Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penglihatan merupakan indera yang sangat penting dalam menentukan
kualitas hidup manusia. Indera penglihatan yang dimaksud adalah mata. Tanpa
mata, manusia mungkin tidak dapat melihat sama sekali apa yang ada
disekitarnya.
Miopia merupakan suatu gangguan tajam penglihatan, di mana sinarsinar sejajar dengan garis pandang tanpa akomodasi akan dibiaskan di depan
retina. Miopia merupakan salah satu kelainan refraksi yang memiliki
prevalensi tinggi di dunia. Kelainan refraksi jenis ini merupakan jenis kelainan
mata yang menyebabkan penderitanya tidak dapat melihat benda dari jarak
jauh dengan baik (Linda J. dan Vorvick, 2012).
Pelajar merupakan salah satu subyek yang mempunyai prevalensi tinggi
menderita miopia, hal ini dikarenakan meningkatnya aktivitas penggunaan
monitor yang lebih tinggi dibandingkan dengan profesi lain. Penggunaan
monitor secara terus menerus dapat menyebabkan gangguan penglihatan
termasuk miopia. Karena adanya peningkatan daya akomodasi mata, mata
miopia sulit untuk disembuhkan serta cenderung bertambah parah, sehingga
diperlukan pencegahan terhadap terjadinya miopia (Ilyas, 2012).
Menurut WHO (2012) umumnya penyebab utama kebutaan di dunia
karenakan oleh kelainan refraksi yang tidak dikoreksi, 43% berasal dari
miopia, 33% katarak dan 2% glaukoma. Diperkirakan terdapat 19 juta kasus
kebutaan pada anak dan 12juta diantaranya disebabkan oleh kelainan refraksi.
Faktor risiko yang paling nyata adalah berhubungan dengan aktivitas jarak
dekat, seperti membaca, menulis, menggunakan komputer dan bermain video
game.
Selain aktivitas, miopia juga berhubungan dengan genetik. Anak
dengan orang tua yang miopia cenderung mengalami miopia. Prevalensi
miopia pada anak dengan kedua orang tua miopia adalah 32,9%, sedangkan
18,2% pada anak dengan salah satu orang tua yang miopia dan kurang dari
6,3% pada anak dengan orang tua tanpa miopia.
1

Prevalensi miopia pada anak usia 5 sampai dengan 15 tahun di daerah


perkotaan di India sebesar 7,4 % (Tiharjo dkk, 2008). Menurut WHO (2004)
Miopia biasanya berkembang pada usia 10-15 tahun. Intervensi lebih dini
harus diutamakan pada anak-anak kelompok usia ini dengan menggunakan tes
sederhana.
Sebuah penelitian terbaru yang melibatkan mahasiswa tahun pertama di
Inggris menemukan bahwa terdapat 50% masyarakat berkulit putih di Inggris
dan 53,4% masyarakat British Asia menderita miopia. Di Australia, prevalensi
keseluruhan miopia telah diperkirakan 17%. Dalam satu studi baru, kurang
dari 8,4% anak-anak Australia antara usia 4 dan 12 ditemukan memiliki
miopia lebih dari -0,5 dioptri. Prevalensi miopia telah dilaporkan setinggi 7090% di beberapa negara Asia, 30-40% di Eropa dan Amerika Serikat, dan 1020% di Afrika.
Menurut Saw, prevalensi miopia yang tinggi pada beberapa kelompok
etnik tertentu (Cina dan Jepang) menunjukkan bahwa genetik memainkan
peranan penting, namun perubahan prevalensi pada beberapa generasi terakhir
menunjukkan bahwa faktor lingkungan juga merupakan faktor penting
(Fachrian dkk, 2009).
Terdapat teori yang menyatakan bahwa faktor gaya hidup yaitu aktivitas
melihat dekat yang terlalu banyak, seperti membaca buku, melihat layar
komputer, bermain video game, menonton televisi, dapat menyebabkan
lemahnya otot siliaris mata sehingga mengakibatkan ganguan otot mata untuk
melihat jauh. Daerah perkotaan yang padat juga mengakibatkan sempitnya
ruang bermain sehingga anak cenderung melakukan aktivitas bermain di
dalam ruangan yang jarang menggunakan penglihatan jauh (Fachrian dkk,
2009).
Pada beberapa penelitian yang dilakukan di Cina, tinggi badan memiliki
pengaruh terhadap kejadian miopia, khususnya pada orang dewasa. Penelitian
lain melaporkan bahwa terdapat hubungan tinggi badan dengan kelainan
refraksi diantara anak laki-laki Cina, namun tidak ditemukannya hubungan
yang bermakna pada anak perempuan Cina, sedangkan pada penelitian yang
dilakukan pada anak laki-laki yang berusia 17-19 tahun di Israel
menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tinggi badan
2

dengan kejadian miopia. Oleh sebab itu hubungan antara tinggi badan dengan
kejadian miopia masih belum dapat dipastikan (Jung, et al. 2012).
Miopia pada anak-anak akan berefek terhadap karir, sosial ekonomi,
pendidikan bahkan juga terhadap tingkat kecerdasan. Seiring dengan
perjalanan penyakit ini, semakin bertambah miopia pada anak juga akan
meningkatkan berbagai resiko komplikasi kebutaan, seperti glaukoma dan
ablasio retina (Tiharjo dkk, 2008).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013,menunjukkan
bahwa terdapat kecenderungan, makin tinggi tingkat pendidikan formal dan
kuintil indeks kepemilikan penduduk, maka makin tinggi pula proporsi
penduduk yang memiliki kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh.
Keadaan tersebut dapat berkaitan dengan kebutuhan penduduk akan tajam
penglihatan optimal yang makin besar sesuai dengan prioritas subjektif
penduduk dalam memenuhi kebutuhan sosial sehari-hari mereka. Diasumsikan
bahwa penduduk dengan tingkat pendidikan formal atau kuintil indeks
kepemilikan lebih tinggi, cenderung memilih jenis pekerjaan formal, seperti
menjadi pegawai/karyawan, sehingga butuh visus maksimal untuk melihat
jauh sesuai jenis dan aktivitas utama pekerjaan formalnya (Rif'ati, L., et all,
2013).
Data dari hasil Riskesdas juga menunjukkan angka proporsi
ketersediaan koreksi refraksi (penggunaan kacamata/lensa kontak) pada
penduduk berusia >6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal di Indonesia adalah
4,6 % dengan angka tertinggi ditemukan di DKI Jakarta (11,9% dari seluruh
Indonesia). Dari hasil Riskesdas ini pula didapati angka proporsi ketersediaan
koreksi refraksi di Sumatera Selatan adalah 4,5% dibanding seluruh Indonesia.
Di Indonesia masih sedikit sekali penelitian yang menunjukkan
besarnya pengaruh aktivitas melihat dekat (nearwork), faktor genetik, dan
postur tubuh yang merupakan suatu faktor risiko terjadinya miopia. Oleh
sebab itu dilakukan penelitian mengenai angka kajadian dan faktor risiko
miopia di kota Palembang yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana faktor
resiko miopia pada pelajar pesantren Palembang dan selain itu penelitian ini
juga bertujuan untuk mendeskripsikan diantara kegiatan membaca, menonton
televisi dan bermain video game, kegiatan apa yang paling berperan terhadap
3

kejadian miopia, serta mengetahui jarak melihat dan lama melihat yang sehat
terhadap mata dengan harapan data yang diperoleh nantinya bisa menjadi
upaya pencegahan terhadap kejadian miopia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat
dirumuskan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut
1. Bagaimana distribusi miopia berdasarkan umur?
2. Bagaimana distribusi miopia berdasarkan jenis kelamin?
3. Bagaimana distribusi miopia berdasarkan lamanya aktivitas melihat
4.
5.
6.
7.
8.

