Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN
CHOLANGITIS/KOLANGITIS
1. PENDAHULUAN
Cholangitis akut merupakan infeksi bakteri dari sistem duktus
bilier, yang bervariasi tingkat keparahannya dari ringan dan dapat sembuh
sendiri sampai berat dan dapat mengancam nyawa.
Pertama kali dikemukakan pada tahun 1877 oleh Charcot, dia
mempostulatkan bahwa penyakit ini berhubungan dengan proses patologi
berupa obstruksi bilier dan infeksi bakteri. Cholangitis merupakan salah
satu komplikasi dari batu pada ductus choledochus.
Penyakit ini perlu diwaspadai karena insidensi batu empedu di Asia
Tenggara cukup tinggi, serta kecenderungan penyakit ini untuk terjadi
pada pasien berusia lanjut, yang biasanya memiliki penyakit penyerta yang
lain yang dapat memperburuk kondisi dan mempersulit terapi.
Penting bagi dokter umum untuk mengetahui penyakit ini, agar
dapat menegakkan diagnosis secara tepat, melakukan penanganan pertama,
memberikan penjelasan yang baik kepada pasien, dan merujuk secara
tepat.
2. DEFINISI
Kolangitis akut merupakan superimposa infeksi bakteri yang
terjadi pada obstruksi saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu
empedu, namun dapat pula ditimbulkan oleh neoplasma ataupun striktur.

3. PATOFISIOLOGI

Faktor utama dalam patogenesis dari cholangitis akut adalah


obstruksi saluran bilier, peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi
saluran empedu. Saluran bilier yang terkolonisasi leh bakteri namun tidak
mengalami pada umumnya tidak akan menimbulkan cholangitis. Saat ini
dipercaya bahwa obstruksi saluran bilier menurunkan pertahanan
antibakteri dari inang. Walaupun mekanisme sejatinya masih belum jelas,
dipercaya bahwa bakteria memperoleh akses menuju saluran bilier secara
retrograd melalui duodenum atau melalui darah dari vena porta. Sebagai
hasilnya, infeksi akan naik menuju ductus hepaticus, menimbulkan infeksi
yang serius. Peningkatan tekanan bilier akan mendorong infeksi menuju
kanalikuli bilier, vena hepatica, dan saluran limfatik perihepatik, yang
akan menimbulkan bacteriemia (25%-40%). Infeksi dapat bersifat
supuratif pada saluran bilier.
Saluran bilier pada keadaan normal bersifat steril. Keberadaan batu
pada kandung empedu (cholecystolithiasis) atau pada ductus choledochus
(choledocholithiasis) meningkatkan insidensi bactibilia. Organisme paling
umum yang dapat diisolasi dalam empedu adalah Escherischia coli (27%),
Spesies

Klebsiella

(16%),

Spesies

Enterococcus

(15%),

Spesies

Streptococcus (8%), Spesies Enterobacter (7%), dan spesies Pseudomonas


aeruginosa (7%).
Organisme yang ditemukan pada kultur darah sama dengan yang
ditemukan dalam empedu. Patogen tersering yang dapat diisolasi dalam
kultur darah adalah E coli (59%), spesies Klebsiella (16%), Pseudomonas
aeruginosa (5%) dan spesies Enterococcus (4%). Sebagai tambahan,
infeksi polimikrobial sering ditemukan pada kultur empedu (30-87%)
namun lebih jarang terdapat pada kultur darah (6-16%).
Saluran empedu hepatik bersifat steril, dan empedu pada saluran
empedu tetap steril karena terdapat aliran empedu yang kontinu dan
keberadaan substansi antibakteri seberti immunoglobulin. Hambatan
mekanik terhadap aliran empedu memfasilitasi kontaminasi bakteri.
Kontaminasi bakteri dari saluran bilier saja tidak menimbulkan cholangitis

secara klinis; kombinasi dari kontaminasi bakteri signifikan dan obstruksi


bilier diperlukan bagi terbentuknya cholangitis.
Tekanan bilier normal berkisar antara 7 sampai 14 cm. Pada
keadaan bactibilia dan tekanan bilier yang normal, darah vena hepatica dan
nodus limfatikus perihepatik bersifat steril, namun apabila terdapat
obstruksi parsial atau total, tekanan intrabilier akan meningkat sampai 1829 cm H2O, dan organisme akan muncul secara cepat pada darah dan
limfa. Demam dan menggigil yang timbul pada cholangitis merupakan
hasil

dari

bacteremia

sistemik

yang

ditimbulkan

oleh

refluks

cholangiovenososus dan cholangiolimfatik.


