PENDAHULUAN
Trauma merupakan penyebab kematian dan kecacatan terbanyak di
Amerika pada usia < 40 tahun, lebih dari 150.000 kecelakaan menyebabkan
kematian setiap tahunnya, dan lebih dari 500.000 trauma menyebabkan
kecacatan permanen. Dengan meningginya kecelakaan lalu lintas atau traffic
accident, ditambah dengan sifat khusus dari hidung yang merupakan bagian
tubuh yang paling menonjol serta tak ada bagian tubuh yang lain
melindunginya, maka dalam setiap kecelakaan lalu lintas dengan trauma
capitis, kemungkinan besar disertai dengan trauma nasi. Atau dapat dikatakan
trauma nasi sering bersamaan dengan trauma muka (maxillofacial trauma).1,2,4
Tulang hidung merupakan salah satu bagian tubuh yang memiliki
insiden fraktur tersering ketiga setelah klavikula dan pergelangan tangan..
Cedera di dalam hidung biasanya terjadi ketika benda asing masuk ke dalam
hidung atau ketika seseorang memakai obat-obatan melalui hidung. Cedera di
luar hidung biasanya berhubungan dengan aktifitas olahraga, kekerasan,
penyiksaan atau kecelakaan. 1,2
Tulang hidung adalah tulang wajah yang paling sering patah karena
tulang tersebut adalah tulang dengan posisi paling depan pada wajah.
Meskipun tidak mengancam jiwa, patah tulang hidung dapat menyebabkan
kelainan bentuk baik secara estetik dan fungsional. Patah tulang hidung juga
dapat merusak selaput yang melapisi jalan nafas melalui hidung,
menyebabkan terbentuknya jaringan parut sehingga menyumbat jalan nafas
dan merusak indera penciuman seseorang. 1
Penanganan dan pengobatan Trauma Hidung dapat berbeda
tergantung pada kondisi pasien dan penyakit yang dideritanya. Pilihan
pengobatan adalah pembedahan hidung. Pencegahan trauma hidung berupa
menghindari faktor risiko yang memungkinkan terjadinya trauma hidung. 1,5
B. ANATOMI HIDUNG
Hidung merupakan bagian penting pembentuk wajah, fungsinya
sebagai jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air condition), penyaring &
pembersih udara2, indera penghidu, resonansi suara, membantu proses
berbicara, dan refleksi nasal. Hidung juga merupakan tempat bermuaranya
sinus paranasalis dan saluran air mata. 3
frontal. Sedangkan tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis
latelaris superior, sepasang kartilago nasalis latelaris inferior (kartilago ala
mayor), tepi anterior kartilago septum. 2,4
Gambar 2: External nasal skeleton tampak A: Frontal . B: Oblique 1
horizontal os palatum.
Atap hidung, terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os
sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa
yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
Efek persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan
vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang
dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut halus
(silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lender meliputinya untuk
melembabkan rongga hidung.
C. FISIOLOGI HIDUNG
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional,
fungsi fisiologi hidung dan sinus paranasalis adalah:3,4
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal. Pada inspirasi, udara masuk melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke
bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan
atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut
lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi
sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sebaliknya pada musim
dingin. Suhu udara yang melalui hidung diatur 37 derajat selsius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah dibawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu,
virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di
hidung oleh ; rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir.Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke
nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat
menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.
2. Fungsi penghidu karena adanya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra
penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung,
konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat.
3. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan
rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa
manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa
asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.
4. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu
pembentukan konsonan nasal (m,n,ng)
5. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas.
6. Refleks nasal, mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh
iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti, dan
rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan
pankreas.
D. DEFINISI 1,5
Trauma Hidung didefinisikan sebagai cedera pada hidung atau
struktur terkait yang dapat mengakibatkan pendarahan, sebuah cacat fisik,
penurunan kemampuan untuk bernapas normal karena obstruksi, atau terjadi
gangguan penciuman. cedera mungkin baik internal maupun eksternal.