dekat?
Bagaimana distribusi miopia berdasarkan jenis monitor yang digunakan?
Bagaimana distribusi miopia berdasarkan lama menggunakan kacamata?
Bagaimana distribusi miopia berdasarkan faktor keturunan?
Bagaimana distribusi miopia berdasarkan jarak mata saat menonton tv?
Bagaimana distribusi miopia berdasarkan jarak mata saat bermain video

game?
9. Bagaimana distribusi miopia berdasarkan jarak mata saat membaca?
10. Bagaimana hubungan faktor genetik dengan faktor-faktor miopia
lainnya?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Mendeskripsikan faktor risiko terhadap terjadinya miopia di kota
Palembang sehingga dapat digunakan sebagai tindakan preventif dan
mengurangi dampak negatif dari miopia pada anak
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mendeskripsikan kejadian miopia berdasarkan umur.
2. Mendeskripsikan kejadian miopia berdasarkan jenis kelamin.
3. Mendeskripisikan kejadian miopia berdasarkan lamanya aktivitas
melihat dekat.
4. Mendeskripsikan kejadian miopia berdasarkan jenis monitor yang
digunakan.
5. Mendeskripsikan kejadian miopia berdasarkan lama menggunakan
kacamata.
6. Mendeskripsikan kejadian miopia berdasarkan faktor keturunan.
4

7. Mendeskripsikan kejadiaan miopia berdasarkan jarak mata saat


menonton tv.
8. Mendeskripsikan kejadian miopia berdasarkan jarak mata saat bermain
video game.
9. Mendeskripsikan kejadian miopia berdasarkan jarak mata saat
membaca.
10. Mendiskripsikan hubungan genetik dan faktor risiko miopia lainnya.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademis
1. Menambah pengetahuan mengenai faktor risiko miopia dan menambah
kemampuan dalam melakukan penelitian.
2. Menjadi sumber pustaka bagi penitian yang akan datang.
1.4.2

Manfaat praktis
1. Memberi informasi kepada masyarakat mengenai dan faktor risiko
miopia.
2. Memberi informasi kepada masyarakat mengenai besarnya pengaruh
aktivitas melihat dekat (nearwork), sebagai faktor risiko terhadap
kesehatan mata.
3. Memberi informasi mengenai durasi dan jarak aktivitas melihat dekat
(nearwork) yang berpengaruh terhadap terjadinya miopia pada anak
sehingga dapat dijadikan sebagai upaya pencegahan terjadinya miopia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Miopia
Miopia merupakan suatu gangguan tajam penglihatan, di mana sinar-sinar
sejajar dengan garis pandang tanpa akomodasi akan dibiaskan di depan retina.
Miopia merupakan salah satu gangguan refraksi yang memiliki prevalensi tinggi
di dunia. Kelainan refraksi jenis ini merupakan jenis kelainan mata yang
menyebabkan penderitanya tidak dapat melihat benda dari jarak jauh dengan baik
(Linda J. dan Vorvick, 2012).
Miopia terjadi karena panjang bola mata anteroposterior terlalu besar atau
kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat (Ilyas, 2012). Selain itu miopia
terjadi karena kornea dan lensa yang terlalu melengkung dari panjang bola mata.
Miopia biasanya mulai terjadi pada masa kanak-kanak dan resiko terjadinya
miopia lebih tinggi pada anak yang kedua orang tuanya menderita miopia (Bailey,
2012).
2.1.1.1 Faktor risiko
Ada beberapa hal yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya miopia,
diantaranya:
a. Keturunan (Herediter)
Didapatkan bukti yang signifikan bahwa miopia dapat terjadi karena
adanya faktor herediter, jika kedua orang tua menderita miopia maka
6

kecenderungan anaknya 40% akan menderita miopia, dan anak yang salah
satu orang tuanya menderita miopia memiliki risiko 20-25% menderita
miopia, sedangkan anak yang kedua orang tuanya tidak menderita miopia
hanya memiliki risiko 10% menderita miopia (Rebekah, 2005).
b. Stres penglihatan
Selain faktor herediter, miopia sangat dipengaruhi terhadap bagaimana
cara seseorang menggunakan matanya. Seseorang yang menghabiskan
terlalu banyak waktu untuk membaca, menonton Televisi dan melakukan
pekerjaan dengan menggunakan penglihatan dekat cenderung mengalami
miopia (American Optometric Assosiation, 2013).
c. Aktivitas melihat dekat yang terlalu lama.
Anak yang melakukan aktivitas melihat dekat seperti membaca yang
terlalu lama >30 menit cenderung mengalami miopia dari pada anak yang
membaca <30 menit. Anak yang membaca dengan jarak <30cm cenderung
mengalami miopia 2,5 kali dari anak yang membaca dengan jarak >30cm
(Pan, Ramhamurty, dan Saw, 2011).
Singapore Cohort Study of the risk factors for myopia (SCORM)
menemukan bahwa anak-anak yang membaca > 2 buku per minggu 3 kali
lebih mungkin menderita miopia dibandingkan dengan yang membaca
<2 buku per minggu. Anak-anak yang membaca selama > 2 jam 1,5 kali
lebih mungkin untuk menderita miopia dibandingkan dengan yang
membaca <2 jam, namun hal ini tidak signifikan. Setiap buku yang dibaca
per minggu, dikaitkan dengan pemanjangan aksial bola mata dari 0,04mm.
Anak-anak yang membaca lebih dari dua buku per minggu memiliki
Panjang aksial 0,17mm lebih panjang dibandingkan dengan anak-anak
yang membaca dua buku atau lebih sedikit per minggu (Pan, Ramhamurty,
dan Saw, 2011).
d. Pada beberapa penelitian yang dilakukan di Cina, tinggi badan memiliki
pengaruh terhadap kejadian miopia, khususnya pada orang dewasa.
Penelitian lain melaporkan bahwa terdapat hubungan tinggi badan dengan
kelainan refraksi diantara anak laki-laki Cina, namun tidak ditemukannya
hubungan yang bermakna pada anak perempuan Cina. Sedangkan pada
7

penelitian yang dilakukan pada anak laki-laki yang berusia 17-19 tahun di
Israel menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
tinggi badan dengan kejadian miopia. Oleh sebab itu hubungan antara
tinggi badan dengan kejadian miopia belum dapat dipastikan.
Penelitian terakhir yang menunjukkan hubungan antara tinggi badan
dengan kejadian miopia dilakukan oleh Jung dkk dan menyimpulkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara tinggi badan dengan kejadian
miopia (Jung, et al. 2012).

