Anda di halaman 1dari 31

BAB I

LAPORAN KASUS
I.

II.

Identitas Pasien

Nama

: Ny. IS

Usia

: 46 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Cipanas

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Pendidikan

Status

: Menikah

Masuk RS

: 14 Maret 2015

Keluar RS

: 18 Maret 2015

No. RM

: 862857

: SMA

Anamnesis:
Autoanamnesis dan Alloanamnesis (tanggal 17 Maret 2015)
Keluhan Utama:
Penurunan kesadaran sejak 2,5 jam SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan penurunan kesadaran sejak
2,5 jam SMRS. Sebelum terjadi penurunan kesadaran, tidak terdapat keluhan mual,
muntah, dan kejang pada pasien. Pasien hanya mengeluh badannya terasa lemah dan
nyeri kepala. Pasien sering mengeluh kesemutan pada tangan dan kakinya serta gatalgatal pada bagian perut dan punggung. Pasien juga mengeluh berat badannya
menurun dibanding sebelumnya. Pasien pernah didiagnosis kencing manis pada tahun
2011 dan aktif melakukan pengobatan rutin hingga 2 tahun. Pasien juga sudah
mengurangi porsi makanannya dan membatasi konsumsi gula perhari. Setelah
1

dinyatakan kadar gula darah pasien stabil, pola makan pasien menjadi tidak teratur
kembali. Pasien juga tidak pernah kontrol untuk diabetesnya lagi.
Pada akhir tahun 2014, pasien pernah mengalami keluhan serupa (penurunan
kesadaran), dan setelah diperiksa, kadar gula darahnya rendah (<50). Namun
keesokan harinya gula darahnya naik hingga melebihi 200 dan mengalami penurunan
drastis setelah meminum obat untuk gula darahnya.
Sejak tahun 2013, pasien mengeluh sering terasa mudah lelah dan jantung
berdebar-debar. Terkadang dirasakan sesak terutama pada dada bagian tengah kiri.
Sesak dirasakan semakin bertambah pada saat aktivitas dan berkurang dengan
istirahat. Tidak terdapat perubahan pada sesaknya dengan perubahan posisi tidur.
Pasien juga sering terbangun akibat sesak. Sesak tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca
dan debu. Pasien pernah berobat jalan dan dilakukan rontgen. Diakui pasien dari hasil
rontgen dokter menyatakan jantungnya sedikit membengkak. Tidak terdapat riwayat
BAK sedikit. Riwayat menopause sejak tahun 2012 dan tidak terdapat riwayat
penggunaan KB oral maupun suntik.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat kencing manis (+)

Riwayat alergi (-)

Riwayat asma (-)

Riwayat tek. darah tinggi (+)

Riwayat peny. jantung (+)

Riwayat anemia (-)

Riwayat menopause (+)

Riwayat TB paru (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:


Riwayat kencing manis (+)
Riwayat alergi (-)

III.

Riwayat asma (-)

Riwayat tek. darah tinggi (+)

Riwayat peny. jantung (+)

Pemeriksaan Fisik
2

Status Generalis:
Keadaan sakit

: Tampak sakit berat

Kesadaran

: Composmentis

Tekanan Darah

: 160/80 mmHg

Nadi

: 84 x/ menit

RR

: 20 x/ menit

Suhu

: 37 C

Keadaan Spesifik:
Kulit
Warna sawo matang, jaringan parut (-), keringat umum dan lokal (+), Ikterik (-).
Kelenjar Getah Bening
Kelenjar getah bening submandibula, leher, axilla dan inguinal tidak ada pembesaran.
Kepala
Normocephal, ekspresi biasa.
Mata
Eksopthalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (-), conjunctiva palpebra pucat (+)
pada kedua mata, sklera ikterik (-) pada kedua mata, pupil isokhor, reflek cahaya normal,
pergerakan bola mata ke segala arah baik, visus 5/6
Hidung
Septum nasal normal, lapisan mukus normal, epistaksis (-), pernapasan cuping hidung (-)
Telinga
Kedua meatus akustikus dalam keadaan normal, lubang telinga cukup bersih, nyeri tekan
proc. mastoideus (-), selaput pendengaran tidak ada kelainan.
Mulut
Bibir simetris, pembesaran tonsil (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), atropi papil (-),
sianosis (-).
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP meningkat 5 + 5
Dada
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi

: statis & dinamis simetris kanan sama dengan kiri


: fremitus kanan sama dengan kiri
3

Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: sonor di kedua lapangan paru


: vesikuler (+), ronkhi (+) pada kedua lapang paru, wheezing (-)
: ictus cordis tidak terlihat
: ictus cordis teraba di ICS 5 LMCS
: batas atas jantung ICS 2, batas kanan Linea Parasternalis Dextra, atas
kiri Linea Axilaris Anterior sinistra
: HR 110 x/menit, Bunyi Jantung reguler, Murmur (-), Gallop (+)

Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Datar, tidak terlihat massa, sikatrik (+)


: Nyeri tekan (-) di epigastrium, Hepar/Lien tidak teraba pembesaran
: Undulasi (-)
: Bising Usus (+) Normal

Genital
Tidak diperiksa
Ekstremitas
Ekstremitas atas

: Nyeri sendi (-), gerakan bebas, pitting edema (+/-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, telapak tangan pucat (+), jari tabuh (-) turgor
kembali lambat (-), capillary refill time > 2 detik
Ekstremitas bawah : Nyeri sendi (-), gerakan bebas, pitting edema (+/-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, telapak kaki pucat (+), jari tabuh (-), turgor
kembali lambat (-), capillary refill time > 2 detik
Berat badan
Tinggi badan
IMT
IV.

: 89 kg
: 155 cm
: 26,99

Pemeriksaan Penunjang
Kadar Glukosa Darah Sewaktu 14 Maret 2015
30 mg/dL
Darah lengkap 14 Maret 2015
Flag
s

Lab

Result

Unit

Normal

WBC

9,8

10^3/

RBC

3,24

10^6/

HGB

8,0

g/dl

HCT

24,6

37 - 52

MCV

75,9

fL

80 - 99

5,2 12,4
4,2 - 6,1
11,717,3

Lab

Result

Flags

Unit

Normal

Lymph

0,9

10^3/

1,0-3,0

Gra

8,0

10^3/

2,0-7,0

Mon

0,9

10^3/

0,2-1,0

Lymp
%
Mon %

9,4

25 - 40

8,8

2-8

MCH
MCHC

24,7
32,5

L
L

pg
g/dl

RDW

13,7

PLT

318

10^3/

27 - 31
33 - 37
11,5 14,5
150 450

Gra %
MPV

81,8
7,0

%
10^3/

PCT

0,223

PDW

12,9

50 - 70
7 - 11
0,200 0,500
10 18

GDS : 237 pkl 20.30


Darah Lengkap 17 Maret 2015
Lab

Resul
t

Flags

Unit

Norma
l

Lab

Result

Neut

80,2

40 - 74

WBC

10,61

Lymph
Mono
Eos
Baso
Luc

10,0
4,8
4,0
0,1
1,0

%
%
%
%
%

19 - 48
3,4 - 9
0-7
0 - 1,5
0-4

RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC

3,06
8,0
25,2
82,3
26
31,6

L
L
L
L
L

10^6/
g/dl
%
fL
pg
g/dl

RDW

16,6

PLT

229

Flags

Unit

Normal
5,2 12,4
4,2 - 6,1
18-Dec
37 - 52
80 - 99
27 - 31
33 - 37
11,5 14,5
150 450

10^3/

10^3/

GDS: 247
Kimia Klinik 17 Maret 2015
Hasil

Metode

Nilai
Normal

Satuan

Glukosa
Sewaktu

201

GOD-PAP

70 - 150

mg/dL

Ureum

85,6

Urease UV
Liqui

10,0 50,0

mg/dL

Kreatinin

3,89

Jaffe Comp
ST.A

0,6 - 1,83

mg/dL

Pemeriksaan

Desakan Vena Sentral 17 Maret 2015

EKG 18 Maret 2015

V.

