Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO B BLOK 27

Disusun oleh:

KELOMPOK B5
Zahrunisa Al Jannah

04121401007

Dhiya Silfi Ramadani

04121401008

Dwi Andari Maharani

04121401014

KMS Temiditya Kurnia

04121401017

Ramitha Yulisman

04121401036

Raissa Oslin

04121401039

KM Syarif Azhar

04121401048

Timotius Wira Yudha

04121401065

Ni Komang Leni

04121401069

Abdur Rozak

04121401080

E Jethro Solaiman

04121401087

Muhammad Adil

04121401103

Shobana An Agustin

04121401101

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT karena atas ridho dan karuniaNya laporan tutorial skenario B blok 27 ini dapat terselesaikan dengan baik.
Laporan ini bertujuan untuk memaparkan hasil yang didapat dari proses belajar
tutorial, yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam pembuatan laporan ini, mulai dari tutor pembimbing, anggota kelompok 5 tutorial,
dan juga teman-teman lain yang sudah ikut membantu dalam menyelesaikan laporan ini.
Tak ada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan
laporan ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik akan sangat
bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.

Penyusun

Skenario B Blok 27
1 jam sebelum masuk RS, Bujang dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan
sepotong kayu. Bujang pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali dan
melaporkan kejadian ini ke kantor polisis terdekat. Polisi mengantar Bujang ke RSUD
untuk dibuatkan visum et repertum, di RSUD Bujang mengeluh luka dan memar di
kepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan:
RR: 28x/menit, Tekanan Darah 130/90 mmHg, Nadi: 50x/menit, GCS: E4 M6 V5, pupil
isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
Regio Orbita: Dextra et Sinistra tampak hematom, sub-conjunctival bleeding (-)
Regio Temporal Dextra: Tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi rata, sudut tumpul dengan
dasar fraktur tulang.
Regio Nasal: Tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung
Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri.
Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:
Pasien mengorok, RR 24x/menit, Nadi 50x/menit, Tekanan Darah 140/90 mmHg,
Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang dalam
bentuk kata-kata. Pupil anisokor, reflex cahaya pupil kanan negatif, reflex cahaya pupil
kiri reaktif/normal.
Pada saat itu Anda merupakan Dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang
perawat.

Klarifikasi Istilah
Pingsan

:Hilangnya kesadaran sementara waktu yang disebabkan oleh


iskemia cerebral umum

Visum et repertum

:Laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter, memuat


berita tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan pada
barang bukti berupa tubuh manusia atau benda yang berasal
dari tubuh manusia

Luka

:Hilang atau rusaknya jaringan tubuh, jenis cedera yang terjadi


pada kulit

Memar

:Jejar pada suatu bagian tanpa adanya diskontinuitas kulit

Pupil Isokor

:Kesamaan ukuran pupil (tempat masuknya cahaya pada mata)


pada kedua mata

Hematom

:Kumpulan darah di luar pembuluh darah, biasanya pada


tempat dimana dinding pembuluh darah tertusuk atau
mengalami trauma

Sub-konjuntival Bleeding :Perdarahan di belakang konjungtiva


Fraktur

:Terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis


dan luasnya atau setiap letak atau patah pada tulang yang utuh

Epistaksis

:Perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab local


atau sebab umum

Ngorok

:Bunyi pernapasan kasar biasanya karena lidah jatuh ke


posterior menutupi jalan napas

Anisokor

:Diameter kedua pupil tidak sama besar

Identifikasi Masalah
1. 1 jam sebelum masuk RS, Bujang 20 tahun dianiaya oleh tetangganya, dipukul
2.
3.
4.
5.

dengan sepotong kayu.


Polisi mengantar bujang untuk melakukan visum et repertum.
Pada saat di RSUD bujang mengeluh nyeri kepala hebat, dan muntah.
Pemeriksaan didapatkan:
Pemeriksaan setelah pasien tidak sadar.

6. Pemeriksaan tambahan ?

Analisis Masalah
1.

a. Bagaimana mekanisme trauma pada kasus


Mekanisme: trauma tumpul, kecepatan rendah
Derajat: derajat sedang
Morfologi:
a.Fraktur tulang: depresi, tertutup
b. Lesi intrakranial: focal/diffuse (butuh pemeriksaan lanjutan)
kemungkinan focal epidural
Trauma tumpul dan trauma kapitis

Trauma pada kepala dapat menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma
jaringan lunak/otak laserasi, dengan derajat yang bervariasi tergantung pada luas
daerah trauma. Trauma kapitis dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung.
Akibat-akibat dari suatu rudapaksa pada kepala yang sangat dipengaruhi oleh:
Jenis benda (tajam/tumpul) yang mengakibatkan trauma kapitis.
Kecepatan benda tersebut.
Arah benturan, apakah dari arah depan belakang atau dari samping.
Lokasi dan jaringan yang terkena, apakah daerah yang dilalui oleh
udara/pembuluh darah besar/saraf/jaringan otak.
Apakah kepala dalam keadaan diam atau bergerak.
Biomekanika trauma:

Mekanisme trauma pada kasus ini adalah trauma akselerasi dengan jenis lesi
coup dan jenis trauma tumpul.

Mekanisme : kepala mendapat energy kinetik yang cukup besar dari


potongan kayu energi diteruskan ke SCALP trauma local (luka robek)
energi diteruskan ke os.temporal os.temporal tidak bisa menahan besarnya
energy fraktur diteruskan ke otak dan fragmen fraktur merusak pembuluh

darah robeknya a.meningea mediana perdarahan epidural.


Dampak
Hal ini berdampak trauma langsung pada kepala yang berakibat timbulmya
laserasi ataupun robekan di jaringan kepala. Laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah karena kulit kepala memiliki banyak
pembuluh darah.
Terjadinya fraktur linear pada os temporalis menyebabkan robeknya arteri
meningea media yang akan menimbulkan epidural hematoma, yaitu pengumpulan

darah diantara lamina interna kranui dan duramater. Pada awalnya TIK masih
terkompesasi dengan cara bergesernya CSF dan darah vena keluar dari ruang
intrakranial, namun selanjutnya TIK tidak dapat dikompensasi dan menyebabkan
TIK meningkat.
b.

Kemungkinan apa saja cedera yang terjadi akibat trauma?


Klasifikasi Cedera Kepala
a.

Cedera kepala primer


Merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat
kepala terbentur dan memberi dampak cidera pada otak.
Cedera kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak
difusa, yang masing-masing mempunyaimekanisme etilogis dan patofisiologi
yang unik.
1) Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak, namun
biasanya ini bukan merupakan penyebab utama timbulnya kacacatan neurologis.
2) Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya dijumpai
pada kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup
kontusi kortikal, hematom subdural, epidural dan intraserebral yang secara
makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang
berbatas tegas.
3) Cedera otak dufusa pada dasarnya berbeda dengan cedera vokal, dimana
keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas serta biasanya tidak
tampak secara mikroskopis. Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi
kebanyakan

melibatkan

akson-akson,

maka

cedera

ini

juga

dikenal

dengan cedera aksional difusa


b. Cidera kepala sekunder
Cidera kepala sekunder terjadi akibat terjadi akibat cidera primer misalnya
adanya hipoksia, iskemik, dan perdarahan.
Berdasarkan kerusakan jaringan otak:
a. Komosio serebri (gegar otak) yaitu gangguan fungsi neurologik ringan tanpa
adanya kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya kesadaran kurang dari 10
menit atau tanpa disertai amnesia retrograd, mual, muntah, nyeri kepala.
b.

Kontusio serebri (memar) yaitu gangguan fungsi neurologik disertai

kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh, hilangnya kesadaran

lebih dari 10 menit.


c. Laserasio serebri yaitu gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak
yang beratdengan fraktur tengkorak terbuka. Massa otak terkelupas ke luar dari
rongga intrakranial.
Berdasarkan berat ringannya cedera kepala
a. Cedera kepala ringan : jika GCS antara 15-13, dapat terjadi kehilangan
kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau
hematom.
b.