2.1.1.2 Klasifikasi
Menurut ciri anatomisnya miopia dibagi menjadi :
a. Miopia refraktif, dimana bertambahnya indeks bias media penglihatan
seperti yang terjadi pada katarak intumensen dimana lensa menjadi lebih
cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau
miopia indeks, miopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan
kornea dan lensa yang terlalu kuat.
b. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal. (Ilyas, 2012)
Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam :
a. Miopia ringan, dimana miopia kecil dari pada 1-3 dioptri.
b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri.
c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri.
Menurut perjalanan penyakitnya miopia dikenal dalam bentuk :
a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa
b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa
akibat bertambah panjangnya bola mata
c. Miopia maligna, miopia berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan
ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan Miopia pernisiosa =
miopia maligna = miopia degeneratif. Miopia degeneratif atau miopia
maligna biasanya bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan pada
fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk
stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai
8

dengan atrofi korioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah


terjadi atrofi sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch
yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi
subretina.
Secara klinis dan berdasarkan kelainan patologi yang terjadi pada
mata, miopia dapat dibagi menjadi:
1. Miopia Simpleks : Terjadinya kelainan fundus ringan. Kelainan
fundus yang ringan ini berupa kresen miopia yang ringan dan
berkembang sangat lambat. Biasanya tidak terjadi kelainan organik
dan dengan lensa koreksi yang sesuai bisa mencapai tajam
penglihatan normal. Berat kelainan refraksi yang terjadi biasanya
kurang dari -6D. Keadaan ini disebut juga dengan miopia fisiologi.
2. Miopia Patologis : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia
maligna atau miopia progresif. Keadaan ini dapat ditemukan pada
semua umur dan terjadi sejak lahir. Tanda-tanda miopia maligna
adalah adanya progresifitas kelainan fundus yang khas pada
pemeriksaan oftalmoskopik. Pada anak-anak diagnosis ini sudah
dapat dibuat jika terdapat peningkatan tingkat keparahan miopia
dengan waktu yang relatif pendek. Kelainan refrasi yang terdapat
pada miopia patologik biasanya melebihi -6 D (Ilyas, 2012).
Menurut David A.Goss miopia patologi adalah miopia tinggi yang
terkait dengan perubahan patologi terutama di segmen posterior
mata. Tingginya derajat miopia ini disebabkan peningkatan
panjang aksial bola mata.
Grosvenor mengklasifikasikan miopia berdasarkan umur menjadi :
1. Miopia kongenital, miopia yang terjadi sejak lahir dan menetap
pada masa kanak-kanak.
2. Miopia onset anak-anak, miopia yang terjadi saat usia 6 tahun
sampai 10 tahun.
3. Miopia onset dewasa muda, yaitu miopia yang terjadi antara usia
20 dan 40 tahun.
9

4. Miopia onset dewasa, yaitu miopia yang terjadi diatas usia 40


tahun.
Menurut American Optometric Association (2006), miopia secara
klinis dapat dibagi menjadi :
1. Miopia Simpleks : Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata
yang terlalu panjang atau indeks bias kornea maupun lensa yang
terlalu kuat.
2. Miopia Nokturnal : Miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi di
sekeliling kurang cahaya. Sebenarnya, fokus titik jauh mata
seseorang bervariasi terhadap tahap pencahayaan yang ada.
Penyebab miopia ini adalah pupil yang membuka terlalu lebar
untuk memasukkan lebih banyak cahaya, sehingga menimbulkan
aberasi dan menambah kondisi miopia.
3. Pseudomiopia : Diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan
terhadap mekanisme akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada
otot-otot siliaris yang memegang lensa. Di Indonesia, disebut
dengan miopia palsu, karena memang sifat miopia ini hanya
sementara sampai kekejangan akomodasinya dapat direlaksasikan.
Untuk kasus ini, tidak boleh terburu-buru memberikan lensa
koreksi.
4. Miopia Degeneretif : Disebut juga sebagai miopia degeneratif,
miopia maligna atau miopia progresif. Biasanya merupakan miopia
derajat tinggi dan tajam penglihatannya di bawah normal meskipun
telah mendapat koreksi. Miopia jenis ini bertambah buruk dari
waktu ke waktu.
5. Miopia Induksi : Miopia yang diakibatkan oleh pemakaian obatobatan, naik turunnya kadar gula darah, terjadinya sklerosis pada
nukleus lensa dan sebagainya.

2.1.1.3 Patofisiologi
Struktur refraktif mata yang paling penting dalam kemampuan refraktif
mata adalah kornea dan lensa. Permukaan kornea yang melengkung, struktur
10

pertama yang dilewati oleh sinar sewaktu sinar tersebut memasuki mata
berperan paling besar dalam kemampuan refraktif total mata karena perbedaan
dalam densitas pada pertemuan udara-kornea jauh lebih besar daripada
perbedaan dalam densitas antara lensa dan cairan disekitarnya. Kemampuan
refraktif kornea seseorang tidak pernah berubah. Sebaliknya, kemampuan
refraktif lensa dapat diubah-ubah dengan mengubah kelengkungannya sesuai
dengan kebutuhan untuk melihat dekat atau jauh (Sherwood, 2007).
Kemampuan menyesuaikan kekuatan lensa dikenal sebagai akomodasi.
Kekuatan lensa bergantung pada bentuknya, yang selanjutnya dikendalikan
oleh otot siliaris. Otot siliaris adalah suatu cincin melingkar otot polos yang
melekat pada lensa melalui ligamentum suspensorium. Pada mata normal, otot
siliaris melemas dan lensa menjadi gepeng untuk melihat jauh, tetapi saat
melihat dekat otot ini berkontraksi agar lensa menjadi lebih konveks dan lebih
kuat (Sherwood, 2007).
Pada miopia, karena bola mata terlalu panjang atau lensa terlalu kuat,
maka sumber cahaya dekat dibawa ke fokus di retina tanpa akomodasi
(meskipun akomodasi dalam keadaan normal digunakan untuk melihat benda
dekat), sementara sumber cahaya jauh terfokus di depan retina dan tampak
kabur ( Sherwood, 2007).
Pada aktivitas melihat dekat seperti saat membaca, menonton TV, dan
bermain video game yang terlalu lama dapat menyebabkan miopia melalui efek
fisik langsung secara terus menerus, hal ini disebabkan oleh mata terlalu lama
berakomodasi pada saat melihat dekat sehingga otot siliaris akan terus
berkontraksi yang menyebabkan tonus otot siliaris menjadi tinggi dan lensa
menjadi cembung (Medicinesia, 2013). Namun berdasarkan teori terbaru
aktivitas melihat dekat yang lama menyebabkan terbentuknya bayangan buram
di retina (retinal blur) yang terjadi selama fokus dekat. Bayangan buram ini
memulai proses biokimia pada retina untuk menstimulasi perubahan biokimia
dan struktural pada sklera dan koroid yang menyebabkan pemanjangan axis
bola mata (Fredrick, 2002).
11

