LAPORAN KASUS
I.
II.
Identitas Pasien
Nama
: Ny. IS
Usia
: 46 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Cipanas
Agama
: Islam
Pekerjaan
Pendidikan
Status
: Menikah
Masuk RS
: 14 Maret 2015
Keluar RS
: 18 Maret 2015
No. RM
: 862857
: SMA
Anamnesis:
Autoanamnesis dan Alloanamnesis (tanggal 17 Maret 2015)
Keluhan Utama:
Penurunan kesadaran sejak 2,5 jam SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan penurunan kesadaran sejak
2,5 jam SMRS. Sebelum terjadi penurunan kesadaran, tidak terdapat keluhan mual,
muntah, dan kejang pada pasien. Pasien hanya mengeluh badannya terasa lemah dan
nyeri kepala. Pasien sering mengeluh kesemutan pada tangan dan kakinya serta gatalgatal pada bagian perut dan punggung. Pasien juga mengeluh berat badannya
menurun dibanding sebelumnya. Pasien pernah didiagnosis kencing manis pada tahun
2011 dan aktif melakukan pengobatan rutin hingga 2 tahun. Pasien juga sudah
mengurangi porsi makanannya dan membatasi konsumsi gula perhari. Setelah
1
dinyatakan kadar gula darah pasien stabil, pola makan pasien menjadi tidak teratur
kembali. Pasien juga tidak pernah kontrol untuk diabetesnya lagi.
Pada akhir tahun 2014, pasien pernah mengalami keluhan serupa (penurunan
kesadaran), dan setelah diperiksa, kadar gula darahnya rendah (<50). Namun
keesokan harinya gula darahnya naik hingga melebihi 200 dan mengalami penurunan
drastis setelah meminum obat untuk gula darahnya.
Sejak tahun 2013, pasien mengeluh sering terasa mudah lelah dan jantung
berdebar-debar. Terkadang dirasakan sesak terutama pada dada bagian tengah kiri.
Sesak dirasakan semakin bertambah pada saat aktivitas dan berkurang dengan
istirahat. Tidak terdapat perubahan pada sesaknya dengan perubahan posisi tidur.
Pasien juga sering terbangun akibat sesak. Sesak tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca
dan debu. Pasien pernah berobat jalan dan dilakukan rontgen. Diakui pasien dari hasil
rontgen dokter menyatakan jantungnya sedikit membengkak. Tidak terdapat riwayat
BAK sedikit. Riwayat menopause sejak tahun 2012 dan tidak terdapat riwayat
penggunaan KB oral maupun suntik.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat kencing manis (+)
III.
Pemeriksaan Fisik
2
Status Generalis:
Keadaan sakit
Kesadaran
: Composmentis
Tekanan Darah
: 160/80 mmHg
Nadi
: 84 x/ menit
RR
: 20 x/ menit
Suhu
: 37 C
Keadaan Spesifik:
Kulit
Warna sawo matang, jaringan parut (-), keringat umum dan lokal (+), Ikterik (-).
Kelenjar Getah Bening
Kelenjar getah bening submandibula, leher, axilla dan inguinal tidak ada pembesaran.
Kepala
Normocephal, ekspresi biasa.
Mata
Eksopthalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (-), conjunctiva palpebra pucat (+)
pada kedua mata, sklera ikterik (-) pada kedua mata, pupil isokhor, reflek cahaya normal,
pergerakan bola mata ke segala arah baik, visus 5/6
Hidung
Septum nasal normal, lapisan mukus normal, epistaksis (-), pernapasan cuping hidung (-)
Telinga
Kedua meatus akustikus dalam keadaan normal, lubang telinga cukup bersih, nyeri tekan
proc. mastoideus (-), selaput pendengaran tidak ada kelainan.
Mulut
Bibir simetris, pembesaran tonsil (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), atropi papil (-),
sianosis (-).
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP meningkat 5 + 5
Dada
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Genital
Tidak diperiksa
Ekstremitas
Ekstremitas atas
: Nyeri sendi (-), gerakan bebas, pitting edema (+/-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, telapak tangan pucat (+), jari tabuh (-) turgor
kembali lambat (-), capillary refill time > 2 detik
Ekstremitas bawah : Nyeri sendi (-), gerakan bebas, pitting edema (+/-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, telapak kaki pucat (+), jari tabuh (-), turgor
kembali lambat (-), capillary refill time > 2 detik
Berat badan
Tinggi badan
IMT
IV.