Cedera kepala sedang : jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara

30 meniit sampai dengan 24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi


ringan.
c. Cedera kepala berat : jika GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24
jam, biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematom, edema serebral.
c.

Apa yang dimaksud dengan penganiayaan?


Penganiayaan adalah perlakuan yang sewenang-wenangnya (seperti
penindasan dan penyiksaan)
1. Undang-undang tidak memberikan ketentuan apakah yang di artikan
dengan penganiayaan (mishandeling) itu. Menurut Yurisprudensi, maka yang
diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak
(penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea empat dari pasal ini, masuk
pula dalam pengertian penganiayaan ialah sengaja merusak kesehatan orang.
perasaan tidak enak. Misalnya mendorong terjun kekali sehingga basah,
menyuruh orang berdiri diterik matahari dan lain sebagainya
Rasa sakit.Misalnya menyubit, menempeleng, memukul dll
Luka .Misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dll
Semua ini harus dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang patut
atau melewati batas yang di izinkan. Umpanya seorang dokter gigi mencabut gigi
pasiennya . Sebenarnya ia sengaja menimbulkan rasa sakit, akan tetapi
perbuatannya itu bukan penganiayaan, karena ada maksud baik (mengobati)

2. Penganiayaan ini dinamakan penganiayaan biasa. Diancam hukuman lebih


berat, apabila penganiayaan biasa ini berakibat luka berat atau mati. Luka berat
atau mati disini harus hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh
sipembuat. Apabila luka berat itu dimaksud, dikenakan pasal 354
(penganiayaan berat), sedangkan jika kematian itu dimaksud, maka perbuatan itu
masuk pembunuhan (pasal 388). Lain lagi halnya dengan seorang supir yang
mengendarai mobilnya kurang hati-hati, menabrak orang sehingga mati.
Perbuatan ini bukanlah suatu penganiayaan, berakibat matinya orang (pasal 351
alinea 3), oleh karena si sopir tidak ada pikiran (maksud) sama sekali untuk
menganiaya, dan juga tidak masuk pembunuhan (pasal 388), karena kematian
orang itu tidak dikehendaki oleh sopir tadi. Peristiwa ini dikenakan pasal 359
(karena salahnya menyebabkan matinya orang lain)
3. Percobaan malakukan penganiayaan biasa ini tidak dihukum, demikian pula
percobaan melakukan penganiayaan ringan (pasal 352). Akan tetapi percobaan
2.

pada penganiayaan tersebut dalam pasal 353,354,355 dihukum.


a. Apa yang dimaksud dengan visum et repertum (4,3,2)
Visum et Repertum merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh pihak

penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. Visum et
Repertum (VeR) merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya
memenuhi standar penulisan rekam medis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang
disyaratkan dalam sistem peradilan. Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang
dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis
terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia,
berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu
sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Penyidik yang dimaksud adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1)
butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik tersebut adalah penyidik
tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa
manusia.

b. Apa saja klasifiasi visum


Visum orang hidup : kompetensi dokter umum.

Visum perlukaan :
langsung (pada korban dengan luka ringan)
sementara (korban dengan perawatan lebih lanjut)
lanjutan (setelah korban sembuh/meninggal)

visum kejahatan kesusilaan

Visum psikiatri

Visum keracunan
Visum jenazah
c.

Persyaratan yang diperlukan untuk membuat visum

Syarat pembuat:
- Harus seorang dokter (dokter gigi hanya terbatas pada gigi dan mulut)
- Di wilayah sendiri
- Memiliki SIP
- Kesehatan baik
Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk
membuat VeR korban hidup, yaitu:
1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.
2. Langsung menyerahkannya kepada dokter, tidak boleh dititip melalui korban atau
keluarganya. Juga tidak boleh melalui jasa pos.
3. Bukan kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter.
4. Ada alasan mengapa korban dibawa kepada dokter.
5. Ada identitas korban.
6. Ada identitas pemintanya.
7. Mencantumkan tanggal permintaan.
8. Korban diantar oleh polisi atau jaksa.
Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk
membuat VeR jenazah, yaitu:
1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.
2. Harus sedini mungkin.
3. Tidak bisa permintaannya hanya untuk pemeriksaan luar.

4. Ada keterangan terjadinya kejahatan.


5. Memberikan label dan segel pada salah satu ibu jari kaki.
6. Ada identitas pemintanya.
7. Mencantumkan tanggal permintaan.
8. Korban diantar oleh polisi.
Saat menerima permintaan membuat VeR, dokter harus mencatat tanggal dan jam,
penerimaan surat permintaan, dan mencatat nama petugas yang mengantar korban.
Batas waktu bagi dokter untuk menyerahkan hasil VeR kepada penyidik selama 20
hari. Bila belum selesai, batas waktunya menjadi 40 hari dan atas persetujuan
penuntut umum.
d.

Kebijakan yang mengatur pembuatan visum


Visum et repertum adalah keterangan atau laporan tertulis yang dibuat oleh dokter

atas permintaan penyidik tentang apa yang dilihat dan ditemukan terhadap manusia baik
hidup maupun mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia berdasarkan
keilmuannya untuk kepentingan peradilan. Visum et repertum adalah salah satu alat bukti
yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP
Jenis visum Visum Orang Hidup dan Visum Orang Mati
Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:
1. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa
2. Bernomor dan bertanggal
3. Mencantumkan kata Pro Justitia di bagian atas kiri (kiri atau tengah)
4. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
5. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan
6.
7.
8.
9.
10.

pemeriksaan
Tidak menggunakan istilah asing
Ditandatangani dan diberi nama jelas
Berstempel instansi pemeriksa tersebut
Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum . Apabila ada lebih dari
satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya
berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum

masing-masing asli
11. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan
disimpan sebaiknya hingga 20 tahun

Tata Laksana VeR pada Korban Hidup


1. Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum korban hidup
1.Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)
adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI.
Sedangkan untuk kalangan militer maka Polisi Militer (POM) dikategorikan sebagai
penyidik.
2.Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)
adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.
3.Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa permintaan
oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah diatur dalam
KUHAP pasal 133 ayat (2).
4.Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang
memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak
lain tidak dapat memintanya.
2. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik

Dokter

Perawat

Petugas Administrasi
3. Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum pada korban hidup
Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik.
Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum sampai dokter
spesialis yang pengaturannya mengacu pada S.O.P. Rumah Sakit tersebut. Yang
diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya dulu, bila kondisi telah
memungkinkan barulah ditangani aspek medikolegalnya. Tidak tertutup kemungkinan
bahwa terhadap korban dalam penanganan medis melibatkan berbagai disiplin spesialis.
Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/ visum et revertum
Adanya surat permintaan keterangan ahli/ visum et repertum merupakan hal yang
penting untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai penanggung jawab
pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat permintaan tersebut sesuai
ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek yuridis yang sering menimbulkan
masalah, yaitu pada saat korban akan diperiksa surat permintaan dari penyidik belum ada
atau korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan keterangan ahli/ visum et
repertum .

Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka perlu dibuat kriteria tentang


pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah Sakit/UGD tidak membawa SpV. Sebagai
berikut :
-Setiap pasien dengan trauma
-Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan
-Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas
-Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan
-Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum
Kelompok pasien tersebut di atas untuk dilakukan kekhususan dalam hal
pencatatan temuan-temuan medis dalam rekam medis khusus, diberi tanda pada map
rekam medisnya (tanda VER), warna sampul rekam medis serta penyimpanan rekam
medis yang tidak digabung dengan rekam medis pasien umum.
Pemeriksaan korban secara medis
Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang telah
dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan yang
mengakibatkan beberapa data terlewat dari pemeriksaan.
Pengetikan surat keterangan ahli/ visum et repertum
Pengetikan berkas keterangan ahli/ visum et repertum oleh petugas administrasi
memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan untuk kepentingan
peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan garis, untuk mencegah
penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Contoh :
Pada pipi kanan ditemukan luka terbuka, tapi tidak rata sepanjang lima senti meter
Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum
Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu orang dokter, maka yang
menandatangani visum yang telah selesai adalah dokter yang menangani tersebut (dokter
pemeriksa).
Dalam hal korban ditangani oleh beberapa orang dokter, maka idealnya yang
menandatangani visumnya adalah setiap dokter yang terlibat langsung dalam penanganan
atas korban. Dokter pemeriksa yang dimaksud adalah dokter pemeriksa yang melakukan
pemeriksaan atas korban yang masih berkaitan dengan luka/cedera/racun/tindak pidana.
Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa
Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada penyidik saja
dengan menggunakan berita acara.

Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum


Surat keterangan ahli/ visum et repertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak
penyidik yang memintanya saja.
3.

a. Etiologi nyeri kepala hebat dan muntah pada kasus


Nyeri kepala dan muntah pada kasus ini disebabkan oleh peningkatan tekanan

intracranial. Mekanisme peningkatan intracranial : Pukulan dari arah samping fraktur


di os temporal ruptur a. meningea media hematoma epidural ketika kompensasi
tidak bisa terjadi lagi TIK terjadi penekanan pada pusat muntah terjadi reflex
muntah.
b. Mekanisme timbunya nyeri kepala hebat dan muntah
Pada saat terjadi trauma tumpul pada bagian temporal kanan, hal ini mengakibatkan
fraktur tulang temporal sehingga arteri meningea media yang melintasi di antara
duramater dan kranium mengalami ruptur. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi
dari perdarahan pada rongga epidural sehingga terbentuk hematoma epidural. Perdarahan
ini dapat menyebabkan mekanisme kompensasi seperti vasodilatasi pembuluh darah otak
untuk meningkatkan cerebral blood flow, serta hematom yang terbentuk dapat semakin
meluas yang menyebabkan penekanan terhadap duramater. Duramater sendiri diinervasi
oleh saraf sensorik pada bagian supratentorial berupa nervus trigeminal (nervus kranialis
yang berperan membawa impuls sensorik berupa nyeri) sehingga penekanan dapat
mengakibatkan terjadinya rasa nyeri yang hebat. Selain itu, hematom epidural yang
terbentuk dapat semakin membesar dan meluas sehingga dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial.

Apabila
tekanan tersebut
mengenai pusat
vagal motor (area
postrema) pada
dasar ventrikel
keempat di
medula bagian
infra tentorial,
dapat
mengakibatkan
refleks muntah
perangsangan
pusat muntah
menyebabkan
kontraksi duodenum dan antrum lambung sehingga tekanan intraabdomen meningkat
peristaltik retrograd lambung terisi penuh dan diafragma naik ke kavitas thoraks
melalui kontraksi kuat otot abdominal peningkatan intrathoraks esofagus membuka
muntah tanpa disertai mual terlebih dahulu.
4. Hasil pemeriksaan:
Vital Sign: RR: 28x/menit, TD: 130/90 mmHg, Nadi: 50x/menit, GCS: E4 M6 V5,
pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
Orbita: Hematom dextra et sinistra.
Temporal Dextra: Luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan dasar
fraktur tulang.
Nasal: Epistaksis.
a. Interpretasi dan mekanisme abnormal hasil pemeriksaan:
i.
Vital sign
No Pemeriksaan
1

fisik
RR : 28 x/mnt

Normal

Interpretasi

16-24

Takipneu,

x/menit

kompensasi dari perfusi otak

merupakan

untuk
2

TD 130/90 mmHg 120/80


mmHg

menjaga

perfusi

otak

adekuat.
Hipertensi, kompensasi iskemik
otak. Dengan rumus :
CPP = MAP - ICP
Jika

tekanan

intracranial

meningkat maka MAP juga harus


meningkat agar perfusi otak tetap
adekuat.

Peningkatan

menyebabkan

MAP

peningkatan

tekanan darah.
TIK (ICP) kompensasi untuk
mempertahankan
CPPpeningkatan
3

Nadi 50 x/mnt

60-100

MAPhipertensi
Bradikardi, akibat

mmHg

pada medulla oblongata yang


selanjutnya

4
5
6

GCS E4M6V5
pupil isokor
reflex cahaya
pupil

E4M6V5
Isokor
: Reaktif

penekanan

merangsang

pusat

inhibisi jantung.
Normal
Normal, N. III normal
Normal, N. III normal

kanan

reaktif, pupil kiri


reaktif
ii.

Orbital
Regio orbita yang tampak hematom bilateral merupakan hal yang tidak normal.
Beberapa penyebab dari perdarahan perioorbita (periorbital ecchymosis) berdasarkan
Health Grades (2014), adalah:
-

Neuroblastoma

Fraktur Basis Cranii

Tumor Orbital tumours

Luka Perforasi

Arteritis Giant cell

Paska Operasi

Amyloidosis

High osteotomy

Migraine
Selain itu, ekimosis periorbita juga dapat disebabkan oleh cedera langsung pada

region periorbita.
Ekimosis periorbita merupakan salah satu manifestasi klinis dari fraktur basis cranii
fossa anterior. Bagian posterior dari fossa anterior dibatasi oleh os. Spenoid, processus
clinoidalis anterior, dan jugum sphenoidalis. Ekimosis periorbita yang terjadi bilateral
disebut brill hematoma atau raccoon eyes. (Japardi, 2004). Ekimosis periorbita atau
disebabkan oleh adanya darah yang mengalir melalui jaringan-jaringan menuju jaringan
di periorbita, sehingga menyebabkan diskolorasi atau perubahan warna pada kelopak
mata atas dan kelopak mata bawah (Somasundaram, et al, 2014).
iii.

Temporal
Pada temporal dijumpai adanya luka ukuran 6x1 cm, tepi rata, sudut tumpul dengan
dasar fraktur tulang terjadi akibat trauma tumpul (menggunakan kayu).
Trauma pada bagian temporal akan menyebabkan terdorongnya unkus medial dan
gyrus hipokampus menuju tentorium menjepit N.III dan secara langsung menekan otak
tengah (midbrain).

iv.
Nasal
Interpretasi: Rhinorrhagia
Mekanisme: Trauma tumpul fraktur basis kranii os. cribiformis merobek pembuluh
darah perdarahan
5. Pasien tiba-tiba tidak sadar, diperiksa:
Snoring, Nadi 50x/menit, TD: 140/90 mmHg, GCS: 10, Pupil anisokor dextra, reflex
cahaya pupil kanan (-)
Mekanisme pingsan kedua
Gejala tersebut menunjukkan adanya lucid interval yaitu tenggang waktu antara
kejadian trauma kapitis dan mulai timbulnya penurunan kesadaran. Lucid interval
merupakan gejala khas pada epidural hematoma (EDH).
Mekanisme pingsan kembali :

Trauma kepala menyebabkan terjadinya fraktur pada temporal yang mengakibatkan


pecahnya arteri meningea media di antara duramater dan tengkorak. Terpecahnya arteri
tersebut menyebabkan pembentukan hematoma di epidural, hematom yang terjadi
menyebabkan peningkayan TIK (tekanan intrakranial), sehingga terjadilah kompresi
lobus temporalis ke arah bawah dan dalam. Dalam kasus ini juga otak yang terdesak akan
mencari Lokus minoris untuk menyesuaikan diri dengan peningkatan tekanan intra
kranial maka akan terjadi herniasi otak. Kompresi pada lobus temporalis ini dapat
mengakibatkan herniasi uncus melalui incisura tentoria/lapisan durameter yang menutupi
fossa kranii (sisi medial lobus temporalis) posterior sehingga terjadilah penekanan batang
otak ascending reticulo activation system (ARAS), ARAS yang terganggu dapat
penurunan kesadaran (pingsan) kembali.
Interpretasi dan mekanisme abnormal hasil pemeriksaan
v.
Snoring
Herniasi unkus penekanan pada medual oblongata sistem ARAS terganggu
penurunan kesadaran (GCS 10) udara yang masuk melalui mulut mengalami
turbulensi pasien ngorok
vi.