Penyebab tersering dari obstruksi bilier adalah choledocholithiasis,
striktur jinak, striktur anastomosis bilier-enterik, dan cholangiocarcinoma
atau

karsinoma

periampuler.

Sebelum

tahun

1980-an

batu

choledocholithiasis merupakan 80% penyebab kasus cholangitis yang


tercatat.
4. PENYEBAB
Pada

negara-negara

barat,

Choledocholithiasis

merupakan

penyebab utama cholangitis akut, diikuti oleh ERCP dan tumor.


Setiap kondisi yang menimbulkan stasis atau obstruksi saluran
bilier pada ductus choledochus, termasuk striktur jinak atau ganas, infeksi
parasit, ataupun kompresi ekstrinsik yang ditimbulkan oleh pancreas,
dapat menimbulkan infeksi bakteri dan cholangitis. Obstruksi parsial
memiliki tingkat infeksi yang lebih tinggi daripada infeksi komplit.
Batu saluran empedu merupakan predisposisi bagi cholangitis.
Kira-kira

10-15%

pasien

dengan

cholecystitis

memiliki

choledocholithiasis, kira-kira 1% pasien pasca cholecystectomy memiliki


choledocholithiasis yang tersisa. Sebagian besar choledocholithiasis
bersifat simtomatik, sementara sebagian dapat bersifat asimtomatik selama
bertahun-tahun.

Tumor yang bersifat obstruktif dapat menyebabkan cholangitis.


Obstruksi parsial berhubungan dengan peningkatan tingkat infeksi
dibandingkan dengan obstruksi neoplastic total. Tumor-tumor yang dapat
menyebabkan cholangitis adalah:
a. Kanker pancreas
b. Cholangiocarcinoma
c. Kanker ampulla vateri
d. Tumor porta hepatis atau metastasis
Penyebab lain yang dapat menimbulkan cholangitis adalah:
a. Striktur atau stenosis
b. Manipulasi CBD secara endoskopik
c. Choledochocele
d. Sclerosing cholangitis (dari sklerosis bilier)
e. AIDS cholangiopathy
f. Infeksi cacing Ascaris lumbricoides.
5. PEMERIKSAAN KLINIS
a. Riwayat
Pada tahun 1877, Charcot menjelaskan cholangitis sebagai triad
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik berupa: nyeri kuadran kanan
atas, demam, dan Jaundice. Pentad Reynolds menambahkan perubahan
status mental dan sepsis pada triad tersebut. Terdapat berbagai
spektrum cholangitis, mulai dari gejala yang ringan sampai sepsis.
Apabila terdapat shock septik, diagnosis cholangitis mungkin dapat
tidak terduga. Pikirkan cholangitis pada setiap pasien yang nampak
septik, terutama pada pasien-pasien tua, mengalami jaundice, atau
yang mengalami nyeri abdomen. Riwayat nyeri abdomen atau gejala
kolik bilier dapat merupakan petunjuk bagi penegakkan diagnosis.
Triad Charcot terdiri dari demam, nyeri abdomen kanan atas, dan
Jaudice. Dilaporkan terjadi pada 50%-70% pasien dengan cholangitis.
Namun, penelitian yang dilakukan baru-baru ini mengemukakan

bahwa gejala tersebut terjadi pada 15%-20% pasien. Demam terjadi


pada kira-kira 90% kasus. Nyeri abdomen dan jaundice diduga terjadi
pada 70% dan 60% pasien. Pasien datang dengan perubahan status
mental pada 10-20% kasus dan hipotensi terjadi pada 30% kasus.
Tanda-tanda tersebut , digabungkan dengan triad Charcot, membentuk
pentad Reynolds.
Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak
memiliki gejala-gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien
mengeluhkan nyeri pada abdomen kuadran lateral atas namun sebagian
pasien (misal: pasien lansia) terlalu sakit untuk melokalisasi sumber
infeksi.
Gejala-gejala lain yang dapat terjadi meliputi: Jaundice, demam,
menggigil dan kekakuan (rigors), nyeri abdomen, pruritus, tinja yang
acholis atau hypocholis, dan malaise.
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu. Contohnya
riwayat dari keadaan-keadaan berikut dapat meningkatkan resiko
cholangitis:
-

