam memaknai dunia
ditolak. Di tengah-tengah dominasi saintistis itu di abad ke-20 terjadi suatu tren yang sebaliknya:
kesahihan sains dalam memaknai dunia juga dipersoalkan.
Secara garis besar, ada tiga posisi untuk memahami hubungan antara sains dan agama dalam
pencarian makna. Dengan makna di sini dimaksudkan terutama kebenaran. Pertama, sains dan
agama memiliki teritorium yang berbeda dalam pencarian makna. Kedua, agama dan sains dapat
dibawa ke dalam arena yang sama dalam pencarian makna. Dan ketiga, agama dan sains
menerangi realitas yang sama, namun dengan perspektif yang berbeda. Dalam tulisan ini saya
ingin menunjukkan bagaimana filsafat sains kontemporer bergerak ke posisi kedua dalam
pencarian makna. Lalu saya ingin menunjukkan daya tarik posisi ketiga.
New philosophy of science
Awal perkembangan baru dalam filsafat sains di abad ke-20 itu adalah ketidakpuasan terhadap
pandangan-pandangan neopositivisme yang disebarkan oleh Lingkungan Wina (Wiener Kreis).
Kelompok ilmuwan dan filsuf ini merupakan salah satu pendukung positivisme yang paling gigih
di abad ke-20. Salah satu tesis sentral mereka mempersoalkan demarkasi antara pernyataanpernyataan yang bermakna dan yang tak bermakna. Hanya pernyataan-pernyataan yang
dikeluarkan oleh sains, yaitu mengenai data-data yang dapat diobservasi, dapat dimasukkan ke
dalam wilayah hal-hal yang bermakna. Sementara itu, semua pernyataan yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya secara empirismereka menyebutnya asas verifikasi, yaitu

pernyataan-pernyataan yang tidak mengenai data indrawi, dimasukkan ke dalam wilayah nonsense. Termasuk ke dalamnya adalah estetika (lukisan itu indah), moral (perbuatan itu tak
adil), dan metafisika (Allah mahakuasa). Dengan tesis ini, Lingkungan Wina menyingkirkan
pencarian makna dalam agama sebagai non-sense.
Karl R. Popper dalam Logik der Forschung masuk dalam diskusi ini untuk menyelamatkan posisi
pertama dari ketiga posisi terumus di atas: agama dan sains beroperasi dalam wilayah berbeda
dalam pencarian makna. Menurut Popper, demarkasi yang ditarik oleh Lingkungan Wina itu
tidak sahih. Ia pun membuat demarkasi baru dengan kriteria asas falsifikasi. Demarkasi itu
adalah antara teritorium ilmiah dan non-ilmiah. Semua pernyataan yang dapat difalsifikasi, yaitu
dibuktikan salah, adalah ilmiah, sementara yang tak dapat difalsifikasi adalah non-ilmiah. Di sini
Popper menyelamatkan agama sebagai pengetahuan yang sahih dalam pencarian makna
karena menurutnya pernyataan-pernyataan yang tak bisa difalsifikasi (seperti Allah itu
mahakuasa) memang tidak ilmiah dan bukan termasuk dalam teritorium sains, tetapi bisa saja
pernyataan itu bermakna.
Aksi penyelamatan Popper ini menurut hemat saya tidak menyelesaikan konflik tua antara sains
dan agama. Bahkan, bisa jadi keduanya bertempur lebih sengit karena kompetisi sains dan nonsains dalam demarkasi itu. Namun, Popper memberikan kontribusi penting untuk menyingkirkan
positivisme dan memberi tempat pada agama dalam pencarian makna. Popper bahkan
menegaskan bahwa tidak ada observasi yang bebas-teori. Artinya, data empiris itu sendiri
merupakan hasil konstruksi makna dari subjek pengetahuan. Juga dalam sains, alam tidak pernah
independen dari pemaknaan-pemaknaan manusia atasnya.
Filsafat sains baru tidak berhenti pada posisi pertama. Ada tendensi kuat membawa persoalan
pencarian makna itu pada posisi kedua, yaitu agama dan sains dibawa ke dalam satu arena.
Dalam analisisnya atas sejarah perkembangan sains, Thomas Kuhn dalam The Structure of
Scientific Revolutions menunjukkan bahwa perkembangan sains tidak berlangsung linier,
homogen, dan rasional (dalam arti akumulatif dan progresif) seperti yang dikira orang sampai saat
ini. Sains berkembang melalui revolusi-revolusi yang membongkar paradigma lama dan
menggantinya dengan yang baru. Apa yang dipandang benar dalam paradigma lama akan
mengalami krisis sampai ditegakkan suatu paradigma baru dengan kebenaran-kebenaran baru di
dalamnya. Yang sentral di sini adalah pandangan bahwa perubahan paradigma dalam sejarah
sains tidak termasuk wilayah logis hukum-hukum alam, melainkan terjadi seperti proses
metanoia (pertobatan) dalam agama. Ini membuat teori-teori dalam paradigma yang satu tak
dapat dibandingkan dengan teori-teori dalam paradigma yang lain.
Lebih radikal daripada Popper, Kuhn berhasil menunjukkan bahwa sains tidak memiliki mata
Allah untuk keluar dari konteks spasial-temporal dan mengeluarkan klaim-klaim makna absolut.
Seperti politik dan praktik-praktik manusiawi lainnya, sains juga kontingen terhadap sejarah dan
komunitas ilmuwan sehingga kebenaran makna ilmiah pun berubah- ubah secara revolusioner
seperti dalam politik. Jika demikian, penemuan Kuhn ini dapat membawa kita pada konsekuensi
yang radikal: pencarian makna dalam sains (kebenaran ilmiah) tidak memiliki prioritas atas
pencarian makna dalam agama. Bahkan, pandangan Kuhn tentang sejarah sains ini ikut
menggugat setiap pandangan yang yakin akan adanya kebenaran absolut yang bersifat
suprahistoris, seperti misalnya dalam agama.
Popper dan Kuhn hanya membuka gerbang menuju wilayah yang serba tak pasti di dalam
pencarian makna lewat sains. Dalam Against Method, Paul Feyerabend semakin mendekati posisi
kedua di atas. Menurut Feyerabend, sains dekat sekali dengan mitos. Metode ilmiah sarat dengan

