Anda di halaman 1dari 2

Tabel 3.

Penderita mikrofilaremia dan filariasis klinis di Kelurahan Simbang Kulon menurut


golongan umur berdasarkan hasil SDJ
Umur (th) diperiksa

Mikrofilaremia

Laporan
Kegiatan

PELATIHAN CARA UJI KLINIK YANG BAIK


DI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
DEPARTEMEN KESEHATAN RI
Dewi Marbawati*, Zumrotus Sholichah*

Filariasis klinis
Total

0 - 9 ( 4)
10 - 19 (25)
20 - 29 (34)
30 - 39 (30)
40 - 49 (22)
50 - 59 (19)
> 60 (17 )
Total ( 151 )

akut

Kronis

0
0
2 (5,88%)
1 (3,33%)
0
0
1 (5,88%)

0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
1 (3,33%)
0
1 (5,26%)
1 (5,88%)

0
0
0
1 (3,33%)
0
1 (5,26%)
1 (5,88%)

4 (2,65%)

3 (1,98%)

3 (1,98%)

Tabel 4. Mikrofilaremia dan jumlah mikrofilaria pada penduduk di Kelurahan Simbang Kulon
menurut golongan umur dan jenis kelamin
Diperiksa

Mikrofilaremia

Kepadatan mikrofilaria per 20 mm3


darah (3 tetes darah)
1 -5mf

6 -10mf

> 11 mf

P 0 - 19 tahun (20)
L 0 - 19 tahun (9)

0
0

0
0

0
0

0
0

Sub Total (29)

1 (4,17%)
2 (5,00%)

0
2 (5,0%)

0
0

1 (4,17%)
0

3 (75%)

2
(3,12%)

1 (1,56%)

0
1 (3,57%)

0
0

0
0

0
1*
(3,57%)

P 20 - 39 tahun (24)
L 20 - 39 tahun (40)
Sub Total (64)

P >40 tahun (30)


L >40 tahun (28)
Sub Total (58)

1 (25%)

1 (100%)

Total Perempuan (74)

1 (25%)

1 (1,35%)

Total laki - laki (77)

3 (75%)

2
(66,67%)

1
(33,33%)

4 (100%)

2 (50%)

2 (50%)

Total (151)

*) jumlah tertinggi : 14 mikrofilaria


D. PEMBAHASAN
Pengobatan massal filariasis tahun pertama di Kelurahan
Simbang Kulon telah berhasil menurunkan mikrofilaria
rate dari 3,91% pada tahun 2007 menjadi 2,65% di tahun
2008. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada saat
SDJ ditemukan 3 penderita kronis atau elefantiasis di
Kelurahan Simbang Kulon, yaitu adanya pembesaran
kaki sebelah kiri pada 2 orang wanita dan pembesaran
tangan kanan pada seorang pria (tabel 1 dan 3). Hal ini
karena selang waktu SDJ hanya 1 tahun, sedangkan
gejala kronis filariasis membutuhkan waktu bertahuntahun dan ribuan kali gigitan nyamuk hingga terjadi
pembesaran yang bersifat permanen.
Penderita mikrofilaremia pada tahun 2007 dan

2008 merupakan penderita yang berbeda. Dengan


demikian bisa dikatakan, pengobatan massal di
Kelurahan Simbang Kulon pada khususnya dan
Kecamatan Buaran pada umumnya telah berhasil
membunuh mikrofilaria pada penderita mikrofilaremia
sebelumnya, namun dengan ditemukannya penderita
mikrofilaremia baru menunjukkan tidak semua
penduduk mendapatkan pengobatan, atau bila
mendapatkan pengobatan mereka tidak minum obat
yang diberikan tersebut. Hal ini menyebabkan masih
adanya kemungkinan penularan filariasis di Kelurahan
Simbang Kulon.
Keberhasilan program eliminasi filariasis
khususnya pengobatan massal sangat tergantung dari