Nadi 50x/menit
Aliran darah ke otak berhubungan langsung dengan cerebral perfusion pressure (CPP).
CPP merupakan selisih antara mean arterial pressure (MAP) dan intracranial pressure
(ICP). Oleh karena itu, untuk memenuhi perfusi otak, tekanan darah arteri, yang diwakili
oleh MAP, harus lebih besar dibaandingkan ICP. Ketika tekanan darah arteri lebih kecil
dibandingkan ICP, suatu reflex yang disebut CNS ischemic response, diinisiasi oleh
hipotalamus di otak. Hipotalamus mengaktifkan system saraf simpatis, menyebabkan
vasokonstriksi perifer dan peningkatan cardiac output. Kedua efek ini menyebabkan
peningkatan tekanan darah arteri. Ketika tekanan darah arteri melebihi ICP, aliran darah
menuju otak terpenuhi. Peningkatan tekanan darah arteri akibat CNS ischemic respons
akan menstimulasi baroreseptor di badan carotis, sehingga menurunkan denyut jantung
secara drastis seringkali hingga menjadi bradikardia. Keadaan ini dikenal sebagai
Cushing reflex. Cushing reflex membantu menyelamatkan otak pada saat perfusi buruk.
Akan tetapi, keadaan ini juga merupakan suatu tanda akhir dari peningkatan tekanan
intrakranial dan mengindikasikan akan terjadinya herniasi batang otak. Selain itu,

terdapat istilah lain, yaitu Cushing triad, yang ditandai dengan hipertensi, bradikardia,
dan pernafasan yang irregular pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
Temuan ini merupakan manifestasi lain dari Cushing reflex. Respirasi irregular terjadi
karena perfusi yang menurun pada batang otak akibat pembengkakan atau kemungkinan
herniasi batang otak (Bledsoe, 2007).
vii.

TD: 140/90 mmHg


Kriteria hipertensi menurut JNC -7
Category
Normal BP
Pre-hipertension
Hipertension
Stage 1
Stage 2

viii.

Sistolic
< 120 and
120-139 or

Diastolic
< 80
80-89

140-159 or
160 or

90-99
100

Interpretasi pasien:
Tekanan darah tinggi stage 1
Peningkatan tekanan darah
terjadi sebagai mekanisme
autoregulasi tubuh untuk
mempertahankan CPP
(Cerebral pulse pressure)
CPP = MAP TIK
MAP = 2 SBP + DBP
3

GCS: 10
Skor GCS 10 menunjukkan terjadinya cedera kepala sedang. Hal ini diakibatkan
oleh cedera kepala perdarahan intrakranial massa di intra kranial bertambah
tekanan intrakranial meningkat autoregulasi dengan meningkatkan tekanan darah
tidak ditata laksana dengan sempurna perdarahan semakin banyak herniasi
menekan pusat kesadaran.

ix.

Pupil anisokor dextra, reflex cahay pupil kanan (-)


-Pupil anisokor dextra reflex cahaya pupil kanan negative
Trauma tumpul temporal a. meningea media robek perdarahan epidural (perlu
pemeriksaan CT scan untuk memastikan) volume intracranial compliance
pertama oleh otak mengeluarkan CSF ke ruang spinal perdarahan masih berlangsung
compliance pertama tidak adekuat Tekanan intracranial terus pergeseran
jaringan dari lobus temporal ke pinggiran tentorium herniasi unkus menekan saraf
parasimpatis n. III tidak terjadi vasokonstriksi pupil tidak ada hambatan terhadap
saraf simpatis midriasis ipsilateral (mata kanan) pupil anisokor dextra dan reflex
cahaya pupil kanan negatif
6. Template
DD & WD

DD: Perdarahan intra kranial lainnya selain epidural Hematom, seperti:


Hematoma subdural: Akibat pengumpulan darah antara durameter dan aracnoid,
secara klinis subdural akut sukar di bedakan dengan epidural yang berkembang lambat.
Biasanya di sertai dengan perdarahan jaringan otak.
Hematoma subaracnoid
WD
: Hematoma epidural dengan lucid interval karena terjadi herniasi disertai
dengan epistaksis
Tatalaksana pada kasus
Tatalaksana awal

Bersihkan luka pada kepala dan tutup luka dengan kasa atau perban yang bersih.

Lakukan dan amankan ABC pada pasien.


Airway dengan kontrol servikal
Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi
Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid.
Pasang tampon pada hidung untuk menghentikan epistaksis.
Breathing
Pemasangan airway orofaringeal
Prosedur ini digunakan untuk ventilasi sementara pada penderita yang tidak

sadar sementara intubasi penderita sedang dipersiapkan.


Pilih airway yang cocok ukurannya. Ukuran yang cocok sesuai dengan jarak dari
sudut mulut penderita sampai kanalis auditivus eksterna.
Buka mulut penderita dengan manuver chin lift atau teknik cross-finger (scissors
technique).
Sisipkan spatula lidah diatas lidah penderita, cukup jauh untuk menekan lidah,
hati-hati jangan merangsang penderita sampai muntah.
Masukkan airway ke posterior, dengan lembut diluncurkan diatas lengkungan
lidah sampai sayap penahan berhenti pada bibir penderita.
Airway tidak boleh mendorong lidah sehingga menyumbat airway.
Tarik spatula lidah.

Ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask.


Ventilasi bag-valve-mask- teknik dua orang
Pilih ukuran masker yang cocok dengan wajah penderita.
Hubungkan selang oksigen dengan alat bag-valve-mask, dan atur aliran oksigen
sampai 12 L/ menit.
Pastikan airway penderita terbuka dan dipertahankan dengan teknik-teknik yang
telah dijelaskan sebelumnya.
Orang pertama memegang masker pada wajah penderita, dan menjaga agar rapat
dengan dua tangan.
Orang kedua memberikan ventilasi dengan memompa kantong dengan dua
tangan.
Kecukupan ventilasi dinilai dengan memperhatikan gerakan dada penderita.
Penderita diberi ventilasi dengan cara seperti ini tiap 5 detik.
Intubasi orotrakeal dewasa

Pastikan bahwa ventilasi yang adekuat dan oksigenasi tetap berjalan, dan
peralatan penghisap berada pada tempat yang dekat sebagai kesiagaan bila
penderita muntah.
Kembangkan balon pipa endotrakeal untuk memastikan bahwa balon tidak

bocor, kemudian kempiskan balon.


Sambungkan daun laryngoskop pada pemegangnya, dan periksa terangnya
lampu.
Minta seorang asisten mempertahankan kepala dan leher dengan tangan.
Leher penderita tidak boleh di-hiperekstensi atau di-hiperfleksi selama prosedur
ini.

Pegang laringoskop dengan tangan kiri.