E. EPIDEMIOLOGI
Pada penelitian yang dilakukan di Brazil menyatakan bahwa
berdasarkan umur, kelompok usia 11-40 tahun sering mengalami trauma
nasal. Berdasarkan jenis kelamin, baik pria maupun wanita tidak ada
perbedaan statistik pada trauma hidung, namun insiden pada usia remaja lakilaki dua kali lebih sering mengalami trauma hidung dibandingkan pada
perempuan.6
F. KLASIFIKASI 1
Trauma hidung dapat mengenai hidung, jaringan subcutis, mukosa
yang meliputi cavum nasi, kerangka tulang dan tulang rawan yang
membentuk hidung itu sendiri. Trauma pada hidung terdiri atas:
1. Trauma soft tissue: trauma kulit, jaringan subcutis dan mukosa yang
meliputi cavum nasi, dapat berupa contusio jaringan atau tanpa hematoma,
laserasi, echymosis, abrasi, vulnus, corpus allienum yang tertinggal di
tempat trauma atau hilangnya bagian-bagian hidung tersebut.
2. Trauma tulang: trauma pada tulang dapat berupa 1) Fraktur (kominutif
yang banyak mengenai pada orang tua, fraktur terbuka/tertutup), 2)
Dislokasi (banyak terjadi pada anak), dapat mengenai semua sendi rangka
hidung / septum, 3) Kombinasi fraktur-dislokasi. 1
Trauma kerangka tulang dan tulang rawan dapat dibagi atas:
1. Fraktura os nasalis
2. Trauma naso-orbital
Trauma berdasarkan hubungan dengan dunia luar , dibagi atas:
1. trauma terbuka
2. trauma tertutup
Menurut arah traumanya dapat dibagi pula atas: 5
1. Trauma lateral
2. Trauma frontal
10
3. Tipe III : Fraktur bilateral dan depresi atau dislokasi os nasal karena
trauma langsung dari arah frontal. Fraktur lamina perpendikularis dan
kartilago dapat terjadi karena depresi yang hebat.
4. Tipe IV : Kompresi dan fraktur septum disebabkan trauma arah kaudal
kranial 15
Gambar 8: Fraktur Nasal (A)Unilateral, (B) Bilateral, (C) Open Book, (D) Comminuted, (E)
Posterior inferior impaction, (F) Medial canthal ligament
11
G. PATOMEKANISME 1,2,4,5,8
Hidung merupakan bagian penting pembentuk wajah dan merupakan
struktur yang prominen dari wajah. Oleh karena struktur tersebut, hidung
mudah terkena trauma. Trauma hidung dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, kecerobohan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga dan
perkelahian serta kecelakaan olah raga, trauma pada hidung juga bisa berupa
trauma akibat inhalasi. Trauma hidung dapat merupakan trauma sendiri atau
pun bagian trauma wajah lainnya dan dapat mengenai kulit, jaringan subkutis,
kerangka tulang, septum atau os maksila. 1,2,5,8
Trauma hidung bisa terjadi secara internal maupun eksternal. Trauma
internal pada hidung biasanya terjadi ketika sebuah benda asing (termasuk
jari) dimasukkan didalam hidung atau ketika seseorang mengonsumsi obatobatan penyalahgunaan (inhalants atau kokain) melalui hidung. Trauma
eksternal hidung biasanya disebabkan kekerasan atau trauma tumpul yang
dapat berhubungan dengan olahraga, tindakan pidana (pemukulan), kekerasan
yang dilakukan orangtua terhadap anak, kecelakaan mobil atau sepeda. Jenis
trauma ini dapat mengakibatkan fraktur hidung. 4,5
12
a. Trauma lateral
Trauma dari arah lateral paling sering terjadi dan bervariasi beratnya
mulai dari fraktur sederhana ipsilateral (simple-fracture) sampai
kerusakan lengkap (complete-fracture) dari tulang nasal disertai trauma
jaringan lunak intranasal dan ekstranasal.
b. Trauma frontal
Trauma dari arah depan energi rendah biasanya memecahkan septum
lebih dahulu sebelum menyebabkan trauma piramid nasal. Pada trauma
dengan energi yang lebih besar menyebabkan pemisahan nyata dari
tulang nasal yang merupakan bagian dari fraktur nasoorbital ethmoid
kompleks5
4. Kondisi dari obyek yang menyebabkan trauma nasal
Pola trauma tulang berupa fragmen-fragmen tulang yang tidak
kominutif, penyebab tersering karena pukulan tangan saat perkelahian,
trauma olahraga, jatuh tersandung, atau kecelakaan kendaraan kecepatan
rendah.