Hal yang menginisiasi pemanjangan axis bola mata merupakan peran


neuromodulator seperti dopamin, serotonin, dan neuropeptida. Pelepasan
neuromodulator akan menyebabkan perubahan struktur sklera yang dimodulasi
oleh

pembentukan

proteoglikan.

Meningkatnya

jumlah

proteoglikan

menyebabkan peningkatan pertumbuhan panjang axis bola mata. Akibat dari


spasme otot siliaris, maka tidak diperlukan lagi akomodasi sewaktu melihat
dekat sehingga akan menurunkan pelepasan dari neuromodulator. Hal inilah
yang mengakibatkan pemanjangan axis bola mata (Troilo, Nickla dan Wallman,
2000).
Penelitian yang dilakukan di Inggris oleh Sorbsy dkk, menemukan bahwa
selama masa kanak-kanak terjadi peningkatan panjang bola mata dan
penurunan kekuatan indeks bias mata (Benjamin, 2006).

Gambar 1. Mata normal, bayangan jatuh tepat di retina


Sumber : IVO (Institute of Vision and Optics) Myopia, 2012.

12

Gambar 2. Mata penderita miopia, bayangan jatuh di depan retina.


Sumber : IVO (Institute of Vision and Optics) Myopia, 2012

2.1.1.4 Prevalensi
Insiden miopia dalam populasi sering bervariasi sesuai dengan usia, ras,
jenis kelamin, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan faktor lainnya. Di beberapa
daerah, seperti Cina, India dan Malaysia, memiliki prevalensi miopia sebesar
41% dari populasi orang dewasa. Sebuah penelitian terbaru di inggris yang
melibatkan mahasiswa tahun pertama menemukan bahwa 50% dari mahasiswa
inggris yang berkulit putih dan 53,4% mahasiswa British Asia menderita
miopia. Di Australia, prevalensi keseluruhan miopia telah diperkirakan 17%.
Dalam satu studi baru, kurang dari 8,4% anak-anak Australia antara usia 4 dan
12 ditemukan memiliki miopia lebih dari -0,5 dioptri. Prevalensi miopia telah
dilaporkan setinggi 70-90% di beberapa negara Asia, 30-40% di Eropa dan
Amerika Serikat, dan 10-20% di Afrika. Di Yunani, ditemukan 36,8% anak
yang berusia 15 sampai 18 tahun menderita miopia. (Medical News, 2012)
2.1.1.5 Tatalaksana

13

Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata


maupun lensa kontak sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman
penglihatan maksimal. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.0
memberikan tajam penglihatan 6/6, dan demikian juga bila diberi S-3.25 maka
sebaiknya diberikan lensa koreksi -3.0 agar memberikan istirahat mata dengan
baik sesudah dikoreksi (Ilyas, 2012).
Pengobatan miopia dengan menggunakan lensa kontak dari kaca atau
plastik dapat diletakkan di permukaan kornea. Lensa ini dipertahankan di
tempatnya oleh lapisam tipis air mata yang mengisi ruang antara lensa kontak
dan permukaan depan mata.
Sifat khusus lensa kontak dapat menghilangkan hampir semua pembiasan
yang terjadi di permukaan anterior kornea. Karena air mata mempunyai indeks
bias yang hampir sama dengan kornea menyebabkan permukaan anterior
kornea tidak lagi berperan penting sebagai bagian dari sistem optik mata.
Dengan demikian permukaan luar lensa kontaklah yang lebih berperan penting.
Jadi, pembiasan oleh permukaan lensa kontak ini menggantikan pembiasan
yang biasanya dilakukan oleh kornea. Hal ini penting tetutama pada kelainan
refraksi mata yang disebabkan oleh abnormalitas bentuk kornea, misalnya
bentuk kornea yang aneh dan menonjol yang disebut keratokonus (Guyton,
2008).
Ilmuwan Universitas New South Wales, Australia, menemukan lensa
kontak khusus yang dapat digunakan untuk menyembuhkan miopia.
Lensa khusus tersebut diberi nama lensa kontak Orthokeratology dan hanya
dikenakan pada waktu malam hari. Desain lensa kontak Orthokeratologi
dikenal dengan nama reverse geometri / reverse zone dimana fitting lensanya
adalah flat pada bagian tengahnya. Fitting ini bertujuan untuk menghasilkan
tekanan pada sentral kornea sehingga dapat membentuk kembali atau
meredistribusi lapisan kornea. Lensa kontak tersebut akan menghasilkan
perubahan pada kelengkungan kornea bagian anterior. Perubahan ini terjadi
karena adanya penipisan pada epitel sentral kornea dan penebalan pada storma
14

midpheriper. Ini akan menghasilkan pengurangan pada sagital kornea dan


terjadi pengurangan pada power miopia. Pada Orthokeratologi tidak terjadi
perubahan kelengkungan kornea posterior (Veronica, 2010).
Pengobatan miopia juga dapat menggunakan prosedur bedah yang
disebut dengan LASIK. LASIK merupakan prosedur bedah dengan
menggunakan sebuah laser untuk mengurangi ketebalan kornea, sehingga
cahaya jatuh tepat di retina (Vorvick et al, 2012).
2.1.1.6 Preventif
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pencegahan
terjadinya miopia seperti :
a. Saat membaca jarak buku minimal 30 sentimeter dari mata.
b. Hindari membaca atau menulis dalam kendaraan yang bergerak atau
sambil berbaring di tempat tidur.
c. Hindari bekerja terlalu lama di depan layar komputer dan gunakan
waktu 5 sampai 10 menit untuk beristirahat setelah 40 menit bekerja
di depan layar komputer.
d. Gunakan pencahayaan yang baik saat membaca jarak dekat.
Dianjurkan menggunakan lampu 40 sampai 60 watt lampu pijar di
sisi meja saat malam hari atau ketika berada diruangan yang gelap.
Lampu pijar mengeluarkan cahaya yang lembut dan memiliki
perkembangan warna yang baik untuk menjaga otot mata tetap rileks
dan mencegah kelelahan mata.
e. Nutrisi memiliki peranan penting untuk menjaga mata agar tetap
sehat. Rajinlah mengkonsumsi Vitamin A, C dan E dan perlu diingat
bahwa makanan seperti susu dan kuning telur, hati, sayuran berdaun
hijau dan wortel juga sehat untuk mata (Prmob, 2012).

