ABSTRACT
This study is aimed to know the resilience process in facing individual physical
restrictiveness so that they can have achievement in YPAC Kota Malang. Method used is
qualitative method with the type of case study. Data collection technique obtained the result
of interview, observation, and documentation. Analysis technique uses information analysis:
open coding, axial coding, and selective coding. Validity and reliability used is rizhomatic
validity and Synchronic Realibility. The result of this study is that the resilience process has
resilience source; proud of the academic and non academic achievement (I Am), has faith to
do activity like other normal individual (I Am), has social and interpersonal correlation, be
able to increase their ability to have achievement (I Can), mother subject, teacher and friends
in their school support the achievement subject (I Have). Subject has seven factors of
resilience; be able to be quiet under pressure condition of their restrictiveness (Emotion
Regulation), controlling will that canv do the activity like other normal children
(ImpulseControl), optimistic do not want to make mother disappointed (Emphaty), presenting
faith and be able to know how to solve the problem (Self-Efficacy), be able to identificate the
cause and effect of physical condition had (Causal Analysis), and have life purposes on their
restrictiveness (Reaching Out). Subject has function of resilience; has positive point of view
(Overcoming), take control on environment by keeping in touch with mother, friends, and
teachers in school, be able to control the restrictiveness so that they know how to have
correlation with other people (Steering through), be able to control his limitation (Bouncing
back), to know the risks of their restrictiveness to keep have achievement in academic or in
non academic (Reaching Out).
Key words: resilience process, disabled children with special needs
Latar Belakang
Masa kanak-kanak adalah masa yang terindah dalam hidup di mana semua terasa
menyenangkan serta tiada beban. Namun tidak semua anak dapat memiliki kesempatan untuk
menikmati semua hal tersebut, hanya karena mereka berbeda dari anak kebanyakan lainnya.
Anak yang lahir dengan kekurangan, baik itu berupa cacat tubuh maupun mental harus
mengalami hal yang berbeda serta beban yang lebih berat daripada anak normal lainnya.
Mereka harus melakukannya dengan cara mereka yang khusus. Anak berkebutuhan khusus
adalah
kekhususan yang dimiliki, yaitu kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa, agar mereka dapat berkembang dengan optimal
sesuai dengan potensi kemanusiaan menurut Hallahan dan Kauffman (Mangunsong, 2011).
Banyaknya anggapan bahwa keadaan cacat seseorang tersebut sebagai penghalang
dalam segala hal yang ingin dilakukannya. Banyak terjadi kejadian bahwa lingkungan enggan
mengakui keberadaan para penyandang cacat tubuh tersebut. Anak-anak berkebutuhan
khusus sering menganggap dirinya sebagai orang-orang yang gagal karena adanya kelemahan
atau kekurangan pada anggota tubuhnya (cacat tubuh). Namun, anak-anak berkebutuhan
khusus yang memiliki resiliensi yang tinggi dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan
lingkungannya sehingga dapat mencapai keadaan yang normal walaupun dengan keadaan
yang terbatas. Salah satunya anak berkebutuhan khusus tuna daksa yang dapat berprestasi
secara akademik ataupun berprestasi non akademik walaupun memiliki keterbatasan fisik.
Resiliensi adalah kapasitas individu untuk mengatasi dan meningkatkan diri dari
keterpurukan dengan merespons secara sehat dan produktif untuk memperbaiki diri sehingga
mampu menghadapi dan mengatasi tekanan hidup sehari-hari (Reivich dan Shatte, 2002).
Salah satu anak berkebutuhan khusus tuna daksa di Yayasan Penyandang Anak Cacat
(YPAC) Kota Malang memiliki kemampuan lebih selain bidang akademik di sekolah, seperti
Landasan teori
1. Definisi Anak
Di dalam psikologi perkembangan, Papalia membagi dua tahap perkembangan anak.