: 89 kg
: 155 cm
: 26,99
Pemeriksaan Penunjang
Kadar Glukosa Darah Sewaktu 14 Maret 2015
30 mg/dL
Darah lengkap 14 Maret 2015
Flag
s
Lab
Result
Unit
Normal
WBC
9,8
10^3/
RBC
3,24
10^6/
HGB
8,0
g/dl
HCT
24,6
37 - 52
MCV
75,9
fL
80 - 99
5,2 12,4
4,2 - 6,1
11,717,3
Lab
Result
Flags
Unit
Normal
Lymph
0,9
10^3/
1,0-3,0
Gra
8,0
10^3/
2,0-7,0
Mon
0,9
10^3/
0,2-1,0
Lymp
%
Mon %
9,4
25 - 40
8,8
2-8
MCH
MCHC
24,7
32,5
L
L
pg
g/dl
RDW
13,7
PLT
318
10^3/
27 - 31
33 - 37
11,5 14,5
150 450
Gra %
MPV
81,8
7,0
%
10^3/
PCT
0,223
PDW
12,9
50 - 70
7 - 11
0,200 0,500
10 18
Resul
t
Flags
Unit
Norma
l
Lab
Result
Neut
80,2
40 - 74
WBC
10,61
Lymph
Mono
Eos
Baso
Luc
10,0
4,8
4,0
0,1
1,0
%
%
%
%
%
19 - 48
3,4 - 9
0-7
0 - 1,5
0-4
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
3,06
8,0
25,2
82,3
26
31,6
L
L
L
L
L
10^6/
g/dl
%
fL
pg
g/dl
RDW
16,6
PLT
229
Flags
Unit
Normal
5,2 12,4
4,2 - 6,1
18-Dec
37 - 52
80 - 99
27 - 31
33 - 37
11,5 14,5
150 450
10^3/
10^3/
GDS: 247
Kimia Klinik 17 Maret 2015
Hasil
Metode
Nilai
Normal
Satuan
Glukosa
Sewaktu
201
GOD-PAP
70 - 150
mg/dL
Ureum
85,6
Urease UV
Liqui
10,0 50,0
mg/dL
Kreatinin
3,89
Jaffe Comp
ST.A
0,6 - 1,83
mg/dL
Pemeriksaan
V.
Resume
Wanita, 46 tahun, datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan penurunan kesadaran
sejak 2,5 jam SMRS. Penurunan kesadaran tidak disertai dengan keluhan mual,
muntah dan kejang sebelumnya. Pasien sering mengeluh badan lemah pada saat
melakukan kegiatan sehari-hari, sesak pada dada bagian kiri bawah yang tidak
dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan debu. Terdapat riwayat kencing manis dan
jantung membengkak sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah
6
160/80, konjungtiva anemis pada kedua mata, ronkhi basah halus pada kedua lapang
paru, gallop, peningkatan desakan vena sentral (5 +5), visus menurun (5/6) dan
edema tungkai. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan KGD 30, Hb 8, ureum 85,6,
kreatinin 3,89 dan abnormalitas pada EKG.
VI.
Diagnosis
Diabetes Melitus Type 2
Renal Insufisiency
Hipertensi Stage II
Anemia
VII.
Diagnosis Banding
Chronic Kidney Disease
VIII. Penatalaksanaan
Nonmedikamentosa
Bed rest
Diet 1700 kalori
Dower Catheter -> pantau balance cairan
Medikamentosa
O2 4 L/mnt
Asam folat 2 x 5mg
Vitamin B12 2 x 50mg
Amlodipin 1 x 10 mg
Inj. Furosemid 1 x 20 mg
Transfusi PRC 1500 ml
Infus RL 10 gtt/menit
IX.
Rencana Pemeriksaan
Observasi tanda-tanda vital
Elektrolit
Urin lengkap
Ureum dan kreatinin
Anemia profile
Lipid profile
Rontgen thorax
X.
Prognosis
Quo ad vitam
: dubia ad malam
Quo ad functionam
: dubia ad malam
7
Quo ad sanactionam
XI.