2.1.2 Jarak melihat dekat.


2.1.2.1 Jarak sehat saat melihat dekat.

15

Saat menonton Televisi ada aturan-aturan yang harus ditaati agar tidak
menimbulkan efek yang tidak baik pada mata. Salah satunya adalah jarak
layar monitor Televisi ke mata harus mengikuti perhitungan standar yang
berlaku secara internasional. Rumus jarak layar Televisi ke mata penonton
adalah 5 kali diagonal layar.
Jika aturan jarak tersebut dilanggar maka kesehatan mata bisa terancam.
Terutama pada anak-anak, jarak menonton yang terlalu dekat dapat
menyebabkan terjadinya miopia.

Rumus menghitung jarak layar Televisi terhadap mata penonton :


Besar ukuran layar Televisi (inchi) x 5

berikut ini jarak aman menonton Televisi berdasarkan rumus tersebut dan
hanya terpaut dari ukuran layar televisi yang populer di Indonesia:
1. 14 inchi = 1,78 meter
2. 17 inchi = 2,16 meter
3. 20 inchi = 2,54 meter
4. 21 inchi = 2,67 meter
5. 29 inchi = 3,67 meter
6. 32 inchi = 4,07 meter
7. 50 inchi = 6,35 meter
16

Keterangan :
-

Diagonal layar adalah jarak ujung layar kiri atas ke ujung layar kanan
bawah.

Inchi (") adalah satuan jarak non standar internasional dimana 1 inch sama
dengan 0.0254 meter.

Untuk ukuran layar Televisi yang lain bisa dihitung dengan mengalikan
diagonal layar dengan 5 lalu dikali lagi 0,0254 (Godam, 2009).

Jarak dan posisi saat membaca sangat erat kaitannya dengan kesehatan
mata. Apabila terbiasa melihat dari jarak dekat (kurang dari 30 cm) secara terus
menerus, maka otot mata akan terus berkontraksi dan bekerja terus menerus,
sehingga akan menyebabkan lensa mata semakin cembung, dan akan
menyebabkan terjadinya miopia, atau mata tidak dapat melihat objek yang
jauh. Menurut Julie, jarak aman (dihitung dari mata ke objek yang dilihat)
untuk membaca minimum 30 cm atau lebih.
Ketajaman penglihatan yang menurun, selain disebabkan karena posisi
membaca atau menonton Televisi yang terlalu dekat, dapat diakibatkan karena
pencahayaan yang kurang. Hal ini bisa saja karena memang lampu yang redup
atau karena posisi pada saat membaca, misalnya sambil berbaring. Kebiasaan
membaca sambil berbaring, akan mengakibatkan mata bekerja lebih keras,
karena cahaya akan terhalang oleh buku atau kepala, sehingga mata kurang
mendapat pencahayaan yang cukup. Maka, posisi yang baik pada saat
membaca adalah duduk (Nestle, 2012).

2.1.2.2 Kelebihan dan Kekurangan Monitor CRT dan LCD


a) Chatode-ray tube (CRT)

17

Chatode-ray tube atau disingkat CRT merupakan perangkat yang


mengubah signal listrik menjadi signal optical melalui proses
penembakan electron (electron beam). CRT banyak dipakai sebagai
peralatan televisi, osiloskop, radar sistem dan lain sebagainya.
Pada monitor CRT radiasinya cukup besar dibanding dengan
monitor LCD sehingga cepat menimbulkan kelelahan mata.
b) Liquid Crystal Display (LCD)
Liquid

Crystal

Display

adalah

teknologi

display

yang

menggunakan sifat isotropic dari suatu bahan material organic


yang berbentuk liquid-crystal karena pengaruh medan listrik.
Setiap pixel dari suatu LCD terdiri dari lapisan liquid-crystal
yang diapit oleh 2 elektrode transparan (transparent electrodes)
yang terbuat dari Indium Tin Oxide (ITO) dan 2 filter polarisasi
(polarizing filter). Tanpa adanya liquid-crystal di lapisan tengah
makan 2 filter polarisasi akan saling menghalangi masuknya
cahaya

sehingga

tampak

sebagai

warna

hitam.

Dengan

mengalirkan listrik melalui kedua elektrode transparan akan


memberikan medan listrik pada liquid-crystal sehingga partikel
didalamnya akan mempolarisasi (memutar) gelombang cahaya
yang masuk dan dapat melalui filter polarisasi pada kedua lapisan
sehingga cahaya dapat menembus filter dan tampak warna yang
ada dilapisan akhir LCD. Pada monitor LCD radiasinya lebih kecil
dibanding dengan CRT sehingga tidak menyebabkan mata mudah
lelah dan lebih nyaman di mata (Bambang, 2011).
2.1.3 Durasi melihat jarak dekat
Waktu yang dihabiskan untuk menonton Televisi, membaca dan kegiatan
yang membutuhkan penglihatan jarak dekat sangat mempengaruhi kesehatan
mata. Saat membaca waktu yang dihabiskan sebaiknya tidak lebih dari satu
jam. Bila ingin lebih, harus diselingi istirahat minimal 15 menit sebelum
membaca kembali. Namun, waktu yang dihabiskan anak saat membaca sangat
18

bervariasi, bergantung 'jenis' matanya. Anak yang kemampuan otot-otot


fokusnya sangat kuat bisa membaca lebih dari 2 jam tanpa istirahat. Mereka
biasanya mampu membaca lebih lama tanpa ada tanda-tanda kelelahan mata
seperti pedih, atau mengedip-kedip mata. Disarankan setelah selesai membaca
pandangan dialihkan pada benda-benda berwarna hijau. Pengalihan ini
membantu lapisan dalam bola mata yang bertugas menangkap warna dan
cahaya hingga terbentuk zona rodopsin. Adanya zona ini akan mengaktifkan
pengikatan rodopsin (salah satu senyawa vitamin A) sekaligus membantu
metabolisme di retina (Melawai Optik, 2012).
2.1.4 Pencahayaan ruangan
Pencahayaan di ruangan adalah salah satu sumber cahaya yang menerangi
benda-benda diruangan. Pencahayaan dapat berasal dari cahaya alami dan
cahaya buatan. Selain itu pencahayaan yang memadai memberikan kesan
pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan.
Permasalahan pencahayaan meliputi kemampuan manusia untuk melihat
sesuatu. Pada aktivitas membaca, menulis, dan pekerjaan yang menggunakan
penglihatan dekat akan menyebabkan semakin tinggi kerja mata, oleh sebab itu
cahaya yang dibutuhkan lebih besar. Kualitas cahaya yang baik apabila cahaya
mampu menampilkan warna asli objek. Pada saat menonton TV atau melihat
layar komputer tingkat cahaya layar sangat berbeda dari tingkat cahaya di
lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu perlu disesuaikan tingkat cahaya layar
TV atau komputer yang berguna untuk menjaga kesehatan mata.
Menurut Prabu (2009), Untuk mendapatkan pencahayaan yang sesuai
dalam suatu ruang, maka diperlukan sistem pencahayaan yang tepat sesuai
dengan kebutuhannya. Sistem pencahayaan di ruangan dapat dibedakan
menjadi 5 macam yaitu:
A. Sistem Pencahayaan Langsung (direct lighting)
Pada sistem ini 90-100% cahaya diarahkan secara langsung ke benda
yang perlu diterangi. Sistem ini dinilai paling efektif dalam mengatur
19