Batu kandung empedu atau batu saluran empedu

Pasca cholecystectomy

Manipulasi endoscopik atau ERCP, cholangiogram

Riwayat cholangitis sebelumnya

Riwayat HIV atau AIDS: cholangitis yang berhubungan dengan


AIDS memiliki ciri edema bilier ekstrahepatik, ulserasi, dan
obstruksi bilier. Etiologinya masih belum jelas namun dapat
berhubungan

dengan

cytomegalovirus

atau

infeksi

Cryptosporidium. Penanganannya akan dijelaskan di bawah,


dekompresi biasanya tidak diperlukan.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya, pasien dengan cholangitis nampak sakit cukup
berat dan cukup sering datang dalam keadaan shock septik tanpa
sumber infeksi yang jelas.

Pemeriksaan fisik dapat ditemukan keadaan sebagai berikut:


-

Demam (90%) walaupun pasien tua dapat tidak mengalami


demam

Nyeri abdomen kuadran lateral atas (65%)

Hepatomegali ringan

Jaundice (60%)

Perubahan status mental (10-20%)

Sepsis

Hipotensi (30%)

Takikardia

Peritonitis (jarang terjadi, dan apabila terjadi, harus dicari


diagnosis alternatif yang lain)

6. DIAGNOSIS DIFERENTIAL
a. Cholecystitis dan kolik Bilier
b. Penyakit Divertikuler
c. Hepatitis
d. Iskemia mesenterika
e. Pancreatitis
f. Shock Septik
Diagnosis lain yang perlu dipertimbangkan:
a. Sirosis
b. Liver Failure
c. Abses hepar
d. Appendicitis accuta
e. Ulcus pepticum yang mengalami perforasi
f. Pyelonephritis
g. Diverticulitis colon kanan
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Uji Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin: Leukositosis: Pada pasien dengan


cholangitis, 79% memiliki sel darah putih melebihi 10.000/mL, dangan
angka rata-rata 13.600. Pasien sepsis dapat leukopenik.
Pemeriksaan elektrolit dengan fungsi ginjal dapat dilakukan.
Pemeriksaan kadar kalsium darah diperlukan untuk memeriksa
kemungkinan pancreatitis, yang dapat menimbulkan hipokalsemia,
dicurigai. Tes fungsi liver kemungkinan besar konsisten dengan
keadaan cholestasis, hiperbilirubinemia terdapat pada 88-100% pasien
dan peningkatan kadar alkali fosfatase pada 78% pasien. SGOT dan
SGPT biasanya sedikit meningkat.
PTT dan aPTT biasanya tidak meningkat kecuali bila terdapat
sepsis yang menimbulkan Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC)
atau apabila terdapat sirosis pada pasien tersebut. Pemeriksaan
koagulasi tersebut diperlukan apabila pasien memerlukan intervensi
operatif. Golongan darah, screening darah dan crossmatch biasanya
dilakukan apabila pasien memerlukan cadangan darah untuk operasi.
Kadar C-reactive protein dan LED pada umumnya meningkat.
Kultur darah (2 set): antara 20% dan 30% kultur darah memberikan
hasil

yang

positif,

banyak

diantaranya

menunjukkan

infeksi

polimikrobial
Hasil urinalisis biasanya normal
Lipase: keterlibatan ductus choledochus bagian bawah dapat
menimbulkan pancreatitis dan peningkatan kadar lipase. Sepertida dari
pasien mengalami sedikit peningkatan pada kadar lipase. Peningkatan
enzim

pankreas

menunjukkan

bahwa

batu

saluran

empedu

menimbulkan cholangitis, dengan ataupun tanpa gallstone pancreatitis


(pancreatitis yang disebabkan oleh batu empedu). Kultur empedu:
kultur empedu dilakukan apabila pasien mengalami drainase bilier oleh
interventional radiology atau endoscopy.