asumsi-asumsi kosmologis. Sains itu sendiri menjadi begitu otoritatif dalam modernitas bukan
karena rasionalitas argumennya, melainkan karena propaganda (represif) lewat industri, teknologi,
dan institusi-institusi ilmiah. Inti persoalan Feyerabend sesungguhnya adalah bahwa metode ilmiah
menurutnya tidak boleh memonopoli kebenaran dalam kehidupan. Ia tidak lebih benar daripada
perdukunan, astrologi, voodoo, dan seterusnya karena hal-hal yang disebut terakhir ini juga
bentuk-bentuk pengetahuan yang bermakna dalam kehidupan. Di sini Feyerabend membawa
agama dan sains ke dalam satu arena dalam pencarian makna. Kata objektivitas dalam sains,
misalnya, tidak lebih otoritatif daripada kata kebenaran iman dalam agama. Keduanya memiliki
hak yang setara dalam menafsirkan dunia di dalam masyarakat yang bebas.
Epistemologi Behavioral
Kegigihan filsafat sains baru untuk menggoyang saintisme menjadi radikal dalam kritik Richard
Rorty terhadap epistemologi itu sendiri. Pendiriannya yang disebut behavioral epistemology
meletakkan persoalan kebenaran dalam kerangka linguistic turn di abad ke-20, yaitu sebagai
persoalan bahasa. Seperti dibuktikan oleh Richard Rorty dalam bukunya, Philosophy and the
Mirror of Nature, sains modern bertumpu pada asumsi epistemologis Cartesian bahwa rasio
manusia mampu mencerminkan realitas, dan bahasa logis dalam sains dianggap sebagai
representasi atas realitas itu.
Rorty menolak asumsi itu. Menurut Rorty, pengetahuan dan bahasa ilmiah bukanlah cerminan
alam, melainkan a justified true belief yang ditetapkan lewat conversation. Dengan kalimat lain,
sains hanyalah salah satu aktivitas manusia untuk membentuk kebiasaan-kebiasaan bertindak
untuk menghadapi lingkungannya. Istilah atom, misalnya, bukan cermin realitas; istilah ini
dianggap benar karena pada praktiknya berguna (berfungsi) untuk menghadapi realitas. Istilah
itu sendiri tidak isomorfis dengan realitas. Jadi, sains bukanlah metabahasa yang mengatasi
praktik-praktik lain, melainkan hanyalah salah satu language-game dalam praktik conversation
dalam masyarakat. Language-games lainnya adalah agama, politik, kebudayaan, dan seterusnya.
Pencarian makna dalam sains bukanlah pencarian kebenaran metahistoris, melainkan pergantian
language-game atau sejarah metafor yang tidak pernah berkesinambungan, melainkan
merupakan patahan-patahan paradigmatik.
Makna dalam sains dan agama
Meskipun filsafat sains baru dan epistemologi behavioral memberi tilikan-tilikan yang makin
menerima peran manusia dalam konstruksi kebenaran, tak seluruh asumsinya dapat kita terima.
Membawa sains dan agama ke dalam satu arena pencarian makna dengan menganggap
keduanya sebagai language- games dalam masyarakat bebas tidaklah menyelesaikan pertarungan
antara agama dan sains yang dikobarkan sejak Pencerahan.
Alih-alih posisi kedua, saya ingin menunjukkan daya tarik posisi ketiga, yaitu bahwa sains dan
agama adalah dua perspektif berbeda yang ingin menjelaskan dunia dan kehidupan. Perspektif
ilmiah melihat alam sebagai dunia objektif atau fakta-fakta yang tunduk pada hukum-hukum
kausal dan mekanistis. Lewat perspektif ini kita membuat prognosis dan manipulasi teknis atas
alam. Di dalam sains makna bersangkutan dengan kebenaran faktual tentang proses-proses dalam
dunia objektif itu. Namun, kita tidak hanya menghadapi alam sebagai fakta-fakta, melainkan juga
bermukim di dalamnya sebagai suatu dunia yang dihayati. Perspektif religius melihat alam dalam
kaitannya dengan kenyataan transendental dan penghayatan eksistensial kita. Berbeda dari