Perkembangan ilmu pengetahuan dan riset di


bidang kesehatan tidak terlepas dari keterlibatan
manusia sebagai subyek penelitian. Dalam rangka
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman peneliti
tentang berbagai aspek etik penelitian kesehatan dan
perlindungan terhadap subyek penelitian, Badan
Litbang Kesehatan menyelenggarakan suatu pelatihan
etik penelitian kesehatan yaitu Cara Uji Kinik yang Baik
(CUKB), yang diselenggarakan di Jakarta 5-6 Desember
2008. Pelatihan diikuti oleh perwakilan peneliti dari
masing- masing satuan kerja di bawah Badan Litbang
Kesehatan.
Pelatihan yang diselenggarakan selama dua hari
ini diawali dengan sambutan dari ketua komisi etik
KEPK (Komisi Etik Penelitian Kesehatan), dalam
sambutannya Prof. DR. M. Sudomo menyampaikan
pentingnya suatu tata cara uji klinik, agar dilaksanakan
dengan tujuan yang mendasar dan etis, serta memenuhi
Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) atau Good Clinical
Practice (GCP) dalam setiap tahapan uji klinik.
Sehingga hasil uji dapat dipertanggungjawabkan dan
bermanfaat. Sambutan juga diberikan oleh ketua Komisi
Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK)
Prof.Dr.R.Sjamsuhidajat,Sp.B,KBD yang menegaskan
kembali pentingnya suatu pedoman untuk melakukan uji
klinik. Dalam sambutannya beliau mengutarakan bahwa
tugas KEPK diantaranya adalah harus melakukan telaah
suatu protokol uji klinik dalam waktu yang wajar,
mencatat pendapatnya secara tertib, serta secara jelas
mengidentifikasi penelitian yang dimaksud.
International Conference on Harmonization
Good Clinical Practice (ICH GCP) merupakan standar
yang disepakati dunia internasional dalam mengakui
kesahihan data uji klinik dalam rangka pendaftaran obat
baru. Sedangkan tujuan dari pedoman ICH GCP adalah
untuk menyatukan standar bagi Uni Eropa, Jepang dan
Amerika Serikat dalam mempermudah penerimaan data
klinik oleh otoritas regulatori di negara negara tersebut.
Buku pedoman CUKB Indonesia sepenuhnya
mengadopsi standar yang ditetapkan dalam ICH GCP.
Beberapa ketentuan lain mengenai hal yang belum
diatur dalam ICH GCP diserahkan kepada setiap negara
untuk mengaturnya.
Menurut pedoman cara uji klinik di Indonesia,
CUKB adalah suatu standar kualitas etik dan ilmiah
internasional untuk mendisain, melaksanakan, mencatat
dan melaporkan uji klinik yang melibatkan partisipasi

subyek manusia. Kepatuhan terhadap standar ini akan


memberikan kepastian kepada publik bahwa hak,
keamanan dan kesejahteraan subjek uji klinik
dilindungi, sesuai dengan prinsip uji klinik yang berasal
dari Deklarasi Helsinki (kesepakatan awal dunia
internasional terhadap pedoman pelaksanaan uji klinik),
dan bahwa data uji klinik tersebut dapat dipercaya.
Materi pertama dalam acara pelatihan ini adalah
mengenai Cara Uji Klinik yang Baik, prinsip ICH-GCP
dan peran serta tanggung jawab Komisi Etik Penelitian
Kesehatan (KEPK). Diskusi dilakukan di setiap akhir
materi. Pada penjelasan materi Cara Uji Klinik yang
Baik, dijelaskan mengenai beberapa fase uji klinik
(clinical trial). Sedangkan dalam penjelasan materi
prinsip ICH-GCP dijelaskan mengenai pentingnya
Informed Consent Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)
yang didasarkan pada penghargaan terhadap harkat
manusia (respect for persons). Pengertian PSP sendiri
adalah persetujuan yang diberikan oleh seorang individu
yang kompeten sesudah mendapat penjelasan yang
diperlukan, memahami informasi yang disampaikan,
dan setelah mempertimbangkan informasi yang didapat,
individu tersebut ikut dalam membuat suatu keputusan
tanpa ada paksaan, pengaruh yang berlebihan, bujukan,
atau intimidasi untuk ikut dalam penelitian.
Materi pelatihan menegaskan juga beberapa prinsip
dasar dalam riset kesehatan , yaitu:
1. a. Hormat kepada subyek manusia (respect for
person).
Menghormati otonomi subyek dilakukan
diantaranya dengan pembuatan informed
consent, cara rekruitmen subyek yang baik, tidak
melakukan tindakan yang bersifat memaksa, dsb.
b. Melindungi secara khusus subyek yang tidak
dapat melindungi dirinya sendiri (vulnerable
subjects).
Ketidakmampuan untuk melindungi diri sendiri
diantaranya disebabkan umur (anak kecil),
penyakit (gangguan jiwa), kondisi (narapidana,
orang miskin), dsb.
2. Memaksimalkan manfaat dan meminimalkan
kerugian (beneficence), terdiri dari 2 bagian utama
yaitu jangan mencelakakan (nonmaleficence) dan
memaksimalkan manfaat serta meminimalkan
risiko.
3. Keadilan (justice), meliputi beban dan manfaat yang
dibagi rata pada subyek dan bila tidak ada populasi

*Staf Loka Litbang P2B2 Banjarnegara

14 BALABA Vol. 5, No. 01, Jun 2009 : 11-16

19

lain yang sesuai dengan tujuan penelitian, vulnerable


subjects boleh diikutsertakan dalam penelitian.
Penyampaian materi dilanjutkan dengan
beberapa tema lain yaitu peran dan tanggungjawab
peneliti, peran dan tanggung jawab sponsor serta cara
pengisian case report form (CRF) dan pelaporan serious
adverse events (SAE). Materi tentang pengisian dan
pelaporan SAE membahas aturan umum pengisian dan
koreksi serta diberikan juga contoh CRF dan form SAE.
Materi tersebut mengakhiri penyampaian materi
pelatihan pada hari pertama.
Hari kedua pelatihan diawali dengan materi
peran dan tanggung jawab monitor dalam uji klinik serta
audit dalam uji klinik. Dalam penyampaian materi
ditekankan bahwa tujuan monitoring uji klinik adalah
untuk memastikan bahwa hak dan kesejahteraan subyek
manusia dilindungi, data uji klinik yang dilaporkan
akurat, lengkap dan dapat diverifikasi terhadap dokumen
sumber serta diharapkan pelaksanaan uji klinik tersebut
sesuai dengan protokol/amandemen yang disetujui serta
regulatori yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud
dengan audit dalam uji klinik adalah evaluasi yang
sistematis dan independen yang meliputi semua segi dari
uji klinik.
Materi dilanjutkan dengan tema informasi untuk
calon subjek uji klinik dan aspek regulasi uji klinik di
Indonesia. Pada saat penyampaian materi informasi
untuk calon subjek uji klinik disampaikan beberapa unsur
yang harus ada dalam informasi untuk calon subjek uji
klinik, diantaranya tanggung jawab subyek, adanya
penjagaan kerahasiaan identitas subyek, kondisi yang
menyebabkan keikutsertaan subyek diberhentikan oleh
peneliti, dsb. Dalam hal ini ada beberapa catatan yang
harus diperhatikan yaitu penggunaan kalimat dan kata
kata yang mudah dimengerti oleh orang awam,
menghindarkan istilah medis dan bila menggunakan
istilah medis harus dijelaskan artinya dengan kata-kata
awam. Sedangkan pada saat penyampaian materi aspek

regulasi uji klinik di Indonesia disampaikan landasan


hukum tata laksana uji klinik yaitu Undang undang
(UU) No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 39
pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan,
Keppres No 166 tahun 2000, No 103 tahun 2001 dan No
46 tahun 2002 untuk melindungi keamanan,
keselamatan dan kesehatan seluruh masyarakat serta
Keputusan Kepala Badan POM
(No.02002/SK/KBPOM) tentang tata laksana uji klinik.
Dua materi terakhir yang diberikan dalam
pelatihan uji klinik yaitu mengenai defisiensi protokol
yang sering dijumpai dan ketidakjujuran dalam uji
klinik. Defisiensi protokol dalam etik yang sering
dijumpai diantaranya informed consent diperoleh
setelah skrining, tidak menyebutkan penjagaan
kerahasiaan data, tidak menyebutkan nama dan nomor
telepon peneliti, dsb. Defisiensi protokol dalam
metodologi diantaranya adanya hipotesis untuk studi
deskriptif, kriteria diagnostik yang tidak benar,
sedangkan defisiensi analisis statistik diantaranya tidak
menyebutkan uji statistik mana untuk setiap variabel
respons (hanya menyebutkan stastistical softwarenya
saja). Dalam pembahasan tema ketidak jujuran dalam uji
klinik diberikan contoh
contoh penelitian yang
melakukan pelanggaran terutama dalam kaitannya
dengan pelaksanaan uji klinik.
Akhir pelatihan ditutup dengan evaluasi peserta
dan pembagian sertifikat. Dalam sambutan penutupan
ketua KNEPK dan KEPK menegaskan kembali
pentingnya CUKB atau GCP dalam penelitian uji klinik
serta menegaskan bahwa peneliti yang akan melakukan
penelitian yang menggunakan uji klinik diharapkan
memiliki sertifikat pelatihan CUKB/GCP sehingga
mengetahui segala ketentuan CUKB, supaya jalannya
penelitian akan lebih baik sesuai dengan aspek etis dan
berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku.