b. Studi Pencitraan
Studi pencitraan penting untuk mengkonfirmasi keberadaan dan
penyebab obstruksi bilier dan untuk menyingkirkan kondisi yang lain.
Ultrasonografi dan CT scan merupakan pemeriksaan yang paling
sering dilakukan.
Ultrasonografi sangat baik untuk melihat batu empedu dan
cholecystitis. Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik untuk
memeriksa kandung empedu dan menilai dilatasi saluran bilier, namun
pemeriksaan ini sering melewatkan batu yang terdapat pada ductus
biliaris distal. Ultrasonografi transabdominal merupakan pemeriksaan
awal pilihan. Ultrasonografi dapat membedakan obstruksi intrahepatik
dari obstruksi ekstrahepatik dan memperlihatkan dilatasi ductus. Pada
sebuah penelitian, hanya 13% choledocholithiasis dapat diamati pada
USG, namun dilatasi CBD terdapat pada 64% kasus. Keuntungan USG
adalah dapat dilakukan secara cepat di UGD (dengan USG portabel),
kemampuan untuk melihan struktur lain (aorta, pancreas, liver),
kemampuan untuk mengidentifikasi komplikasi (misal perforasi,
empyema, abscess) dan tidak terdapatnya resiko radiasi
Kerugian dari USG adalah hasil pemeriksaan yang bergantung
pada kemampuan operator dan pasien (kadar lemak pasien dll), tidak
mampu untuk melihat ductus cysticus, dan penurunan sensitivitas bagi
batu saluran empedu distal. Hasil USG yang normal tidak dapat
menyingkirkan diagnosis cholangitis.
Endoscopic

retrograde

cholangiopancreatography

(ERCP)

merupakan pemeriksaan yang bersifat diagnostik dan terapeutik, dan


merupakan kriteria standar bagi pencitraan system bilier. ERCP hanya
dilakukan bagi pasien yang memerlukan intervensi terapeutik. Pasien
dengan kecurigaan klinis yang tinggi bagi cholangitis sebaiknya segera
dilakukan ERCP. ERCP memiliki tingkat keberhasilan yang besar
(98%) dan dianggap lebih aman daripada intervensi bedah dan
percutaneus.

Penggunaan ERCP sebagai alat diagnostik memiliki tingkat


komplikasi sebesar 1,38% dan tingkat mortalitas sebesar 0,21%.
Komplikasi utama dari ERCP terapeutik sebesar 5,4% dan tingkat
mortalitasnya sebesar 0,49%. Komplikasinya meliputi pancreatitis,
perdarahan, dan perforasi.
Pemeriksaan CT bersifat tambahan dan dapat menggantikan USG.
CT helical atau spiral dapat meningkatkan pencitraan saluran bilier. CT
cholangiography mempergunakan zat kontras yang diambil oleh
hepatosit dan disekresi menuju saluran bilier. Hal ini meningkatkan
kemampuan

untuk

memvisualisasikan

batu

radioluscent

dan

meningkatkan tingkat deteksi dari patologi bilier lain. Ductuc


intrahepatik dan ekstrahepatik dan inflamasi saluran bilier dapat
terlihat pada CT scan. Batu empedu tidak dapat terlihat dengan baik
pada CT Scan biasa.
Keuntungan dari CT adalah: Kemampuan untuk melihat proses
patologis lain yang merupakan penyebab ataupun komplikasi dari
cholangitis (misal: tumor ampulla, cairan pericholecystic, abses hepar).
Diagnosis diferential juga kadang dapat terlihat (misal: diverticulitis
kolon kanan, nekrosis papilla, sebagian bukti pyelonephritis, iskemia
mesenterium, dan appendix yang ruptur. Deteksi patologi bilier dengan
CT cholangiography lewat pendekatan ERCP.
Kerugian dari CT meliputi kemampuan pencitraan batu empedu
yang buruk, reaksi alergi terhadap kontras, paparan terhadap radiasi,
dan kurangnya kemampuan untuk memvisualisasikan saluran bilier
dengan kadar bilirubin serum yang meningkat
Magnetic

resonance

cholangiopancreatography

(MRCP)

merupakan studi noninvasive yang semakin sering dipergunakan untuk


diagnosis batu bilier dan patologi bilier lain. MRCP akurat untuk
mendeteksi choledocholithiasis, neoplasma, striktur, dan dilatasi sistem
bilier.