kebenaran faktual, makna dalam agama bersangkutan dengan kebenaran eksistensial dan
transendental tentang tujuan kehidupan kita di dunia ini. Karena itu, alih-alih pengambilan jarak,
perspektif religius memusatkan diri pada perjumpaan.
Bencana tsunami di Aceh, misalnya, dari perspektif ilmiah merupakan peristiwa dalam dunia
objektif yang dapat dikalkulasi secara geologis. Namun, perspektif religius memaknai tsunami ini
secara eksistensial dan transendental sebagai perjumpaan dengan hal-hal yang melampaui
rasionalitas. Seperti dikatakan Clifford Geertz, sekurangnya ada tiga soal di mana manusia
menghadapi batas-batas pemaknaan rasionalnya atas alam: pertama, pada batas-batas
kemampuan analitisnya; kedua, pada batas-batas kekuatannya untuk menanggung penderitaan;
dan ketiga, pada batas-batas tilikan moralnya. Makna eksistensial transendental agama bermain
dalam ruang-ruang perbatasan ini. Sementara itu, fokus perspektif ilmiah adalah manipulabilitas
dunia objektif, perspektif religius berfokus pada interseksi eksistensial antara dunia objektif,
subjektif, dan intersubjektif sebagai suatu pergumulan dengan realitas-realitas akhir.
Jika posisi ketiga ini diambil, kita tidak perlu mempertarungkan sains dan agama dalam masalahmasalah, seperti teori evolusi, intelegensia artifisial, realitas kuantum, teori genom, dan seterusnya.
Semua penjelasan ilmiah ini tentu ikut mengguncang (atau bahkan meningkatkan) keyakinan
iman bahwa manusia adalah makhluk spesial di jagat raya ini. Namun, distingsi kita tentang
kedua perspektif di atas memperlihatkan bahwa sains tidak mempersoalkan kebenaran eksistensial
dan transendental, seperti juga agama (dalam Kitab Suci dan teologinya) tidak berpretensi untuk
menjadi sains yang memberi penjelasan tentang kebenaran faktual.
Interpretasi fundamentalistis yang menolak teori evolusi atas nama kreasionisme, misalnya, justru
menampakkan diri sebagai pseudo-sains yang sekadar mencocok-cocokkan ayat-ayat Kitab Suci
dengan data empiris. Pseudo-sains seperti itu akan merugikan agama sendiri karena agama lalu
menutup diri terhadap sains dan menjadi terisolasi dari perkembangan intelektual umat manusia.
Sebaliknya, upaya untuk berteologi dengan mengadaptasi teori-teori sains juga akan kontraproduktif karena teologi yang hari ini menginduk pada kebenaran sains yang sementara besok
menjadi yatim piatu. Posisi ketiga tampak lebih produktif: agama dan sains memiliki otonomi
mereka masing-masing dalam pencarian makna; yang satu tidak boleh direduksi kepada yang
lain. Hanya dengan jalan itu sains dan agama tidak saling bercampur, tapi juga tidak saling
mengisolasi, melainkan justru berkembang pada ranah dan perspektifnya masing-masing dalam
pencarian makna.

F. Budi Hardiman Pengajar Filsafat di STF Driyarkara dan Universitas Pelita Harapan Jakarta
sumber: http://fuf-library.uinjkt.ac.id/artikel_detail.php?no=6
Tags: F. Budi Hardiman
Comments RSS (Really Simple Syndication) feed

Blog at WordPress.com. | The Motion Theme.


Follow

Follow The Archer Clear Universe


Powered by WordPress.com

Anda mungkin juga menyukai