28
Hal : 1 dari
Hipokalsemia yang simptomatik adalah keadaan darurat medis dan harus diterapi
secepatnya dengan memberikan kalsium klorida (3-5 ml larutan10%) atau kalsium
glukonas (10-20 ml larutan 10%).
Beberapa pasien dengan hipophosfatemi berat kadang memerlukan ventilasi mekanik
post operatif.
Hipermagnesemia yang menonjol dapat menimbulkan respiratory arrest.
Hipomagnesemia terisolasi harus dikoreksi sebelum dilakuk prosedur elektif
dikarenakan berpotensi menyebabkan aritmia jantung.
Gangguan cairan dan elektrolit adalah hal yang sangat sering terjadi dalam masa
perioperatif. Sejumlah besar cairan intravena sering dibutuhkan untuk mengkoreksi
kekurangan cairan dan mengkompensasi hilangnya darah selama operasi. Oleh karena itu
ahli cnestesi harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang fisiologi normal cairan dan
elektrolit. Gangguan yang besar terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit dapat secara
cepat menimbulkan perubahan terhadap fungsi kardiovaskular, neurologist, dan
neuromuscular. Bab ini akan membicarakan kompartemen-kompertemen cairan tubuh,
gangguan cairan dan elektrolit dan terapinya, dan implikasi-implikasi anestesinya.
Gangguan asam basa akan dibicarakan dalam sub bab.
NOMENKLATUR DALAM LARUTAN
Sistim satuan internasional (SI) masih belum dapat diterima secara umum dalam
praktek klinik, dan banyak satuan lama tentang konsentrasi yang masih dipakai. Sebagai
contoh, jumlah zat terlarut dalam larutan dinyatakan dengan gram, moles, atau ekuivalen.
Selanjutnya konsentrasi dari larutan dinyatakan sebagai kuantitas dari zat terlarut per
volume larutan atau kuantitas zat terlarut per berat pelarut.
MOLARITAS, MOLALITAS, DAN EKUIVALEN
Satu mol dari suatu substansi mewakili 6,02 X 10 molekul. Berat dari jumlah ini
biasanya dinyatakan sebagai gram-berat molekul. Molaritas adalah standar unit SI dari
konsentrasi yang menggambarkan jumlah mol dari zat terlarut perliter larutan. Molalitas
adalah istilah alternative untuk menyatakan mol dari zat terlarut per kilogram pelarut.
Ekuivalensi biasanya digunakan pada zat yang mengandung ion. Jumlah ekuivalen dari
sebuah ion dalam larutan adalah jumlah mol dikalikan dengan muatannya (valensi).
Kemudian, 1 molar larutan MgCl2 menghasilkan 2 ekuivalen magnesium per liter dan 2
ekuivalen chloride per liter.
Hal : 2 dari
KOMPARTEMEN CAIRAN
Jumlah air pada seorang laki-laki dewasa kira-kira 60% dari berat badan, sedangkan
pada wanita sebesar 50% dari berat badan.Air ini didistribusikan antara dua kompartemen
besar cairan yang dipisahkan oleh membrane sel menjadi: cairan intra sel (CIS) dan cairan
ekstra sel (CES). Cairan ekstra sel terbagi kedalam kompartemen cairan intravascular dan
cairan interstisial.CAiran yang termasuk dalam cairan interstisial adalah caran yang berda
di luar sel dan di luar endotel vascular. Kontribusi relative dari masing-masing
kompartemen terhadap jumlah total cairan dalam tubuh dan terhadap berat badan dapat kita
lihat pada table 28-1.
Jumlah cairan dalam setiap kompartemen ditentukan oleh komposisi zat yang
terlarut dan konsentrasinya (Tabel 28-2). Perbedaan dari konsentrasi zat terlarut sangat
berhubungan dengan karakteristik fisik dari sekat pemisah yang memisahkan masingmasing kompartemen. Gaya osmotic dihasilkan dengan `diperangkapnya` zat-zat terlarut
yang membentuk distribusi air antar kompartemen dan yang paling pokok pada masingmasing volume kompartemen.
Hal : 3 dari
40
67
28
Interstitial
15
25
10.5
Intravascular
3.5
60
100
42
Extracellular
Total
CAIRAN INTRASELULER
Membran sel bagian luar memegang peranan penting dalam mengatur volume dan
komposisi intraseluler. Pompa membrane-bound ATP-dependent akan mempertukarkan Na
dengan K dengan perbandingan 3:2. Oleh karena membrane sel relative tidak permeable
tehadap ion sodium dan ion potassium, oleh karenanya potassium akan dikonsentrasikan di
dalam sel sedangkan ion sodium akan dikonsentrasiksn di ekstra sel. Akibatnya, potassium
menjadi factor dominant yang menentukan tekanan osmotic intraseluler, sedangkan sodium
merupakan factor terpenting yang menentukan tekanan osmotic ekstraseluler.