Resume
Wanita, 46 tahun, datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan penurunan kesadaran
sejak 2,5 jam SMRS. Penurunan kesadaran tidak disertai dengan keluhan mual,
muntah dan kejang sebelumnya. Pasien sering mengeluh badan lemah pada saat
melakukan kegiatan sehari-hari, sesak pada dada bagian kiri bawah yang tidak
dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan debu. Terdapat riwayat kencing manis dan
jantung membengkak sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah
6

160/80, konjungtiva anemis pada kedua mata, ronkhi basah halus pada kedua lapang
paru, gallop, peningkatan desakan vena sentral (5 +5), visus menurun (5/6) dan
edema tungkai. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan KGD 30, Hb 8, ureum 85,6,
kreatinin 3,89 dan abnormalitas pada EKG.
VI.

Diagnosis
Diabetes Melitus Type 2
Renal Insufisiency
Hipertensi Stage II
Anemia

VII.

Diagnosis Banding
Chronic Kidney Disease

VIII. Penatalaksanaan
Nonmedikamentosa
Bed rest
Diet 1700 kalori
Dower Catheter -> pantau balance cairan
Medikamentosa
O2 4 L/mnt
Asam folat 2 x 5mg
Vitamin B12 2 x 50mg
Amlodipin 1 x 10 mg
Inj. Furosemid 1 x 20 mg
Transfusi PRC 1500 ml
Infus RL 10 gtt/menit
IX.

Rencana Pemeriksaan
Observasi tanda-tanda vital
Elektrolit
Urin lengkap
Ureum dan kreatinin
Anemia profile
Lipid profile
Rontgen thorax

X.

Prognosis
Quo ad vitam

: dubia ad malam

Quo ad functionam

: dubia ad malam
7

Quo ad sanactionam
XI.

: dubia ad malam

Daftar Masalah

Sinkop
Anemia
Edema tungkai

Hipertensi
Renal Insufisiency

XII.

Follow Up Pasien Selama Dirawat


Tanggal 17 Maret 2015, pukul 07.50 WIB

S
: CM, sesak (-), lemas (+), mual (-), muntah (-), BAB (+), BAK (+), nyeri
kepala (+)
O
:
KU : Tampak sakit berat
Tekanan Darah
: 150/80 mmhg
Nadi
: 82x/menit
Pernapasan
: 20 x/menit
Suhu
: 36,5 C
Mata
: Sklera ikterik -/Konjunctiva anemis +/+
Edema Palpebra -/Leher:
: KGB ttm, JVP meningkat (5 +5)
Cor
: BJ 1 & 2 normal reguler, murmur (-), gallop (+)
Pulmo
: VBS +/+, Ronki basah halus -/-, wheezing -/Abdomen
: Supel, shifting dulness (-), BU(+) N
Extremitas
: Edema extr. superior +/Edema extr. Inferior +/A : Nefropathy diabetikum + Diabetes Melitus dengan Hipoglikemi
P :
Bed Rest
Infus RL 15 gtt/menit
Inj. Furosemid 2 x 40 mg
Spironolakton 1 x 100 mg
Amlodipin 1 x 10 mg
Captopril 2 x 12,5 mg
Transfusi PRC 2 kantong

Tanggal 18 Maret 2015, pukul 07.47 WIB


S
: CM, sesak (-), lemas (+), mual (-), muntah (-), BAB (+), BAK (+), nyeri
kepala (-)
O
:
KU : Tampak sakit berat
Tekanan Darah
: 160/80 mmhg
Nadi
: 68x/menit
Pernapasan
: 20 x/menit
Suhu
: 36,8 C
Mata
: Sklera ikterik -/Konjunctiva anemis +/+
Edema Palpebra -/Leher:
: KGB ttm, JVP meningkat (5 +5)
Cor
: BJ 1 & 2 normal reguler, murmur (-), gallop (+)
Pulmo
: VBS +/+, Ronki basah halus -/-, wheezing -/Abdomen
: Supel, shifting dulness (-), BU(+) N
Extremitas
: Edema extr. superior +/Edema extr. Inferior +/A : Nefropathy diabetikum + Diabetes Melitus dengan Hipoglikemi
P :
Bed Rest
Infus RL 15 gtt/menit
Inj. Furosemid 2 x 40 mg
Spironolakton 1 x 100 mg
Amlodipin 1 x 10 mg
Captopril 2 x 12,5 mg
Transfusi PRC 2 kantong

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.

Definisi Diabetes
Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula
darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan
atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. (Alvin, 2008)

1.2.

Klasifikasi Diabetes
Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya (ADA, 2003)

Diabetes Mellitus Tipe 1:


Destruksi sel umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut
A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif
sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin
Diabetes Mellitus Tipe Lain
A. Defek genetik fungsi sel :
Kromosom 12, HNF-1 (dahulu disebut MODY 3),
Kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
Kromosom 20, HNF-4 (dahulu disebut MODY 1)
DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas:
Pankreatitis
Neoplasma
Trauma/Pankreatektomi
Hemokromatosis
Cistic Fibrosis
Pankreatopati fibro kalkulus
D. Endokrinopati:
Akromegali
Sindroma Cushing
Feokromositoma
Hipertiroidisme

E. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asam nikotinat,


pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
F. Diabetes karena infeksi
G. Diabetes Imunologi (jarang)
H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington, Chorea,
Prader Willi
4.
Diabetes gestasional
Diabetes Mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat sementara,
tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2
5.
Pra-diabetes:
A. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa Terganggu)
B. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)
Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar
normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk
dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Kondisi pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk
diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi pradiabetes dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun
pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya
diabetes. Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu:
1. Impaired Fasting Glucose (IFG), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah puasa
seseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar glukosa darah puasa normal: <100 mg/dl) (5,6
6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
2. Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yaitu
keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada uji toleransi glukosa berada di
atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes.
Diagnosa IGT ditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang 2 jam setelah
mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral berada diantara 140-199 mg/dl (7,8-11,0
mmol/L). (Suyono, 2009)
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4
kelompok:
a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal;
b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga diabetes
Kimia (Chemical Diabetes);
c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma
puasa < 140 mg/dl);
d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma
puasa > 140 mg/dl). (Suyono, 2009)
1.3.

Patofisiologi

Diabetes Melitus Tipe 1

Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan selsel pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada pula yang
disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, Cito Megalo
Virus, Herpes, dan lain sebagainya.
Destruksi autoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung
mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan
gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel
kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita
DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel . Secara normal,
hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini
tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini
memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya
penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi
insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka
akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton.
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1,
namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan
kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa
mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah,
defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai
akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam
darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di
jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh
tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan
sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati
dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar
jaringan tubuh) di jaringan adiposa. (Suyono, 2009)
Diabetes Melitus Tipe 2
Patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal.
Keadaan ini lazim disebut sebagai Resistensi Insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya
hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan
sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak
terjadi pengrusakan sel-sel Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada
DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya

bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak
memerlukan terapi pemberian insulin.
Sel-sel kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi
insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20
menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel menunjukkan
gangguan pada
sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan
sel-sel
pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan
mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insulin. (Suyono, 2009)
Diabetes Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan
diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya
berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui
menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. Diabetes
dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat setelah
melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang
dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir
dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita
GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol
metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut. (Suyono, 2009)
1.4.