: dubia ad malam
Daftar Masalah
Sinkop
Anemia
Edema tungkai
Hipertensi
Renal Insufisiency
XII.
S
: CM, sesak (-), lemas (+), mual (-), muntah (-), BAB (+), BAK (+), nyeri
kepala (+)
O
:
KU : Tampak sakit berat
Tekanan Darah
: 150/80 mmhg
Nadi
: 82x/menit
Pernapasan
: 20 x/menit
Suhu
: 36,5 C
Mata
: Sklera ikterik -/Konjunctiva anemis +/+
Edema Palpebra -/Leher:
: KGB ttm, JVP meningkat (5 +5)
Cor
: BJ 1 & 2 normal reguler, murmur (-), gallop (+)
Pulmo
: VBS +/+, Ronki basah halus -/-, wheezing -/Abdomen
: Supel, shifting dulness (-), BU(+) N
Extremitas
: Edema extr. superior +/Edema extr. Inferior +/A : Nefropathy diabetikum + Diabetes Melitus dengan Hipoglikemi
P :
Bed Rest
Infus RL 15 gtt/menit
Inj. Furosemid 2 x 40 mg
Spironolakton 1 x 100 mg
Amlodipin 1 x 10 mg
Captopril 2 x 12,5 mg
Transfusi PRC 2 kantong
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.
Definisi Diabetes
Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula
darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan
atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. (Alvin, 2008)
1.2.
Klasifikasi Diabetes
Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya (ADA, 2003)
Patofisiologi
Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan selsel pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada pula yang
disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, Cito Megalo
Virus, Herpes, dan lain sebagainya.
Destruksi autoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung
mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan
gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel
kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita
DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel . Secara normal,
hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini
tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini
memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya
penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi
insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka
akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton.
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1,
namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan
kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa
mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah,
defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai
akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam
darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di
jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh
tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan
sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati
dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar
jaringan tubuh) di jaringan adiposa. (Suyono, 2009)
Diabetes Melitus Tipe 2
Patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal.
Keadaan ini lazim disebut sebagai Resistensi Insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya
hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan
sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak
terjadi pengrusakan sel-sel Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada
DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya
bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak
memerlukan terapi pemberian insulin.
Sel-sel kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi
insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20
menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel menunjukkan
gangguan pada
sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan
sel-sel
pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan
mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insulin. (Suyono, 2009)
Diabetes Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan
diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya
berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui
menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. Diabetes
dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat setelah
melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang
dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir
dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita
GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol
metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut. (Suyono, 2009)
1.4.
Manifestasi Klinis
lebih lanjut. Hal yang sering menyebabkan pasien datang berobat ke dokter adalah
adanya keluhan yang mengenai beberapa organ tubuh, antara lain:
a. Gangguan penglihatan: katarak
b. Kelainan kulit: gatal dan bisul-bisul
c. Kesemutan, rasa baal
d. Kelemahan tubuh
e. Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh
f. Infeksi saluran kemih. (Suyono, 2009)
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah genital ataupun daerah
lipatan kulit lain, seperti di ketiak dan di bawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya
jamur. Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul-bisul atau luka lama yang tidak mau
sembuh. Luka ini dapat timbul akibat hal sepele seperti luka lecet karena sepatu, tertusuk
peniti dan sebagainya. Rasa baal dan kesemutan akibat sudah terjadinya neuropati juga
merupakan keluhan pasien, disamping keluhan lemah dan mudah merasa lelah. Keluhan
lain yang mungkin menyebabkan pasien datang berobat ke dokter adalah keluhan mata
kabur yang disebabkan oleh katarak ataupun gangguan-gangguan refraksi akibat
perubahan-perubahan pada lensa akibat hiperglikemia. Tanda-tanda dan gejala klinik
diabetes melitus pada lanjut usia:
a. Penurunan berat badan yang drastis dan katarak yang sering terjadi pada gejala
awal
b. Infeksi bakteri dan jamur pada kulit (pruritus vulva untuk wanita) dan infeksi
traktus urinarius sulit untuk disembuhkan.
c. Disfungsi neurologi, termasuk parestesi, hipestesi, kelemahan otot dan rasa sakit,
mononeuropati, disfungsi otonom dari traktus gastrointestinal (diare), sistem
kardiovaskular (hipotensi ortostatik), sistem reproduksi (impoten), dan
inkontinensia stress.
d. Makroangiopati yang meliputi sistem kardiovaskular (iskemia, angina, dan infark
miokard), perdarahan intra serebral (TIA dan stroke), atau perdarahan darah tepi
(tungkai diabetes dan gangren).
