#Miopia Almost Fix
#Miopia Almost Fix
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penglihatan merupakan indera yang sangat penting dalam menentukan
kualitas hidup manusia. Indera penglihatan yang dimaksud adalah mata. Tanpa
mata, manusia mungkin tidak dapat melihat sama sekali apa yang ada
disekitarnya.
Miopia merupakan suatu gangguan tajam penglihatan, di mana sinarsinar sejajar dengan garis pandang tanpa akomodasi akan dibiaskan di depan
retina. Miopia merupakan salah satu kelainan refraksi yang memiliki
prevalensi tinggi di dunia. Kelainan refraksi jenis ini merupakan jenis kelainan
mata yang menyebabkan penderitanya tidak dapat melihat benda dari jarak
jauh dengan baik (Linda J. dan Vorvick, 2012).
Pelajar merupakan salah satu subyek yang mempunyai prevalensi tinggi
menderita miopia, hal ini dikarenakan meningkatnya aktivitas penggunaan
monitor yang lebih tinggi dibandingkan dengan profesi lain. Penggunaan
monitor secara terus menerus dapat menyebabkan gangguan penglihatan
termasuk miopia. Karena adanya peningkatan daya akomodasi mata, mata
miopia sulit untuk disembuhkan serta cenderung bertambah parah, sehingga
diperlukan pencegahan terhadap terjadinya miopia (Ilyas, 2012).
Menurut WHO (2012) umumnya penyebab utama kebutaan di dunia
karenakan oleh kelainan refraksi yang tidak dikoreksi, 43% berasal dari
miopia, 33% katarak dan 2% glaukoma. Diperkirakan terdapat 19 juta kasus
kebutaan pada anak dan 12juta diantaranya disebabkan oleh kelainan refraksi.
Faktor risiko yang paling nyata adalah berhubungan dengan aktivitas jarak
dekat, seperti membaca, menulis, menggunakan komputer dan bermain video
game.
Selain aktivitas, miopia juga berhubungan dengan genetik. Anak
dengan orang tua yang miopia cenderung mengalami miopia. Prevalensi
miopia pada anak dengan kedua orang tua miopia adalah 32,9%, sedangkan
18,2% pada anak dengan salah satu orang tua yang miopia dan kurang dari
6,3% pada anak dengan orang tua tanpa miopia.
1
dengan kejadian miopia. Oleh sebab itu hubungan antara tinggi badan dengan
kejadian miopia masih belum dapat dipastikan (Jung, et al. 2012).
Miopia pada anak-anak akan berefek terhadap karir, sosial ekonomi,
pendidikan bahkan juga terhadap tingkat kecerdasan. Seiring dengan
perjalanan penyakit ini, semakin bertambah miopia pada anak juga akan
meningkatkan berbagai resiko komplikasi kebutaan, seperti glaukoma dan
ablasio retina (Tiharjo dkk, 2008).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013,menunjukkan
bahwa terdapat kecenderungan, makin tinggi tingkat pendidikan formal dan
kuintil indeks kepemilikan penduduk, maka makin tinggi pula proporsi
penduduk yang memiliki kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh.
Keadaan tersebut dapat berkaitan dengan kebutuhan penduduk akan tajam
penglihatan optimal yang makin besar sesuai dengan prioritas subjektif
penduduk dalam memenuhi kebutuhan sosial sehari-hari mereka. Diasumsikan
bahwa penduduk dengan tingkat pendidikan formal atau kuintil indeks
kepemilikan lebih tinggi, cenderung memilih jenis pekerjaan formal, seperti
menjadi pegawai/karyawan, sehingga butuh visus maksimal untuk melihat
jauh sesuai jenis dan aktivitas utama pekerjaan formalnya (Rif'ati, L., et all,
2013).
Data dari hasil Riskesdas juga menunjukkan angka proporsi
ketersediaan koreksi refraksi (penggunaan kacamata/lensa kontak) pada
penduduk berusia >6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal di Indonesia adalah
4,6 % dengan angka tertinggi ditemukan di DKI Jakarta (11,9% dari seluruh
Indonesia). Dari hasil Riskesdas ini pula didapati angka proporsi ketersediaan
koreksi refraksi di Sumatera Selatan adalah 4,5% dibanding seluruh Indonesia.