Masukkan laringoskop pada bagian kanan mulut penderita , dan menggeser lidah

kesebelah kiri.
Secara visual identifikasi epiglotis dan kemudian pita suara.
Dengan hati-hati masukkan pipa endotrakeal kedalam trakea tanpa menekan gigi
atau jaringan-jaringan di mulut.
Kembangkan balon dengan udara secukupnya agar tidak bocor. Jangan
mengembangkan balon secara berlebihan.
Periksa penempatan pipa endotrakeal dengan cara memberi ventilasi dengan bag

valve tube.
Secara visual perhatikan pengembangan dada dengan ventilasi.
Auskultasi dada dan abdomen dengan stetoskop untuk memastikan letak pipa.
Amankan pipa (dengan plester). Apabila penderita dipindahkan, letak pipa harus
dinilai ulang.
Apabila intubasi endotrakeal tidak bisa diselesaikan dalam beberapa detik atau
selama waktu yang diperlukan untuk menahan napas sebelum ekshalasi, hentikan
percobaan intubasinya, ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask, dan coba lagi.
Penempatan pipa harus diperiksa dengan teliti. Foto toraks berguna untuk
menilai letak pipa, tetapi tidak dapat menyingkirkan intubasi esofageal.
Hubungkan alat kolorimetris CO2 ke pipa endotrakeal antara adaptor dengan alat
ventilasi. Penggunaan alat kolorimetrik merupakan suatu cara yang dapat diandalkan
untuk memastikan bahwa letak pipa endotrakeal berada dalam airway.
Pasang alat pulse oxymeter pada salah satu jari penderita (perfusi perifer harus
masih ada) untuk mengukur dan memantau tingkat saturasi oksigen penderita.
Pulse oxymeter berguna untuk memantau tingkat saturasi oksigen secara terus
menerus dan sebagai cara menilai segera tindakan intervensi.
Pemantauan oksimetri pulsa/pulse oxymetri
Pulse oxymeter didesain untuk mengukur saturasi oksigen dan laju nadi pada
sirkulasi perifer. Apabila menilai hasil pulse oxymeter, nilailah pembacaan pembacaan
awal:
Apakah laju nadi sesuai dengan monitor EKG?
Apakah saturasi oksigen cocok/sesuai?
Apabila pulse oxymeter memberikan hasil yang rendah atau sangat sulit
membaca penderita, carilah penyebab fisiologisnya, jangan menyalahkan alatnya.
Circulation
Akses vena perifer

Pilih tempat yang baik di salah satu anggota badan, misalnya pembuluh di
sebelah depan dari siku, lengan depan, pembuluh kaki (safena).
Pasang turniket elastis di atas tempat punktur yang dipilih.
Bersihkan tempat itu dengan larutan antiseptis.
Tusuklah pembuluh tersebut dengan kateter kaliber besar dengan plastik di atas

jarum, dan amatilah kembalinya darah.

Masukkan kateter ke dalam pembuluh di atas jarum kemudian keluarkan jarum


dan buka torniketnya.
Pada saat ini boleh ambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium.
Sambunglah kateter dengan pipa infus intravena dan mulailah infusi larutan RL
atau normal saline.
Amatilah infiltrasi yang mungkin terjadi dari cairan ke jaringan.
Tambatkan kateter dan pipa ke kulit anggota badan.
Pasang kateter untuk pengeluaran cairan pada alat urogenital pasien
Obat-obatan
Mannitol, 0,25 sampai 1 g/kg secara bolus intravena, untuk mengurangan
peningkatan ICP.
Jika ABC pasien tidak ada masalah langsung rujuk ke dokter bedah, agar dilakukan
operasi untuk mengurangi tekanan intracranial.
Tatalaksana lanjutan
Algoritme
Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang
Definisi : penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk; namun masih
mampu menuruti perintah
GCS : 9-13
Pemeriksaan awal :
Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana
Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus
Dirawat untuk observasi
Setelah dirawat
Pemeriksaan neurologis periodic
Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita
akan dipulangkan.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah rutin
CT Scan untuk mengetahui ada tidaknya fraktur, pendarahan, hematoma,
udem dan kelainan otak lainnya & dapat ditentukan seberapa luas lesi, pendarahan
Bila kondisi memburuk (10%)
dan perubahan jaringan di otak.
Bila penderita tidak mampu melakukan
X-Ray
mendeteksi
struktur tulang
(fraktur), perubahan struktur
Bila kondisi
membaikperubahan
(90%)
perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan
Pulang bila memungkinkan
Kontrol di poliklinik

CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai


protokol cedera kepala berat

garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.


Analisa Gas Darah medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
o
Menilai kadar PCO2 dan PO2 yang penting dalam patofisiologi
perdarahan otak
o
PCO2 yang tinggi menyebabkan vasodilatasi vaskular otak yang
memperparah perdarahan.
Elektrolit untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
Rinoskopi atau nasoendoskopi (bila tersedia )Pemeriksaan trauma hidung
dan sumber perdarahan
Ophthalmoscopymenilai adanya perdarahan intraocular, edema, foreign
body, retinal detachment, edema papil nervus II atau tidak.
Factor pembekuan, clotting time, bleeding time
b. Komplikasi
Berdasarkan Japardi (2004), komplikasi pada kasus cedera kepala dibagi
menjadi komplikasi bedah dan komplikasi non bedah. Komplikasi bedah yang
dapat terjadi adalah Hematoma intrakranial, Hidrosefalus, Subdural hematoma
kronis, Cedera kepala terbuka, dan Kebocoran CSS/LCS. Sedangkan komplikasi
non bedah yang dapat terjadi adalah kejang post traumatika, infeksi, gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH, Cerebral salt wasting, Diabetes
insipidus) gangguan gastrointestinal, Neurogenic pulmonary edema (Japardi,
2004).
Prognosis
Vitam : Dubia at bonam
Fungsionam : Dubia
SKDI
Epidural Hematom
:2
Perdarahan Subkonjungtiva : 4A
Epistaksis
: 4A

HIPOTESIS
Bujang mengalami perdarahan epidural, fraktur basis cranii, dan herniasi otak et causa

trauma tumpul pada kepala.


SINTESIS

ANATOMI KEPALA
1. Kulit Kepala
a. SCALP
Kulit kepala terdiri atas lima lapis, tiga lapisan yang pertama saling
melekat dan bergerak sebagai sebuah unit. Untuk membantu mengingat nama
kelima lapisan kulit kepala tersebut, gunakan setiap huruf dari SCALP (=kulit
kepala) untuk menunjukkan lapisan kulit kepala

Skin : kulit, tebal dan berambut, dan mengandung banyak kelenjar sebacea
Connective tissue : jaringan ikat di bawah kulit, yang merupakan jaringan
lemak fibrosa. Septa fibrosa menghubungkan kulit dengan aponeurosis
m.occipitofrontalis. Pada lapisan ini terdapat banyak pembuluh arteri dan vena.
Arteri merupakan cabang-cabang dari a. carotis externa dan interna, dan

terdapat anastomosis yang luas di antara cabang-cabang ini.


Aponeurosis (epicranial), merupakan lembaran tendo yang tipis, yang
menghubungkan venter occipitale dan venter frontale m.occipitofrontalis.
Pinggir lateral aponeurosis melekat pada fascia temporalis.
Spatium subapomeuroticum adalah ruang potensial di bawah aponeurosis
epicranial. Dibatasi di depan dan belakang oleh origo m.occipitofrontalis dan
melah ke lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis pada fascia
temporalis

Loose areolar tissue : jaringan ikat, yang mengisi spatium subaponeuroticum


dan secara longgar menghubungkan cranium (pericranium). Jaringan areolar
ini mengandung beberapa arteri kecil, dan juga beberapa vv.emissaria yang
penting. Vv.emissaria tidak berkatup dan menghubungkan vena-vena
superificial kulit kepala dengan vv.diploicae tulang tengkorak dan dengan sinus

venosus intracranialis.
Pericranium, merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang
tengkorak. Perlu diingat bahwa sutura di antara tulang tulang tengkorak dan

periosteum pada permukaan luar tulang berlanjut dengan periosteum pada


permukaan dalam tulang-tulang tengkorak.

b. Otot-otot Kulit Kepala


M.Occipitofrontalis
Origo : otot ini mempunyai empat venter, dua occipitalis dan dua frontalis,
yang dihubungkan oleh aponeurosis. Setiap venter occipitalis berasal dari linea
nuchalis suprema ossis occipitale dan berjalan ke depan untuk melekat pada
aponeurosis. Setiap venter frontalis berasal dari kulit dan fascia superficialis

alis mata, berjalan ke belakang untuk melekat pada aponeurosis.