Mikroangiopati meliputi mata (penyakit makula, hemoragik, eksudat), ginjal
(proteinuria, glomerulopati, uremia)
1.5.
Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik
yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
dengan glukometer.
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. (Suyono, 2009)
GDP126126
GPS200200
GDP126100-125<100
GDS200140-199<140
DM
TTGO
GD 2 JAM
200140-199<140
TGT
GDPT
Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM,
namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih
dini secara tepat.
Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa,
merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan
faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Skema langkah-langkah pemeriksaan pada
kelompok yang memiliki risiko DM dapat dilihat pada bagan1.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal(mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan
rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan
penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general
check-up. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan
penyaring. (Suyono, 2009)
Kadar glukosa (mg/dl )
Bukan DM
Belum pasti
DM
DM
Sewaktu
Puasa
1.6.
Plasma Vena
Darah Kapiler
Plasma Vena
Darah Kapiler
< 110
< 90
< 110
< 90
110 199
90 199
110 125
90 109
200
200
126
110
Risiko terjadinya penyakit kardiovaskular meningkat dua kali lipat pada perokok. Nikotin pada
rokok dapat merusak dinding pembuluh darah yaitu pada endotel melalui pengeluaran
katekolamin dan mempermudah pengumpalan darah sehingga menimbulkan terjadinya
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Karbon monoksida (CO) pada rokok dapat
menimbulkan desaturasi hemoglobin yang menurunkan langsung persediaan oksigen untuk
jaringan termasuk miokard serta mempercepat aterosklerosis. (Arisman, 2010)
5. Hiperglikemia
Hiperglikemia berbahaya terhadap berbagai sel dan sistem organ karena pengaruhnya terhadap
sistem imun, dapat bertindak sebagai mediator inflamasi, mengakibatkan respon vaskular, dan
respon sel otak. Pada keadaan hiperglikemia mudah terjadi infeksi karena adanya disfungsi
fagosit. Hiperglikemia akut dapat menyebabkan berbagai efek buruk pada sistem kardiovaskular,
antara lain memudahkan terjadinya gagal jantung. Kejadian trombosis seringkali berhubungan
dengan hiperglikemia. Hiperglikemia dapat menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik plasma
dan aktivitas aktivator plasminogen jaringan, peningkatan aktivitas inhibitor aktivator
plasminogen (PAI-1), dan peningkatan aktivitas trombosit. Hiperglikemia merangsang inflamasi
akut tampak dari terjadinya peningkatan petanda sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis
factor- (TNF-) dan interleukin-6 (IL-6). Peningkatan petanda sitokin inflamasi tersebut
kemungkinan terjadi melalui induksi faktor transkripsional proinflamasi yaitu nuclear factor
(NF-). (Shahab, 2007)
belum diketahui secara pasti. Dari hasil penelitian didapatkan kenyataan bahwa : 12
a. Angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi pada penderita DM dibanding populasi non DM.
b. Penderita DM mempunyai risiko tinggi untuk mengalami trombosis, penurunan fibrinolisis
dan peningkatan respons inflamasi.
c. Pada penderita DM terjadi glikosilasi protein yang akan mempengaruhi integritas dinding
pembuluh darah.
Aterosklerosis pada penderita DM mulai terjadi sebelum timbul onset klinis DM. Studi
epidemiologik juga menunjukkan terjadinya peningkatan risiko payah jantung pada penderita
DM dibandingkan populasi non DM, yang ternyata disebabkan karena kontrol gula darah yang
buruk dalam waktu yang lama. Disamping itu berbagai faktor turut pula memperberat risiko
terjadinya payah jantung dan stroke pada penderita DM, antara lain hipertensi, resistensi insulin,
hiperinsulinemi, hiperamilinemi, dislipidemi, dan gangguan sistem koagulasi serta
hiperhomosisteinemi. (Haffner, 1998)
Semua faktor risiko ini kadang-kadang dapat terjadi pada satu individu dan merupakan
suatu kumpulan gejala yang dikenal dengan istilah sindrom resistensi insulin atau sindrom
metabolik. (Haffner, 1998)
Lesi aterosklerosis pada penderita DM dapat terjadi akibat:
1 Hiperglikemi
Hiperglikemi kronik menyebabkan disfungsi endotel melalui berbagai mekanisme antara
lain:
i. Hiperglikemi kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan
makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat antigenik dari
protein dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan tekanan intravaskular akibat
gangguan keseimbangan Nitrat Oksida (NO) dan prostaglandin.