Impermeabilitas membrane sel terhadap protei menyebabkan konsentrasi protein
intraseluler yang tinggi. Oleh karena protein merupakan zat terlarut yang nondifusif
(anion),rasio pertukaran yang tidak sama dari 3 Na dengan 2 K oleh pompa membrane sel
adalah hal yang penting untuk pencegahan hiperosmolaritas intraseluler relative.Gangguan
pada aktivitas pompa Na-K-ATPase seperti yang terjadi pada keadaan iskemi akan
menyebabkan pembengkakan sel.
CAIRAN EKSTRASELULER
Fungsi dasar dari cairan ekstraseluler adalah menyediakan nutrisi bagi sel dan
memindahkan hasil metabolismenya. Keseimbangan antara volume ektrasel yang normalterutama komponen sirkulasi (volume intravascular) adalah hal yang sangat penting. OLeh
sebab itu secara kuantitatif sodium merupakan kation ekstraseluler terpenting dan
merupakan factor utama dalam menentukan tekanan osmotic dan volume. Perubahan dalan
volume cairan ekstraseluler berhubungan dengan perubahan jumlah total sodium dalam
tubuh. Hal ini tergantung dari sodium intake, ekskeri sodium renal, hilangnya sodium
ekstra renal (lihat bawah).
Hal : 4 dari
Extracellular
Gram-Molecular
Weight
Sodium
23.0
10
145
142
Potassium
39.1
140
Calcium
40.1
<1
Magnesium
24.3
50
Chloride
35.5
105
110
Bicarbonate
61.0
10
24
28
Phosphorus
75
16
31.0
Protein (g/dL)
Cairan Interstisial
Normalnya sebagian kecil cairan interstisial dalam bentuk cairan bebas. Sebagian
besar air interstisial secara kimia berhubungan dengan proteoglikan ekstraseluler
membentuk gel.Pada umumnya tekanan cairan interstisial adalah negative ( kira-kira -5
mmHg). Bila terjadi peningkatan volume cairan iterstisial maka tekanan interstisial juga
akan meningkat dan kadang-kadang menjadi positif. Pada saat hal ini terjadi, cairan bebas
dalam gel akan meningkat secara cepat dan secara klinis akan menimbulkan edema.
Hanya sebagian kecil dari plasma protein yang dapat melewati celah kapiler, oleh
karena itu kadar protein dalam cairan interstisial relative rendah (2 g/Dl). Protein yang
memasuki ruang interstisial akan dikembalikan kedalam sistim vascular melalui sistim
limfatik.
Caiarn Intravaskular
Cairan intravascular berbentuk sebagai plasma yang dipertahankan dalam ruangan
intravascular oleh endotel vascular. Sebagian besar elektrolit dapat dengan bebas memalui
plasma dan interstisium yang menyebabkan komposisi elektrolit keduanya yang tidak jauh
berbeda. Bagaimanapun juga,ikatan antar sel endotel yang kuat akn mencegah keluarnya
protein dari ruang intravascular. Akibatnya plasma protein (terutama albumin) merupakan
satu-satunya zat terlarut secara osmotic aktif dalampertukaran cairan antara plasma dan
cairan interstisial.
Peningkatan volume ekstraseluler normalnya juga merefleksikan volume
intravascular dan interstisial. Bila tekana interstisial berubah menjadi positif maka akan
diikuti dengan peningkatan cairan ekstasel yang akan menghasilkan ekspansi hanya pada
kompartemen cairan iaterstisial. (gambar 28-1). Pada keadaa ini kompartemen interstisial
akan berperan sebagai reservoir dai kompartemen intravascular. Hal ini dapat dilihat secara
klinis sebagai edema jaringan.
PERUKARAN CAIRAN ANTAR KOMPARTEMEN
Hal : 5 dari
Difusi adalah gerakan acak dari molekul yang disebakan energi kinetic yang
dimilikinya dan bertanggung jawab terhadap sebagian besar pertukaran cairan dan zat
terlarutnya antara kompartemen satu dengan yang lain. Kecepatan difusi suatu zat melewati
sebuah membrane tergantung pada (1) permeabilitas zat terhadap membrane, (2).perbedaan
konsentrasi antar dua sisi, (3).perbedaan tekanan antara masing-masing sisi karena tekanan
akan memberikan energi kinetic yang lebih besar, dan (4). Potensial listrik yang
menyeberangi membrane akan memberi muatan pada zat tersebut.