Manifestasi Klinis

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM


seperti di bawah ini:
Keluhan klasik DM berupa:
Poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa:
Lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae pada wanita
Keluhan umum pada pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM
lanjut usia pada umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah
keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM
lanjut usia, terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menjadi tua sehingga
gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai dengan komplikasi yang

lebih lanjut. Hal yang sering menyebabkan pasien datang berobat ke dokter adalah
adanya keluhan yang mengenai beberapa organ tubuh, antara lain:
a. Gangguan penglihatan: katarak
b. Kelainan kulit: gatal dan bisul-bisul
c. Kesemutan, rasa baal
d. Kelemahan tubuh
e. Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh
f. Infeksi saluran kemih. (Suyono, 2009)
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah genital ataupun daerah
lipatan kulit lain, seperti di ketiak dan di bawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya
jamur. Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul-bisul atau luka lama yang tidak mau
sembuh. Luka ini dapat timbul akibat hal sepele seperti luka lecet karena sepatu, tertusuk
peniti dan sebagainya. Rasa baal dan kesemutan akibat sudah terjadinya neuropati juga
merupakan keluhan pasien, disamping keluhan lemah dan mudah merasa lelah. Keluhan
lain yang mungkin menyebabkan pasien datang berobat ke dokter adalah keluhan mata
kabur yang disebabkan oleh katarak ataupun gangguan-gangguan refraksi akibat
perubahan-perubahan pada lensa akibat hiperglikemia. Tanda-tanda dan gejala klinik
diabetes melitus pada lanjut usia:
a. Penurunan berat badan yang drastis dan katarak yang sering terjadi pada gejala
awal
b. Infeksi bakteri dan jamur pada kulit (pruritus vulva untuk wanita) dan infeksi
traktus urinarius sulit untuk disembuhkan.
c. Disfungsi neurologi, termasuk parestesi, hipestesi, kelemahan otot dan rasa sakit,
mononeuropati, disfungsi otonom dari traktus gastrointestinal (diare), sistem
kardiovaskular (hipotensi ortostatik), sistem reproduksi (impoten), dan
inkontinensia stress.
d. Makroangiopati yang meliputi sistem kardiovaskular (iskemia, angina, dan infark
miokard), perdarahan intra serebral (TIA dan stroke), atau perdarahan darah tepi
(tungkai diabetes dan gangren).
Mikroangiopati meliputi mata (penyakit makula, hemoragik, eksudat), ginjal
(proteinuria, glomerulopati, uremia)
1.5.

Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik
yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
dengan glukometer.

Diagnosis diabetes melitus


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti :

Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. (Suyono, 2009)

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:


1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan
beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
(Suyono, 2009)
Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena
membutuhkan persiapan khusus. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau
DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok
toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL.
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam < 140 mg/dL. (Suyono, 2009)
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/ kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok

Keluhan klinik diabetes

Keluhan klasik DM (+)

GDP126126
GPS200200

Keluhan klasik DM (-)

GDP126100-125<100
GDS200140-199<140

Ulangi GDS atau GDP


NORMAL
GDP>126<126
GDS200<200

DM

TTGO
GD 2 JAM
200140-199<140

TGT

GDPT

Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM,
namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih
dini secara tepat.
Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa,
merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan
faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Skema langkah-langkah pemeriksaan pada
kelompok yang memiliki risiko DM dapat dilihat pada bagan1.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal(mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan
rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan
penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general
check-up. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan
penyaring. (Suyono, 2009)
Kadar glukosa (mg/dl )

Bukan DM

Belum pasti
DM

DM

Sewaktu
Puasa
1.6.

Plasma Vena
Darah Kapiler
Plasma Vena
Darah Kapiler

< 110
< 90
< 110
< 90

110 199
90 199
110 125
90 109

200
200
126
110

Pengaruh Diabetes Melitus Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Diabetes melitus tipe 2 yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan terjadinya
berbagai komplikasi kronis, baik mikroangiopati seperti retinopati dan nefropati maupun
makroangiopati seperti penyakit jantung koroner, stroke, dan juga penyakit pembuluh
darah tungkai bawah. Menurut American Heart Association pada Mei 2012, paling
kurang 65% penderita DM meninggal akibat penyakit jantung atau stroke. Selain itu,
orang dewasa yang menderita DM berisiko dua sampai empat kali lebih besar terkena
penyakit jantung dari pada orang yang tidak menderita DM. (Bonakdaran, 2011)

Faktor Resiko DM Tipe 2 Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Mekanisme terjadinya penyakit kardiovaskular pada DM tipe 2 sangat kompleks dan dikaitkan
dengan adanya aterosklerosis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia, merokok, riwayat keluarga dengan penyakit jantung, dan obesitas.
(Shahab, 2007)
1. Jenis Kelamin
DM tipe 2 dengan penyakit kardiovaskular lebih banyak terdapat pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. Hal ini terkait dengan adanya estrogen endogen yang bersifat protektif pada
wanita, namun setelah menopause insiden penyakit kardiovaskular dengan cepat meningkat dan
sebanding dengan laki-laki. (Bonakdaran, 2011)
2. Hipertensi
DM tipe 2 dengan penyakit kardiovaskular lebih banyak terdapat pada yang hipertensi
dibandingkan dengan yang tidak hipertensi. Glukotoksisitas akan menyebabkan peningkatan
Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS) sehingga akan meningkatkan risiko kejadian
hipertensi. Hipertensi disertai peningkatan stres oksidatif dan aktivitas spesies oksigen radikal
yang akan memediasi kerusakan pembuluh darah akibat aktivasi angotensin II sehingga
memperberat disfungsi endotel dan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Ketika pasien
mengidap kombinasi antara hipertensi dan DM risiko mereka untuk menderita penyakit
kardiovaskular akan menjadi dua kali lipat. (Bonakdaran, 2011)
3. Dislipidemia
DM tipe 2 dengan penyakit kardiovaskular pada yang tidak dislipidemia adalah lebih banyak
dibandingkan dengan yang dyslipidemia. Pasien dengan diabetes sering memiliki level kolesterol
tidak sehat termasuk didalamnya kadar kolesterol LDL dan trigliserida yang tinggi serta kadar
kolesterol HDL yang rendah. Kondisi seperti ini sering terjadi pada pasien dengan penyakit
jantung koroner dini. Trias ini juga khas pada kelainan lipid yang berhubungan dengan resistensi
insulin yang disebut dislipidemia aterogenik. (Arisman, 2010)
4. Faktor kebiasaan hidup

Risiko terjadinya penyakit kardiovaskular meningkat dua kali lipat pada perokok. Nikotin pada
rokok dapat merusak dinding pembuluh darah yaitu pada endotel melalui pengeluaran
katekolamin dan mempermudah pengumpalan darah sehingga menimbulkan terjadinya
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Karbon monoksida (CO) pada rokok dapat
menimbulkan desaturasi hemoglobin yang menurunkan langsung persediaan oksigen untuk
jaringan termasuk miokard serta mempercepat aterosklerosis. (Arisman, 2010)
5. Hiperglikemia
Hiperglikemia berbahaya terhadap berbagai sel dan sistem organ karena pengaruhnya terhadap
sistem imun, dapat bertindak sebagai mediator inflamasi, mengakibatkan respon vaskular, dan
respon sel otak. Pada keadaan hiperglikemia mudah terjadi infeksi karena adanya disfungsi
fagosit. Hiperglikemia akut dapat menyebabkan berbagai efek buruk pada sistem kardiovaskular,
antara lain memudahkan terjadinya gagal jantung. Kejadian trombosis seringkali berhubungan
dengan hiperglikemia. Hiperglikemia dapat menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik plasma
dan aktivitas aktivator plasminogen jaringan, peningkatan aktivitas inhibitor aktivator
plasminogen (PAI-1), dan peningkatan aktivitas trombosit. Hiperglikemia merangsang inflamasi
akut tampak dari terjadinya peningkatan petanda sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis
factor- (TNF-) dan interleukin-6 (IL-6). Peningkatan petanda sitokin inflamasi tersebut
kemungkinan terjadi melalui induksi faktor transkripsional proinflamasi yaitu nuclear factor
(NF-). (Shahab, 2007)