Pada trauma ini sejumlah energi yang besar diabsorbsi oleh kerangka
nasal dan wajah, menyebabkan putusnya fragmen tulang, rusaknya
13
H. DIAGNOSIS 1,5,7
A. Anamnesis
Jumlah terjadinya cedera secara detail akan memudahkan untuk
mengetahui tipe dan tingkat keparahan yang terjadi. Pada kasus
kecelakaan kendaraan , informasi yang bisa kita dapatkan yaitu kecepatan
mengendara, benturan secara langsung. Pada anak-anak yang duduk di
bangku depan akan berisiko pada trauma di kepala dan di servikal. Selain
itu yang harus dievaluasi adalah adanya perubahan fungsi pada
pernapasan, dan apakah ada perdarahan dengan rasa manis atau asin
( untuk megetahui kebocoran cairan serebrospinal). Anosmia persisten
atau hiposmia akan terjadi setidaknya 5% pada individu yang menderita
trauma kepala dengan atau tanpa trauma hidung.
Anamnesis mengenai riwayat pasien termasuk riwayat trauma
pada hidung, deformitas sebelumnya pada hidung, riwayat operasi,
dispneu, alergi, dan adanya riwayat sinusitis. Orang yang melakukan
rinoplasty sebelumnya akan lebih mudah mengalami fraktur hidung.
Diagnosis fraktur tulang hidung biasanya berdasarkan adanya riwayat
trauma hidung dan gejala klinis. Epistaksis mungkin dapat terjadi ataupun
tidak sama sekali, bisa disertai rhinorrhea, obstruksi jalan napas, atau
deformitas.
B. Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan intranasal dilakukan dalam rangka mencari sebuah
defek berupa hematoma yang dapat mengakibatkan konsekuensi yang
serius seperti matinya jaraingan kartilago yang mengalami defek.
Pemeriksaan fisik pada hidung dilakukan untuk menentukan ada tidaknya
nyeri, mobilitas, kestabilan, dan krepitasi.
C. Pemeriksaan penunjang (Radiography)
Biasanya pemakaian sinar X belum diperlukan, namun pada
keadaan fraktur yang lebih hebat misal yang melibatkan beberapa tulang
14
15
J. PROGNOSIS 1,5,8
16
K. KOMPLIKASI 5,9,10,12
a. Kosmetik
Kelainan fisik secara eksternal merupakan hasil dari trauma hidung yang
termasuk diantaranya pembengkokan bagian belakang, deviasi sisi lateral
pada bagian dorsum dan ujung, serta ujung hidung yang miring. Kelainan
septum kompleks (dan obstruksi) juga bisa mengakibatkan pembengkokan
tulang, perubahan kompleks pada hidung, defleksi angular pada septum.
Secara internal, bisa ditemukan laserasi disertai obstruksi jaringan
b. Disfungsi penciuman
Trauma kepala dapat menyebabkan fraktur hidung, fraktur yang lebih dari
2 mingu menyebakan deformitas, dan anosmia post traumatic.16
c. Epistaksis dan kebocoran cairan serebrospinal
Permulaan edema dan epistaksis pada trauma hidung biasanya tanpa
intervensi bisa ditangani. Meskupun, epistaksis persisten pada trauma
nasal memerlukan tamponade. Dengan kebocoran cairan serebrospinal,
kerusakan akan terjadi secara signigikan lebih berat. Terapi yang dilakukan
biasanya melakukan observasi tertutup, bone grafting. 9,14
d. Septal hematom dan Saddle nose deformity
17
18