Pada tabel 1 didapatkan angka kesakitan akut


(ADR/Acute Disease Rate) sebesar 0%, sedangkan
angka kesakitan kronis (CDR/Chronic Diseases Rate)
1,30%.Penderita mikrofilaremia yang termuda
ditemukan pada usia 13 tahun, sedangkan penderita
mikrofilaria tertua berusia 70 tahun.
Pada tabel 2 ditunjukkan penderita filaria pada
kelompok usia < 20 th sebesar 1,96% dengan jumlah
mikrofilaria terbanyak (13 ekor) dan dijumpai pada
laki-laki. Pada kelompok 20-39 tahun, jumlah penderita
filaria meningkat menjadi 4,35% dan lebih banyak
menyerang perempuan (4,65%) dan pada laki-laki
3,84%. Jumlah mikrofilaria menurun menjadi kurang
dari 5, baik pada penderita laki-laki maupun perempuan.
Pada kelompok usia 40 tahun keatas, jumlah penderita
mikrofilaremia sedikit meningkat menjadi 4,54%. Pada
kelompok usia ini, kelompok laki-laki lebih berisiko
menjadi 11,9%. Jumlah mikrofilaria cenderung
meningkat pada kelompok usia tersebut, paling tinggi
dijumpai 12 ekor.
Filariasis limfatik di Kelurahan Simbang Kulon
lebih banyak menyerang laki-laki (77,78%)
dibandingkan perempuan (22,22%).
7

3. Hasil Survei Darah Jari (SDJ) tahun 2008


Sesuai dengan kesepakan global eliminasi
filariasis limfatik, sebagai tindak lanjut hasil SDJ
tersebut, kemudian Dinas Kesehatan Kabupaten
Pekalongan melakukan program pengobatan massal di
wilayah Puskesmas Buaran sejak tahun 2008. Pada
Desember 2008 dilakukan SDJ di Kelurahan Simbang
Kulon sebagai daerah sentinel.

Survei darah jari dilakukan terhadap 151


orang, 4 diantaranya positif mikrofilaria sehingga
diperoleh Mf rate sebesar 2,65%.
Tabel 3 dan 4 menunjukkan penderita yang
paling muda ditemukan pada usia 26 tahun sebanyak 1
penderita. Penderita tertua berusia 64 tahun dan
merupakan penderita dengan jumlah mikrofilaria
terbanyak (14 ekor). Usia penderita mikrofilaremia ini
lebih baik dari sebelum dilaksanakan pengobatan
massal, sehingga tidak ditemukan penderita
mikrofilaremia dibawah usia 20 tahun.
Pada kelompok 20-39 tahun, frekuensi
meningkat menjadi 4,68% (3 dari 64 orang yang
diperiksa). Bila pada SDJ sebelumnya penderita
mikrofilaremia perempuan lebih tinggi, pada SDJ ini
resiko perempuan lebih rendah 4,17% (1 dari 23 orang
yang diperiksa) dan pada laki-laki 5% (2 dari 40 orang
yang diperiksa) namum tidak dengan kepadatannya.
Jumlah mikrofilaria kurang dari 5, baik pada penderita
laki-laki namun pada perempuan >11 ekor. Pada
kelompok usia 40 tahun keatas, frekuensi
mikrofilaremia cenderung menurun menjadi 1,72% (1
dari 58 orang yang diperiksa) dan hanya ditemukan pada
kelompok laki-laki sehingga mereka lebih berisiko
sebesar 3,57% (1 dari 28 orang yang diperiksa) namum
tidak dengan jumlah mikrofilarianya. Jumlah
mikrofilaria cenderung meningkat pada kelompok usia
tersebut, paling tinggi dijumpai 14 ekor.

Tabel 2. Mikrofilaremia dan jumlah mikrofilaria penduduk di Kelurahan Simbang Kulon


menurut golongan umur dan jenis kelamin hasil SDJ Tahun 2007.

Diperiksa

Mikrofilaremia

Kepadatan
- mikrofilaria per 20 mm3 darah
(3 tetes darah)
1 - 5mf

6 - 10mf

> 11 mf

P 0 -19 tahun (32)


L 0 - 19 tahun (19)

0
1 (5,26%)

0
0

0
0

0
1* (5,26%)

Sub Total (51)

1 (1,96%)

1 (1,96%)

P 20- 39 tahun (43)


L 20- 39 tahun (26)

2 (4,65%)
1 (3,84%)

2 (4,65%)
1 (3,84%)

0
0

0
0

Sub Total (69)

3 (4,35%)

3 (4,35%)

P >40 tahun (68)


L >40 tahun (42)

0
5 (11,9%)

0
1 (2,38%)

0
3 (7,14%)

0
1 (2,38%)

Sub Total (110)

5 (4,54%)

1 (0,91%)

3 (2,73%)

1 (0,91%)

Total Perempuan (143)

2 (22,22%)

2(22,22%)

Total laki- laki (87)

7 (77,78%)

2 (28,57%)

3 (42,86%)

2 (28,57%)

9 (100%)

4 (44,44%)

3 (33,33%)

2 (22,22%)

Total (230)

*) jumlah tertinggi : 13 mikrofilaria

20 BALABA Vol. 5, No. 01, Jun 2009 : 19-20

Analisis Situasi Filariasis.................(Wijayanti)

13

Anda mungkin juga menyukai