Anak adalah manusia yang berumur 3 hingga 12 tahun yang terbagi menjadi dua tahapan,
yaitu tahapan kanak-kanak awal yang dimulai dari umur 3 sampai 6 tahun dan tahapan
kanak-kanak tengah dimulai dari umur 6 tahun sampai 12 tahun (Papalia, 2009).
b) Athetosis. Ciri-cirinya: Ketegangan otot terjadi, terlihat pada leher yang kaku, mulut
terbuka, dan lidah tidak terkontrol. Cara berjalan tidak berirama, kata-kata tidak
berirama, gerakan otot wajah yang tidak disengaja.
c) Ataxia. Ciri-cirinya: gerakan tidak stabil, berjalan dengan langkah tinggi, mudah
jatuh, mata tidak terkoordinasi, kombinasi antara spasticity, athetosis, dan ataxia.
Berdasarkan anggota gerak yang terlibat atau daerah kerusakan, sebagai berikut:
a) Monoplegia: hanya satu anggota gerak tubuh yang terserang
b) Hemiplegia: yang terserang adalah tangan dan kaki tetapi hanya satu sisi (bagian
kanan atau kiri).
c) Paraplegia: dimana kedua kaki terserang.
d) Diplegia: keempat anggota gerak tubuh terserang tetapi lebih besar dibawah
pinggang.
e) Quadriplegia: keempat anggota gerak tubuh terserang semua.
Menurut tingkat kerusakan atau berat ringannya kerusakan, Celebral Palsy dibagi
menjadi:
a) Tingkat ringan, dengan ciri-ciri :
1. Anak dapat berjalan dan berbicara
2. Anak dapat menjalankan fungsi tubuh
3. Gangguan yang dialami anak tidak banyak.
b) Tingkat sedang, dengan ciri-ciri :
1. Anak memerlukan pengobatan untuk gangguan bicara, memerlukan latihan gerak
motorik.
2. Mempergunakan alat bantu untuk gerak (brace atau tongkat).
c) Tingkat berat, dengan ciri-ciri :
1. Anak memerlukan pengobatan dan perawatan dalam alat gerak motoriknya.
keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma
yang dialami dalam kehidupannya.
a. Fungsi Resiliensi
Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan
resiliensi untuk hal-hal berikut ini (Reivich dan Shatte, 2002).
1) Overcoming
Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang
menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan
kita sendiri. Sehingga, kita dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan
bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.
2) Steering through
Orang yang resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam
menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya. Steering through dalam stres
yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri bahwa
kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah
yang muncul.
3) Bouncing back
Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik
untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana
mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut,
mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari
kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat
dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara
untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan.
10
4) Reaching out
Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu:
tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi, mengetahui dengan baik diri mereka
sendiri, dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.
b. Faktor resiliensi
Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk
resiliensi, yaitu sebagai berikut.
1) Emotion Regulation
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang
menekan (Reivich dan Shatte, 2002). Reivich dan Shatte mengungkapkan dua buah
keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi,
yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing).
2) Impulse Control
Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu
yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami
perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka.
3) Optimism
Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah ketika
kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang (Reivich dan Shatte, 2002).
Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu
tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan
yang mungkin terjadi di masa depan.
11
4) Causal Analysis
Causal
analysis
merujuk
pada
kemampuan
individu
untuk
12
2) I Am ( kemampuan individu )
I Am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan
tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya.
3) I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )
I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan
interpersonal.
Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif memungkinkan peneliti untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam
dan mendetail mengenai fenomena yang diteliti. Penelitian kualitatif memberi tekanan pada
dinamika dan proses. Selain itu, penelitian ini juga lebih memfokuskan pada variasi
pengalaman individu atau kelompok-kelompok yang berbeda-beda (Poerwandari, 2007). Tipe
dari penelitian ini adalah studi kasus. Dalam penelitian studi kasus ini, menurut Kumar,
pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik non-probability sampling
dimana tidak semua elemen dalam populasi dapat menjadi sampel atau subyek penelitian
(Rahmawati, 2009). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling
dimana peneliti memilih subjek yang benar-benar memiliki kriteria dan informasi yang
diperlukan serta bersedia untuk membaginya. Tipe purposive sampling yang digunakan
adalah tipe tipikal, dimana peneliti memiliki kriteria-kriteria khusus dan unik (Herdiansyah,
2010). Subjek penelitian berjumlah 1 subjek yang bersekolah di YPAC Kota Malang. Teknik
pengumpulan data menggunakan wawancara tak terstruktur, observasi non-partisipan, dan
dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisa coding oleh
Strauss dan Corbin (Poerwandari, 2005).
13
Hasil
Subjek ialah anak yang menderita gangguan karena polio sehingga mengalami ketidak
normalan dalam fungsi tulang, otot-otot atau kerjasama fungsi otot-otot, tetapi
berkemampuan normal dalam aspek kognitif. Subjek memiliki ketidakmampuan secara fisik
untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal dibagian kakinya karena
kelainan sejak lahir. Menurut tingkat kerusakan serta fisiologi dari kerusakan gerak motorik
subjek (PS) tergolong tingkat ringan dimana terdapat ciri-ciri sebagai berikut, dapat berjalan
dan berbicara walaupun memakai kursi roda dan dapat menjalankan fungsi tubuh. Anak tuna
daksa biasanya tidak mengalami keterbelakangan mental. Fenomena yang ditemukan peneliti
adalah seorang anak berkebutuhan khusus tuna daksa yang merupakan satu-satunya anak
yang dapat berprestasi di YPAC Kota malang. Mereka melakukan pertahanan diri untuk tetap
dapat melakukan hal-hal yang lebih baik walaupun dengan keadaan fisik yang kurang melalui
suatu proses.
Proses untuk membuat seseorang mampu bertahan dan tidak menyerah pada keadaan
sulit disebut dengan proses resilien, diantaranya karena subjek memiliki sumber-sumber
resiliensi yang dinyatakan oleh Reivich dan Shatte (2002).
PS merasa mandiri dan cukup bertanggungjawab. PS dapat melakukan banyak hal
dengan kemampuannya sendiri. Individu yang resilien merasakan kebanggaan akan diri
mereka sendiri (Grotberg, 1999). PS merasa bangga karena ia dapat berprestasi akademik di
Yayasan Penyandang Anak Cacat Kota Malang. Subjek merupakan murid anak berkebutuhan
khusus satu-satunya di sekolah yang dapat mengikuti ujian di sekolah umum. Padahal di
sekolah tempat subjek bersekolah ada beberapa anak tuna daksa yang juga bersekolah di
tempat tersebut, namun tidak bisa mengikuti ujian di sekolah umum. Subjek merasa bangga
karena ia dapat berprestasi juga di bagian non akademik, ia berprestasi dengan cara bermain
musik dan menari, subjek sering tampil di berbagai acara yang mengundang pihak sekolah.
14
Subjek pernah mewakili anak berkebutuhan khusus tuna daksa di YPAC Kota Malang untuk
membuat puisi yang akan dibukukan dan dicetak. Kebanggaan terhadap kemampuan pada
dirinya sendiri tersebut membuat subjek semakin yakin untuk bisa melanjutkan ke SMP
umum.
Menurut Grotberg (1999), I am merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan
kekuatan pribadi yang dimiliki, yang terdiri dari perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Dari
keyakinan yang ia miliki, ia ingin menjadi anak yang mandiri dengan cara yang menurutnya
positif. Subjek yakin dapat belajar akademik maupun non akademik tanpa harus ada guru
bimbingan, selama ini subjek mencoba belajar musik sendiri di sekolah maupun di rumah
agar ia dapat menguasai banyak lagu, menurutnya jika ia bermain musik dengan baik, ia akan
sering dipanggil untuk acara pentas di berbagai acara dan mendapatkan uang untuk
membantu ibu dan keluarganya.