Keterbatasan MRCP meliputi ketidakmampuan untuk melakukan


tes diagnostik invasif seperti pengambilan sample empedu, uji
sitologis, pengambilan batu, ataupun stenting. Pemeriksaan MRCP
memiliki keterbatasan dalam melihat batu dengan ukuran kecil
(<6mm>)
Kontraindikasi absolutnya sama dengan MRI tradisional, termasuk
keberadaan alat pacu jantung (pacemaker), klip aneurisma serebral,
implan okuler atau cochlear, dan benda asing pada okuler.
Kontraindikasi relatif meliputi terdapatnya prosthesa katup jantung,
neurostimulator, prosthese logam dan implan pada penis. Resiko
MRCP pada kehamilan masih belum diketahui.
Pada umumnya, foto polos abdomen tidak banyak membantu pada
diagnosis cholangitis akut. Ileus dapat diamati pada kasus tersebut.
Antara 10-30% batu empedu memiliki cincin kalsium, sebagai
akibatnya bersifat radioopak. Foto abdomen dapat menunjukkan udara
dalam saluran bilier setelah manipulasi endoscopik apabila pasien
mengalami cholecystitis emphysematosa, cholangitis, ataupun fistula
cholecystic-enteric.

Udara

dalam

dinding

kandung

empedu

mengindikasikan cholecystitis emphysematosa.


c. Pemeriksaan lain
Scintigrafi

bilier

(hepatic

2,6-dimethyliminodiacetic

acid

[HIDA] dan diisopropyliminodiacetic acid [DISIDA]). Scan HIDA


dan DISIDA merupakan uji fungsional dari kandungempedu. Obstruksi
CBD menimbulkan nonvisualisasi dari usus kecil. Scan HIDA pada
obstruksitotal dari saluran bilier tidak memperlihatkan saluran bilier.
Keuntungannya adalah kemampuanuntuk menilai fungsi empedu dan
hasilnya dapat positif dapat muncul sebelum pembesaranductus dapat
dilihap melalui USG.
Kerugiannya adalah apabila terdapat kadar bilirubin yang
tinggi

(>4,4)

dapatmenurunkan sensitifitas pemeriksaan ini.

Keadaan baru makan atau tidak makan selama 24jam juga dapat

mempengaruhi pemeriksaan ini, selain itu pencitraan anatomis bagi


struktur-struktur lain selain saluran bilier tidak memungkinkan.
Pemeriksaan

ini

memerlukan

waktubeberapa jam, sehingga tidak

direkomendasikan pada pasien kritis atau pada pasien yang tidakstabil.


8. PENANGANAN
Leukositosis, hiperbilirubinemia, dan peningkatan fosfatase alkali
dan transaminase cukup sering terjadi, dan apabila terjadi, mendukung
diagnosis klinis dari cholangitis. USG berguna apabila pasien belum
pernah