Figure 281.
Gambar 282.
Hal : 6 dari
Capillary fluid exchange. The numbers in this figure are in mm Hg and indicate the pressure gradient for the
respective pressures. "Net" refers to the net pressure at either end of the capillary, ie, 13 mm Hg at the
arterial and 7 mm Hg at the venous end of the capillary.
Pertukaran cairan antara ruangan interstisial dan intraselular dibangun oleh daya
osmotic yang diciptakan oleh perbedaan konsentrasi zat terlarut nondifusif. Perubahan
relative pada osmolalitas antara kompartemen intraselular dan interstisial menghasilkan
perpindahan air dari kompartemen yang hipoosmolar menuju kompartemen yang
hiperosmolar.
Diffusi Melalui Endotel Kapiler
Dinding kapiler mempunyai ketebalan 0,5m, terdiri dari satu lapis sel endotel
dengan dasar membrane.Celah interseluler mempunyai jarak 6-7 nm, memisahkan masingmasing sel dari sel didekatnya. Zat-zat yang larut dalam oksigen, CO2, air dan lemak dapat
menembus secara langsung endotel sel membrane. Hanya substansi dengan berat molekul
rendah yang larut dalam air seperti sodium, Chlorida, Potasium, dan glukosa yang dapat
melewati celah intersel. Substansi dengan molekul yang besar seperti plasma protein sangat
sulit untuk menembus celah endotel (kecuali pada hati dan paru-paru dimana terdapat celah
yang lebih besar).
Hal : 7 dari
Pertukaran cairan melewati kapiler berbeda dengan melewati membrane sel dimana
hal ini dihasilkan oleh perbedaan yang signifikan pada tekanan hidrostatik sebai tambahan
dari daya osmotic (gambar 28-2). Gaya ini bekerja pada arterial dan vena diujung kapiler.
Akibatnya terdapat tendensi bagi cairan untuk bergerak keluar kapiler pada end arteri dan
masuk kedalam kapiler pada end vena. Besarnya daya ini berbeda untuk jenis jaringan yang
beragam.Tekanan arteri kapiler ditentukan oleh tonus sfingter prekapiler. Dengan demikian
kapiler membutuhkan tekanan yang tinggi seperti pada glomeruli yang mempunyai tonus
sfingter prekapiler yang lemah sedangkan tekanan kapiler otot yang rendah mempunyai
tonus sfingter prekapiler yang tinggi. Normalnya10% dari cairan yang difiltrasi akan
direabsorbsi kembali kedalam kapiler. Cairan yang tidak direabsorbsi (kira-kira 2ml/mnt)
akan memasuki cairan interstisial dan dikembalikan melalui aliran limfatik menuju
kompartemen intravascular kembali.
Hal : 8 dari
Osmolalitas CES adalah sama dengan jumlah konsentrasi dari semua zat terlarut.
Oleh karena Na+ dan ionnya merupakan hamper 90% dari jumlah zat terlarut maka
osmolaritasnya dapat diperkirakan melalui perrkiraan berikut:
Plasma Osmolalitas = 2 X Konsentrasi Sodium Plasma
Selanjutnya, oleh karena CIS dan CES berada dalam keadaan keseimbangan osmotic, maka
konsentrasi sodium plasma secara umum merefleksikan osmolalitas seluruhn tubuh:
Osmolalitas seluruh tubah =Zat terlarut Ekstraseluler + Zat terlarut Intra sel
Berat Badan Total
Dikarenakan sodium dan potassium adalah zat terlarut intasel dan ekstrasel yang terbesar,
maka berturut-turut:
Total osmolalitas tubuh = (Na+ekstrasel X 2) + (K+intrasel X 2)
Berat Badan Total
Pendekatan berikutnya:
[Na+] plasma = Na+ ekstrasel + K+ intrasel
Berat Badan Total
Berdsarkan prinsip-prinsip ini maka efekisotonik, hipotonik, dan hipertonik pada cairan di
kompartemen dan osmolalitas plasma dapat diperhitungkan (table 28-3). Potensi yang
terpenting dari konsentrasi potassium intrasel dapat tergambarkan dari persamaan ini. Oleh
karenanya kehilangan potassium yang signifikan akan menyebakan hiponatremia.