Selain itu, Grotberg mengatakan bahwa manusia yang beresilien merasa bahwa mereka
memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu PS
tunjukkan melalui sikap peduli subjek terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. PS
juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan
berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi. Subjek tunjukkan melalui sikap
peduli terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain.
Dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini berupa hubungan yang
baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan
orang lain diluar keluarga disebut dengan I Have dalam sumber resiliensi (Grotberg, 1999).
Hubungan yang penuh kepercayaan diperoleh dari hubungan PS dengan orang tua, terutama
ibu kandung PS.
Subjek dapat mendapatkan dukungan eksternal karena subjek dapat melakukan
interaksi sosial dengan sekitarnya (I Can) sehingga di dalam proses beresilien subjek
15
mendapatkan dukungan dari lingkungannya terutama keluarga, yaitu ibunya. Hasil penelitian
membuktikan teori tersebut bahwa PS memiliki kemampuan melalui interaksinya dengan
semua orang yang ada disekitarnya. PS juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta
memecahkan masalah dengan baik.
Menurut teori Grotberg (1999), anak yang resilien mampu mengekepresikan dalam
kata-kata atau perilaku untuk menghindari keterpurukannya. PS mampu mengekspresikan
perasaannya kepada peneliti, dan perilaku yang ditunjukan. Pada sumber resiliensi, I Can
merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. PS
mampu belajar melalui interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu
tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan
baik. Menurut Grotberg (1999), Anak yang resilien dapat memahami karakteristik dirinya
sendiri dan orang lain. Subjek mengetahui resiko atas kekurangan fisik yang subjek miliki.
Sehingga ia tetap yakin, bangga, dan meningkatkan kemampuan di dalam dirinya untuk tetap
mampu berprestasi dan beradaptasi dengan keadaannya tersebut.
Manusia dapat menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut ini (Reivich dan Shatte,
2002). PS dapat membuktikan fungsi resiliensinya dengan cara cara pandang yang positif
dari kekurangan fisik yang ia miliki, PS memiliki motivasi untuk melakukan hal positif yang
dapat membuktikan bahwa ia dapat melakukan hal positif seperti anak normal lainnya bahkan
PS ingin meningkatkan kemampuannya dengan masuk ke SMP Umum. Sehingga, PS dapat
tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai
tekanan di dalam kehidupan yaitu kekurangan fisiknya sebagai anak berkebutuhan khusus
tuna daksa.
PS dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah karena
keterbatasan fisiknya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through
dalam stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri
16
bahwa PS dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah
dan berprestasi dengan keadaan fisik yang terbatas. Membuktikan teori Grotberg (1999),
anak yang beresilien dapat memiliki fungsi, mampu mengatasi masalah dengan menguasai
lingkungannya, PS memiliki keyakinan karena ia memiliki banyak teman di sekolah, disukai
guru, dan kenal dekat dengan tetangga-tetangga di rumah subjek. PS dapat memecahkan
masalah dengan lingkungannya.
Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk
menyembuhkan diri. Anak yang beresilien menunjukkan task-oriented coping style dimana
mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka
mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka,
dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma. PS mampu
berhubungan dengan orang lain untuk mengatasi kesulitan dalam hidupnya, biasanya ia
melakukan sharing dengan cara bercerita kepada ibunya, terkadang ia lakukan dengan
temannya. Selain itu
17
musik sendiri agar semakin pintar bermain musik dan menghasilkan uang untuk membantu
keluarganya dari musik.
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan
(Reivich dan Shatte, 2002). Emosi mempengaruhi bagaimana orang tersebut beresilien. PS
dapat mengendalikan emosinya dengan baik, pengendalian emosi yang dapat dikatakan baik
karena PS
impuls,
pengendalian
impuls
adalah
kemampuan
Individu
untuk
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri.
PS memiliki faktor untuk bangkit dari keterbatasan yang
mengendalikan keinginan dengan kesukaan dirinya ketika subjek ingin sekali beraktifitas
normal seperti anak normal lainnya namun keadaan fisik yang terbatas yang tidak
memungkinkan, PS mewujudkan keinginannya dengan cara berprestasi di akademik maupun
non akademik. PS merasa dirinya dapat berprestasi seperti anak normal walaupun ia adalah
anak yang berkebutuhan khusus.
Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah ketika kita
melihat bahwa masa depan akan cemerlang (Reivich dan Shatte, 2002). Optimisme yang
dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya
memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal
18
ini juga dibuktikan PS merefleksikan self-efficacy yang dimiliki nya yaitu kepercayaan
individu bahwa PS mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan
hidupnya. PS dapat dikatakan optimis karena PS sangat yakin bahwa dirinya dapat
membanggakan ibunya dengan melakukan hal positif walaupun tidak melibatkan fisik subjek.
Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi dengan selfefficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada seorang individu terus didorong
untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik
(Reivich dan Shatte, 2002).
Hal ini juga merefleksikan self-efficacy yang dimiliki oleh subjek, yaitu kepercayaan
individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan
hidupnya. Misalnya dengan pernyataan subjek dalam wawancara yang menyatakan bahwa ia
mengetahui resiko dari keterbatasan yang ia miliki, sehingga ia berusaha agar dapat
berprestasi di sekolahnya, dengan melakukan suatu hal positif yang tidak terlalu melibatkan
fisiknya, karena PS tidak bisa berjalan tanpa kruk. PS menyadari bahwa kesempatan ia dalam
mendapatkan pekerjaan kelak akan sulit dibandingkan dengan anak normal.
Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda
kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich dan Shatte, 2002). PS memiliki
kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang
ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu
menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, PS mampu
berempati sehingga memiliki hubungan sosial yang positif. Terbukti bahwa PS memiliki
hubungan yang positif dengan ibunya, juga dengan lingkungannya.
Menurut teori Reivich dan Shatte (2002), bahwa salah satu fungsi resiliensi adalah
membuat seseorang memiliki pandangan hidup dari keterpurukan yang terjadi menimpa
dirinya. Dibuktikan bahwa PS dapat meraih aspek positif dari kerterbatasan fisik yang ia
19
miliki, PS mampu meraih aspek positif dari masalah-masalah yang terjadi, mampu
menemukan tujuan hidup, dan PS mampu mengetahui resiko yang akan terjadi
atas
keterbatasan fisiknya. Subjek mampu meraih aspek positif dari kekurangan fisiknya yang
tidak dapat berjalan normal, sehingga PS melakukan hal positif yang tidak melibatkan fisik.
Subjek penelitian memiliki cara pandang positif dari kekurangan yang ia miliki,
beberapa kali ia mengatakan bahwa ia tidak menyesali keadaan yang menimpanya, karena ia
merasa dari kekurangannya dapat membantu orang tuanya karena PS suka menabung untuk
membantu orang tuanya. Subjek pun mengambil sisi positif dari sikap ayah PS yang lebih
memperhatikan saudara tirinya, karena memang keadaan ia dengan saudara tirinya berbeda,
dikarenakan saudara tirinya tidak bisa menghasilkan uang seperti dirinya. PS mengambil sisi
positif dari kekurangannya dengan membahagiakan ibunya walaupun dengan keadaan fisik
yang sangat terbatas dengan cara berprestasi.
Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi setiap masalah, tekanan, dan
setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang resilien akan
menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada,
tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Orang yang
resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang
perjalanan hidupnya. PS dapat mengetahui bagaimana menempatkan diri di dalam
lingkungannya. Subjek mengetahui betul bagaimana keadaan lingkungan di sekitarnya.
Subjek selalu ingin menguasai lingkungan seperti misalnya saat latihan musik di kelas subjek
ingin mengajarkan semua alat musik kepada temannya yang belum bisa memainkan alat
tersebut tanpa disuruh oleh gurunya.
PS memiliki banyak teman di sekolah maupun di luar sekolah dapat membuktikan
subjek bahwa ia memiliki fungsi resiliensi yaitu Bouncing Back, dimana subjek dapat
melakukan hubungan dengan orang lain walaupun dengan keterbatasan fisik yang ia miliki.
20
Menurutnya keterbatasan fisik tidak membatasi ia untuk melakukan hubungan dengan orang
lain. Teman-teman di sekolah subjek menyukai subjek karena sifat humoris subjek, guru-guru
subjek yang melihat subjek sebagai anak yang dapat berinteraksi dengan siapapun, dan juga
lingkungan subjek, yaitu tetangga subjek yang juga dekat dengan subjek. Subjek menganggap
lingkungan dapat menyelesaikan masalahnya misalnya dengan cara bercerita masalah subjek
kepada orang yang dipercayainya.
Kesimpulan
Resiliensi anak berkebutuhan khusus tunadaksa yang berprestasi di YPAC Kota
Malang memiliki tiga sumber resiliensi; perasaan bangga dengan prestasi akademik maupun
non akademik yang subjek miliki walaupun memiliki kekurangan fisik (I Am), PS juga
memiliki keyakinan bahwa ia dapat melakukan kegiatan seperti anak normal lain (I Am),
Subjek yakin pada dirinya sendiri untuk bangkit dari keterbatasan fisiknya. Sumber resiliensi
I Can (kemampuan sosial dan interpersonal), bahwa PS mampu melakukan kemampuan
sosial dan interpersonal seperti anak lainnya walaupun memiliki keadaan fisik yang
mengalami tuna daksa dan mampu meningkatkan kemampuannyayang tidak melibatkan fisik,
dengan cara terus belajar untuk meningkatkan prestasinya baik di akademik maupun non
akademik (I Can). PS memiliki sumber dukungan eksternal, terutama dari ibu kandung
subjek, dan guru beserta teman-teman di sekolahnya yang berhubungan dekat dengan Subjek
(I Have).
PS memiliki faktor-faktor dalam beresilien. Faktor resiliensi yang pertama, PS mampu
tetap tenang dibawah kondisi yang menekan dari keterbatasannya (Emotion Regulation).
Kedua, PS mampu mengendalikan keinginan dirinya yang ingin dapat melakukan kegiatan
seperti anak normal lainnya walaupun memiliki keterbasan fisik (Impulse Control). Ketiga,
PS percaya bahwa ia mampu berprestasi dengan keterbatasan fisiknya (Optimism). Keempat,
21
PS mampu memposisikan dirinya sebagai orang lain terutama ibunya (Emphaty). Kelima, PS
mampu mempresentasikan keyakinannya dan dapat mengetahui bagaimana cara untuk dapat
menyelesaikan masalah dengan keterbatasan yang ia miliki (Self-Efficacy). Ke enam, PS
mampu mengedintifikasi penyebab dan akibat dari kondisi fisik yang ia memiliki sebagai
anak tuna daksa (Causal Analysis). Faktor ketujuh adalah PS menemukan tujuan hidup atas
keterbatasannya, mampu mengetahui resiko dari kekurangannya untuk terus berprestasi di
akademik atau di non akademik dan mengetahui baik karakteristik diri untuk bangkit dari
keterbatasannya (Reaching Out).
PS memiliki fungsi resiliensi. Pertama, PS dapat memiliki cara pandang yang posiif
atas keterbatasan yang ia miliki (Overcoming). Kedua, PS mampu menguasai lingkungan
dengan cara mendekatkan diri dengan lingkungannya diantaranya, Ibu, teman-teman, dan
guru di sekolah, (Steering through). Ketiga, PS mampu mengontrol keterbatasannya sehingga
ia mengetahui bagaimana cara berhubungan dengan orang lain, (Bouncing back). Keempat,
mampu mengetahui resiko dari kekurangannya untuk terus berprestasi di akademik atau di
non akademik dan mengetahui baik karakteristik diri untuk bangkit dari keterbatasannya
(Reaching Out).
Saran
Melihat pengaruh sumber dan faktor yang mempengaruhi proses dan fungsi resiliensi
anak berkebutuhan khusus tuna daksa. Pada penelitian ini peneliti hanya meneliti satu subjek
yang beresilien di sekolahnya dikarenakan subjek adalah murid satu-satunya yang dapat
berprestasi di YPAC Kota Malang. Penelitian dengan membandingkan anak berkebutuhan
khusus tuna daksa yang beresilien di bagian akademik saja dengan anak berkebutuhan khusus
tuna daksa yang beresilien di bagian non akademik saja baik dilakukan untuk penelitian
selanjutnya, agar mengetahui perbedaan proses resiliensi yang dilakukan anak yang memiliki
22
keterbatasan fisik. Peranan keluarga merupakan hal yang penting bagi perkembangan anak
dalam proses resiliensi anak berkebutuhan khusus tuna daksa. Untuk itu, sebaiknya orangtua
memainkan peranan tersebut agar anak dapat memiliki keyakinan pada diri dan merasa
bangga atas hal yang dilakukannya walaupun memiliki keterbatasan, sehingga anak
berkebutuhan khusus tuna daksa memiliki dasar keyakinan pada dirinya untuk dapat bangkit
dari keterbatasannya yang menimbulkan beberapa faktor resilien sehingga seseorang dapat
menimbulkan fungsi resilien dari keterbatasannya. Perlu diperhatikan untuk orang tua dan
guru anak berkebutuhan khusus tuna daksa agar sebaiknya anak jangan dijauhkan dari temanteman normal, agar mereka dapat bergaul dan hidup dalam realitas karena dapat
mempengaruhi proses resiliensi anak-anak berkebutuhan khusus tuna daksa.
23
Daftar Pustaka
Abdurrachman dan Sudjadi,S. (1994). Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Anggraeni, Rahayu Rezky (2006).Resiliensi pada penyandang tuna daksa pasca
kecelakaan. Skripsi. Program studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas
Gunadarma.
http://www.google.co.id/search?q=Rahayu+Rezki
+Anggraeni+(2008).+&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:enUS:official&client=firefox-a (diunduh pada tanggal 01 Maret 2012).
Anselm, Strauss & Juliet Corbin (2003). Dasar-DasarPenelitianKualitatif. Yogyakarta :
PustakaPelajar.
Grotberg. (1999). A guide to Promoting Resilience in Children : Strengthening the Human
Spirit.
Denhaag.
http://www.google.co.id/search?
q=grotbergE%2C+%26+Lianawati.+(2006).+Resiliensi+dan+prestasi+akademik+pada
+anak+tuna+rungu.+Jurnal+provitae&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:enUS:official&client=firefox-a (diunduh pada tanggal 01 Maret 2012).
Hurlock, Elizabeth. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan (Edisi-5). Alih Bahasa: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Hawabi, Agus Iqbal. 2011. Skripsi. Pengaruh Resiliensi Terhadap Juvenile Delinquency.
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Malang.
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika.
Hidayat. 2009. Pengenalan & Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) & Strategi
Pembelajarannya. http://puterakembara.org/BPP/Makalah2.pdf (25 Februari 2011).
(diunduh pada tanggal 27 Februari 2013)
Iskandar, 2009. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mangunsong, Frieda (2011). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid
Kedua. Jakarta. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi,
Universitas Indonesia.
Moleong, Lexy J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda
Pakpahan. (2011) Perkembangan Moral Kohlberg Studi Kasus pada Narapidana Anak Blitar.
Malang. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya.
Papalia, D, Olds S, dan Fredman R. (2009). Human Development, Perkembangan Manusia,
Buku I. Jakarta: Salemba Humanika.
24