didiagnosa

dengan

batu

empedu,

karena

USG

dapat

memperlihatkan batu kandung empedu, memperlihatkan ductus yang


berdilatasi, dan dapat menentukan lokasi obstruksi. Tes diagnostik definitif
adalah ERCP. Pada kasus dimana ERCP tidak dapat dilakukan, PTC
diindikasikan. ERCP dan PTC akan menunjukkan tingkat obstruksi,
namun penyebabnya tidak dapat ditentukan dengan cara ini. ERCP dan
PTC dapat memungkinkan kultur empedu, memungkinkan pengangkatan
batu (apabila ada), dan drainase saluran empedu dengan kateter drain atau
stent.
Pengobatan pertama pada pasien dengan cholangitis meliputi
antibiotik intravena dan resuscitasi cairan. Antibiotik cephalosporin (misal
cefazolin, cefoxitin) merupakan obat pilihan pada kasus-kasus ringan
sampai sedang. Apabila kasusnya berat atau memburuk secara progresif,
obat-obatan aminoglikosida ditambah clindamycin ataupun metronidazole
sebaiknya ditambahkan pada regimen pengobatan. Pasien tersebut
mungkin memerlukan pemantauan di ICU dan dukungan vassopressor.
Sebagian besar pasien akan merespon terhadap tindakan ini. Namun,
saluran empedu yang mengalami obstruksi harus didrainase sesegera
mungkin setelah pasien stabil. Sekitar 15% pasien tidak akan merespon
terhadap terapi antibiotik intravena dan resusitasi cairan, dan dekompresi
bilier darurat mungkin diperlukan. Dekompresi bilier dapat diakukan
melalui endoskopi, melalui rute transhepatic percutaneus, ataupun secara

bedah. Pemilihan prosedur tersebut sebaiknnya berdasarkan pada tingkat


dan sigat obstruksi bilier. Pasien dengan choledocholithiasis atau
keganasan periampuler paling baik ditangani menggunakan pendekatan
endoskopik, dengan sphincterotomy dan pengangkatan batu, atau dengan
penempatan stent bilier secara endoskopi. Pada pasien dengan obstruksi
yang lebih proksimal atau terletah pada perihiler, atau penyakitnya
disebabkan striktur pada anastomosis enterik-bilier, atau apabila usaha
melalui jalur endoskopi mengalami kegagalan, drainase transhepatik
perkutaneus dipergunakan. Apabila ERCP atau PTC tidak memungkinkan,
operasi darurat dan dekompresi ductus choledochus dengan T tube
mungkin diperlukan untuk menyelamatkan nyawa. Namun perlu diingat
bahwa mortalitas pasien yang diobati dengan terapi bedah lebih tinggi
daripada pasien yang berhasil diobati dengan endoskopi. Secara
keseluruhan tingkat kematian pada pasien dengan cholangitis karena batu
empedu sebesar 2% dan kematian pada pasien dengan toxic cholangitis
adalah sebesar 5%.
Terapi operasi definitif sebaiknya ditunda sampa cholangitis selesai
ditangani dan diagnosis yang tepat ditegakkan. Pasien dengan stent yang
terpasang dan mengalami cholangitis biasanya memerlukan uji pencitraan
berulang dang penggantian stent dengan guidewire.
Intervensi segera (misal: sphincterotomy endoscopik, PTC, atau
operasi dekompresi) diperlukan pada 10% pasien dengan cholangitis akut.
90% sisanya pada akhirnya akan diobati dengan pembedahan elektif atau
sphincterotomy endoskopik setelah terapi antibiotik dan evaluasi
diagnostik yang seksama.
Cholangitis akut berhubungan dengan tingkat mortalitas total
sebesar 5%. Saat terdapat gagal ginjal, gangguan jantung, abses hepar dan
keganasan, tingkat mortalitas dan morbiditasnya jauh lebih tinggi.

9. PENGOBATAN LAIN
Extracorporeal shock-wave lihotripsy (ESWL) pertama kali
dipergunakan untuk menghancurkan batu ginjal. Teknik ini telah
dikembangkan untuk pengobatan batu empedu, baik pada kandung
empedu

maupun

dikombinasikan

pada

dengan

saluran
prosedur

empedu.

Pengobatan

endoskopik untuk

ini

sering

memudahkan

lewatnya batu yang telah terfragmentasi atau pengobatan oral yang dapat
melarutkan fragmen tersebut. Kadang kala, batu dapat dilarutkan dengan
mempergunakan berbagai bahan kimia yang dimasukkan langsung pada
slauran bilier,

ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas
Cholangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi bersamaan
dengan penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier dan bactibilia
(misal: setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami cholangitis).
b. Keluhan Utama
Pada penderita kolangitis, klien mengeluh nyeri perut kanan atas,
nyeri tidak menjalar/menetap, nyeri pada saat menarik nafas dan nyeri
seperti ditusuk tusuk.
c. Riwayat Penyakit
-

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu. Contohnya
riwayat dari keadaan-keadaan berikut dapat meningkatkan
resiko cholangitis:

Batu kandung empedu atau batu saluran empedu

Pasca cholecystectomy

Manipulasi endoscopik atau ERCP, cholangiogram

Riwayat cholangitis sebelumnya

Riwayat HIV atau AIDS: cholangitis yang berhubungan


dengan AIDS memiliki ciri edema bilier ekstrahepatik,
ulserasi, dan obstruksi bilier. Etiologinya masih belum
jelas namun dapat berhubungan dengan ytomegalovirus
atau infeksi Cryptosporidium. Penanganannya akan
dijelaskan di bawah, dekompresi biasanya tidak
diperlukan.

Riwayat Penyakit Sekarang


Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis
tidak memiliki gejala-gejala klasik tersebut. Sebagian besar
pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen kuadran lateral atas;

namun sebagian pasien (misal: pasien lansia) terlalu sakit untuk


melokalisasi sumber infeksi. Gejala-gejala lain yang dapat
terjadi meliputi: Jaundice, demam, menggigil dan kekakuan
(rigors), nyeri abdomen, pruritus, tinja yang acholis atau
hypocholis, dan malaise.
-

Riwayat penyakit keluarga


Perlu dikaji apakah klien mempunyai penyakit keturunan
seperti diabetes mellitus, hipertensi, anemia sel sabit.

d. Pemeriksaan body system


-

System Pernapasan
o Inspeksi : Dada tampak simetris, pernapasan dangkal, klien
tampak gelisah.
o Palpasi : Vocal vremitus teraba merata.
o Perkusi : Sonor.
o Auskultasi : Tidak terdapat suara nafas tambahan (ronchii,
wheezing)

System Kardiovaskuler
Terdapat takikardi dan diaforesis.

Sistem Neurology
Tidak terdapat gangguan pada system neurology.

System Pencernaan
o Inspeksi : tampak ada distensi abdomen diperut kanan atas,
klien mengeluh mual dan muntah.
o Auskultasi : peristaltic ( 5 12 x/mnt) flatulensi.
o Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/quadran
kanan atas, nyeri tekan epigastrum.
o Palpasi : hypertympani.

System Eliminasi
Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat.

System integument

Terdapat icterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal.


-

System muskuluskeletal
Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
b. Gangguan pemenuham nutrisi berhubungan dengan mual muntah
c. Gangguan pola tidur/istirahat berhubungan dengan iritasi peritonial.
d. Gangguan keseimbangan berhubungan dengan reaksi inflamasi
e. Resiko anemia berhubungan dengan kekurangan vitamin K
f. Resiko dehidrasi berhubungan dengan mual muntah.
3. INTERVENSI
a. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi tujuan : nyeri
berkurang setrelah dilakukan tindakan keperwatan 1 x 24 jam. kriteria
hasil : keadaan umum normal klien mengatakan nyerinya berkurang
wajah tampak rileks tidak lagi menyeringai keskitan. Skala nyeri (13)
Ttv dalam batas normal
Intervensi :
-

Observasi dan catat lokasi, beratnya ( skala 0 10 ) dan


karakter nyeri ( menetap, hilang timbul/kolik )
R/ membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan
informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya
komplikasi, dan keefektifan intervensi.

Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang


nyaman.
R/ tirah baring pada posisi fowler rendah meurunkan tekanan
intra abdomen.

Dorong menggunakan tehnik relaksasi, contoh bimbingan


imajinasi, visualisasi, latihan nafas dalam.berikan aktivitas
senggang.

R/meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian dapat


meningkatkan koping.
-

Berikan obat sesuai indikasi :


o antikolinergik, contoh atrophin propantelin(probantine)
menhilangkan reflek spasme/kontraksi otot
halus dan membantu dalam manajemen nyeri.
o Sedative, contoh fenobarbitol.
meningkatkan istirahat dan merilekskan otot
halus, menhilangkan nyeri.

b. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah


Tujuan : Pemenuhan nutrisi adekuat setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam
Kriteria hasil :
-