Pada keadaan patologis, glukosa dan urea mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap osmolalitas ekstrasel. Perkiraan yang lebih akurat dari osmolalitas plasma dapat
kita peroleh dari persamaan berikut:
Plasma osmolalitas (mosm/kg) =[Na+] x 2 + BUN + Glukosa
2,8
18
Dimana [Na+] dinyatakan dLm meq/L danBUN dan Glukosa dinyatakan dalam mg/dl. Urea
merupakan osmol yang tidak efektif dikarenakan sangat mudah menembus membrane sel
dan oleh karenanya biasanya diabaikan dari perhitungan ini:
Osmolalitas plasma efektif =[Na+] x 2 + Glukosa
18
Hal : 9 dari
Nilai normal dari osmolalitas bervariasi antara 280 sampai 290 mosm/kg. Diperkirakan
konsentrasi sodium plasma menurun sebanyak 1 meq/L untuk tiap 62 mg/dL peningkatan
konsentrasi glukosa. Ketidaksesuaian antara pengukuran dan perhitungan osmolalitas
menyebabkan timbulnya osmolal gap. Osmolal gap yang signifikan menunjukkan tingginya
konsentrasi yan abnormal darimolekul aktif secara osmotic yang berada dalam plasma,
seperti ethanol, manitol, methanol, ethylene glikol, atau isopropyl alcohol. Gap osmolal
juga dapat terlihat pada pasien dengan gagal ginjal kronik (didukung retensi dari sebagian
kecil solute), pasien dengan ketoasidosis (sebagai hasil dari tingginya konsentrasi keton
Bodies), dan pada pasien yang banyak menerima glisin (misalnya saat reseksi prostate
transurethtral). Osmolal gap dapat juga terlihat pada pasien dengan hiperlipidemia atau
hiperproteinemia. Protein dan lipid dalam plasma secara signifikan mempunyai kontribusi
terhadap volume plasma ; meskipun [Na+] plasma menurun. [Na+] dalam cairan plasma
(osmolalitas plasma yang sebenarnya) adalah normal. Kandungan air dalam plasma
normalnya hanya 93% dari volumenya;7% terdiri dari plasma lipid dan protein.
Table 283. Effect of Different Fluid Loads on Extracellular and Intracellular Water
Contents.1
A. Normal
Total body solute
= 280 mOsm/kg x 42 kg = 11,760
mOsmIntracellular solute
Extracellular solute
Extracellular Osmolality
Volume (L)
Net water gain
280
280
25
17
Extracellular solute
Extracellular Osmolality
Volume (L)
Net water gain
280
280
25
19
Hal : 10 dari
267.0
267.0
Volume (L)
26.2
17.8
+1.2
+0.8
= 42 18.2 = 23.8 kg
294.0
294.0
Volume (L)
23.8
18.2
1.2
+1.2
Hal : 11 dari
UNa + UK - 1
PNa
+
Dimana TeCH20 mewakili keseimbangan cairan bebas, V adalah volume urin, UNa+ dan
UK+ adalah konsentrasin sodium urin dan potassium urin, selanutnya PNa = adalah
konsentrasi sodium plasma.
PELEPASAN ADH NON OSMOTIK
Baroreseptor carotid dan kemungkinan peregangan reseptor atrial dapat juga
menstimulasi pelepasan ADH bila terjadi penurunan 5-10% volume darah (lihat bawah).
Stimulasi non osmotic lainnya adalah termasuk nyeri, tekanan emosional, dan hipoksia.
RASA HAUS
Osmoreseptor di area preoptik lateral dari hipotalamus sanagt sensitive terhadap
perubahan osmolalitas ekstrasel. Aktivasi neuron-neuron ini melalui peningkatan
osmolalitas CES menyebabkan timbulnya rasa haus dan menyebabkan seseorang minum
air. Sebaliknya, keadaan hipoosmolal akan menekan rasa haus.
Rasa haus merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mengatasi
hiperosmolalitas dan hipernatremia, karena hal ini merupakan satu-satunya mekanisme
untuk meningkatkan intake cairan. Sayangnya, mekanisme rasa haus ini hanya tedapat pada
orang sadar yang memungkinkannya untuk dapat minum.
Hal : 12 dari
terlihat pada keadaan hiperglikemia atau bila terjadi akumulasi secara osmotic abnormal
dari substansi aktif dalam plasma (lihat atas). Konsentrasi sodium plasma dapat secara
actual menurun pada saat air keluar dari kompartemen intrasel menuju kompartemen
ekstrasel. Untuk setiap peningkatan 100 mg/dL konsentrasi glukosa plasma akan
menurunkan sodium plasma kira-kira sebesar 1.6 meq/L.