ii. Hiperglikemi meningkatkan aktivasi protein kinase C (PKC) intraseluler sehingga akan
menyebabkan gangguan NADPH pool yang akan menghambat produksi NO.
iii. Overekspresi growth factors meningkatkan proliferasi sel endotel dan otot polos pembuluh
darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.
iv. Hiperglikemi akan meningkatkan sintesis diacylglyerol (DAG) melalui jalur glikolitik.
Peningkatan kadar DAG akan meningkatkan aktivitas protein kinase C (PKC). Baik DAG
maupun PKC berperan dalam memodulasi terjadinya vasokonstriksi.
v. Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan hiperglikemi akan
meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan peningkatan oxidized
lipoprotein, terutama small dense LDL-cholesterol (oxidized LDL) yang lebih bersifat
aterogenik. Disamping itu peningkatan kadar asam lemak bebas dan keadaan hiperglikemi
dapat meningkatkan oksidasi fosfolipid dan protein. (Haffner, 1998)
Hiperglikemi akan disertai dengan tendensi protrombotik dan aggregasi platelet. Keadaan ini
berhubungan dengan beberapa faktor antara lain penurunan produksi NO dan penurunan
aktivitas fibrinolitik akibat peningkatan kadar PAI-1. Disamping itu pada DM tipe 2 terjadi
peningkatan aktivitas koagulasi akibat pengaruh berbagai faktor seperti pembentukan advanced
glycosylation end products (AGEs) dan penurunan sintesis heparan sulfat. (Haffner, 1998)
Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi dengan disfungsi
endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang dapat menyebabkan overstimulasi dari
Hiperamilinemi
Amilin atau disebut juga Islet Amyloid Polypeptide (IAPP) merupakan
polipeptida yang mempunyai 37 gugus asam amino, disintesis dan disekresi oleh sel-sel
beta pankreas bersama-sama dengan insulin. Jadi keadaan hiperinsulinemi akan disertai
dengan hiperamilinemi dan sebaliknya bila terjadi penurunan kadar insulin akan disertai
pula dengan hipoamilinemi.
Hiperinsulinemi dan hiperamilinemi dapat menyertai
keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolik dan DM tipe 2. Terjadinya amiloidosis
(penumpukan endapan amilin) didalam islet diduga berhubungan dengan lama dan
beratnya resistensi insulin dan DM tipe 2. Sebaliknya , penumpukan endapan amilin
didalam sel-sel beta pankreas akan menurunkan fungsinya dalam mensekresi insulin.
Sakuraba dan kawan-kawan dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pada penderita DM
tipe 2, peningkatan stres oksidatif berhubungan dengan peningkatan pembentukan IAPP
didalam sel-sel beta pankreas. Dalam keadaan ini terjadi penurunan ekspresi enzim Super
Oxide Dismutase (SOD) yang menyertai pembentukan IAPP dan penurunan massa sel
beta. Temuan ini menunjukkan adanya hubungan antara terjadinya stres oksidatif dan
pembentukan IAPP serta penurunan massa dan densitas sel-sel beta pankreas. Amilin
juga dapat merangsang lipolisis dan merupakan salah satu mediator terjadinya resistensi
insulin. Baru-baru ini ditemukan pula amylin binding site didalam korteks ginjal, dimana
amilin dapat mengaktivasi RAAS dengan akibat terjadinya peningkatan kadar renin dan
aldosteron. Janson dan kawan-kawan mendapatkan adanya partikel amiloid (intermediate
sized toxic amyloid particles = ISTAPs) yang bersifat sitotoksik terhadap sel-sel beta
pankreas, dapat mengakibatkan apoptosis dengan cara merusak membran sel beta
pankreas. (Haffner, 1998)
Inflamasi
sel-sel pembuluh darah. Aktivasi sel T juga akan menghambat proliferasi sel-sel otot
polos pembuluh darah dan biosintesis kolagen, yang akan menimbulkan vulnerable
plaque, sehingga menimbulkan komplikasi Sindrom Koroner Akut. (Haffner, 1998)
Sampai sekarang masih terdapat kontroversi tentang mengapa pada pemeriksaan
patologi anatomi, plak pada DM tipe 1 bersifat lebih fibrous dan calcified, sedangkan
pada DM tipe 2 lebih seluler dan lebih banyak mengandung lipid.
Dalam suatu seri
pemeriksaan arteri koroner pada penderita DM tipe 2 setelah sudden death, didapatkan
area nekrosis, kalsifikasi dan ruptur plak yang luas. Sedangkan pada penderita DM tipe 1
ditemukan peningkatan kandungan jaringan ikat dengan sedikit foam cells didalam plak
yang memungkinkan lesi aterosklerosisnya relatif lebih stabil. (Haffner, 1998)
5
Trombosis/Fibrinolisis
Diabetes Melitus akan disertai dengan keadaan protrombotik yaitu perubahanperubahan proses trombosis dan fibrinolisis. Kelainan ini disebabkan karena adanya
resistensi insulin terutama yang terjadi pada penderita DM tipe 2. Walaupun demikian
dapat pula ditemukan pada penderita DM tipe 1. Peningkatan fibrinogen serta aktivitas
faktor VII dan PAI-1 baik didalam plasma maupun didalam plak aterosklerotik akan
menyebabkan penurunan urokinase dan meningkatkan aggregasi platelet. Penyebab
peningkatan fibrinogen diduga karena meningkatnya aktivitas faktor VII yang
berhubungan dengan terjadinya hiperlipidemi post prandial. Over ekspresi PAI-1 diduga
terjadi akibat pengaruh langsung dari insulin dan pro insulin. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa penurunan kadar PAI-1 setelah pengobatan DM tipe 2 dengan
thiazolidinediones menyokong hipotesis adanya peranan resistensi insulin dalam proses
terjadinya over ekspresi PAI-1. Peningkatan PAI-1 baik didalam plasma maupun didalam
plak aterosklerotik tidak hanya menghambat migrasi sel otot polos pembuluh darah,
melainkan juga disertai penurunan ekspresi urokinase didalam dinding pembuluh darah
dan plak aterosklerotik. Terjadinya proteolisis pada daerah fibrous cap dari plak yang
menunjukkan peningkatan aktivasi sel T dan makrofag akan memicu terjadinya ruptur
plak dengan akibat terjadinya Sindrom Koroner Akut.. Mekanisme yang mendasari
terjadinya keadaan hiperkoagulasi pada penderita DM dan resistensi insulin, masih dalam
penelitian lebih lanjut. (Haffner, 1998)
Dislipidemia
Dislipidemia yang akan menimbulkan stres oksidatif umum terjadi pada keadaan
resistensi insulin/sindrom metabolik dan DM tipe 2. Keadaan ini terjadi akibat gangguan
metabolisme lipoprotein yang sering disebut sebagai "lipid triad", meliputi :
a) Peningkatan kadar VLDL atau trigliserida
b) Penurunan kadar HDL cholesterol
c) Terbentuknya small dense LDL yang lebih bersifat aterogenik. (Haffner, 1998)
Ketiganya disebabkan oleh trigliserid dalam jaringan lemak (adipose) maupun
dalam darah (yaitu VLDL dan IDL) akan mengalami hidrolisis menjadi asam lemak
bebas dan gliserol. Proses hidrolisis ini terjadi oleh karena adanya enzim trigliserid
lipase. Terdapat dua jenis enzim trigliserid lipase yaitu lipoprotein lipase (LPL) yang
terdapat pada endothelium vaskular dan berfungsi memecah trigliserid dari lipoprotein
kaya trigliserid dalam plasma yaiu VLDL dan IDL. Enzim trigliserid lipase kedua
terdapat dalam jaringan lemak oleh karena itu disebut trigliserid lipase intravaskuler
adiposity (lipoprotein lipase intraseluler) yang juga disebut hormone sensitive lipase dan
berfungsi memecah simpanan trigliserid dalam jaringan bila diperlukan sebagai sumber
energi. Kerja kedua enzim tersebut sangat tergantung dari kadar insulin plasma dengan
pengertian kadar insulin plasma yang normal akan memacu kerja lipoprotein lipase dan
menghambat kerja lipoprotein lipase intraseluler. (Haffner, 1998)
Pada keadaan resistensi insulin, hormon sensitive lipase di jaringan adipose akan
menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserid di jaringan adipose semakin meningkat, kerja
enzim lipoprotein lipase intraseluler akan menjadi aktif sehingga terjadi lipolisis
trigliserid intraseluler. Keadaan ini akan menghasilkan asam lemak bebas (=FFA=NEFA)
yang berlebihan. Asam lemak bebas akan memasuki aliran darah, sebagian akan
digunakan sebagai sumber energi dan sebagian akan dibawa ke hati sebagai bahan baku
pembentukan trigliserid. Di hati asam lemak bebas akan menjadi trigliserid kembali dan
menjadi bagian dari VLDL. Oleh karena itu VLDL yang dibentuk akan sangat kaya
trigliserid disebut juga VLDL kaya trigliserid atau VLDL besar (enriched trigliseride
VLDL=large VLDL).Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar
dengan kolesterol ester dari LDL kolestrol. Hal mana akan menghasilkan LDL yang kaya
akan trigliserid tetapi kurang kolesterol ester (cholesterol ester depleted LDL). Trigliserid
yang dikandung oleh LDL akan dihidrolisis oleh enzim lipase hati yang biasanya
meningkat pada resistensi insulin sehingga menghasilkan LDL yang kecil padat (small
dense LDL). Partikel LDL kecil padat ini mudah teroksidasi dan sangat aterogenik.
(Haffner, 1998)
Hipertensi
Pada penderita DM, terdapatnya iskemik atau miokard infark tidak disertai dengan nyeri dada
yang khas (Angina Pectoris). Keadaan ini dikenal dengan Silent Myocardial Ischemia atau Silent
Myocardial Infarction (SMI). Terjadinya SMI pada penderita DM diduga disebabkan karena:
Gangguan sensitivitas sentral terhadap rasa nyeri
Penurunan kadar b-endorfin
2.
Tekanan darah
3.
Lipid :
LDL
Trigliserida
HDL
Golongan Biguanid
Mekanisme kerja obat biguanid belum dapat dipastikan yang jelas kerja obat ini tidak
bergantung pada fungsi pulau langerhans pada pankreas, namun diperkirakan ada 4
mekanisme yang terjadi, yaitu:
Menstimulasi penurunan glikoneogenesis pada hepar.
mengurangi absorbsi glukosa pada saluran pencernaan.
Menurunkan konsentrasi glukagon pada plasma.
Meningkatkan pengikatan insulin pada reseptor insulin pada sel target.
Contoh : Metformin, fentoformin dan buformin. (Shepherd J, 1999)
Golongan Tiazolidinedion
Mekanisme kerja utamanya meningkatkan sensitivitas jaringan target terhadap insulin.
Obat ini memperkuat kerja insulin untuk meningkatkan ambilan glukosa dari darah dan
juga oksidasi glukosa pada otot dan jaringan lemak. (Shepherd J, 1999)
<
Pengobatan
terhadap
hipertensi
untuk
mencapai
tekanan darah
130/80
mmHg
dengan ACE
inhibitor,
Angiotensin
Receptor
Blockers
(ARB) atau b
blocker dan
diuretik.
Rehabilitasi
Tujuan akhir pengobatan penyakit aterosklerosis adalah mengembalikan penderita ke
gaya hidup produktif dan menyenangkan. Sedini mungkin pasien didaftarkan pada program
rehabilitasi kardiovaskuler dan kemudian terus dilanjutkan meskipun pasien sudah pulang ke
rumahnya. Rehabilitasi jantung adalah proses untuk memulihkan dan memelihari potensi
fisik, psikologis, social, pendidikan dan pekerjaan dari pasien.