Persarafan : venter occipitalis dipersarafi oleh ramus auricularis n.facialis,

venter frontalis dipersarafi oleh ramus temporalis n.facialis


Fungsi : ketiga lapisan pertama kulit kepala dapat bergerak ke depan dan
belakang, jaringan ikat longgar dari lapisan keempat kulit kepala
memungkinkan aponeurosis bergerak di atas pericranium. Venter frontalis

dapat menaikkan alis mata seperti pada ekspresi keheranan dan ketakutan.
c. Persarafan Sensorik Kulit Kepala
Truncus utama saraf sensorik terletak pada fascia superficialis. Dari
anterior di garis tengah menuju ke lateral ditemukan saraf-saraf berikut ini :
N.supratrochlearis, cabang dari divisi ophtalmica n.trigeminus,

membelok di sekitar margo superior orbitalis dan berjalan ke depan di atas


dahi. Mempersarafi kulit kepala ke arah belakang sampai ke vertex.
N.zygomaticotemporalis,

cabang

dari

divisi

maxillaris

n.trigeminus,

mempersarafi kulit kepala di atas pipi.N.auriculotemporales, cabang dari


divisi mandibula n.trigeminus, berjalan ke atas di samping kepala dari depan
aurikula.

Cabang

terakhirnya

mempersarafi

kulit

daerah

temporal.

N.occipitalis minor, cabang dari plexus cervicalis (C2), mempersarafi kulit


kepala di bagian lateral regio occipitale dan kulit di atas permukaan medial
auricula. N.occipitalis major, cabang dari ramus posterior n.cervicalis kedua,
berjalan ke atas di belakang kepala dan mempersarafi kulit sampai ke depan
sejauh vertex cranii.
d. Pendarahan Kulit Kepala
Kulit kepala mempunyai banyak suplai darah untuk memberi makanan
ke folikel rambut, dan oleh karena itu, luka kecil akan menyebabkan
perdarahan yang banyak. Arteri terletak di dalam fascia superficialis. Dari arah
anterior ke lateral, ditemukan arteri-arteri berikut ini :
A. supratrochlearis dari a.supraorbitalis, cabang-cabang a.ophthalmica,
berjalan ke atas melalui dahi bersama dengan n.supratrochlearis dan
n.supraorbitalis.
A.temporalis superficialis, cabang terminal kecil a.carotis externa, berjalan di
depan auricula bersama dengan n.auriculotemporalis. arteri ini bercabang dua,
ramus anterior dan posterior yang mendarahi kulit di daerah frontal dan
temporal.
A.auricularis posterior cabang a.caroti externa, naik di belakang telinga dan
mendarahi kulit kepala di atas dan belakang telinga.
A.occipitalis, sebuah cabang a.carotis externa, berjalan ke atas dari puncak
trigonum posterior bersama dengan n.occipitalis major. Pembuluh ini
mendarahi kulit di belakang kepala sampai ke vertex cranii.
e. Aliran Vena Kulit Kepala
V.supratrochlearis dan v.supraorbitalis bersatu di pinggir medial
orbita untuk membentuk v.facialis. V.temporalis superficialis bersatu dengan
v.maxillaris di dalam substansi glandula parotidea untuk membentuk
v.retromandibularis. V.auricularis posterior bersatu denga divisi posterior

v.retromandibularis, tepat di bawah glandula parotidea, untuk membentuk


v.jugularis externa. V.occipitalis bermuara ke plexus venosus suboccipitalis,
yang terletak di dasar bagian atas trigonum posterior, kemudian plexus
bermuara ke dalam v.vertebralis atau v.jugularis interna. Vena-vena di kulit
kepala beranastomosis luas satu dengan yang lain, dihubungkan ke vv.diploicae
tulang tengkorak dan sinus venosus intracranial oleh Vv.emissariae yang tidak
berkatup.
2. Cavum Cranii
Cavum cranii berisi otak dan meningen yang membungkusnya, bagian
saraf otak, arteri, vena dan sinus venosus.
a. Calvaria
Permukaan dalam calvaria memperlihatkan sutura coronalis, sagitalis,
lambdoidea. Pada garis tengah terdapat sulcus sagittalis yang dangkal untuk
tempat sinus sagittalis superior. Di kanan dan kiri sulcus terdapat beberapa
lubang kecil, disebut foveae granulares yang menjadi tempat lacunae
laterales dan granulationes arachnoidales. Didapatkan sejumlah alur dangkal
untuk divisi anterior dan poesterior a. et v.meningea media sewaktu keduanya
berjalan di sisi tengkorak menuju calvaria.
b. Basis Cranii
Bagian dalam basis cranii dibagi dalam tiga fossa yaitu fossa cranii
anterior, media, dan posterior. Fossa cranii anterior dipisahkan dari fossa cranii
media oleh ala minor ossis sphenoidalis, dan fossa cranii media dipisahkan dari
fossa cranii posterior oleh pars petrosa ossis temporalis.
1) Fossa Cranii Anterior
Fossa cranii anterior menampung lobus frontalis cerebri. Dibatasi di
anterior oleh permukaan dalam os.frontale, dan di garis tengah terdapat crista
untuk tempat melekatnya falx cerebri. Batas posteriornya adalah ala minor
ossis sphenoidalis yang tajam dan bersendi di lateral dengan os frontale dan
bertemu dengan angulus anteroinferior os parietale atau pterion.Ujung medial
ala minor ossis sphenoidalis membentuk processus clinoideus anterior pada
masing-masing sisi, yang menjadi tempat melekatnya tentorium cerebelli.
Bagian tengah fossa cranii media dibatasi di posterior oleh alur chiasma

opticum.
Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh
lamina cribriformis ossis ethmoidalis di medial. Crista galli adalah tonjolan
tajam ke atas dari os ethmoidale di garis tengah dan merupakan tempat
melekatnya falx cerebri. Di antara crista galli dan crista ossis frontalis terdapat
apertura kecil, yaitu foramen cecum, untuk tempat lewatnya vena kecil dari
mucosa hidung menuju ke sinus sagittalis superior. Sepanjang crista galli
terdapat celah sempit pada lamina cribriformis untuk tempat lewatnya
n.ethmoidalis anterior menuju ke cavum nasi. Permukaan atas lamina
cribriformis menyokong bulbus olfactorius, dan lubang-lubang halus pada
lamina cribrosa dilalui oleh n.olfactorius.
2) Fossa Cranii Media
Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang sempit dan bagian
lateral yang lebar. Bagian medial yang agak tinggi dibentuk oleh corpus ossis
sphenoidalis, dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan di kanan dan
kiri, yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala
minor ossis sphenoidalis dan di posterior oleh batas atas pars petrosa ossis
temporalis. Di lateral terletak pars squamosa ossis temporalis, ala major ossis
sphenoidalis dan os parietale. Dasar dari masing-masing bagian lateral fossa
cranii media dibentuk leh ala major ossis sphenoidalis dan pars squamosa dan
petrosa ossis temporalis.
Os sphenoidale mirip kelelawar dengan corpus terletak di bagian
tengah dan ala major dan minor terbentang kanan dan kiri. Corpus ossis
sphenoidalis berisi sinus sphenoidalis yang berisi udara, yang dibatasi oleh
membrana mucosa dan berhubungan dengan rongga hidung. Sinus ini
berfungsi sebagai resonator suara. Di anterior, canalis opticus dilalui oleh
n.opticus dan a.ophthalmica, sebuah cabang dari a.carotis interna, menuju
orbita. Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah di antara ala major
dan minor ossis sphenoidalis, dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontalis, n.trochlearis,
n.oculomotorius, n.nasociliaris, dan n.abducens, bersama dengan v.ophthalmica
superior. Sinus venosus sphenoparietalis berjalan ke medial sepanjang pinggir
posterior ala minor ossis sphenoidalis dan bermuara ke dalam sinus