Klien menyebutkan penyebab mual/muntah

Klien mengatakan mual/muntah berkurang

Klien menunjukkan kemajuan mencapai berat badan ideal

TTV dalam batas normal :


o T : 110/60-130/90 mmHg n : 60-100 x/menit
o S : 39-372 0C RR : 16-20 x/menit
o BB : (TB-100) 10% (TB-100)

Intervensi :
1) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang
penyebab mual / muntah serta tindakan yang akan dilakukan
meningkatkan pengetahuan klien tentang penyebab
masalah serta mendorong klien agar lebih kooperatif
terhadap tindakan yang akan dilakukan
2) Kaji distensi abdomen
tanda nonverbal ketidaknyamanan b/d gangguan
pencernaan

3) Hitung pemasukan kalori


mengidentifikasi kekurangan / kelebihan kebutuhan
nutrisi
4) Berikan suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan
rangsangan berbau
untuk meningkatkan nafsu makan / menurunkan mual
5) Berikan kebersihan oral sebelum makan
mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan
6) Tawarkan minuman seduhan saat makan, bila toleran
dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas
7) Sajikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering
menurunkan frekuensi mual
8) Kolaborasi dengan ahli gizi / diet tentang pemberian diet
rendah lemak
pembatasan lemak menurunkan rangsangan pada
kandung empedu dan nyeri sehubungan dengan tidak
semua lemak dicerna dan berguna dalam mencegah
kekambuhan
9) Kolaborasi dengan tim dokter tentang pemberian garam
empedu ( Biliron : Zanchol, decholin) sesuai indikasi
c. Kekurangan volume cairan (resiko tinggi terhadap) berhubungan
dengan muntah, distensi dan hipermotilitas gaster, gangguan proses
pembekuan
Tujuan : Menunjukkan keseimbangan cairan yang adekuat
Kriteria hasil :
-

Turgor kulit yang baik

Membran mukosa lembab

Pengisian kapiler baik

Urine cukup

TTV stabil

Tidak ada muntah

Rencana intervensi :
1) Pertahankan intakke dan output cairan
-

mempertahankan volume sirkulasi

2) Awasi tanda rangsangan muntah


-

muntah berkepanjangan, aspirasi gaster dan pembatasan


pemasukan oral menimbulkan degfisit natrium, kalium dan
klorida

3) Anjurkan cukup minum (1 botol aqua 1500 ml/hr)


-

mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh

4) Kolaborasi :
-

Pemberian antiemetic

Pemberian cairan IV

Pemasangan NGT

d. Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosa, pengobatan


berhubungan dengan salah interpretasi informasi
Tujuan : menyatakan pemahaman klien
Kriteria hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi
dalam pengobatan
Rencana intervensi :
1) Kaji informasi yang pernah didapat
-

mengkaji tingkat pemahaman klien

2) Beri penjelasn tentang penyakit, prognosa, dan tindakan diagnostic


-

memungkinkan terjadinya partisipasi aktif

3) Beritahukan diit yang tepat, teknik relaksasi, untuk persiapan


operasi
4) Anjurkan teknik istirahat yang harus dilaporkan tentang
penyakitnya
5) Anjurkan untuk menghindari makanan atau minuman tinggi lemak
-

mencegah / membatasi terulangnya serangan kandung


empedu

6) Diskusikan program penurunan berat badan


-

kegemukan adalah faktor resiko terjadinya cholangitis

7) Kaji ulang program obat, kemungkinan efek samping


-

batu empedu sering berulang, perlu terapi jangka panjang


DAFTAR PUSTAKA

Barbara C. Long (1996), Perawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan Proses


Keperawatan,The C.V Mosby Company St. Louis, USA.
Barbara Engram (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Jilid I,
Peneribit BukuKedokteran EGC, Jakarta.
CM Townsend, RD Beauchamp et al., 2004. Sabiston Textbook of Surgery,
Biological basis of modern surgical practice, 17th Ed, Elsevier-Saunders
CT Albanese, JT Anderson et al., 2006. Current surgery diagnosis and treatment.
Mc Graww Hill Companies.
FC Brunicardi, DK Andersen et al., 2007. Schwartz Principles of Surgery, 8 th
Ed. Mc Graww Hill Companies.
Marylin E. Doenges (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan danPendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3, Penerbit
Buku Kedoketran EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai