Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
umum atau daerah industri. Selain itu jenis suatu tambang juga menentukan jenis dan bahaya
yang bisa timbul pada lingkungan. Akibat pencemaran pertambangan batu bara akan berbeda
dengan pencemaran pertambangan mangan atau pertambangan gas dan minyak bumi.
Keracunan mangan akibat menghirup debu mangan akan menimbulkan gejala sukar tidur,
nyeri dan kejang kejang otot, ada gerakan tubuh diluar kesadaran, kadang-kadang ada
gangguan bicara dan impotensi. Melihat ruang lingkup pembangunan pertambangan yang
sangat luas, yaitu mulai dari pemetaan, eksplorasi, eksploitasi sumber energi dan mineral
serta penelitian deposit bahan galian, pengolahan hasil tambang dan mungkin sampai
penggunaan bahan tambang yang mengakibatkan gangguan pad lingkungan, maka perlua
adanya perhatian dan pengendalian terhadap bahaya pencemaran lingkungan dan perubahan
keseimbangan ekosistem, agar sektor yang sangat vital untuk pembangunan ini dapat
dipertahankan kelestariannya. Dalam pertambangan dan pengolahan minyak bumi misalnya
mulai eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemurnian, pengolahan, pengangkutan, serta
kemudian menjualnya tidak lepas dari bahaya seperti bahaya kebakaran, pengotoran terhadap
lingkungan oleh bahan-bahan minyak yang mengakibatkan kerusakan flora dan fauna,
pencemaran akibat penggunaan bahan-bahan kimia dan keluarnya gas-gas/ uap-uap ke udara
pada proses pemurnian dan pengolahan. Dalam rangka menghindari terjadinya kecelakaan
pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekosistem baik itu berada di lingkungan
pertambangan ataupun berada diluar lingkungan pertambangan, maka perlu adanya
pengawasan lingkungan terhadap :
1.
Cara pengolahan pembangunan dan pertambangan.
2.
Kecelakaan pertambangan.
3.
Penyehatan lingkungan pertambangan.
4.
Pencemaran dan penyakit-penyakit yang mungkin timbul.
Pertambangan batubara,mulai dari awal hingga akhir kegiatannya selalu menimbulkan
problema jika tidak dilakukan dengan cara yang benar dan jika tidak mengikuti prosedur
yang sebenarnya. Tidak hanya persoalan izin, namun juga kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan hingga yang terparah merenggut korban jiwa akibat tidak adanya reklamasi
pasca-tambang. Cerita pahit ini terekam jelas di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur.
Sumatera Selatan saat dipimpin Syahrial Oesman begitu bergema dengan slogan Sumsel
lumbung energi. Hal itu dikatakannya saat pertama kali menjabat gubernur periode 20032008. Alasannya, Sumsel memiliki sumber daya alam (SDA) yang sedemikian besar, salah
satunya batubara. Potensi ini diperkirakan mencapai 18,13 miliar ton atau 60% dari cadangan
batubara nasional dengan kandungan kalori antara 4800-5400 Kcal/kg. Cadangan tersebut
baru dikelola PT. Bukit Asam dan PT. Bukit Kendi di Kabupaten Muara Enim. Sedangkan
kandungan sebanyak 13,07 miliar ton belum dikelola sama sekali.
Ketika penadatanganan MoU PLTU Banjarsari, Kabupaten Lahat, 19 April 2004,
Syahrial mengingatkan posisi strategis Sumsel sebagai lumbung energi nasional yang
menurutnya sejalan dengan kebijakan nasional. Yaitu, secara bertahap, mengurangi
penggunaan minyak bumi untuk pembangkitan tenaga listrik. Upaya menjadikan Sumsel
lumbung energi nasional terkesan berakhir setelah Syahrial Oesman gagal memimpin Sumsel
untuk periode 2008-2013. Posisinya digantikan Alex Noerdin. Namun, benarkah demikian?
Ternyata tidak. Promosi Sumsel sebagai lumbung energi kadung diketahui investor, baik
nasional maupun international, yang datang untuk melakukan eksplorasi batubara. Kondisi ini
didukung oleh proyek MP3EI (Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia) yang dicanangkan pemerintah sejak 2011. Sumsel masuk koridor MP3EI untuk
energi dan pangan. Akibatnya, luasan Sumsel yang sekitar 8,7 hektar sekitar 5 juta hektarnya
dialokasikan untuk perkebunan dan pertambangan batubara. Sikap Alex Noerdin, menurut
Direktur Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, terhadap batubara tidak berbeda jauh dengan Syahrial
Oesman. Lima tahun lagi batubara tidak berharga, maka sumber daya batubara Sumsel harus
segera dieksploitasi, kata Alex Noerdin beberapa tahun lalu, yang dikutip Hadi. Hingga awal
2014, luasan konsensi penambangan batubara di Sumsel mencapai 2,7 juta hektar. Sekitar
801.160 hektar berada di kawasan hutan, 6.293 hektar berada di hutan konservasi, 67.298
hektar di hutan lindung, serta 727.569 hektar berada di hutan produksi. Sisanya, 1.985.862
hektar berada di areal penggunaan lain. Yang menguasai konsensi lahan tersebut 359
perusahaan. Sekitar 264 perusahaan pemegang IUP sudah beroperasi.
Kolam batubara di Lahat, Sumsel. Eksploitasi batubara diduga merupakan faktor pendorong
alih fungsi kawasan hutan. Foto: Walhi Sumatera Selatan
Gebrakan pertama yang dilakukan Alex Noerdin lakukan menjabat gubernur, tepatnya
2009, adalah memberikan izin untuk tambang batubara seluas 1,2 juta hektar. Selanjutnya, di
2010, memberi izin seluas 928.700 hektar; 2011 seluas 483.881 hektar; dan 2012-2013
sebesar 205.000 hektar. Pada awalnya, persoalan eksplorasi batubara di Sumsel hanya sebatas
keluhan masyarakat mengenai angkutan batubara yang mengganggu jalan umum. Karena,
selain menimbulkan kerusakan jalan, kegiatan tersebut menyebabkan kemacetan, juga
kecelakaan yang memakan korban jiwa. Solusi yang diberikan Alex Noerdin berupa jalan
khusus batubara yang dibangun PT. Servo antara Lahat-Tanjung Api-Api sepanjang 270
kilometer tidak berjalan mulus. Bahkan, truk-truk batubara itu menolak melintasi jalan
khusus batubara antara Lahat-Prabumulih yang sudah dibangun PT. Servo dengan alasan
tidak layak. Terakhir, Walikota Prabumulih Ridho Yahya mengaku tidak dapat melakukan
pembangunan di daerahnya karena terganggu aktivitas pengangkutan batubara. Pernyataan
Ridho ini disampaikan saat bertemu dengan anggota DPRD Sumsel, Selasa (23/12/2014).
Kita sudah tidak sanggup mengatasi truk barubara terus melintasi Prabumulih. Bahkan kita
hanya bisa mengadu ke Tuhan agar truk tidak lagi melintas. Harapan kita DRD Sumsel
menyampaikan ke pemerintah pusat agar masalah ini selesai, katanya. Selain transportasi,
persoalan batubara di Sumsel juga mengancam keberadaan situs budaya dan gajah sumatera.
Misalnya keberadaan megalitikum dan gajah di Kabupaten Lahat. Akibat penambangan
batubara di bagian hulu, tepatnya di dekat Bukit Telunjuk, air Sungai Milang menjadi keruh.
Hujan maupun kemarau airnya keruh. Perusahaan yang menambang di sana PT. SCG (Sarana
Cipta Gemilang), kata Ramlan, seorang pawang di PLG Bukit Serelo Lahat. Hal senada
disampaikan Kristantina Indriastuti dari Balai Arkeologi Palembang. Sampai saat ini,
petambangan batubara memang belum menyentuh wilayah situs yang sudah ditemukan. Tapi,
kita tetap harus hati-hati, sebab banyak wilayah yang belum dilakukan penggalian. Ancaman
tersebut dikarenakan potensi batubara di Kabupaten Lahat bukan hanya berada di kawasan
Merapi. Diduga, potensi batubara tersebut juga ada di wilayah Gumay, Kikim dan Pulau
Pinang, yang hingga kini masih ditemukan berbagai situs megalitik dan peninggalan
prasejarah lainnya.
Arca manusia memeluk gajah di halaman Sekolah SMPN 2 Merapi Barat, Lahat, sebagai
simbol keharmonisan hidup manusia dengan satwa, terutama gajah. Foto: Rahmadi Rahmad
Marwan Mansyur,Wakil Bupati Lahat, saat menjabat Asisten I Kabupaten Lahat,
Sabtu (23/02/2013) mengatakan, potensi batubara di Lahat, selain di Kecamatan Merapi
Barat, terdapat juga di Merapi Timur, Kota Lahat, Pulau Pinang,Kikim Barat, Gumay Talang,
serta Kikim Timur, yang potensinya sebesar 2,9 miliar ton. Berdasarkan Koordinasi dan
Supervisi (Korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditemukan sekitar 201 perusahaan
tambang di Sumatera Selatan yang terlibat beragam persoalan. Dari 201 perusahaan tersebut,
31 perusahaan batubara belum memiliki nomor pokok wajib pajak, dan 170 perusahaan
belum clean dan clear, seperti izin dalam kawasan konservasi yang mencapai 9.300
hektar. Semua perusahaan tersebar di Kabupaten Musirawas, Musi Banyuasin, Banyuasin,
Muara Enim dan Lahat. Menyikapi temuan KPK, tekanan dari Walhi Sumsel dan beberapa
organisasi peduli lingkungan hidup lainnya, Pemerintah Sumsel akhirnya mencabut 17 izin.
Berdasarkan data Dirjen Minerba Kementerian ESDM, 11 November 2014, di Babel hanya
8 izin yang dicabut, Sumsel 17 izin, sedangkan Jambi 184 izin, kata Hadi Jatmiko, Direktur
Walhi Sumsel saat konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel, Kamis
(20/11/ 2014) lalu. Mendapat protes dari pegiat lingkungan hidup tersebut, Kabupaten Musi
Banyuasin yang banyak mengeluarkan izin usaha pertambangan, akhirnya mencabut 22 izin.
Terkait hal tersebut, Anwar Sadat, Ketua Forum Masyarakat Pemantau Batubara (For Batu)
menuturkan selain ada upaya pengawasan dalam pelaksanaan pencabutan izin di lapangan,
maka harus ada pula kebijakan berupa peraturan daerah (Perda) reklamasi lahan pascatambang di Sumatera Selatan.
Peta tumpang tindih konsesi pertambangan dengan kawasan lindung. Sumber: Walhi Sumsel
Bagaimana Kalimantan Timur? Provinsi ini merupakan daerah yang paling luas
penambangan batubaranya. Dari luasan daratan sekitar 198.441,17 kilometer persegi, sekitar
7 juta hektarnya diperuntukan penambangan batubara. Kalimantan Timur juga menjadi
daerah yang paling besar mengekspor batubara di Indonesia, sekitar 120 juta ton per tahun.
Seperti halnya Sumatera Selatan, yang juga banyak terdapat penambangan batubara,
Kalimantan Timur sebelum 1980-an, dikenal sebagai daerah pemasok kayu. Diperkirakan,
sekitar 11 juta meter kubik berangkat ke luar negeri dari wilayah ini. Hasil monitoring dan
investigasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan, total penguasaan lahan
tambang di Kalimantan Timur (Kaltim), sekitar 7 juta hektar. Terdiri dari 1.451 izin usaha
pertambangan (IUP) dengan luas 5.314.294,69 hektar, 67 perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara (PKP2B) yang menguasai lahan sekitar 1.624316,49 hektar, serta 5
kontrak karya dengan luas konsesi 29.201.34 hektar. Merah Johansyah, Dinamisator Jatam
Kaltim, menjelaskan begitu banyak dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan
batubara di Kalimantan Timur ini. Di antaranya, selain menyebabkan kerusakan hutan dan
aneka hayatinya, juga memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Sejak 2008, banjir pun
melanda Kalimantan Timur, khususnya Kota Samarinda. Satu-satunya kota di Indonesia yang
ada aktivitas batubara tersebut, mengeluarkan banyak biaya buat mengatasi dampak banjir.
Periode 2008-2010, biaya penanggulangan dampak banjir mencapai Rp 107,9 miliar,
kemudian meningkat menjadi Rp 602 miliar periode 2011-2013. Angka ini diluar biaya
rehabilitasi kerusakan jalan umum akibat pengangkutan batubara yang mencapai Rp 37,6
miliar. Hingga saat ini, sekitar 150 lubang bekas tambang batubara yang tidak direklamasi.
Lubang tersebut, luasnya rata-rata mencapai satu hektar dengan kedalaman lebih dari 50
meter.
Kawasan hutan di Kalimantan Timur yang tergerus tambang batubara. Foto: Hendar
Sejak tahun 2011-2014, sudah ada 9 anak tewas tenggelam di lubang tambang
batubara yang tidak ditutup. Parahnya, kasus meninggalnya bocah tersebut tidak pernah
sampai keranah hukum apalagi hingga ke pengadilan. Kasus tersebut diselesaikan dengan
pemberian santunan oleh perusahaan kepada keluarga korban yang besarnya bervariasi antara
Rp100-120 juta. Kemudian kasusnya dinyatakan selesai. Korban terakhir M Raihan Saputra
(10), tewas di lubang bekas tambang. Lubang tambang itu diduga milik perusahaan, PT.
Graha Benua Etam (GBE). Koordinasi dan Supervisi (Korsup) mineral dan batubara yang
dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk
di Kalimantan Timur, selama 2014, memberi harapan soal penataan batubara di provinsi
tersebut. Sejumlah rekomendasi dikeluarkan KPK untuk pemerintah daerah di Kalimantan
yang ternyata harapan tersebut sebatas harapan saja. Dari data Dirjen Planologi Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Korsup KPK hingga Mei 2014 menunjukkan, ada
124 pemegang izin pertambangan di lima provinsi di Kalimantan yang masih beroperasi di
kawasan konservasi. Disebutkan di Kalimantan Timur tercatat 62 pemegang izin yang berada
di kawasan konservasi, Kalimantan Barat terdapat 13 pemegang izin yang menggunakan
kawasan konservasi untuk kegiatan non-kehutanan dan 125 pemegang izin di kawasan
lindung. Kalimantan Selatan sekitar 30 pemegang izin, dan di Kalimantan Tengah terdapat 19
pemegang izin. Dari Data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara pada April 2014, semua
izin tersebut, hampir 50 persen IUP Minerba belum clear and clean (CnC). Tepatnya,
pemerintah daerah di Kalimantan dihadapkan dengan status non-clear and clear-nya IUP
pertambangan sebanyak 1.518 IUP dari total 3.836 IUP. Status non-clear and
clean terbanyak di Kalimantan Timur. Meskipun KPK memberikan batas waktu selama enam
bulan kepada pemerintah daerah untuk memaksa pemegang IUP agar mengurus status IUP,
ternyata respons pemerintah daerah di Kalimantan sangat lamban. Indikasinya, hingga
Oktober 2014 Kalimantan Timur tidak meningkatkan status CnC terhadap perusahaan
tambang batubara. Di Kalimantan, hanya 21 IUP yang berstatus CnC dari 195 IUP yang
diusulkan oleh pemerintah Kalimantan Barat.
Batubara diangkut melalui jalur Sungai Mahakam yang merupakan urat nadi
perekonomian masyarakat Samarinda. Foto: Yutinus S. Hardjanto
Bagaimana sikap Komisi Pemberantasan Korupsi? Johan Budi SP, Deputi Pencegahan
KPK, saat dihubungi di acara GreenTalk (23/12/2014), kerja sama Green Radio dengan
Mongabay, menuturkan KPK telah melakukan koordinasi dan supervisi terkait pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara di 12 provinsi tahun 2014 ini. Provinsi tersebut adalah
Riau, Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, dan Maluku Utara. Menurut Johan, korsup dilakukan sebagai upaya terciptanya
tata kelola pertambangan mineral dan batubara yang baik. Persoalan yang melatari
dilakukannya korsup adalah pengembangan data dan informasi minerba saat ini masih
parsial, belum diterbitkannya semua aturan UU No 4 tahun 2009, renegosiasi kontrak 34 KK
dan 78 PKP2B yang belum terlaksana, hingga kerugian negara akibat tidak dibayarkannya
kewajiban keuangan karena sanksi yang tidak maksimal terhadap pelaku usaha. Peksanaan
yang berlangsung pada Februari hingga Juni 2014 tersebut dilakukan dengan menggandeng
12 provinsi terkait serta Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perdagangan, Menen PAN & RB,
Kementerian Perindustrian, BPK, BPN, dan Deputi Perekonomian BPKP. Untuk 2015 nanti,
kegiatan korsup akan dilakukan di beberapa provinsi di Indonesia yang memiliki potensi
pertambangan mineral dan batubara. Namun, action plan 2014 tetap dilakukan. Hasil korsup
di 12 provinsi tersebut, menurut Johan Budi, menunjukkan ada temuan izin usaha
pertambangan yang bermasalah serta adanya perusahaan yang beroperasi tidak memiliki
NPWP. Negara mengalami kerugian 13 triliun akibat tunggakan pembayaran ratusan
perusahaan di 12 provinsi tersebut. Mereka sudah diberi batasan waktu hingga Oktober
2014. Hal penting lain dari temuan korsup tersebut adalah belum adanya peta baku
pertambangan yang dimiliki pemerintah daerah, BPN, maupun kementerian ESDM.
Sehingga, harus dilakukan kajian bersama yang melibatkan instansi lain. Terkait hasil korsup
di Kalimantan yang belum dilaksanakan maksimal di daerah, Johan mengatakan bahwa
korsup terus berjalan karena action plan yang dilakukan KPK tidak hanya selesai dalam
waktu satu atau dua bulan saja. Monitoring terus dilakukan. Namun demikian, masyarakat
ataupun para pegiat lingkungan dipersilakan melaporkan ke KPK andai ada temuan baru, ujar
Johan.
Gerakan Kukar Menggugar sebagai bentuk protes terhadap lahan batubara yang mencaplok
wilayah pertanian. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Sepintas, Pemerintah Kalimantan Timur cukup peduli dengan persoalan tambang yang
sudah merusak daerahnya. Pada 2013 lalu, mereka mengeluarkan peraturan daerah (Perda)
tentang reklamasi dan pasca-tambang. Tapi hingga kini peraturan daerah tersebut hanya di
atas kertas saja. Salah satu alasan mengapa perda tersebut belum berjalan adalah karena
belum terbentuknya Komisi Pengawasan Reklamasi dan Pascatambang Daerah. Seperti yang
diamanatkan Perda No 8 Tahun 2013. Pembentukan komisi itu sendiri menunggu Peraturan
Gubernur Kalimantan Timur tentang komisi tersebut. Bulan November 2014, rancangan
diserahkan kepada gubernur untuk dikaji dan Pergub akan diterbitkan paling lambat awal
2015, kata Muhammad Nasir, anggota tim penyusun pergub yang juga penggiat LSM
Prakarsa Borneo. Menurut Nasir, jika Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang
Daerah terbentuk, ini yang pertama di Indonesia. Karena sebelumnya, tidak ada di daerah
lain.Dia pun memberikan jaminan komisi yang terbentuk itu merupakan tim yang independen
sehingga tidak bisa diintervensi pihak manapun. Komisi ini terdiri tujuh orang. Mereka akan
menjabat selama dua tahun dan hanya boleh menjabat selama dua periode. Tugas utamanya
adalah melaksanakan pengawasan terhadap seluruh kegiatan reklamasi dan pasca-tambang
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Misalnya memverifikasi
pengawasan dokumen, investigasi, maupun pelaporan jika ditemukan indikasi pidana.
Akankah persoalan batubara terus begini? Semoga, di tahun 2015, semua lubang bekas
tambang akan direklamasi dan hutan yang gundul dihijaukan lagi. Sehingga, peristiwa pilu
tewasnya anak di lubang tambang tidak akan terjadi lagi.
bisa dihentikan tetapi para pelaku dalam usaha ini harus berkomitmen dan bertanggungjawab
sepenuhnya dalam kegiatan pertambangan yang akan dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
m.greenpeace.org/seasia/id/high/press/releases/Terungkap-pertambangan-batubarameracuni-air-di-Kalimantan-selatan-dan-melecehkan-hukum-Indonesia
ninachaerani02.blogspot.com/2015/01/masalah-lingkungan-dan-pertambangan.html
radyanprasetyo.blogspot.com/2007/10/aspek-lingkungan-dalam-amdal-bidang.html
rossiamargana.blogspot.com/2012/11/masalah-lingkungan-dalam-pembangunan.html
Tekmira.esdm.go.id
www.hijauku.com/2014/08/26/inilah-wajah-pertambangan-indonesia/
www.mongabay.co.id/2014/12/31/batubara-emas-hitam-yang-sarat-permasalahan/