Melalui berbagai perspektif, bahwa setiap komposisi antara islam (otoritas agama) dan
demokrasi (otoritas atas persetujuan rakyat) adalah suatu hal yang tidak kompatibel.
Disini argumen-argumen dan kritik-kritik utama terhadap demokrassi religius akan
dibahas.
1. Demokrasi Religius adalah paradoksial
Menurut pandangan ini, mereka yang yang mendukung demokrasi religius mengabaikan
sifat alami dari agama mengabaikan pula fondasi-fondasi epistemologis demokrasi.
(hal.244)
Kebebasan yang tidak terbatas untuk memilih adalah suatu fondasi penting dalam
demokrasi yang ditentang oleh islam. Hamid Paydar menulis:
Salah satu fondasi epistemologis dari demokrasi adalah kegelapan dari kebenaran
dan pendistribusiannya pada pada semua manusia, akan tetapi jika ada suatu
ideology atau agama menyebut dirinya sebagai contoh kebenaran, serta
menegaskan bahwa agama-agama dan opini lain adalah manifestasi dari
kekafiran, syirik dan sesat, maka yang demikian itu tidak kompatibel dengan
pemerintahan demokratis islam, menurut beberapa yata suci AL-quran menyebut
dirinya sebagai suatu kebenaran yang unikdan agama yang sejati. Ayat-ayat suci
tersebut antara lain:
Maka (zat yang demikian) itulah Tuhan kamu yang sebenarnya, maka tidak ada
sesuatu kebenaran itu melainkan kesesatan (QS. Yunus:32)
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) dari padanya"(QS. Al-Imran:85)
Pandangan ini menekankan infleksibilitas hokum-hukum Islam dan otoritas mutlak
syariah sebagai bukti inkompabilitas antara Islam dan Demokrasi. (hal.245-246 par.2)
2. Mengambil alih kekuasaan Tuhan
Beberapa pemikir Islam berargumen bahwa demokrasi bertentangan dengan prinsipprinsip Islam karena itu melibatkan legislasi hokum dan banyak ayat-ayat suci Al-Quran
yang menunjukkan bahwa legislasi adalah milik Allah semata.
Jika syariah sudah menetapkan suatu keputusan hokum tentang suatu masalah tertentu,
maka wajib bagi suatu Negara islam untuk mengadopsi keputusan-keputusan dari syariah
tersebut. Jika suatu keadaan timbul dimana terjadi ambiguitas dalam syariah atau terjadi
perbedaan-perbedaan pendapat tentang hukium ilahiyah, maka pendapat dan keputusan
Wali amr mempunyai presedensi atas semua yang lain. Dalam hal dimana tidak terdapat
keharusan atau larangan dalam syariah, maka diperbolehkan bagi seorang faqih yang adil
untuk mengeluarkan oeraturan-peraturan pemerintah demi kepentingan Islam dan
muslimin. Oleh karena faqih mempunyai otoritas legitimate (wilayah) dan kedaulatan
legislative, penguasa-penguasa lain termasuk anggota parlemen dan presiden harus
ditunjuk oleh faqih yang adil. Jika tidak, maka mereka tidak mempunyai otoritas yang
legitimate untuk membuat peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pemerintah.(hal
258 par1)
Status legitimate inilah yang membedakan demokrasi religius dengan konsep-konsep
demokrasi lainnya. Demokrasi religious membatasi otoritas rakyat sesuai kedaulatan
legislative dari Tuhan. Dalam Negara- Negara demokratis nonreligius, kedaulatan dari
individu-individu yang terpilih tidak dibatassi syariah, dan doktrin ini secara eksplisit
mengasumsikan demokrasi sebagai system sekuler yang terpisah dari otoritas dan
kedaulatan Tuhan.(hal 259-260 par2)
3. Problem Kesamaan Hukum
Kesamaan hokum sering dikutip sebagai salah satu fondasi yang terpenting dari
pemerintahan demokratis. Konsekuensinya, setiap teori politik yang ingin
mengkategorikan dirinya sebagai demokratis harus menghormati kesamaan hokum warga
masyarakat. Beberapa pengkritik demokrasi religious beranggapan bahwa Islam tidak
kkompatibel dengan demokrasi atas dasarv beberapa ketidaksamaan yang di endorse
dalam system hokum islam.n
Ketidaksamaan hukum pada tiga kelompok masyarakat, yaitu warga non muslim, budak,
dan wanita dibandingkan dengan warga muslim pria yang merdeka dianggap
mengahalangi sistem kearah demokrasi. (hal 260 par1)
Padahal, menurut sifat asli demokrasi (sebagai sejarah dari pemikiran politik) disebutkan
bahwa demokrasi tetap kompatibel dengan ketidaksamaan hokum.Selain itu, bahkan
konsepsi modern dari demokrasi tidak bertumpu pada kesamaan hokum yang sempurna,
tetapi bertumpu pada prinsip bahwa semua anggota masyarakat yang dewasa dianggap
mempunyai hak politik yang sama, dan dapat berpartisipasi dalam pemilihan dan
distribusi kekuatan politik. Oleh karena itu, ketidaksamaan dalam bidang nonpolitik dan
hokum, pada prinsipnya, bukan berarti tidak kompatibel dengan demokrasi.(hal 261 par1)