Patofisiologi Penyakit Kardiovaskular pada Penderita DM


Terjadinya gangguan kardiovaskular tidak hanya terjadi akibat adanya perubahan pada
vaskular, tetapi juga gangguan pada perjalanan alami sirkulasi darah dan miokard.
a) Kerentanan Pembuluh Darah
Molekul penting yang disintesis oleh sel endotel yaitu Nitrit Oksida (NO) yang
dihasilkan oleh endhotelial-NO sintase (e-NOs) melalui oksidasi 5-elektron dari ujung
guanidine-nitrogen dari L-arginine. NO menghasilkan vasodilatasi dengan aktivasi
guanilil-siklase pada sel otot polos vascular. Nitrit oksida melindungi pembuluh darah
dari kerusakan endogen dengan memperantarai sinyal molecular yang mencegah interaksi
trombosit dan leukosit dengan dinding vascular dan menghambat proliferasi dan migrasi
sel otot polos vascular. Hilangnya eNOs meningkatkan aktivitas faktor transkripsi
proinflamasi nuclear factor kappa B (NF- B), yang mengakibatkan ekspresi adhesi
molekul leukosit dan produksi sitokin dan kemokin. Hal ini meningkatkan migrasi
monosit dan sel otot polos vascular ke dalam intima dan pembentukan sel foam makrofag
yang merupakan penanda awal morfologik pembentukan aterosklerosis.
Aterogenesis yang dikarakteristikan dengan remodeling arteri dan menimbulkan
akumulasi subendotel komponen lemak (plak), telah diketahui sebagai penyakit progresif
dari dinding pembuluh darah, yang menyebabkan reduksi diameter lumen hingga suatu
kondisi dimana platelet menjadi aktif dan cukup untuk menutup pembuluh darah dan
menimbulkan infark miokard akut.

Tahap awal perkembangan plak dimulai dengan disfungsi endotel. Sel-sel


inflamasi akan memasuki dinding pembuluh darah dan tahap ini dikenal dengan
pertumbuhan fatty streak, dimana otot polos vascular berproliferasi dan bermigrasi dari
media ke dalam lesi yang menambah perkembangan lesi. Tahap berikutnya dikenal
dengan pembentukan inti lipid nekrotik, melalui apoptosis dan peningkatan aktivitas
proteolitik dan akumulasi lipid. Plak ini bersifat stabil, dan dapat berubah menjadi tidak
stabil, yang dikarakteristikkan dengan inti lipid nekrotik yang besar, infiltrasi sel
inflamasi dan kapsul fibrous yang tipis dan rapuh.
Hiperglikemia dapat menyebabkan gangguan dinamika energi, yang dapat
mengubah penggunaan miokard kepada oksidasi asam lemak yang kurang efisien dan
bersifat inflamasi. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi endotel mikrovaskular.
b) Kerentanan Darah
Kerentanan komponen darah, dapat berupa gangguan fungsi platelet,
hiperkoagulabilitas, mediator inflamasi dan hipofibrinolisis. Nitrogen oksida
menghambat proses agregasi trombosit, melalui aktifasi guanilat siklase (GC) sel
trombosit. Selanjutnya c-GMP yang terbentuk akan mengganggu fungsi trombosit dengan
cara menurunkan kadar Ca2+ sel trombosit. Sodium nitroprusid bekerja menghambat
fungsi trombosit, sedangkan nitrogliserin tidak. Sodium nitroprusida melepas NO saat
melekat pada trombosit, sedangkan nitrogliserin tidak. Selain mencegah agregasi
trombosit, NO juga mencegah adhesi trombosit.
Pada sel endotel normal, substansi aktif biologis disintesis dan dilepaskan untuk
mempertahankan homeostasis vascular, menjaga aliran darah dan mencegah thrombosis
dan diapedesis leukosit. Kerusakan sel endotel pada diabetes mellitus menyebabkan
terjadinya hiperplasia sel otot polos vaskular, oleh karena ketidakmampuan sel endotel
vascular mensintesis NO.
c) Kerentanan Otot Jantung
Mekanisme yang terlibat dalam penurunan kontraktilitas otot jantung pada
diabetes mellitus adalah adanya gangguan homeostasis kalsium, up-regulation sistem
renin-angiotensin, peningkatan stress oksidatif dan gangguan metabolisme substrat. Pada
diabetes, penyimpanan katekolamin berkurang atau bahkan menghilang yang
menyebabkan terjadinya gangguan fungsi sistolik dan diastolic. Kemampuan pembuluh
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolic terganggu dengan tonus pembuluh darah
epikard yang abnormal dan disfungsi endotel. Hal ini ditandai dengan adanya gangguan
relaksasi tergantung-endotel, suatu kerusakan yang dihubungkan dengan inaktivasi Nitrit
Oksida (NO) karena produk glikasi akhir yang banyak dan pembentukan radikal bebas.
Deposit dari produk glikasi akhir meningkatkan kekakuan diastolic ventrikel kiri secara
langsung dengan gangguan kolagen, atau secara tidak langsung dengan meningkatkan
pembentukan kolagen atau menurunkan bioavailibilitas NO.
Penurunan kadar insulin dapat menyebabkan penurunan substrat glikolitik untuk
otot jantung dan asam lemak bebas yang berlebih. Perubahan ini dapat mengurangi
kontraktilitas miokard terhadap kebutuhan oksigen, mengakibatkan kegagalan pompa dan
mengakibatkan aritmia.
Dasar terjadinya peningkatan risiko Penyakit Kardiovaskular pada penderita DM

