PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma dan Syarat-syarat Terjadinya
Ijma menurut Bahasa
berasal dari Ijmaa yajmau-jamaan artinya
mengumpul. Dipakai di bab afala-yujmiu-ijamaan1
adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Islam atas hukum syara
(mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi wafat.
Memperhatikan definisi Ijma di atas, dapatlah diketahui bahwa Ijma baru
terjadi jika telah memenuhi syarat-syaratnya. Adapun syarat-syarat itu adalah
sebagai berikut:
1. Kata sepakat terhadap suatu pendapat telah dicapai oleh para mujtahid
dari umat islam. Bila yang bersepakat itu bukan para mujtahid, misalnya
para ahli ekonomi, maka kesepakatan mereka bukan Ijma.
2. Seluruh mujtahidin dari umat islam telah mencapai kata sepakat terhadap
suatu pendapat. Maka apanila yang bersepakat itu hanya mujtahidin dari
satu kelompok umat Islam, atau dari satu wilayah atau satu negara Islam
saja, maka kesepakatan mereka bukan Ijma. Demikian pula, jika masih
ada sebagian mujtahidin yang tidak sependapat, maka tidak terjadi pula
Ijma. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Ijma terjadi
dengan kesepakatan mayoritas mujtahidin, walaupun ada sebagian kecil
yang menentangnya.
3. Yang disepakati para mujtahidin ialah hukum syara mengenai masalah
ijtihadiyah seperti halal dan haramnya sesuatu, atau sah dan batalnya
sesuatu. Maka jika yang mereka sepakati itu bukan hukum agama seperti
hukum ekonomi, atau hukum agama tetapi bukan masalah ijtihadiyah,
tetapi
hukumnya
ditetapkan
berdasarkan
dalil
yang
qathi,
maka
persetujuan nabi itu menjadi sunnah taqririyah. Dan jika nabi tidak bisa
menyetujui mereka maka gugurlah apa yang mereka sepakati. 2
B. Pendapat Fuqaha tentang Kemungkinan Ada/Tidak Terjadi Ijma
Menurut An-Nadzdzam seorang tokoh Mutazilah (wafat th 331) dan Syiah,
Ijma secara umum tidak mungkin terjadi karena Ijma itu pasti memerlukan
kesepakatan seluruh mujtahidin dari umat Islam. Dan hal ini harus diketahui
siapa-siapa di antara mereka yang termasuk mujtahidin, dan diketahui pula
pendapat masing-masing mujtahid itu. Sudah tentu untuk mengetahui semua
mujtahid dan pendapat mereka adalah sukar; sebagaimana kalau yang
menjadi landasan Ijma itu dalil qathI, maka kita cukup berpegang dengan
dalil qathI tanpa memerlukan Ijma. Sebaliknya kalau landasan Ijma itu
berupa dalil dzanni maka tidaklah mungkin terjadi Ijma karena adanya
perbedaan pemahaman dan penafsiran para mujtahid, dan juga perbedaan
metode ijtihad/istimbat mereka.3
Karena landasan itulah Imam Ahmad bin Hanbal ada berkata :4
Barang siapa mengaku ada Ijma, maka orang itu dusta. (al-ihkam 1:284)
Ingat !
Jangan lupa! Bahwa yang dimaksud dengan Ijma pada sisi ulama fiqh dan
ushul itu, ialah satu keputusan yang tidak bersandar kepada Quran atau
Hadits, yang diputuskan oleh semua ulama di satu masa atau satu kejadian.
Jadi shaum wajib, shalat fardhu, zina haram arak haram, itu semua bukan
dengan Ijma tetapi dengan nash quran.
Menurut jumhur, Ijma bisa terjadi dalam praktek karena para mujtahid
dari sahabat telah sepakat (Ijma) terhadap hukum-hukum syara mengenai
berbagai masalah yang cukup banyak jumlahnya.
C. Macam Ijma
Ijma dipandang dari segi cara mencapainya ada 2 ( dua) macam, ialah:
1. Ijma Sharih ialah kesepakatan para mujtahidin dari suatu masa terhadap
hukum suatu masalah. Kesepakatan para mujtahid itu bisa dicapai dengan
2
Masjfuk Zuhdi. Pengantar Hukum Syariah. (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987). hal, 65-66.
Masjfuk Zuhdi. Pengantar Hukum Syariah. (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987). Hal. 67.
4
A.Hasan.Ijma Qiyas Madzhab Taqlid.(Jakarta:Lajnah Penerbitan Pesantren PERSIS Bangil,1984),
hal.8-9.
3
pernyataan disebut Ijma qauli dan bisa dicapai dengan perbuatan disebut
Ijma amali. Untuk mencapai Ijma sharih ini tidak disyaratkan seluruh
mujtahidin berkumpul dalam satu majlis. Mereka bisa berkumpul dalam
satu majlis, lalu mereka mencapai kata sepakat mengenai hukumnya. Dan
bisa juga para mujtahid memberi fatwa hukum atau keputusan hukum
terhadap suatu masalah yang diajukan kepadanya. Kemudian mujtahid lain
juga memberi fatwa hukum atau keputusan hukum yang sama terhadap
masalah yang sama, dan begitu seterusnya sehingga seluruh mujtahidin
sepakat bulat mengenai ketetapan hukumnya.
2. Ijma Sukuti ialah sebagian mujtahidin memberikan fatwa hukum atau
keputusan hukum terhadap suatu masalah, kemudian para mujtahidin
lainnya bersikap diam tidak memberikan tanggapan apa-apa atas fatwa
hukum atau keputusan hukum tersebut.
Ijma sharih itulah yang bisa dipakai sebagai dalil/pegangan hukum karena
terjadinya Ijma yang sebenarnya. Berbeda dengan Ijma sujuti yang bukan
Ijma yang sebenarnya karena sikap diam itu belum tentu menunjukkan
setuju, sebab bisa jadi diamnya itu karena takut, segan, atau sinis terhadap
fatwa/keputusan hukum tersebut. Karena itu Ijma yang bisa dipakai sebagai
dalil pegangan hukum hanyalah Ijma sharih menurut mazhab jumhur. Tetapi
menurut sebagian besar ullama Hanafiyah, Ijma sukuti itu pun bisa dipakai
hujjah, apabila terdapat indikator bahwa diamnya para mujtahid itu tiada
suatu hambatan/larangan menyatakan pendapat tidak setuju terhadap
fatwa/keputusan hukum dari mujtahid yang bersangkutan, sehingga diam
mereka bisa diartikan setuju.
Ijma dipandang dari segi dalalahnya (petunjuk) kepada hukum ada 2 (dua)
macam ialah:
a. QathI dalalahnya atas hukumnya. Artinya hukum ditunjuk itu sudah dapat
dipastikan benarnya, sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi dan tidak perlu
diijtihadkan.
b. Dzanni dalalahnya atas hukumnya. Artinya hukum yang ditunjuk itu masih
dipersoalkan lagi dan tidak tertutup untuk dikaji/ijtihadi lagi oleh para
mujtahid lainnya.
D. Pendapat Fuqaha tentang Ijma sebagai Dalil/Sumber Hukum
Apabila telah dipenuhi syarat-syarat terjadinya Ijma seperti yang telah
diuraikan di muka, maka sebagian besar ulama dan umat Islam dapat
menerima Ijma (Ijma sharih) sebagai dalil hukum Islam. Dan bahwa hukum
yang telah sampai kepada Ijma itu menjadi hukum positif bagi umat Islam.
Karena itu umat Islam wajib mematuhinya dan tidak bisa lagi dikaji/diijtihadi
hukumnya.
Dalil-dalil yang dipakai oleh jumhur tentang Ijma sebagai dalil/sumber
hukum Islam, ialah:
1. Firman Allah Surat An-Nisa Ayar 115:
Dan barang siapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mumin, kami
biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan
kami masukkan ia ke dalam jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk
tempat kembali.
2. Sabda Nabi:
Umatku tidak akan berkumpul (bersepakat) atas kesesatan.
3. Sabda Nabi:
Umatku tidak akan berkumpul/bersepakat atas kesesatan.
4. Sabda Nabi:
Apa saja yang dipandang baik oleh umat Islam, maka bagi Allah ia pun
baik.
Ancaman Allah terhadap orang yang menempuh jalan yang bukan jalan
orang mukmin dalam surat An-Nisa ayat 115 di atas menunjukkan adanya
perintah yang wajib untuk mengikuti jalan orang mukmin. Sedangkan
ketiga hadis tersebut di atas dipandang mutawatir manawi, statusnya
sama dengan mutawatir lafdzi.
E. Landasan Ijma
Menurut jumhul Ijma itu tentu mempunyai landasan/dasar hukum bahi
Ijmanya, karena ulama yang mencapai Ijma itu tidak menciptakan/membuat
hukum sendiri tanpa dasar/landasan Ijmanya. Yang mempunyai wewenang
membuat hukum sendiri itu hanyalah Allah dan rasul-Nya. Para sahabat Nabi
sebelum mencapai Ijma mencari dahulu landasannya.
Sebagian fuqaha tidak mengharuskan Ijma mempunyai
landasan
5
6
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijma adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Islam atas hukum syara
(mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi wafat. Ijma
dipandang dari segi cara mencapainya ada 2
Ijma Sukuti. Ijma Sharih ialah kesepakatan para mujtahidin dari suatu masa
terhadap hukum suatu masalah.
B. Daftar Pusaka
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987).
Hasan, A. Ijma Qiyas Madzhab Taqlid, (Jakarta:Lajnah Penerbitan Pesantren
PERSIS)
Zahrah, A Muhammad, Ushul Fiqh,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2005)