Di Indonesia masih sedikit sekali penelitian yang menunjukkan
besarnya pengaruh aktivitas melihat dekat (nearwork), faktor genetik, dan
postur tubuh yang merupakan suatu faktor risiko terjadinya miopia. Oleh
sebab itu dilakukan penelitian mengenai angka kajadian dan faktor risiko
miopia di kota Palembang yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana faktor
resiko miopia pada pelajar pesantren Palembang dan selain itu penelitian ini
juga bertujuan untuk mendeskripsikan diantara kegiatan membaca, menonton
televisi dan bermain video game, kegiatan apa yang paling berperan terhadap
3
kejadian miopia, serta mengetahui jarak melihat dan lama melihat yang sehat
terhadap mata dengan harapan data yang diperoleh nantinya bisa menjadi
upaya pencegahan terhadap kejadian miopia.
dekat?
Bagaimana distribusi miopia berdasarkan jenis monitor yang digunakan?
Bagaimana distribusi miopia berdasarkan lama menggunakan kacamata?
Bagaimana distribusi miopia berdasarkan faktor keturunan?
Bagaimana distribusi miopia berdasarkan jarak mata saat menonton tv?
Bagaimana distribusi miopia berdasarkan jarak mata saat bermain video
game?
9. Bagaimana distribusi miopia berdasarkan jarak mata saat membaca?
10. Bagaimana hubungan faktor genetik dengan faktor-faktor miopia
lainnya?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Mendeskripsikan faktor risiko terhadap terjadinya miopia di kota
Palembang sehingga dapat digunakan sebagai tindakan preventif dan
mengurangi dampak negatif dari miopia pada anak
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mendeskripsikan kejadian miopia berdasarkan umur.
2. Mendeskripsikan kejadian miopia berdasarkan jenis kelamin.
3. Mendeskripisikan kejadian miopia berdasarkan lamanya aktivitas
melihat dekat.
4. Mendeskripsikan kejadian miopia berdasarkan jenis monitor yang
digunakan.
5. Mendeskripsikan kejadian miopia berdasarkan lama menggunakan
kacamata.
6. Mendeskripsikan kejadian miopia berdasarkan faktor keturunan.
4
Manfaat praktis
1. Memberi informasi kepada masyarakat mengenai dan faktor risiko
miopia.
2. Memberi informasi kepada masyarakat mengenai besarnya pengaruh
aktivitas melihat dekat (nearwork), sebagai faktor risiko terhadap
kesehatan mata.
3. Memberi informasi mengenai durasi dan jarak aktivitas melihat dekat
(nearwork) yang berpengaruh terhadap terjadinya miopia pada anak
sehingga dapat dijadikan sebagai upaya pencegahan terjadinya miopia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
kecenderungan anaknya 40% akan menderita miopia, dan anak yang salah
satu orang tuanya menderita miopia memiliki risiko 20-25% menderita
miopia, sedangkan anak yang kedua orang tuanya tidak menderita miopia
hanya memiliki risiko 10% menderita miopia (Rebekah, 2005).
b. Stres penglihatan
Selain faktor herediter, miopia sangat dipengaruhi terhadap bagaimana
cara seseorang menggunakan matanya. Seseorang yang menghabiskan
terlalu banyak waktu untuk membaca, menonton Televisi dan melakukan
pekerjaan dengan menggunakan penglihatan dekat cenderung mengalami
miopia (American Optometric Assosiation, 2013).
c. Aktivitas melihat dekat yang terlalu lama.
Anak yang melakukan aktivitas melihat dekat seperti membaca yang
terlalu lama >30 menit cenderung mengalami miopia dari pada anak yang
membaca <30 menit. Anak yang membaca dengan jarak <30cm cenderung
mengalami miopia 2,5 kali dari anak yang membaca dengan jarak >30cm
(Pan, Ramhamurty, dan Saw, 2011).
Singapore Cohort Study of the risk factors for myopia (SCORM)
menemukan bahwa anak-anak yang membaca > 2 buku per minggu 3 kali
lebih mungkin menderita miopia dibandingkan dengan yang membaca
<2 buku per minggu. Anak-anak yang membaca selama > 2 jam 1,5 kali
lebih mungkin untuk menderita miopia dibandingkan dengan yang
membaca <2 jam, namun hal ini tidak signifikan. Setiap buku yang dibaca
per minggu, dikaitkan dengan pemanjangan aksial bola mata dari 0,04mm.