Pasien harus dibantu untuk meneruskan kembali tingkat kegiatan mereka sesuai dengan
kemampuan mereka dan tidak dihambat oleh psikologis. Petunjuk diet yang tegas dan sesuai
dengan kebutuhan pribadi, pengobatan, kelanjutan aktiitas dan pengawasan factor risiko
merupakan keharusan. Setiap pasien dan keluarga membutuhkan bimbingan dan pendidikan
selama masa peralihan yaitu dari keadaan sakit dimana mereka tergantung pada orang lain ke
keadaan sehat dimana mereka dapat berdiri sendiri. (Shepherd J, 1999)
BAB III
ANALISA KASUS
Wanita, 46 tahun, datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan penurunan
kesadaran sejak 2,5 jam SMRS. Penurunan kesadaran tidak disertai dengan keluhan mual,
muntah dan kejang sebelumnya. Pasien sering mengeluh badan lemah pada saat
melakukan kegiatan sehari-hari, sesak pada dada bagian kiri bawah yang tidak
dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan debu. Terdapat riwayat kencing manis dan jantung
membengkak sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/80,
konjungtiva anemis pada kedua mata, ronkhi basah halus pada kedua lapang paru, gallop,
peningkatan desakan vena sentral (5 +5), visus menurun (5/6) dan edema tungkai. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan KGD 30, Hb 8, ureum 85,6, kreatinin 3,89 dan
abnormalitas pada EKG.
Diabetes Melitus dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronis, baik
mikroangiopati seperti retinopati dan nefropati maupun makroangiopati seperti penyakit
jantung koroner, stroke, dan juga penyakit pembuluh darah tungkai bawah. Pada penyakit
jantung dapat terjadi infark miokard atau gagal jantung kongestif. Pada penderita diabetes
mellitus dapat terjadi nyeri dada yang tidak khas (angina pectoris) dan disebut silent
myocard ischaemic. Pada pasien sudah didapatkan riwayat DM sejak tahun 2011 dan
sempat tidak terkontrol. Dan pada tahun 2013, pasien juga pernah didiagnosis penyakit
jantung. Hal ini dikaitkan dengan kadar gula darah pasien. Hiperglikemi dapat menjadi
salah satu penyebab rusaknya pembuluh darah. Sehingga pada pasien dengan diabetes
mellitus dapat dengan mudah terjadi penyakit kardiovaskular seperti gagal jantung.
DAFTAR PUSTAKA
Arisman MB. Dislipidemia. Dalam: Mahode AA, editor (penyunting). Buku Ajar Ilmu Gizi
Obesitas, Diabetes Mellitus, Dan Dislipidemia. Jakarta: EGC; 2010. hlm. 127.
Alvin .C. Diabetes Melitus in Harrison internal Medicine 17 Th Edition, 2008. P: 2052 2063
Bonakdaran S, S Ebrahmizadeh, SH Noghabi. Cardiovascular disease and risk factors in patients
with type 2 diabetes mellitus in Mashhad, Islamic Republic of Iran. Eastern
Mediterranean Health Journal. 2011;17(9):640-6.
Haffner SM et.al. Mortality from Coronary Heart Disease in Subjects with Type 2 Diabetes and
Non-Diabetic Subjects With or Without Prior Myocardial Infarction. N Eng J Med. 1992.
p: 229-339
PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia 2011
(Update: 29 Maret 2015). [Web] http://www.perkeni.org/ .
RISKESDAS.
Laporan
Nasional
2007
(Update:
29
Maret
2015).
[Web]
http://www.k4health.org/sites/default/files/laporanNasional%20Riskesdas%202007.pdf.
Shahab A. Komplikasi kronik DM penyakit jantung koroner. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, editor (penyunting). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Edisi ke-4. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. hlm. 1894-6.
Shepherd J, Cobbe SM, Ford I, et al, for the West of Scotland Coronary Prevention: Pathogenesis
of Atherogenic Dyslipidemia. Clin Invest.; 1999. (Suppl 2) p:12-16.
Sugondo. Obesitas. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, editor
(penyunting). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi ke-4. Jakarta : Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. hlm. 1919-23.
Suyono S. Kecenderungan peningkatan jumlah penyandang diabetes dan Patofisiologi diabetes
melitus. Dalam: Sugondo S, Soewondo P, Subekti I, editor (penyunting). Penatalaksanaan
diabetes melitus terpadu. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2009. hlm. 7-18.
Zellweger MJ and Pfistere ME. Silent Coronary Artery Disease in Patient with Diabetes Melitus.
Swiss Med. 2001. p: 427-432