Hipernatremia hampir selalu dikarenakan akibat dari hilangnya air sehingg sodium
jumlahnya akan berlebihan (kehilangan cairan hipotonik) atau akibat retensi sejumlah besar
sodium. Meskipun pada saat gangguan pada kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan
urin, maka rasa haus merupakan mekanisme yang sangat efektif untuk mencegah
hipernatremia. Hipernatremia sering terjadi pada pasien yang mengalami gangguan untuk
minum, orang tua, orang yang sangat muda, dan pada pasien dengan gangguan kesadaran.
Pasien dengan hipernatremia dapat memilki jumlah total sodium dalam tubuh yang rendah,
normal atau bahkan tinggi (table 28-4).
Table 284. Major Causes of Hypernatremia.
Impaired thirst
Coma
Essential hypernatremia
Solute diuresis
Osmotic diuresis: diabetic ketoacidosis, nonketotic hyperosmolar coma, mannitol
administration
Excessive water losses
Renal
Neurogenic diabetes insipidus
Nephrogenic diabetes insipidus
Extrarenal
Sweating
Combined disorders
Coma plus hypertonic nasogastric feeding
Hal : 13 dari
sodium total tubuh biasanya normal. Hilangnya cairan terjadi melalui kulit, saluran
pernapasan, atau ginjal. Kadang-kadang kita harus mengamati terjadinya hipernatremia
akibat pergerakan air padasaat olah raga kejang, atau rhabdomyolisis. Penyebab terpenting
dari hipernatremia dengan kadar sodium yang normal adalah diabetes insipidus (pada orang
yang sadar). Diabetes insipidus ditandai denhan kegagalan funsi ginjal untuk
mengkonsentrasikan urin yang berhubungan dengan menurunnya konsentrasi hormone
ADH (diabetes insipidus sentral) atau kegagalan tubulus renal untuk merespon secara
normal hormone ADH di sirkulasi (diabetes insipidus nephrogenik). Suatu yang jarang
terjadi adalah `essensial hipernatremia` yang terjadi pada gangguan system saraf pusat.
Pada pasien ini osmoreseptor berfungsi pada batas osmolalitas yang lebih tinggi.
1. Diabetes Insipidus Sentral: kerusakan terdapat pada area atau disekitar area
hipotalamus atau pituitary yang sering menimbulkan diabetes insipidus. Kemungkinan
terjadinya diabetes insipidus sering terjadi pada prosedur neurosurgical dan trauma
kepala (bab. 26). Dugaan diagnosis ini apabila ditemukan riwayat polidipsi, poliuri
(biasanya>6 L/hari), dan tidak adanya hiperglikemia atau minum yang berlebihan.
Pada masa perioperatif, diagnosis diabetes insipidus diduga apbila terdapat poliuria
tanpa glikosuria dan osmolalitas urin yang rendah dibandingkan osmolalitas plasma.
Tidak adanya rasa haus pada penderita yang sadar yang menandakan kehilangan caiaran
dan akan secdara cepat menimbulkan hipovolemia. Diagnosis diabetes insipidus sentral
dikonfirmasi dengan peningkatan osmolalitas urin setelah pemberian ADH eksogen.
Cairan vasopressin (5 unit SC q 4 jam) merupakan terapi pilihan untuk diabetes
insipidus sentral akut. Vasopresin dalam larutan minyak (0,3 ml IM q hari)bekerja lebih
panjang tetapi dapat menyebabkan intoksikasi air. Desmopresin (dDAVP) yang
merupakan analog sintetik dari ADH mempunyai durasi kerja 12-24 jam, tersedia
dalam pemberian intra nasal (5-10g 1 kali atau 2 kali sehari) yang dapat diberikan
pada rawat jalan atau pada saat perioperatif.
2. Diabetes Insipidus Nephrogenik :dapat terjadi akibat kelainan kongengital tetapi lebih
sering akibat skunder dari kelainan lainnya. Termasuk akibat penyakit ginjal kronik,
gangguan elektrolit (hipokalemia dan hiperkalsemia), dan kelainan lainnya ( penyakit
sickle cell, hiperproteinemia. Diabetes insipidus nephrogenik dapat juga terjadi secara
skunder akibat efek samping dari obat ( amphoterisin B, lithium, methoxyfluran,
demeclocyclin, ifosfamid, manitol). Sekresi ADH pada pasien di atas adalah normal,
tetapi ginjal mengalami kegagalan untuk merespon ADH. Kemampuan untuk
mengkonsentrasi urin mengalami kegagalan. Mekanismenya dapat terjadi karena
penurunan respon terhadap ADH di sirkulasi atau interferensi dengan mekanisme
counter-current dari ginjal (bab.31). Diagnosis dikonfirmasi dengan kegagalan ginjal
untuk memproduksi urin yang hipertonik setelah pemberian ADH eksogen. Terapinya
adalah dengan langsung mengobati penyakit yang mendasarinya dan memastikan intake
cairan yang adekuat. Hilangya cairan akibat pemberian diuretic thiazide dapat secara
paradok menurunkan urine output melalui pengurangan cairan menuju collecting
tubules. Retriksi sodium dan protein dapat pula mengurangi urin output.