pencahayaan, tetapi ada kelemahannya karena dapat menimbulkan bahaya serta


kesilauan yang mengganggu, baik karena penyinaran langsung maupun karena
pantulan cahaya. Untuk efek yang optimal, disarankan langi-langit, dinding
serta benda yang ada didalam ruangan perlu diberi warna cerah agar tampak
menyegarkan.
B. Pencahayaan Semi Langsung (semi direct lighting)
Pada sistem ini 60-90% cahaya diarahkan langsung pada benda yang
perlu diterangi, sedangkan sisanya dipantulkan ke langit-langit dan dinding.
Dengan sistem ini kelemahan sistem pencahayaan langsung dapat dikurangi.
Diketahui bahwa langit-langit dan dinding yang diplester putih memiliki
effiesien pemantulan 90%, sedangkan apabila dicat putih effisien pemantulan
antara 5-90%
C. Sistem Pencahayaan Difus (general diffus lighting)
Pada sistem ini setengah cahaya 40-60% diarahkan pada benda yang
perlu disinari, sedangkan sisanya dipantulkan ke langit-langit dan dindng.
Dalam

pencahayaan

sistem

ini

termasuk

sistem direct-indirect yakni

memancarkan setengah cahaya ke bawah dan sisanya keatas. Pada sistem ini
masalah bayangan dan kesilauan masih ditemui.
D. Sistem Pencahayaan Semi Tidak Langsung (semi indirect lighting)
Pada sistem ini 60-90% cahaya diarahkan ke langit-langit dan dinding
bagian atas, sedangkan sisanya diarahkan ke bagian bawah. Untuk hasil yang
optimal disarankan langit-langit perlu diberikan perhatian serta dirawat dengan
baik. Pada sistem ini masalah bayangan praktis tidak ada serta kesilauan dapat
dikurangi.
E. Sistem Pencahayaan Tidak Langsung (indirect lighting)
Pada sistem ini 90-100% cahaya diarahkan ke langit-langit dan dinding
bagian atas kemudian dipantulkan untuk menerangi seluruh ruangan. Agar
seluruh langit-langit dapat menjadi sumber cahaya, perlu diberikan perhatian
20

dan pemeliharaan yang baik. Keuntungan sistem ini adalah tidak menimbulkan
bayangan dan kesilauan sedangkan kerugiannya mengurangi effisien cahaya
total yang jatuh pada permukaan kerja.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional deskriptif dengan
rancangan penelitian serial kasus.
3.2 Waktu dan tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Palembang yang berlangsung selama bulan
Juli 2015.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita miopia yang menggunakan
kacamata dengan lensa spheris negatif.
3.3.2 Sampel
21

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah penderita miopia yang
menggunakan kacamata dengan lensa spheris negatif. Penetapan sampel pada
penelitian ini dengan menggunakan metode multistage consecutive sampling.
Perhitungan jumlah sampel adalah sebagai berikut:
n = Z2 p (1-p)
d2
n = (1,96)2 x 0,045 x 0,955
(0,05)2
n=

3,8416 x 0,045 x 0,455


0,0025

n = 66,03
Keterangan :
n

= Jumlah sampel minimal yang diperlukan = derajat kepercayaan

= Proporsi pengguna kacamata spheris negatif

1-p

= Proporsi non pengguna kacamata spheris negatif

= Limit dari error atau presisi absolut

3.3.3 Kriteria Inklusi


- Penderita miopia dan menggunakan kacamata dengan lensa spheris negatif
- Penderita yang memiliki kartu ukuran lensa dari optik.
- Bersedia mengisi kuesioner yang telah disediakan.
3.3.4 Kriteria eksklusi
Kelainan refraksi selain miopia seperti hipermetropi atau strabismus.
3.4 Variabel penelitian
Berikut beberapa variabel dalam penelitian ini :
1. Usia
2. Jenis kelamin
22

3. Faktor herediter
4. Perilaku
Aktivitas melihat dekat
Durasi membaca
Jarak membaca
Durasi menggunakan komputer/laptop
Pencahayaan saat membaca
3.4 Definisi Operasional
No.
1

Kriteria
Usia

Jenis kelamin

Faktor herediter

Alat Ukur
Data

Cara Ukur
Data

kuisioner

kuisioner

Data

Data

kuisioner

kuisioner

Data

Data

kuisioner

kuisioner

a.
b.
c.
d.

Hasil Ukur
2tahun
3-6 tahun
7-21 tahun
22 tahun

a. Laki-laki
b. Perempuan

a. Ayah menderita Miopia


b. Ibu menderita myopia
c. Ayah dan ibu menderita
miopia

23

Perilaku
- Aktivitas

Data

Data

kuisioner

kuisioner

melihat dekat

a. <30 cm
b. >30 cm

- Durasi
membaca

a. <1 jam
b. 1-2 jam

- Jarak

c. >3 jam

membaca
- Durasi
menggunakan
laptop
- Pencahayaan
saat membaca

a. <30 cm
b. >30 cm
a. <1 jam
b. 1-2 jam
c. >3 jam
a. Baik
b. Cukup
c. Kurang

3.6 Cara pengumpulan data


Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan metode survei
yaitu dengan menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari responden.
Peneliti menggunakan kuesioner yang merupakan suatu teknik pengumpulan data
dan informasi dengan membuat daftar pertanyaan yang diajukan kepada
responden.
3.7 Cara Pengolahan dan Analisis Data
Data-data yang dikumpulkan akan diolah dan disajikan secara deskriptif
dalam bentuk tabel frekuensi, dan persentase yang disertai kalimat-kalimat narasi
untuk memperjelas.
24

25

3.8

Kerangka Operasional
Penentuan populasi
Seluruh seluruh penderita miopia yang
menggunakan kacamata dengan lensa spheris
negatif.

Penentuan sampel
Penderita miopia yang menggunakan kacamata
dengan lensa spheris negatif yang memenuhi
kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

Pengumpulan data
Menggunakan kuesioner

Pengolahan data
Data-data yang dikumpulkan akan diolah dan
disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel
frekuensi, dan persentase

Hasil

BAB IV
26

HASIL DAN PEMBAHASAN


Subjek penelitian pada penelitian ini adalah 66 orang yang telah
terdiagnosis miopia dan menggunakan kacamata dengan lensa spheris negatif.
Subjek penelitian terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan usia bervariasi
dengan usia terendah 18 tahun dan usia tertinggi 53 tahun. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Juli 2015.
4.1. Distribusi Subjek Penelitan Berdasarkan Usia
Dalam penelitian ini, sampel penelitian dibagi menjadi 5 kelompok
usia. Kelompok usia 15-24 tahun merupakan kelompok usia dengan frekuensi
tertinggi (83,3%), diikuti oleh kelompok usia 25-34 tahun (9,1%), kelompok
usia 35-44 tahun dan kelompok usia 45-54 tahun yang memiliki frekuensi
yang sama (3,03%), dan frekuensi yang yang paling rendah pada kelompok
usia 6-14 tahun (1,51%). Distribusi frekuensi berdasarkan usia dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Kelompok Umur

Jumlah

Persentase (%)

6-14 tahun

1.5

15-24 tahun

55

83.3

25-34 tahun

9.1

35-44 tahun

45-54 tahun

Total

66

100

4.2. Distribusi Subjek Penelitan Berdasarkan Jenis Kelamin

27

Pada penelitian ini, didapatkan jumlah penderita miopia berjenis


kelamin

perempuan lebih banyak dari laki-laki, yakni 44 perempuan

(66,67%) dan 22 laki-laki (33,33%). Perbandingan frekuensi antara


perempuan dan laki-laki mendekati 1:2. Distribusi frekuensi penderita miopia
berdasarkan jenis kelamin dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin

Jumlah

Persentase (%)

Laki-laki

22

33.3

Perempuan

44

66.7

Total

66

100

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fachrian dkk (2009), tidak ada


hubungan bermakna antara

jenis kelamin responden dengan kejadian

kelainan tajam penglihatan (p=0,927). Hasil penelitian didapatkan bahwa


persentase kejadian kelainan tajam penglihatan lebih banyak pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki (perempuan 53,2% dan laki-laki 46,8%). Hal
ini sesuai dengan pernyataan Supartoto bahwa penderita kelainan tajam
penglihatan pada anak perempuan lebih besar daripada laki-laki dengan angka
perbandingan 1,4 : 1 Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan di Brazil tahun 2006 oleh Onuki Haddad dkk,
dimana prevalensi kelainan tajam penglihatan pada anak laki-laki lebih besar
(51%) dibandingkan anak perempuan (49%). Perbedaan kedua hasil ini dapat
disebabkan oleh perbedaan ras dimana ras kaukasiod yang diwakili oleh
Amerika Serikat lebih tinggi (43%) daripada ras melanesoid (37,8%);
perbedaan budaya yang mempengaruhi kebiasaan dan aktivitas sehari-hari;
perbedaan lingkungan serta status gizi.
4.3. Distribusi Subjek Penelitan Berdasarkan Pemakaian Kacamata Pada
Orang Tua
28

Berdasarkan hasil penelitian, pada penderita miopia memiliki ayah dan


ibu yang memakai kacamata (45.5%) sedangkan paling sedikit penderita
miopia dengan orang tua yang tidak memakai kacamata (16.7%). Hasil
penelitian dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Pemakaian Kacamata
pada Orang tua
Kriteria

Jumlah

Persentase (%)

Kedua orang tua tidak

11

16.7

Ayah memakai kacamata

13

19.7

Ibu memakai kacamata

12

18.2

Ayah dan ibu memakai

30

45.5

66

100

memakai kacamata

kacamata
Total

Beberapa penelitian menunjukkan faktor resiko keturunan adalah faktor


terpenting yang menyebabkan miopia. Orang tua yang miopia cenderung
memiliki anak miopia. Penelitian Goss menyebutkan, prevalensi miopia 3360% pada anak dengan kedua orangtua miopia, pada anak yang memiliki
salah satu orang tua miopia prevalensinya 23-40%, dan hanya 615% anak
mengalami miopia yang tidak memiliki orang tua myopia (Goss, 2006).
Sesuai dengan hasil penelitian tersebut, ada faktor keturunan yang
mendasari seseorang mengalami miopia, dan hal ini cenderung mengikuti
pola dose respons pattern. Penelitian secara genetik juga pernah dilakukan
untuk mengidentifikasi lokus genetik yang berhubungan dengan kejadian
miopia,

terutama

miopia

ekstrim.

Penelitian

secara

genetik,

telah

mengindentifikasi lokus gen untuk miopia (2q, 4q, 7q, 12q, 15q,17q, 18p,
22q, dan Xq), dan gen 7p15, 7q36, dan 22q11 dilaporkan ikut mengatur
kejadian myopia (Alexander, 2011). Dari penelitian lain juga didapatkan
29

bahwa orang yang mempunyai polimorfisme gen PAX6 akan mengalami


myopia yang ekstrim sedangkan orang yang tidak mempunyai gen ini hanya
mengalami myopia tinggi (6-10 D) dengan sampel mahasiswa kedokteran
tahun pertama di Universitas Kedokteran Chung Shan, Taiwan. Penelitian di
Australia terhadap anak kembar yang mengalami myopia juga menunjukan
50% faktor genetic mempengaruhi pemanjangan aksis bola mata (Dirani, dkk
2008). Penelitian lain juga menemukan 7q36 berhubungan dengan kejadian
miopia berat (> - 6D) (Klein, dkk. 2011). Hal ini membuktikan bahwa riwayat
miopia di keluarga merupakan faktor resiko yang penting dalam kejadian
miopia.
4.4. Distribusi Subjek Penelitan Berdasarkan Lama Penggunaan Kacamata
Pada penelitian yang telah dilakukan, responden kebanyakan telah
memakai kacamata lebih dari 5 tahun, yaitu sebanyak 46 orang (69.7%).
Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut.
Tabel 4. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Monitor yang
digunakan
Lama Penggunaan Kacamata

Jumlah

Persentase (%)

< 1 tahun

4.5

1-5 tahun

17

25.8

>5 tahun

46

69.7

Total

66

100

4.5. Distribusi Subjek Penelitan Berdasarkan Jenis Monitor yang digunakan


Dari hasil penelitian didapatkan jumlah penderita miopia terbanyak
adalah menggunakan jenis monitor LCD (92.4%) pada saat melihat dekat,
dan yang paling sedikit menggunakan monitor CRT (7.6%) pada saat melihat
dekat. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2 distribusi penderita miopia
30

berdasarkan jenis monitor yang digunakan saat menggunakan laptop atau


komputer.
Tabel 5. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Monitor yang
digunakan
Jenis Monitor

Jumlah

Persentase (%)

LCD

61

92.4

CRT

7.6

Total

66

100

Komputer pada awalnya menggunakan jenis Cathode Ray Tube (CRT)


yang lebih banyak dikenal sebagai layar cembung. Monitor jenis ini terdiri
dari titik-titik kecil (pixels) yang membuat mata sulit untuk fokus. Titik-titik
tersebut juga harus dilakuan rechargeyang menimbulkan suatu flicker yang
akan membuat otot mata berulang kali mengatur dan memfokuskan
penglihatan. Oleh karena efek yang dapat menimbulkan kelelahan mata
tersebut, komputer jenis ini sudah jarang digunakan. Sebagai gantinya
digunakan komputer layar datar atau menggunakan Liquid Crystal Display
(LCD). Komputer jenis ini sudah tidak ada flicker pada monitor sehingga
dapat meminimalisasi kelelahan mata. Selain itu juga tidak ada lagi efek halo
sehingga dapat mengurangi pantulan cahaya, tidak memancarkan radiasi, dan
oleh karena bentuknya yang datar maka pantulan cahaya dari luar lebih
sedikit (Firdaus, 2013).
4.6. Distribusi Subjek Penelitan Berdasarkan Hobi
Berdasarkan hasil penelitian, didapati 47 orang dari seluruh sampel
hobi membaca (71,2%), dan 19 orang tidak hobi membaca (28,8%). 53 orang
dari seluruh sampel menyatakan hobi menonton (80,3%), sementara 13 orang
sisanya tidak senang menonton (19,7%). Saat ditanya mengenai hobi bermain
video game, 35 orang dari seluruh sampel menyatakan tidak hobi bermain
31

video game (53,0%), sementara 31 orang sisanya hobi bermain video game
(47,0%). Hasil penelitian berdasarkan hobi dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Hobi


Hobi

Jumlah

Persentase (%)

Ya

19

28.79

Tidak

47

71.21

Ya

13

19.7

Tidak

53

80.3

Ya

35

53.0

Tidak

31

47.0

66

100

Membaca

Menonton

Bermain Video Game

Total

Faktor gaya hidup yaitu aktivitas melihat dekat yang terlalu banyak,
seperti membaca buku, melihat layar komputer, bermain video game,
menonton televisi, dapat menyebabkan lemahnya otot siliaris mata sehingga
mengakibatkan ganguan otot untuk melihat jauh. Daerah perkotaan yang
padat juga mengakibatkan sempitnya ruang bermain sehingga anak cenderung
melakukan aktivitas bermain di dalam ruangan yang jarang menggunakan
penglihatan jauh. Faktor gaya hidup ini didukung tingginya akses terhadap
32

media akivitas visual. Pada penelitian ini, aktivitas melihat dekat dan lama
yang paling banyak dilakukan adalah menonton televisi. Tingginya akses
terhadap media visual ini apabila tidak diimbangi dengan pengawasan waktu
dan jarak menonton anak oleh orang tua dapat meningkatkan kelainan tajam
penglihatan. Menurut sebuah penelitian menonton televisi lebih dari 2 jam
sehari dengan jarak 2 meter dapat meningkatkan resiko terjadinya kelainan
tajam penglihatan.
4.6. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Lamanya Aktivitas Melihat
Dekat
Dari hasil penelitian waktu minimum yang di habiskan responden
dalam melakukan aktivitas melihat dekat adalah 2 jam, dan waktu maximum
yang dihabiskan responden dalam melakukan aktivitas melihat dekat adalah
15 jam selama sehari.
Sebanyak 18,8% responden menghabiskan waktu sebanyak 4 jam
dalam melakukan aktivitas melihat dekat, menyusul para responden yang
menghabiskan waktu sebanyak 6, 7, dan 8 jam yang masing-masing sebanyak
12,12%. Responden yang menghabiskan waktu sebanyak 3 dan 5 jam
masing-masing sebanyak 9,09%. Responden yang menghabiskan waktu
sebanyak 2, 9, 11, dan 15 jam dalam melakukan aktivitas melihat dekat
masing-masing sebanyak 4,55%, responden yang menghabiskan waktu
sebanyak 10 dan 12 jam masing-masing sebanyak 3,03% dan selama 13 dan
14 jam masing-masing sebanyak 1, 52%.
Distribusi penderita Miopia berdasarkan lamanya aktivitas melihat
dekat dapat dilihat pada grafik 1.
Grafik 1. Distribusi penderita Miopia berdasarkan lamanya aktivitas
melihat dekat

33

4.10 Faktor Genetik dan Faktor-Faktor lainnya

34

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Kelompok usia 15-24 tahun merupakan kelompok usia dengan frekuensi
tertinggi (83,3%).
2. Jumlah penderita miopia berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari
laki-laki (66,67%).
3. Subjek penelitian kedua orang tua yang memakai kacamata paling banyak
(45.5%).
4. Subjek penelitian kebanyakan telah memakai kacamata lebih dari 5 tahun
(69.7%).
5. Jumlah penderita miopia terbanyak menggunakan jenis monitor LCD
(92.4%) pada saat melihat dekat.
6. Subjek penelitian memiliki hobi membaca (71,2%), menonton (80,3%),
dan bermain video game (47,0%).
7. Sebanyak 18,8% responden menghabiskan waktu sebanyak 4 jam dalam
melakukan aktivitas melihat dekat

5.2. Saran
1. Bagi Responden
Agar mengurangi lamanya kegiatan menggunakan penglihatan dekat

seperti membaca, menonton televisi dan bermain video game.


Atur jarak mata dengan monitor Televisi ketika menonton dan saat
bermain video game dengan menghitung jarak yang aman untuk

mata yaitu besar layar monitor dalam inc dikali lima.


Saat membaca gunakan jarak yang baik yaitu lebih dari 30 cm dari
mata dan hindari posisi berbaring saat menonton TV, bermain video
game, dan saat membaca.

35

Hindari aktivitas terlalu lama di depan layar monitor seperti TV


maupun video game dan gunakan waktu 5 sampai 10 menit untuk

beristirahat setelah 40 menit beraktivitas di depan layar monitor.


Dalam melakukan aktivitas melihat dekat seperti membaca,
menonton TV dan bermain video game usahakan tidak lebih dari 4-6
jam sehari untuk menghindari risiko miopia.

2. Bagi Akademik
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai berbagai faktor risiko

terhadap kejadian miopia.


Diperlukan pembahasan mengenai pencahayaan yang digunakan saat

melakukan aktivitas melihat dekat.


Data mengenai besar dioptri sebaiknya diperoleh dari pemeriksaan

langsung.
Diperlukan jumlah sampel yang lebih banyak untuk lebih mewakili

semua populasi
Publikasi penelitian ini perlu dilakukan untuk meningkatkan
kesadaran para anak agar lebih menjaga mata tidak terkena miopia.

36

Anda mungkin juga menyukai