Anak-anak yang membaca lebih dari dua buku per minggu memiliki
Panjang aksial 0,17mm lebih panjang dibandingkan dengan anak-anak
yang membaca dua buku atau lebih sedikit per minggu (Pan, Ramhamurty,
dan Saw, 2011).
d. Pada beberapa penelitian yang dilakukan di Cina, tinggi badan memiliki
pengaruh terhadap kejadian miopia, khususnya pada orang dewasa.
Penelitian lain melaporkan bahwa terdapat hubungan tinggi badan dengan
kelainan refraksi diantara anak laki-laki Cina, namun tidak ditemukannya
hubungan yang bermakna pada anak perempuan Cina. Sedangkan pada
7
penelitian yang dilakukan pada anak laki-laki yang berusia 17-19 tahun di
Israel menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
tinggi badan dengan kejadian miopia. Oleh sebab itu hubungan antara
tinggi badan dengan kejadian miopia belum dapat dipastikan.
Penelitian terakhir yang menunjukkan hubungan antara tinggi badan
dengan kejadian miopia dilakukan oleh Jung dkk dan menyimpulkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara tinggi badan dengan kejadian
miopia (Jung, et al. 2012).
2.1.1.2 Klasifikasi
Menurut ciri anatomisnya miopia dibagi menjadi :
a. Miopia refraktif, dimana bertambahnya indeks bias media penglihatan
seperti yang terjadi pada katarak intumensen dimana lensa menjadi lebih
cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau
miopia indeks, miopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan
kornea dan lensa yang terlalu kuat.
b. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal. (Ilyas, 2012)
Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam :
a. Miopia ringan, dimana miopia kecil dari pada 1-3 dioptri.
b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri.
c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri.
Menurut perjalanan penyakitnya miopia dikenal dalam bentuk :
a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa
b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa
akibat bertambah panjangnya bola mata
c. Miopia maligna, miopia berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan
ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan Miopia pernisiosa =
miopia maligna = miopia degeneratif. Miopia degeneratif atau miopia
maligna biasanya bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan pada
fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk
stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai
8
2.1.1.3 Patofisiologi
Struktur refraktif mata yang paling penting dalam kemampuan refraktif
mata adalah kornea dan lensa. Permukaan kornea yang melengkung, struktur
10
pertama yang dilewati oleh sinar sewaktu sinar tersebut memasuki mata
berperan paling besar dalam kemampuan refraktif total mata karena perbedaan
dalam densitas pada pertemuan udara-kornea jauh lebih besar daripada
perbedaan dalam densitas antara lensa dan cairan disekitarnya. Kemampuan
refraktif kornea seseorang tidak pernah berubah. Sebaliknya, kemampuan
refraktif lensa dapat diubah-ubah dengan mengubah kelengkungannya sesuai
dengan kebutuhan untuk melihat dekat atau jauh (Sherwood, 2007).
Kemampuan menyesuaikan kekuatan lensa dikenal sebagai akomodasi.
Kekuatan lensa bergantung pada bentuknya, yang selanjutnya dikendalikan
oleh otot siliaris. Otot siliaris adalah suatu cincin melingkar otot polos yang
melekat pada lensa melalui ligamentum suspensorium. Pada mata normal, otot
siliaris melemas dan lensa menjadi gepeng untuk melihat jauh, tetapi saat
melihat dekat otot ini berkontraksi agar lensa menjadi lebih konveks dan lebih
kuat (Sherwood, 2007).
Pada miopia, karena bola mata terlalu panjang atau lensa terlalu kuat,
maka sumber cahaya dekat dibawa ke fokus di retina tanpa akomodasi
(meskipun akomodasi dalam keadaan normal digunakan untuk melihat benda
dekat), sementara sumber cahaya jauh terfokus di depan retina dan tampak
kabur ( Sherwood, 2007).
Pada aktivitas melihat dekat seperti saat membaca, menonton TV, dan
bermain video game yang terlalu lama dapat menyebabkan miopia melalui efek
fisik langsung secara terus menerus, hal ini disebabkan oleh mata terlalu lama
berakomodasi pada saat melihat dekat sehingga otot siliaris akan terus
berkontraksi yang menyebabkan tonus otot siliaris menjadi tinggi dan lensa
menjadi cembung (Medicinesia, 2013). Namun berdasarkan teori terbaru
aktivitas melihat dekat yang lama menyebabkan terbentuknya bayangan buram
di retina (retinal blur) yang terjadi selama fokus dekat. Bayangan buram ini
memulai proses biokimia pada retina untuk menstimulasi perubahan biokimia
dan struktural pada sklera dan koroid yang menyebabkan pemanjangan axis
bola mata (Fredrick, 2002).
11
pembentukan
proteoglikan.
Meningkatnya
jumlah
proteoglikan
12
2.1.1.4 Prevalensi
Insiden miopia dalam populasi sering bervariasi sesuai dengan usia, ras,
jenis kelamin, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan faktor lainnya. Di beberapa
daerah, seperti Cina, India dan Malaysia, memiliki prevalensi miopia sebesar
41% dari populasi orang dewasa. Sebuah penelitian terbaru di inggris yang
melibatkan mahasiswa tahun pertama menemukan bahwa 50% dari mahasiswa
inggris yang berkulit putih dan 53,4% mahasiswa British Asia menderita
miopia. Di Australia, prevalensi keseluruhan miopia telah diperkirakan 17%.
Dalam satu studi baru, kurang dari 8,4% anak-anak Australia antara usia 4 dan
12 ditemukan memiliki miopia lebih dari -0,5 dioptri. Prevalensi miopia telah
dilaporkan setinggi 70-90% di beberapa negara Asia, 30-40% di Eropa dan
Amerika Serikat, dan 10-20% di Afrika. Di Yunani, ditemukan 36,8% anak
yang berusia 15 sampai 18 tahun menderita miopia. (Medical News, 2012)
2.1.1.5 Tatalaksana
13
15
Saat menonton Televisi ada aturan-aturan yang harus ditaati agar tidak
menimbulkan efek yang tidak baik pada mata. Salah satunya adalah jarak
layar monitor Televisi ke mata harus mengikuti perhitungan standar yang
berlaku secara internasional. Rumus jarak layar Televisi ke mata penonton
adalah 5 kali diagonal layar.
Jika aturan jarak tersebut dilanggar maka kesehatan mata bisa terancam.
Terutama pada anak-anak, jarak menonton yang terlalu dekat dapat
menyebabkan terjadinya miopia.
berikut ini jarak aman menonton Televisi berdasarkan rumus tersebut dan
hanya terpaut dari ukuran layar televisi yang populer di Indonesia:
1. 14 inchi = 1,78 meter
2. 17 inchi = 2,16 meter
3. 20 inchi = 2,54 meter
4. 21 inchi = 2,67 meter
5. 29 inchi = 3,67 meter
6. 32 inchi = 4,07 meter
7. 50 inchi = 6,35 meter
16
Keterangan :
-
Diagonal layar adalah jarak ujung layar kiri atas ke ujung layar kanan
bawah.
Inchi (") adalah satuan jarak non standar internasional dimana 1 inch sama
dengan 0.0254 meter.
Untuk ukuran layar Televisi yang lain bisa dihitung dengan mengalikan
diagonal layar dengan 5 lalu dikali lagi 0,0254 (Godam, 2009).
Jarak dan posisi saat membaca sangat erat kaitannya dengan kesehatan
mata. Apabila terbiasa melihat dari jarak dekat (kurang dari 30 cm) secara terus
menerus, maka otot mata akan terus berkontraksi dan bekerja terus menerus,
sehingga akan menyebabkan lensa mata semakin cembung, dan akan
menyebabkan terjadinya miopia, atau mata tidak dapat melihat objek yang
jauh. Menurut Julie, jarak aman (dihitung dari mata ke objek yang dilihat)
untuk membaca minimum 30 cm atau lebih.
Ketajaman penglihatan yang menurun, selain disebabkan karena posisi
membaca atau menonton Televisi yang terlalu dekat, dapat diakibatkan karena
pencahayaan yang kurang. Hal ini bisa saja karena memang lampu yang redup
atau karena posisi pada saat membaca, misalnya sambil berbaring. Kebiasaan
membaca sambil berbaring, akan mengakibatkan mata bekerja lebih keras,
karena cahaya akan terhalang oleh buku atau kepala, sehingga mata kurang
mendapat pencahayaan yang cukup. Maka, posisi yang baik pada saat
membaca adalah duduk (Nestle, 2012).
17
Crystal
Display
adalah
teknologi
display
yang
sehingga
tampak
sebagai
warna
hitam.
Dengan
pencahayaan
sistem
ini
termasuk
memancarkan setengah cahaya ke bawah dan sisanya keatas. Pada sistem ini
masalah bayangan dan kesilauan masih ditemui.
D. Sistem Pencahayaan Semi Tidak Langsung (semi indirect lighting)
Pada sistem ini 60-90% cahaya diarahkan ke langit-langit dan dinding
bagian atas, sedangkan sisanya diarahkan ke bagian bawah. Untuk hasil yang
optimal disarankan langit-langit perlu diberikan perhatian serta dirawat dengan
baik. Pada sistem ini masalah bayangan praktis tidak ada serta kesilauan dapat
dikurangi.
E. Sistem Pencahayaan Tidak Langsung (indirect lighting)
Pada sistem ini 90-100% cahaya diarahkan ke langit-langit dan dinding
bagian atas kemudian dipantulkan untuk menerangi seluruh ruangan. Agar
seluruh langit-langit dapat menjadi sumber cahaya, perlu diberikan perhatian
20
dan pemeliharaan yang baik. Keuntungan sistem ini adalah tidak menimbulkan
bayangan dan kesilauan sedangkan kerugiannya mengurangi effisien cahaya
total yang jatuh pada permukaan kerja.
BAB III
METODE PENELITIAN
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah penderita miopia yang
menggunakan kacamata dengan lensa spheris negatif. Penetapan sampel pada
penelitian ini dengan menggunakan metode multistage consecutive sampling.
Perhitungan jumlah sampel adalah sebagai berikut:
n = Z2 p (1-p)
d2
n = (1,96)2 x 0,045 x 0,955
(0,05)2
n=
n = 66,03
Keterangan :
n
1-p
3. Faktor herediter
4. Perilaku
Aktivitas melihat dekat
Durasi membaca
Jarak membaca
Durasi menggunakan komputer/laptop
Pencahayaan saat membaca
3.4 Definisi Operasional
No.
1
Kriteria
Usia
Jenis kelamin
Faktor herediter
Alat Ukur
Data
Cara Ukur
Data
kuisioner
kuisioner
Data
Data
kuisioner
kuisioner
Data
Data
kuisioner
kuisioner
a.
b.
c.
d.
Hasil Ukur
2tahun
3-6 tahun
7-21 tahun
22 tahun
a. Laki-laki
b. Perempuan
23
Perilaku
- Aktivitas
Data
Data
kuisioner
kuisioner
melihat dekat
a. <30 cm
b. >30 cm
- Durasi
membaca
a. <1 jam
b. 1-2 jam
- Jarak
c. >3 jam
membaca
- Durasi
menggunakan
laptop
- Pencahayaan
saat membaca
a. <30 cm
b. >30 cm
a. <1 jam
b. 1-2 jam
c. >3 jam
a. Baik
b. Cukup
c. Kurang
25
3.8
Kerangka Operasional
Penentuan populasi
Seluruh seluruh penderita miopia yang
menggunakan kacamata dengan lensa spheris
negatif.
Penentuan sampel
Penderita miopia yang menggunakan kacamata
dengan lensa spheris negatif yang memenuhi
kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
Pengumpulan data
Menggunakan kuesioner
Pengolahan data
Data-data yang dikumpulkan akan diolah dan
disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel
frekuensi, dan persentase
Hasil
BAB IV
26
Jumlah
Persentase (%)
6-14 tahun
1.5
15-24 tahun
55
83.3
25-34 tahun
9.1
35-44 tahun
45-54 tahun
Total
66
100
27
Jumlah
Persentase (%)
Laki-laki
22
33.3
Perempuan
44
66.7
Total
66
100
Jumlah
Persentase (%)
11
16.7
13
19.7
12
18.2
30
45.5
66
100
memakai kacamata
kacamata
Total
terutama
miopia
ekstrim.