cavernosus.
Foramen rotundum, terletak di belakang ujung medial fissura orbitalis
superior, menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh n.maxillaris
dari ganglion trigeminus menuju fossa pterygopalatina. Foramen ovale
terletak posterolateral terhadap foramen rotundum dan menembus ala major
ossis sphenoidalis dan dilalui oleh radix sensorik besar dan radix motorik kecil
dari n.mandibularis menuju ke fossa infratemporalis n.petrosus minus juga
berjalan melalui foramen ini.
Foramen spinosum yang kecil terletak posterolateral terhadap foramen
ovale dan juga menembus ala major ossis sphenoidalis. Foramen ini dilalui
oleh a.meningea media dari fossa infratemporalis menuju ke cavum cranii.
Kemudian arteri berjalan ke depan dan lateral di dalam alur pada permukaan
atas pars squamosa ossis temporalis dan ala major ossis sphenoidalis.
Pembuluh ini berjalan dalam jarak yang pendek, kemudian terbagi dalam
ramus anterior dan posterior. Ramus anterior berjalan ke depan dan atas, ke
angulus anteroinferior ossis temporalis. Di sini, arteri membuat saluran yang
pendek dan dalam, kemudian berjalan ke belakang dan atas pada os parietale.
Pada tempat ini, arteri paling mudah cedera akibat pukulan pada kepala. Ramus
posterior berjalan ke belakang dan atas, melintasi pars squamosa ossis
temporalis untuk sampai os parietale.
Foramen laserum besar dan iregular terletak antara apeks pars petrosa
osis temporalis dan os sphenoidale. Muara inferior foramen laserum terisi
kartilago dan jaringan fibrosa, dan hanya sedikit pembuluh darah melalui
jaringan tersebut dari rongga tengkorak ke leher. Canalis caroticus bermuara
pada sisi foramen lacerum di atas muara inferior yang tertutup. A.carotis
interna masuk ke foramen dari canalis ini dan segera melengkung ke atas untuk
sampai pada sisi corpus ossis sphenoidalis. Di sini, arteri ini membelok ke
depan dalam sinus cavernosus untuk mencapai daerah processus clinoideus
anterior. Pada tempat ini, a.carotis interna membelok vertikal ke atas, medial
terhadap processus clinoideus anterior, dan muncul dari sinus cavernosus.
Lateral terhadap foramen lacerum terdapat lekukan pada apeks pars
petrosa ossis temporalis untuk ganglion temporalis. Pada permukaan anterior

os petrosus terdapat dua alur saraf, alur medial yang lebih besar untuk
n.petrosus major, sebuah cabang n.facialis, dan alur lateral yang lebih kecil
untuk n.petrosus minor, sebuah cabang dari plexus tymphanicus. N. petrosus
major ke dalam foramen lacerum dibawah ganglion trigeminus dan bergabung
dengan n.petrosus profundus (serabut symphatis dari sekitar a.carotis
interna), untuk membentuk n.canalis pterygoidei. N. petrosus minor berjalan ke
depan ke foramen ovale.
N.abducens melengkung tajam ke depan, melintasi apeks os petrosus,
medial terhadap ganglion trigeminus. Di sini, saraf ini meninggalkan fossa
cranii posterior dan masuk ke dalam sinus cavernosus. Eminentia arcuata
adalah penonjolan bulat yang terdapat pada permukaan anterior os petrosus dan
ditimbulkan oleh canalis semicircularis superior yang terletak di bawahnya.
Tegmen tympani adalah lempeng tipis tulang, yang merupakan penonjolan ke
depan pars petrosa ossis temporalis dan terletak berdampingan dengan pars
squamosa tulang ini. Dari belakang ke depan, lempeng ini membentuk atap
antrum mastoideum, cavum tympani dan tuba auditiva. Lempeng tipis tulang
ini merupakan satu-satunya penyekat utama penyebaran infeksi dari dalam
cavum tympani ke lobus temporalis cerebri.
Bagian medial fossa cranii media dibentuk oleh corpus ossis
sphenoidalis. Di depan terdapat sulcus chiasmatis, yang berhubungan dengan
chiasma opticum dan berhubungan ke lateral dengan canalis opticus. Posterior
terhadap sulcus terdapat peninggian, disebut tuberculum sellae. Di belakang
peninggian ini terdapat cekungan dalam, yaitu sella turcica, yang merupakan
tempat glandula hypophisis. Sella turcica dibatasi di posterior oleh lempeng
tulang bersegi empat yang disebut dorsum sellae. Angulus superior dorsum
sellae mempunyai dua tuberculum disebut processus clinoideus posterior,
yang menjadi tempat perlekatan dari pinggir tetap tentorium cerebelli.
3) Fossa Cranii Posterior
Fossa cranii posterior dalam dan menampung bagian otak belakang,
yaitu cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa dibatasi oleh
pinggir superior pars petrosa ossis temporalis dan di posterior dibatasi oleh
permukaan dalam pars squamosa ossis occipitalis. Dasar fossa cranii posterior

dibentuk oleh pars basillaris, condylaris, dan squamosa ossis occipitalis dan
pars mastoideus ossis temporalis. Atap fossa dibentuk oleh lipatan dura,
tentorium cerebelli, yang terletak di antara cerebellum di sebelah bawah dan
lobus occipitalis cerebri di sebelah atas.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui
oleh medulla oblongata dengan meningen yang meliputinya, pars spinalis
ascendens n.accessories, dan kedua a.vertebralis. Canalis hypoglossi terletak
di atas pinggir anterolateral foramen magnum dan dilalui oleh n.hypoglossus.
Foramen jugularis terletak di antara pinggir bawah pars petrosa ossis
temporalis dan pars condylaris ossis occipitalis. Foramen ini dilalui oleh
struktur berikut ini dari depan ke belakang : sinus petrosus inferior, n.IX, n.X
dan n.XI, dan sinus sigmoideus yang besar. Sinus petrosus inferior berjalan
turun di dalam alur pada pinggir bawah pars petrosa ossis temporalis untuk
mencapai foramen. Sinus sigmoideus berbelok ke bawah melalui foramen dan
berlanjut sebagai v.jugularis interna.
Meatus acusticus internus menembus permukaan superior pars
petrosa ossis temporalis. Lubang ini dilalui oleh n.verstibulocochlearis dan
radix motorik dan senorik n.facialis. Crista occipitalis interna berjalan ke atas
di

garis

tengah,

posterior

terhadap

foramen

magnum,

menuju

ke

protuberantia occipitalis interna. Pada crista ini melekat falx cerebelli yang
kecil, yang menutupi sinus occipitalis.
Kanan dan kiri dari protuberantia occipitalis interna terdapat alur lebar
untuk sinus transversus. Alur ini terbentang di kedua sisi, pada permukaan
dalam os occipitale, sampai ke angulus inferior atau sudut os parietale.
Kemudian alur berlanjut ke pars mastoideus ossis temporalis, dan di sini sinus
transversus berlanjut sebagai sinus sigmoideus. Sinus petrosus superior
berjalan ke belakang sepanjang pinggir atas os petrosus di dalam sebuah alur
sempit dan bermuara ke dalam sinus sigmoideus. Sewaktu berjalan turun ke
foramen jugulare, sinus sigmoideus membuat alur yang dalam pada bagian
belakang os petrosus dan pars mastoideus ossis temporalis. Di sini, sinus
sigmoideus terletak tepat posterior terhadap antrum amstoideum.
3. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3


lapisan yaitu : duramater, araknoid dan piamater.
Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat

suatu ruang potensial

(ruang subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus
dan

sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan

perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan


permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang
kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis
dan tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater
yang melekat erat permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi
dalam ruang sub araknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri yaitu lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada
hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang
mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada
sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi
memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Batang
otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata.

Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat
pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis
dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan
defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan
dengan medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh

pleksus

khoroideus

dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel


lateral melalui

foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui

aquaductus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem
ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh
permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi
vena melalui vili araknoid.
6.

Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial
(terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

TRAUMA KEPALA
A. PENGERTIAN
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma
kepala,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya
(Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito). Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera
mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan
Luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan
jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.
B. ETIOLOGI
1. Kecelakaan lalu lintas
2 Kecelakaan kerja
3. Trauma pada olah raga
4. Kejatuhan benda
5. Luka tembak

C. KLASIFIKASI
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul
setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat
cedera kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan:
1. Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan
mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh
peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu
cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya Cedera
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
kepala.
a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit
atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio
cerebral maupun hematoma.
b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intracranial.
3. Morfologi Cedera
Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :
a. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk
garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak

biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya.


Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan
untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain :
-Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
-Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
-Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
-Parese nervus facialis ( N VII )
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih
tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
b. Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi
sering terjadi bersamaan.
Termasuk lesi lesi local ;
a. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada
regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media
( Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan
bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan
kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala
neurology timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan
gejala herniasi transcentorial. Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan
berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan
kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri
perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung
b.Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural( kira-kira
30 % dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya venavena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi
bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan
otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada
perdarahan epidural.

c. Kontusio dan perdarahan intracerebral


Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau
terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio
cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi
membentuk perdarahan intracerebral.
Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan neurologist lebih lanjut.
Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu,
namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam berbagai derajat.
Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang
paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia
retrograd, amnesia integrad ( keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah
cedera) Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunya atau
hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera.
Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible.
Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang dari 6 jam.
Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologist,
namun pada beberapa penderita dapat timbul deficit neurogis untuk beberapa waktu.
Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi
serta gejala lainnya.
Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana penderita mengalami
coma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa
atau serangan iskemi. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap
koma selama beberapa waktu, penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau
deserebasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan
hidup. Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.
Klasifikasi Cedera Kepala secara umum

Komosio Serebri (geger otak)

Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau
menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak , termasuk
kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala.
Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu : hilang kesadaran, sakit kepala berat, hilang
ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan ganda.

Kontusio serebri (memar otak)

Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh
pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan pembengkakan
pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan pasien pingsan,
pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu. Terdapat
amnesia retrograde, amnesia pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis,
tergantung pada daerah yang luka dan luasnya lesi:
a. Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan
intracranialyang dapat menyebabkan kematian.
b. Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes,
pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua
tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalamsikap fleksi)
c. Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun
hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada,
gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan
kaku dalam sikap ekstensi).

Hematoma epidural

Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi
karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningeamedia, robeknya sinus
venosus durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi akibat
adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid
interval (masa sadar setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang
semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin
bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi anisokori pupil.

Hematoma subdural

Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi

akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di


permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya arakhnoid.
Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang sakit kepala yang semakin
bertambah keras, ada gangguan psikis, kesadaran penderita semakin menurun, terdapat
kelainan neurologisseperti hemiparesis, epilepsy, dan edema papil.
Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis
a. Hematoma Subdural Akut
Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat
kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas.
b. Hematoma Subdural Sub-Akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya.
c. Hematoma Subdural Kronik
Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma.
Kapsula jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung pembuluhpembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter. Pembuluh darah
ini dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk
cairan kental yang dapat mengisap cairan dari ruangan subarakhnoid. Hematoma
akan membesar dan menimbulkan gejala seperti tumor serebri.

Hematoma intraserebral

Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan
otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.
Gejala-gejala yang ditemukan adalah :
a. Hemiplegi
b. Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang
meningkat.
c. Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri
perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri
media yang tidak normal.

Fraktura basis kranii

Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur
pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang
menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa

hari. Dapat tampak amnesia retrigad dan amnesia pascatraumatik.


Gejala tergantung letak frakturnya :
a. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata
dikelilingi lingkaran biru (Brill Hematoma atau Racoons Eyes), rusaknya
Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
b. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan
arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi
hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
c. Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas
foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati
seketika.
D. AKIBAT JANGKA PANJANG CEDERA KEPALA
1. Kerusakan saraf cranial
a. Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan
yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak
ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
b. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera
(trauma). Biasanya disertai hematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya
perdarahan, dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus,
skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia
bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan
kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata
tersebut bersifat irreversible.
c. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya
disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk
oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
d. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan
pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong,
semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
e. Gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo


dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula dansaraf.
Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu organtersebut
umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.
2. Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia
membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah
komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.
3. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan
manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang
otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema
subdural, dan herniasi transtentorial.
4. Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan
gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala
klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi
seksual.
5. Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis
interna dengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar
tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar
penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai hyperemia
dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri
pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
6. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama
pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu
minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam
tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun
kemudian.
D. KOMPLIKASI
a.Perdarahan intra cranial

-Epidural
-Subdural
-Sub arachnoid
-Intraventrikuler
b. Malformasi faskuler
-Fistula karotiko-kavernosa
-Fistula cairan cerebrospinal
-Epilepsi
-Parese saraf cranial
-Meningitis atau abses otak
-Sinrom pasca trauma
E. PENCEGAHAN DAN PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan
terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan
lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti
pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang
untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan
pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat
pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah
airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian
karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway
yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur
posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan
penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan
nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh
karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke
dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam
airway.

2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)


Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah
membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan
membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang
berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang
kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu
dilanjutkan dengan pemberian transfuse darah. Syok biasanya disebabkan karena
penderita kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas
untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini
penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta
memberikan dukungan psikologis bagi penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas
perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada
lengan atas dan bawah tubuh.
b. Perlengkapan splint dan kaliper
c. Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan
memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan
atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta
seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,
perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga
penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan
masyarakat).
G.PENATALAKSANAAN
1.Tindakan terhadap peningkatan TIK

a.Pemantauan TIK dengan ketat.


b.Oksigenasi adekuat
c.Pemberian manitol
d.Penggunaan steroid
e.Peninggatan tempat tidur pada bagian kepala
f.Bedah neuro2.Tindakan pendukung lain
a.Dukung ventilasi
b.Pencegahan kejang
c.Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
d.Terapi antikonvulsan
e.CPZ untuk menenangkan pasien
f.NGT

DAFTAR PUSTAKA
1. 2. Arif, et al, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta.
2. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi,
EGC, Jakarta.
3. Basuki, Endro, Sp.BS,dr; 2003, Materi Pelatihan GELS (General Emergency Life
Support), Tim Brigade Siaga Bencana (BSB), Jogjakarta.
4. Sari, et al. 2005. Chirurgica Re-Package+ Edition. Jogjakarta, Tosca Enterprise.
5. http://www.fleshandbones.com/readingroom/pdf/883.pdf
6. http://www.boa.ac.uk/PDF%20files/NICE/NICE%20head%20injury
%20guidelines.pdf
7. Harsono, 2000. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta, Gajah Mada University
Press.
8. Morales, D. 2005. Brain Contusion. www.emedicine.com
9. McDonald, D.K., 2006. Epidural Hematoma. www.emedicine.com
10. Wagner, A.L., 2005. Subdural Hematoma. www.emedicine.com
11. Gershon, A. 2005. Subarachnoid Hematoma. www.emedicine.com

Anda mungkin juga menyukai