belum diketahui secara pasti. Dari hasil penelitian didapatkan kenyataan bahwa : 12
a. Angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi pada penderita DM dibanding populasi non DM.
b. Penderita DM mempunyai risiko tinggi untuk mengalami trombosis, penurunan fibrinolisis
dan peningkatan respons inflamasi.
c. Pada penderita DM terjadi glikosilasi protein yang akan mempengaruhi integritas dinding
pembuluh darah.
Aterosklerosis pada penderita DM mulai terjadi sebelum timbul onset klinis DM. Studi
epidemiologik juga menunjukkan terjadinya peningkatan risiko payah jantung pada penderita
DM dibandingkan populasi non DM, yang ternyata disebabkan karena kontrol gula darah yang
buruk dalam waktu yang lama. Disamping itu berbagai faktor turut pula memperberat risiko
terjadinya payah jantung dan stroke pada penderita DM, antara lain hipertensi, resistensi insulin,
hiperinsulinemi, hiperamilinemi, dislipidemi, dan gangguan sistem koagulasi serta
hiperhomosisteinemi. (Haffner, 1998)
Semua faktor risiko ini kadang-kadang dapat terjadi pada satu individu dan merupakan
suatu kumpulan gejala yang dikenal dengan istilah sindrom resistensi insulin atau sindrom
metabolik. (Haffner, 1998)
Lesi aterosklerosis pada penderita DM dapat terjadi akibat:
1 Hiperglikemi
Hiperglikemi kronik menyebabkan disfungsi endotel melalui berbagai mekanisme antara
lain:
i. Hiperglikemi kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan
makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat antigenik dari
protein dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan tekanan intravaskular akibat
gangguan keseimbangan Nitrat Oksida (NO) dan prostaglandin.
ii. Hiperglikemi meningkatkan aktivasi protein kinase C (PKC) intraseluler sehingga akan
menyebabkan gangguan NADPH pool yang akan menghambat produksi NO.
iii. Overekspresi growth factors meningkatkan proliferasi sel endotel dan otot polos pembuluh
darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.
iv. Hiperglikemi akan meningkatkan sintesis diacylglyerol (DAG) melalui jalur glikolitik.
Peningkatan kadar DAG akan meningkatkan aktivitas protein kinase C (PKC). Baik DAG
maupun PKC berperan dalam memodulasi terjadinya vasokonstriksi.
v. Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan hiperglikemi akan
meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan peningkatan oxidized
lipoprotein, terutama small dense LDL-cholesterol (oxidized LDL) yang lebih bersifat
aterogenik. Disamping itu peningkatan kadar asam lemak bebas dan keadaan hiperglikemi
dapat meningkatkan oksidasi fosfolipid dan protein. (Haffner, 1998)
Hiperglikemi akan disertai dengan tendensi protrombotik dan aggregasi platelet. Keadaan ini
berhubungan dengan beberapa faktor antara lain penurunan produksi NO dan penurunan
aktivitas fibrinolitik akibat peningkatan kadar PAI-1. Disamping itu pada DM tipe 2 terjadi
peningkatan aktivitas koagulasi akibat pengaruh berbagai faktor seperti pembentukan advanced
glycosylation end products (AGEs) dan penurunan sintesis heparan sulfat. (Haffner, 1998)
Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi dengan disfungsi
endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang dapat menyebabkan overstimulasi dari

sel-sel endotel sehingga akan terjadi disfungsi endotel. (Haffner, 1998)


2

Resistensi insulin dan hiperinsulinemi


Jialal dan kawan-kawan menemukan adanya reseptor terhadap insulin yaitu IGF-I
dan IGF-II pada sel-sel dari pembuluh darah besar dan kecil dengan karakteristik ikatan
yang sama dengan yang ada pada sel-sel lain. Peneliti ini menyatakan bahwa reseptor
IGF-I dan IGF-II pada sel endotel terbukti berperan secara fisiologik dalam proses
terjadinya komplikasi vaskular pada penderita DM. Defisiensi insulin dan hiperglikemi
kronik dapat meningkatkan kadar total protein kinase C (PKC) dan diacylglycerol (DAG)
yang berperan dalam memodulasi terjadinya vasokonstriksi. Insulin juga mempunyai
efek langsung terhadap jaringan pembuluh darah. Pada penelitian terhadap jaringan
pembuluh darah dari obese Zucker rat didapatkan adanya resistensi terhadap sinyal PI3kinase. Temuan ini membuktikan bahwa resistensi insulin akan menimbulkan gangguan
langsung pada fungsi pembuluh darah. King dan kawan-kawan dalam penelitiannya
menggunakan kadar insulin fisiologis mendapatkan bahwa hormon ini dapat
meningkatkan kadar dan aktivitas mRNA dari eNOS sebesar 2 kali lipat setelah 2-8 jam
inkubasi sel endotel. Peneliti ini menyimpulkan bahwa insulin tidak hanya memiliki efek
vasodilatasi akut melainkan juga memodulasi tonus pembuluh darah. Toksisitas insulin
(hiperinsulinemi / hiperproinsulinemi) dapat menyertai keadaan resistensi insulin/
sindrom metabolik dan stadium awal dari DM tipe 2. Insulin meningkatkan jumlah
reseptor AT-1 dan mengaktifkan Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS). Akhirakhir ini telah dapat diidentifikasi adanya reseptor AT-1 didalam sel-sel beta pankreas dan
didalam sel-sel endotel kapiler pulau Langerhans pankreas. Jadi, hiperinsulinemi
mempunyai hubungan dengan Ang-II dengan akibat akan terjadi peningkatan stres
oksidatif didalam pulau Langerhans pankreas akibat peningkatan kadar insulin, proinsulin
dan amilin. (Haffner, 1998)

Hiperamilinemi
Amilin atau disebut juga Islet Amyloid Polypeptide (IAPP) merupakan
polipeptida yang mempunyai 37 gugus asam amino, disintesis dan disekresi oleh sel-sel
beta pankreas bersama-sama dengan insulin. Jadi keadaan hiperinsulinemi akan disertai
dengan hiperamilinemi dan sebaliknya bila terjadi penurunan kadar insulin akan disertai
pula dengan hipoamilinemi.
Hiperinsulinemi dan hiperamilinemi dapat menyertai
keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolik dan DM tipe 2. Terjadinya amiloidosis
(penumpukan endapan amilin) didalam islet diduga berhubungan dengan lama dan
beratnya resistensi insulin dan DM tipe 2. Sebaliknya , penumpukan endapan amilin
didalam sel-sel beta pankreas akan menurunkan fungsinya dalam mensekresi insulin.
Sakuraba dan kawan-kawan dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pada penderita DM
tipe 2, peningkatan stres oksidatif berhubungan dengan peningkatan pembentukan IAPP
didalam sel-sel beta pankreas. Dalam keadaan ini terjadi penurunan ekspresi enzim Super
Oxide Dismutase (SOD) yang menyertai pembentukan IAPP dan penurunan massa sel
beta. Temuan ini menunjukkan adanya hubungan antara terjadinya stres oksidatif dan

pembentukan IAPP serta penurunan massa dan densitas sel-sel beta pankreas. Amilin
juga dapat merangsang lipolisis dan merupakan salah satu mediator terjadinya resistensi
insulin. Baru-baru ini ditemukan pula amylin binding site didalam korteks ginjal, dimana
amilin dapat mengaktivasi RAAS dengan akibat terjadinya peningkatan kadar renin dan
aldosteron. Janson dan kawan-kawan mendapatkan adanya partikel amiloid (intermediate
sized toxic amyloid particles = ISTAPs) yang bersifat sitotoksik terhadap sel-sel beta
pankreas, dapat mengakibatkan apoptosis dengan cara merusak membran sel beta
pankreas. (Haffner, 1998)
Inflamasi

Dalam beberapa tahun terakhir, terbukti bahwa inflamasi tidak hanya


menimbulkan komplikasi Sindrom Koroner Akut, tetapi juga merupakan penyebab utama
dalam proses terjadinya dan progresivitas aterosklerosis. Berbagai pertanda inflamasi
telah ditemukan didalam lesi aterosklerosis, antara lain sitokin dan growth factors yang
dilepaskan oleh makrofag dan T cells. Sitokin akan meningkatkan sintesis Platelet
Activating Factor (PAF), merangsang lipolisis, ekspresi molekul2 adhesi dan upregulasi
sintesis serta ekspresi aktivitas prokoagulan didalam sel-sel endotel. Jadi sitokin
memainkan peran penting tidak hanya dalam proses awal terbentuknya lesi
aterosklerosis, melainkan juga progresivitasnya. Pelepasan sitokin lebih banyak terjadi
pada penderita DM, karena peningkatan dari berbagai proses yang mengaktivasi
makrofag (dan pelepasan sitokin), antara lain oksidasi dan glikoksidasi protein dan lipid.
Pelepasan sitokin yang dipicu oleh terbentuknya Advanced Glycosylation Endproducts
(AGEs) akan disertai dengan over produksi berbagai growth factors seperti :
PDGF (Platelet Derived Growth Factor)
IGF I (Insulin Like Growth Factor I)
GMCSF (Granulocyte/Monocyte Colony Stimulating Factor)
TGF- (Transforming Growth Factor-). (Haffner, 1998)
Semua faktor ini mempunyai pengaruh besar terhadap fungsi sel-sel pembuluh
darah. Disamping itu terjadi pula peningkatan pembentukan kompleks imun yang
mengandung modified lipoprotein. Tingginya kadar kompleks imun yang mengandung
modified LDL, akan meningkatkan risiko komplikasi makrovaskular pada penderita DM
baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2. Kompleks imun ini tidak hanya merangsang
pelepasan sejumlah besar sitokin tetapi juga merangsang ekspresi dan pelepasan matrix
metalloproteinase-1 (MMP-1) tanpa merangsang sintesis inhibitornya.
Aktivasi
makrofag oleh kompleks imun tersebut akan merangsang pelepasan Tumor Necrosis
Factor (TNF ) , yang menyebabkan up regulasi sintesis C-reactive protein. Baru-baru
ini telah ditemukan C-reactive protein dengan kadar yang cukup tinggi pada penderita
dengan resistensi insulin. Peningkatan kadar kompleks imun pada penderita DM tidak
hanya menyebabkan timbulnya aterosklerosis dan progresivitasnya, melainkan juga
berperan dalam proses rupturnya plak aterosklerotik dan komplikasi Jantung Koroner
selanjutnya. Kandungan makrofag didalam lesi aterosklerosis pada penderita DM
mengalami peningkatan, sebagai akibat dari peningkatan rekrutmen makrofag kedalam
dinding pembuluh darah karena pengaruh tingginya kadar sitokin. Peningkatan oxidized
LDL pada penderita DM akan meningkatkan aktivasi sel T yang akan meningkatkan
pelepasan interferon . Pelepasan interferon akan menyebabkan gangguan homeostasis

sel-sel pembuluh darah. Aktivasi sel T juga akan menghambat proliferasi sel-sel otot
polos pembuluh darah dan biosintesis kolagen, yang akan menimbulkan vulnerable
plaque, sehingga menimbulkan komplikasi Sindrom Koroner Akut. (Haffner, 1998)
Sampai sekarang masih terdapat kontroversi tentang mengapa pada pemeriksaan
patologi anatomi, plak pada DM tipe 1 bersifat lebih fibrous dan calcified, sedangkan
pada DM tipe 2 lebih seluler dan lebih banyak mengandung lipid.
Dalam suatu seri
pemeriksaan arteri koroner pada penderita DM tipe 2 setelah sudden death, didapatkan
area nekrosis, kalsifikasi dan ruptur plak yang luas. Sedangkan pada penderita DM tipe 1
ditemukan peningkatan kandungan jaringan ikat dengan sedikit foam cells didalam plak
yang memungkinkan lesi aterosklerosisnya relatif lebih stabil. (Haffner, 1998)
5

Trombosis/Fibrinolisis
Diabetes Melitus akan disertai dengan keadaan protrombotik yaitu perubahanperubahan proses trombosis dan fibrinolisis. Kelainan ini disebabkan karena adanya
resistensi insulin terutama yang terjadi pada penderita DM tipe 2. Walaupun demikian
dapat pula ditemukan pada penderita DM tipe 1. Peningkatan fibrinogen serta aktivitas
faktor VII dan PAI-1 baik didalam plasma maupun didalam plak aterosklerotik akan
menyebabkan penurunan urokinase dan meningkatkan aggregasi platelet. Penyebab
peningkatan fibrinogen diduga karena meningkatnya aktivitas faktor VII yang
berhubungan dengan terjadinya hiperlipidemi post prandial. Over ekspresi PAI-1 diduga
terjadi akibat pengaruh langsung dari insulin dan pro insulin. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa penurunan kadar PAI-1 setelah pengobatan DM tipe 2 dengan
thiazolidinediones menyokong hipotesis adanya peranan resistensi insulin dalam proses
terjadinya over ekspresi PAI-1. Peningkatan PAI-1 baik didalam plasma maupun didalam
plak aterosklerotik tidak hanya menghambat migrasi sel otot polos pembuluh darah,
melainkan juga disertai penurunan ekspresi urokinase didalam dinding pembuluh darah
dan plak aterosklerotik. Terjadinya proteolisis pada daerah fibrous cap dari plak yang
menunjukkan peningkatan aktivasi sel T dan makrofag akan memicu terjadinya ruptur
plak dengan akibat terjadinya Sindrom Koroner Akut.. Mekanisme yang mendasari
terjadinya keadaan hiperkoagulasi pada penderita DM dan resistensi insulin, masih dalam
penelitian lebih lanjut. (Haffner, 1998)
Dislipidemia
Dislipidemia yang akan menimbulkan stres oksidatif umum terjadi pada keadaan
resistensi insulin/sindrom metabolik dan DM tipe 2. Keadaan ini terjadi akibat gangguan
metabolisme lipoprotein yang sering disebut sebagai "lipid triad", meliputi :
a) Peningkatan kadar VLDL atau trigliserida
b) Penurunan kadar HDL cholesterol
c) Terbentuknya small dense LDL yang lebih bersifat aterogenik. (Haffner, 1998)
Ketiganya disebabkan oleh trigliserid dalam jaringan lemak (adipose) maupun
dalam darah (yaitu VLDL dan IDL) akan mengalami hidrolisis menjadi asam lemak
bebas dan gliserol. Proses hidrolisis ini terjadi oleh karena adanya enzim trigliserid
lipase. Terdapat dua jenis enzim trigliserid lipase yaitu lipoprotein lipase (LPL) yang
terdapat pada endothelium vaskular dan berfungsi memecah trigliserid dari lipoprotein
kaya trigliserid dalam plasma yaiu VLDL dan IDL. Enzim trigliserid lipase kedua

terdapat dalam jaringan lemak oleh karena itu disebut trigliserid lipase intravaskuler
adiposity (lipoprotein lipase intraseluler) yang juga disebut hormone sensitive lipase dan
berfungsi memecah simpanan trigliserid dalam jaringan bila diperlukan sebagai sumber
energi. Kerja kedua enzim tersebut sangat tergantung dari kadar insulin plasma dengan
pengertian kadar insulin plasma yang normal akan memacu kerja lipoprotein lipase dan
menghambat kerja lipoprotein lipase intraseluler. (Haffner, 1998)
Pada keadaan resistensi insulin, hormon sensitive lipase di jaringan adipose akan
menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserid di jaringan adipose semakin meningkat, kerja
enzim lipoprotein lipase intraseluler akan menjadi aktif sehingga terjadi lipolisis
trigliserid intraseluler. Keadaan ini akan menghasilkan asam lemak bebas (=FFA=NEFA)
yang berlebihan. Asam lemak bebas akan memasuki aliran darah, sebagian akan
digunakan sebagai sumber energi dan sebagian akan dibawa ke hati sebagai bahan baku
pembentukan trigliserid. Di hati asam lemak bebas akan menjadi trigliserid kembali dan
menjadi bagian dari VLDL. Oleh karena itu VLDL yang dibentuk akan sangat kaya
trigliserid disebut juga VLDL kaya trigliserid atau VLDL besar (enriched trigliseride
VLDL=large VLDL).Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar
dengan kolesterol ester dari LDL kolestrol. Hal mana akan menghasilkan LDL yang kaya
akan trigliserid tetapi kurang kolesterol ester (cholesterol ester depleted LDL). Trigliserid
yang dikandung oleh LDL akan dihidrolisis oleh enzim lipase hati yang biasanya
meningkat pada resistensi insulin sehingga menghasilkan LDL yang kecil padat (small
dense LDL). Partikel LDL kecil padat ini mudah teroksidasi dan sangat aterogenik.
(Haffner, 1998)
Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi insulin/ sindrom


metabolik dan sering menyertai DM tipe 2. Sedangkan pada penderita DM tipe 1,
hipertensi dapat terjadi bila sudah ditemukan tanda-tanda gangguan fungsi ginjal yang
ditandai dengan mikroalbuminuri. Adanya hipertensi akan memperberat disfungsi endotel
dan meningkatkan risiko Penyakit Jantung Koroner. Hipertensi disertai dengan
peningkatan stres oksidatif dan aktivitas Spesies Oksigen Radikal, yang selanjutnya akan
memediasi terjadinya kerusakan pembuluh darah akibat aktivasi Ang II dan penurunan
aktivitas enzim SOD. Sebaliknya glukotoksisitas akan menyebabkan peningkatan
aktivitas RAAS sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi. Penelitian
terbaru mendapatkan adanya peningkatan kadar amilin (hiperamilinemi) pada individu
yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi dan dengan resistensi insulin.
Hiperhomosisteinemi
Pada penderita DM baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2 ditemukan polimorfisme
gen dari enzim methylene tetrahydrofolate reductase yang dapat menyebabkan
hiperhomosisteinemi. Polimorfisme gen ini terutama terjadi pada penderita yang
kekurangan asam folat didalam dietnya. Hiperhomosisteinemi dapat diperbaiki dengan
suplementasi asam folat. Homosistein terutama mengalami peningkatan bila terjadi
gangguan fungsi ginjal. Peningkatan kadar homosistein biasanya menyertai penurunan
laju filtrasi glomerulus. Hiperhomosisteinemi dapat menyebabkan inaktivasi nitrat oksida
melalui hambatannya terhadap ekspresi glutathione peroxidase (GPx). (Haffner, 1998)

Pada penderita DM, terdapatnya iskemik atau miokard infark tidak disertai dengan nyeri dada
yang khas (Angina Pectoris). Keadaan ini dikenal dengan Silent Myocardial Ischemia atau Silent
Myocardial Infarction (SMI). Terjadinya SMI pada penderita DM diduga disebabkan karena:
Gangguan sensitivitas sentral terhadap rasa nyeri
Penurunan kadar b-endorfin

Neuropati perifer yang menyebabkan denervasi sensorik. (Zellweger, 2001)


Penatalaksanaan Penyakit Jantung pada Penderita DM
Berdasarkan rekomendasi ADA, target yang harus dicapai dalam penatalaksanaan
Diabetes Melitus dalam upaya menurunkan risiko kardiovaskular :
No Parameter
Target yang harus dicapai
1.
Kontrol glikemik :
- A1C
<7%
Kadar glukosa darah preprandial 90 130 mg/dl (5.0 7.2 mmol/l)
Kadar glukosa darah postprandial < 180 mg/dl (< 10.0 mmol/l)

2.

Tekanan darah

< 130/80 mmHg

3.

Lipid :
LDL
Trigliserida
HDL

< 100 mg/dl (< 2.6 mmol/l)


< 150 mg/dl (< 1.7 mmol/l)
> 40 mg/dl (>1.1 mmol/l)

Penurunan risiko kardiovaskular secara komprehensif, yaitu meliputi: Pengobatan


hiperglikemi dengan diet, obat-obat hipoglikemik oral atau insulin, antara lain:
a Golongan Sulfonilurea
Mekanisme kerja obat sulfonilurea, adalah:
Menstimulasi sel beta pancreas untuk menghasilkan insulin yang tersimpan. Karena
itu hanya dapat bermanfaat pada pasien yang memiliki kemampuan untuk mensekresi
insulin. Efek ekstra pankreas yaitu memeperbaiki sensitifitas insulin yang sudah ada.
Menurunkan Konsentrasi glukagon dalam serum.
Mekanisme penghambatannya masih belum jelas namun dapat terjadi karena
penghambatan langsung yang disebabkan karena peningkatan pelepasan inslin dan
somatostatin yang mampu menghambat sel alfa pankreas.
Meningkatkan kerja insulin pada sel target.
Peningkatan jumlah reseptor dapat meningkatkan reaksi dalam menurunkan kadar
gula darah dan dapat meningkatkan sensitivitas sel target dalam jaringan perifer.
Contoh : tolbutamid, klorpropamid, tolazamid, dan asetoheksamid. (Shepherd J,
1999)
b

Golongan Biguanid

Mekanisme kerja obat biguanid belum dapat dipastikan yang jelas kerja obat ini tidak
bergantung pada fungsi pulau langerhans pada pankreas, namun diperkirakan ada 4
mekanisme yang terjadi, yaitu:
Menstimulasi penurunan glikoneogenesis pada hepar.
mengurangi absorbsi glukosa pada saluran pencernaan.
Menurunkan konsentrasi glukagon pada plasma.
Meningkatkan pengikatan insulin pada reseptor insulin pada sel target.
Contoh : Metformin, fentoformin dan buformin. (Shepherd J, 1999)

Golongan Tiazolidinedion
Mekanisme kerja utamanya meningkatkan sensitivitas jaringan target terhadap insulin.
Obat ini memperkuat kerja insulin untuk meningkatkan ambilan glukosa dari darah dan
juga oksidasi glukosa pada otot dan jaringan lemak. (Shepherd J, 1999)

Alfa Glukosidase Inhibitor


Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam
saluran cerna, enzim glukosidase adalah enzim yang mengubah polisakarida menjadi
monosakarida agar mudah diserap oleh usus, sehingga pada penghambatan enzim alfa
glukosidase dapat menurunkan absorbsi gula pada usus, sehingga menurunkan
hiperglikemia post-prandial. Obat ini bekerja pada usus dan tidak menyebabakan
hipoglikemi dan juga tidak mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh kadar insulin.
(Shepherd J, 1999)

Pengobatan terhadap dislipidemi


Obat Penurun Lipid, Jenis, Cara Kerja, Dosis, dan Efek Samping

<

Pengobatan
terhadap
hipertensi
untuk
mencapai
tekanan darah
130/80
mmHg
dengan ACE
inhibitor,
Angiotensin
Receptor
Blockers
(ARB) atau b
blocker dan
diuretik.

Pengobatan iskemia dan infark


Tujuan pengobatan iskemia miokardium adalah memperbaiki ketidakseimbangan antara
kebutuhan oksigen dan suplai oksigen. Pemulihan keseimbangan dapat dicapai dengan
pengurangan kebutuhan oksigen dan peningkatan suplai oksigen. Nitrogliserin adalah terapi
utama untuk perbaikan iskemia, menghilangkan nyeri angina terutama dengan dilatasi arteria
dan vena perifer, dan secara sekunder dengan memperlancar distribusi aliran darah koroner
menuju daerah yang mengalami iskemia.
Propanolol suatu penghambat beta adrenegik, menghambat perkembangan iskemia
dengan menghambat secara selektif pengaruh susunan saraf simpatis terhadap jantung
melalui resptor beta. Rangsangan beta akan meningkatkan kecepatan denyut dan daya
kontraki jantung dengan demikian mampu mengurangi kebutuhan miokardium terhadap
oksigen. Digitalis dapat meredakan angina yang menyertai gagal jantung dengan
meningkatkan daya kontraksi dan juga meningkatkan curah sekuncup. Dengan meningkatnya
pengosongan ventrikel, maka ukuran ventrikel berkurang. Diuretic mengurangi volume darah
dan alir balik vena ke jantung dan dengan demikian mengurangi ukuran dan volume
ventrikel. Obat vasodilator atau antihipertensi dapat mengurangi tekanan dan resistensi
arteria terhadap ejeksi ventrikel. Akibatnya beban akhir berkurang. Sedative dan antidepresan
jug adapt mengurangi angina yang ditimbulkan oleh stress atau depresi.
Pengobatan primer yang diberikan setelah infark miokardium adalah tirah baring, agar
jaringan yang mengalami infark menyembuh, dengan demikian mengirani insidensi
terjadinya komplikasi serta menyelamatkan daerah iskemik di sekitar infark.
Aliran darah ke miokardium setelah suatu lesi aterosklerotik pada arteria koroner dapat
diperbaiki dengan operasi untuk mengalihkan aliran dari bagian yang tersumbat dengan suatu
cangkok pintas atau dengan meningkatkan aliran di dalam pembuluh sakit melalui pemisahan
mekanis serta kompresi atau pemakaian obat yang dapat melisiskan lesi.
Angioplasty menjadi salah satu alternative terhadap operasi pintas koroner untuk
beberapa penderita dengan penyempitan aterosklerosis bermakna yang resisten terhadap

terapi medis. Angioplasti dilakukan di laboratorium kateterisasi jantung dengan bantuan


fluoroskopi. Terapi ini sekarang dapat dilakukan untuk pasien dengan penyakit yang
melibatkan banyak pembuluh darah yang dapat dicapai oleh kateter.
Revaskularisasi bedah dilakukan pada vena safena magna tungkai dan arteri mamaria
interna kiri (LIMA) dari rongga dada. Pada pencangkokan pintas dengan vena safena, satu
ujung dari vene ini disambung ke aorta asenden dan ujung lain pada bagian pembuluh darah
distal sumbatan.jika dengan memakai LIMA, ujung awal dari arteria mamaria interna kiri
biasanya tetap utuh dan ujung distalnya dipotong dan dianastomosiskan ke arteria koronaria.
Pengobatan awal dalam waktu tiga sampai enam jam pertama setelah awitan gejala, telah
diterima luas sebagai batas waktu untuk memberikan terapi trombolitik, karena miokardium
akan nekrosis jika reperfusi koroner tidak berjalan sebelum terjadi kerusakan ireversibel.
Terapi utama untuk reperfusi koroner akut adalah segolongan obat yang dikenal sebagai
fibrinolitik yaitu streptokinase, urokinase, activator plasminogen jaringan dan kompleks
activator plasmnogen yang tidak terisolasi. (Shepherd J, 1999)
5

Rehabilitasi
Tujuan akhir pengobatan penyakit aterosklerosis adalah mengembalikan penderita ke
gaya hidup produktif dan menyenangkan. Sedini mungkin pasien didaftarkan pada program
rehabilitasi kardiovaskuler dan kemudian terus dilanjutkan meskipun pasien sudah pulang ke
rumahnya. Rehabilitasi jantung adalah proses untuk memulihkan dan memelihari potensi
fisik, psikologis, social, pendidikan dan pekerjaan dari pasien.
Pasien harus dibantu untuk meneruskan kembali tingkat kegiatan mereka sesuai dengan
kemampuan mereka dan tidak dihambat oleh psikologis. Petunjuk diet yang tegas dan sesuai
dengan kebutuhan pribadi, pengobatan, kelanjutan aktiitas dan pengawasan factor risiko
merupakan keharusan. Setiap pasien dan keluarga membutuhkan bimbingan dan pendidikan
selama masa peralihan yaitu dari keadaan sakit dimana mereka tergantung pada orang lain ke
keadaan sehat dimana mereka dapat berdiri sendiri. (Shepherd J, 1999)

BAB III
ANALISA KASUS
Wanita, 46 tahun, datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan penurunan
kesadaran sejak 2,5 jam SMRS. Penurunan kesadaran tidak disertai dengan keluhan mual,
muntah dan kejang sebelumnya. Pasien sering mengeluh badan lemah pada saat
melakukan kegiatan sehari-hari, sesak pada dada bagian kiri bawah yang tidak
dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan debu. Terdapat riwayat kencing manis dan jantung
membengkak sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/80,
konjungtiva anemis pada kedua mata, ronkhi basah halus pada kedua lapang paru, gallop,
peningkatan desakan vena sentral (5 +5), visus menurun (5/6) dan edema tungkai. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan KGD 30, Hb 8, ureum 85,6, kreatinin 3,89 dan
abnormalitas pada EKG.
Diabetes Melitus dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronis, baik
mikroangiopati seperti retinopati dan nefropati maupun makroangiopati seperti penyakit
jantung koroner, stroke, dan juga penyakit pembuluh darah tungkai bawah. Pada penyakit
jantung dapat terjadi infark miokard atau gagal jantung kongestif. Pada penderita diabetes
mellitus dapat terjadi nyeri dada yang tidak khas (angina pectoris) dan disebut silent
myocard ischaemic. Pada pasien sudah didapatkan riwayat DM sejak tahun 2011 dan
sempat tidak terkontrol. Dan pada tahun 2013, pasien juga pernah didiagnosis penyakit
jantung. Hal ini dikaitkan dengan kadar gula darah pasien. Hiperglikemi dapat menjadi
salah satu penyebab rusaknya pembuluh darah. Sehingga pada pasien dengan diabetes
mellitus dapat dengan mudah terjadi penyakit kardiovaskular seperti gagal jantung.

DAFTAR PUSTAKA
Arisman MB. Dislipidemia. Dalam: Mahode AA, editor (penyunting). Buku Ajar Ilmu Gizi
Obesitas, Diabetes Mellitus, Dan Dislipidemia. Jakarta: EGC; 2010. hlm. 127.
Alvin .C. Diabetes Melitus in Harrison internal Medicine 17 Th Edition, 2008. P: 2052 2063
Bonakdaran S, S Ebrahmizadeh, SH Noghabi. Cardiovascular disease and risk factors in patients
with type 2 diabetes mellitus in Mashhad, Islamic Republic of Iran. Eastern
Mediterranean Health Journal. 2011;17(9):640-6.
Haffner SM et.al. Mortality from Coronary Heart Disease in Subjects with Type 2 Diabetes and
Non-Diabetic Subjects With or Without Prior Myocardial Infarction. N Eng J Med. 1992.
p: 229-339
PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia 2011
(Update: 29 Maret 2015). [Web] http://www.perkeni.org/ .
RISKESDAS.
Laporan
Nasional
2007
(Update:
29
Maret
2015).
[Web]
http://www.k4health.org/sites/default/files/laporanNasional%20Riskesdas%202007.pdf.
Shahab A. Komplikasi kronik DM penyakit jantung koroner. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, editor (penyunting). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Edisi ke-4. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. hlm. 1894-6.
Shepherd J, Cobbe SM, Ford I, et al, for the West of Scotland Coronary Prevention: Pathogenesis
of Atherogenic Dyslipidemia. Clin Invest.; 1999. (Suppl 2) p:12-16.
Sugondo. Obesitas. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, editor
(penyunting). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi ke-4. Jakarta : Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. hlm. 1919-23.
Suyono S. Kecenderungan peningkatan jumlah penyandang diabetes dan Patofisiologi diabetes
melitus. Dalam: Sugondo S, Soewondo P, Subekti I, editor (penyunting). Penatalaksanaan
diabetes melitus terpadu. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2009. hlm. 7-18.
Zellweger MJ and Pfistere ME. Silent Coronary Artery Disease in Patient with Diabetes Melitus.
Swiss Med. 2001. p: 427-432

Anda mungkin juga menyukai