Penelitian
secara
genetik,
telah
mengindentifikasi lokus gen untuk miopia (2q, 4q, 7q, 12q, 15q,17q, 18p,
22q, dan Xq), dan gen 7p15, 7q36, dan 22q11 dilaporkan ikut mengatur
kejadian myopia (Alexander, 2011). Dari penelitian lain juga didapatkan
29
Jumlah
Persentase (%)
< 1 tahun
4.5
1-5 tahun
17
25.8
>5 tahun
46
69.7
Total
66
100
Jumlah
Persentase (%)
LCD
61
92.4
CRT
7.6
Total
66
100
video game (53,0%), sementara 31 orang sisanya hobi bermain video game
(47,0%). Hasil penelitian berdasarkan hobi dapat dilihat pada tabel 6.
Jumlah
Persentase (%)
Ya
19
28.79
Tidak
47
71.21
Ya
13
19.7
Tidak
53
80.3
Ya
35
53.0
Tidak
31
47.0
66
100
Membaca
Menonton
Total
Faktor gaya hidup yaitu aktivitas melihat dekat yang terlalu banyak,
seperti membaca buku, melihat layar komputer, bermain video game,
menonton televisi, dapat menyebabkan lemahnya otot siliaris mata sehingga
mengakibatkan ganguan otot untuk melihat jauh. Daerah perkotaan yang
padat juga mengakibatkan sempitnya ruang bermain sehingga anak cenderung
melakukan aktivitas bermain di dalam ruangan yang jarang menggunakan
penglihatan jauh. Faktor gaya hidup ini didukung tingginya akses terhadap
32
media akivitas visual. Pada penelitian ini, aktivitas melihat dekat dan lama
yang paling banyak dilakukan adalah menonton televisi. Tingginya akses
terhadap media visual ini apabila tidak diimbangi dengan pengawasan waktu
dan jarak menonton anak oleh orang tua dapat meningkatkan kelainan tajam
penglihatan. Menurut sebuah penelitian menonton televisi lebih dari 2 jam
sehari dengan jarak 2 meter dapat meningkatkan resiko terjadinya kelainan
tajam penglihatan.
4.6. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Lamanya Aktivitas Melihat
Dekat
Dari hasil penelitian waktu minimum yang di habiskan responden
dalam melakukan aktivitas melihat dekat adalah 2 jam, dan waktu maximum
yang dihabiskan responden dalam melakukan aktivitas melihat dekat adalah
15 jam selama sehari.
Sebanyak 18,8% responden menghabiskan waktu sebanyak 4 jam
dalam melakukan aktivitas melihat dekat, menyusul para responden yang
menghabiskan waktu sebanyak 6, 7, dan 8 jam yang masing-masing sebanyak
12,12%. Responden yang menghabiskan waktu sebanyak 3 dan 5 jam
masing-masing sebanyak 9,09%. Responden yang menghabiskan waktu
sebanyak 2, 9, 11, dan 15 jam dalam melakukan aktivitas melihat dekat
masing-masing sebanyak 4,55%, responden yang menghabiskan waktu
sebanyak 10 dan 12 jam masing-masing sebanyak 3,03% dan selama 13 dan
14 jam masing-masing sebanyak 1, 52%.
Distribusi penderita Miopia berdasarkan lamanya aktivitas melihat
dekat dapat dilihat pada grafik 1.
Grafik 1. Distribusi penderita Miopia berdasarkan lamanya aktivitas
melihat dekat
33
34
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Kelompok usia 15-24 tahun merupakan kelompok usia dengan frekuensi
tertinggi (83,3%).
2. Jumlah penderita miopia berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari
laki-laki (66,67%).
3. Subjek penelitian kedua orang tua yang memakai kacamata paling banyak
(45.5%).
4. Subjek penelitian kebanyakan telah memakai kacamata lebih dari 5 tahun
(69.7%).
5. Jumlah penderita miopia terbanyak menggunakan jenis monitor LCD
(92.4%) pada saat melihat dekat.
6. Subjek penelitian memiliki hobi membaca (71,2%), menonton (80,3%),
dan bermain video game (47,0%).
7. Sebanyak 18,8% responden menghabiskan waktu sebanyak 4 jam dalam
melakukan aktivitas melihat dekat
5.2. Saran
1. Bagi Responden
Agar mengurangi lamanya kegiatan menggunakan penglihatan dekat
35
2. Bagi Akademik
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai berbagai faktor risiko
langsung.
Diperlukan jumlah sampel yang lebih banyak untuk lebih mewakili
semua populasi
Publikasi penelitian ini perlu dilakukan untuk meningkatkan
kesadaran para anak agar lebih menjaga mata tidak terkena miopia.
36