Hipernatremia & Kadar sodium Tubuh Yang Meningkat
Hal : 14 dari
Keadaan ini paling sering ditimbulkan akibat pemberian larutan salin hipertonik
yang berlebihan (3% NaCl atau 7,5% NaHCO3). Pasien dengan hiperaldosteronism primer
dan cushing syndrome juga mengalami sedikit peningkatan pada konsentrasi sodium serum
dengan tanda-tanda retensi sodium.
Manifestasi Klinis Hipernatremia
Manifestasi neurologist merupakan manifestasi predominan pada pasien dengan
hipernatremia dan pada umumnya disebabkan oleh dehidrasi seluler. Kegelisahan, lethargi,
dan hiperreflek dapat berlanjut menjadi kejang, koma, bahkan kematian. Tanda-tanda yang
timbul berhubungan dengan kecepatan pergerakan air keluar dari sel otak dengan terjadinya
hipernatremia pada level yang absolute. Penurunan cepat dari volume otak dapat
menyebabkan rupturnya vena serebral dan mengakibatkan fokal intraserebral atau
perdarahan subarachnoid. Kejang dan kerusakan neurologist yang serius srenig terjadi,
terutama pada anak dengan hipernatremia akut dengan [Na] plasma lebih dari 158 meq/L.
Hipernatremia kronik dapat lebih ditoleransi daripada bentuk yang akut. Setelah 24-48 jam
osmolalitas intrseluler mulai meningkat sebagai akibat dari peningkatan inositol intraseluler
dan konsentrasi asam amino (glutamine dan taurin). Pada saat konsentrasi solute
intraseluler meningkat, kandungan air neuro secara perlahan kembali normal.
Penatalaksanaan Hipernatremia
Terapi hipernatermia bertujuan untuk mengembalikan osmolalitas plasma kepada
keadaan normal dengan sekaligus mengkoreksi factor penyebabnya. Defisit cairan harus
diterapi dalam waktu lebih dari 48 jam dengan cairan 5% dekstrosa dalam air (lihat bawah).
Abnormalitas volume ekstrseluler juga haru dikoreksi (gambar 28-3). Pasien hipernatremia
dengan kadar sodium tubuh yang menurun harus diberikan larutan isotonic untuk
mengembalikan volume plasma yang normal sebelum diberikan terapi dengan larutan
hipotonik. Pasien hipernatremik dengan kadar sodium tubuh yang meningkat harus diterapi
dengan loop diuretic dan 5% dekstraso dalam air secara intravena.Teapi diabetes insipidus
telah didiskusikan di atas.
Koreksi hipernatremia secara cepat dapat menimbulkan kejang, edema otak,
kerusakan neurology permanent, dan bahkan kematian. Osmolalitas seru serial harus
diperiksa selama terapi. Secara umum konsentrasi sodium plasma tidak boleh diturunkan
lebih cepat dari 0,5 meq/L/jam.
Contoh: Seorang laki-laki dengan berat badan 70 kg didapatkan mempuyai [Na +]
plasma 160 meq/L. Berapakah deficit cairannya?
Jika diasumsikan hiponatreminya hanya disebabkan oleh karena kehilangan cairan
saja, kemudian menyebabkan total osmol tubuh berubah. Dengan demikian dengan
mengasumsikan kadar normal [Na+] yang dimilikinya sebesar 140 meq/L dan total jumlah
cairan tubuh sebesar 60% berat badan:
Normal TBW x 140 = TBW saat ini x [Na+],
atau
Hal : 15 dari
Penyelesaian persamaan:
TBW saat ini = 36,7 L
Defisit cairan = Normal TBW- TBW saat ini,
Atau (70 x 0,6) 36,7 = 5,3L
Untuk menggantikan deficit cairan dalam waktu lebih dari 48 jam diberikan dektrosa 5%
dalam air secara intravena sebanyak 5300ml, atau 110ml/jam.
Sebagai catatan bahwa metode ini mengabaikan deficit cairan isotonis yang terjadi
dalam waktu yang berjalan, dimana jika hal ini ada harus digantikan dengan larutan
isotonic.
Pertimbangan Anestetik
Pada penelitian pada binatang, Hipernatremia akan meningkatkan konsentrasi
alveolar minimum (MAC) dari anestesi inhalasi, tetapi secara klinis signifikan lebih
berhubungan dengan deficit cairan. Hipovolemia akan menonjolkan terjadinya vasodilatasi
atau depresi kardiak oleh obat-obat anestesi dan menjadi predisposisi dari hipotensi dan
hipoperfusi jaringan. Penurunan volume distribusidari obat-obatan mengharuskan
Hal : 16 dari
Hal : 17 dari
Adapted from Rose RD: Clinical Physiology of Acid-Base and Electrolyte Disorders, 3rd ed. McGraw-Hill, 1989.
Hal : 18 dari
Tanda tanda utama hiponatremia adalah bersifat neurologist dan diakibatkan oleh
peningkatan air pada intrasel. Tingkat keparahannya biasanya dihubungkan dengan
kecepatan terjadinya hipoosmolalitas ekstraseluler. Pasien dengan hiponatremia ringan
sampai sedang ([Na] > 125 meq/L0 biasanya tidak menunjukkan gejala-gejala. Tanda-tanda
awal biasanya tidak spesifik dan dapat berupa anoreksia, nausea, dan kelemahan tubuh.
Terjadinya edema serebral yang progresif menyebabkan timbulnya lethargi, confusion,
kejang, koma, dan akhirnya menimbulkan kematian. Manifestasi yang serius biasanya
dihubungkan dengan konsentrasi sodium plasma yang < 120 meq/L. Wanita dalam masa
premenopause mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan dan
kerusakan neurologis dibandingkan dengan pria.
Pasien dengan kronik hiponatremia atau hiponatremia yang terjadi secara perlahan
biasanya tidak banyak menunjukkan tanda-tanda. Kompensasi bertahap dari hilangnya
solute intraseluler (terutama Na+, K+, dan asam amino) akan terjadi untuk mengembalikan
volume sel menjadi normal. Tanda-tanda neurologist pada pasien dengan hiponatremia
kronis mungkin dihubungkan dengan perubahan potensial membrane (berhubungan dengan
rendahnya [Na+]) yang kemudian akan merubah volume sel.
Terapi Hiponatremia
Seperti halnya hipernatremia begitu pula dengan terapi hiponatremia yang
dilakukan dengan mengkoreksi gangguan dasar dan mengkoreksi [Na+] plasma. Salin
isotonic (bab 29) merupakan terpi pilihan pasien hiponatremia dengan penurunan kadar
sodium tubuh. Saat deficit cairan ekstraseluler dikoreksi maka diuresis ari yang spontan
akan mengembalikan [Na] menjadi normal. Sebaliknya, retriksi cairan merupakan terapi
untuk pasien hiponatremi dengan total sodium tubuh yang normal atau meningkat. Terapi
yang lebih spesifik dapat pula dilakukan seperti pemberian hormone pada pasien dengan
hipofungsi adrenal atau tiroid den tindakan-tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan
cardiac output pada pasien gagal jantung. Demeclocyclin yang merupakan antagonis
aktivitas ADH pada tubulus renal dibuktikan sangat berguna sebagi terapi tambahan untuk
retriksi cairan pada terpi pasien dengan SIADH.
Hiponatremia akut simptomatik membutuhkan terapi yang cepat. Koreksi [Na]
menjadi >130 meq/L biasanya cukup untuk meringankan gejala-gejala. Sejumlah larutan
NaCl diperlukan untuk meningkatkan [Na] plasma lepada nilai yang diinginkan. Defisit
[Na] dapat diestimasi dengan rumus berikut:
Defisit Na+ = Cairan Tubuh Total x ([Na+] yang diinginkan [Na+] saat ini)
Koreksi hiponatremia yang sangat cepat dapat menyebabkan demyelinisasi pada pons yang
mengakibatkan sekuele neurologist permanent yang serius. Kecepatan untuk mengkoreksi
hiponatremia harus disesuaikan dengan beratnya gejala-gejala. Kecepatan koreksi yang
disarankan adalah:0,5 meq/L/jam atau kurang untuk gejala yang ringan; 1 meq/L/jam atau
kurang untuk gejala-gejala moderat; dan 1,5 meq/L/jam atau kurang untuk Gejala-gejala
yang berat.
Contoh: Seorang wanita dengan berat 80 kg berada dalam keadaan lethargi dengan
[Na] plasma 118 meq/L. Berapa NaCl yang harus diberikan untuk meningkatkan [Na]
plasmanya menjadi 130 meq/L ?
Hal : 19 dari
Hal : 20 dari
Pertimbangan Anestesi
Hiponatremia merupakan manifestasi yang serius dari gangguan yang mendasarinya
dan memerlukan evaluasi preoperative yang hati-hati. Konsentrasi sodium plasma yang
lebih dari 130 meq/L merupakan nilai yang aman bagi pasien yang akan menjalani anestesi
umum. Untuk operasi elektif [a] plasma harus dikoreksi menjadi diatas 130 meq/L
walaupun tidak terdapat gejala-gejala. Konsentasi yang lebih rendah dari itu dapat
menyebabkan edema serebri yang signifikan yang dapt timbul intreoperatif juga penurunan
konsentrasi minimum alveolar, atau timbulnya agitasi, confusion, atau somnolen yang
timbul pada pasca operasi. Pda pasien yang akan menjalani reseksi prostate transurethtral
dapat menyerap jumlah air irigasi yang signifikan (sebesar 20 ml/menit) dan merupakan
resiko tinggi untuk terjadinya intoksikasi air akut yang dapat terjadi secara cepat ( bab. 33).
Hal : 21 dari
Mekanisme Kontrol
Banyak mekanisme yang terlibat dalam mengatur volume CES dan keseimbangan
cairan normal yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya tetapi dapat pula berfungsi
independent. Sebagai tambahan dalam perubahan ekskresi sodium renal, beberapa
mekanisme juga menghasilkan kompensasi respon hemodinamik yang cepat saat volume
intravascular `efektif` berkurang (bab. 19).
Hal : 22 dari
A. Sensor Volume: Reseptor volume dalam tubuh adalh baroreseptor. Oleh karena tekanan
darah dihasilkan oleh cardiac output dan tahanan vascular sistemik (bab. 19), maka
perubahan yang signifikan pada volume intravascular (preload) tidak hanya akan
mempengaruhi cardiac output tetpi juga mempengaruhi tekanan darah arterial
. Dengan
demikian baroreseptor yang berada pada sinis karotikus dan arteriol renal (apparatus
juxtaglomerulus) secara tidak langsung berfungsi sebagai sensor dari volume volume
intravascular. Perubahan tekanan darah pada sinus karotis akan memodulasi system saraf
simpatis dan sekresi ADH nonosmotik, sedangkan perubahan pada arteriol afferent renal
akan memodulasi system angiotensin-aldosteron. Reseptor regangan pada atrium juga
dapat mengetahui perubahan pada volume intravascular; derajat distensinya akan
memodulasi pelepasan horman natriuretik atrial dan ADH.
B. Efektor Perubahan Volume: Perubahan pada volume akan memberikan efek pada
perubahn ekskresi sodium melalui urin. Penurunan pada volume intravascular `efektif`
akan menurunkan ekskresi sodium dalam urin, sedangkan peningkatan volume
intravascular `efektif` akan meningkatkan ekskresi sodium melalui urin. Mekanisme yang
terlibat adalah:
1.
2.
Atrial Natriuretic Peptide (ANP); Peptida ini akan dilepaskan oleh kedua atrium bila
atrium mengalami distensi. NAP mempunyai dua aksi utama yaitu vasodilatasi dan
meningkatkan ekskresi sodium urin dan air pada saluran pengumpul renal. ANP
memediasi dilatasi arteriolar afferent dan kontriksi arteriole efferent serta
meningkatkan GFR. Efek lain yang dilaporkan berupa inhibisi sekresi rennin dan
aldosteron dan antagonis dari ADH.
3.
Pressure Natriuresis; Peningkatan yang kecil dari tekanan daran sudah dapat
menyebabkan peningkatan besar yang relative pada ekskresi sodium urin.Pressure
diuresis terjadi secara independent dari mekanisme humoral atau mekanisme neural.
4.
5.
Glomerular Filtration Rate dan konsentrasi sodium plasma; Jumlah sodium yang
difiltrasi oleh ginjal sebanding dengan GFR dan konsentrasi sodium plasma.
Dikarenakan GFR secara langsung berhubungan dengan volume intravascular maka
peningkatan volume intravascular akan meningkatkan ekskresi sodium. Sebaliknya,
pengurangan volume intravascular akan menurunkan ekskresi sodium.
6.
Hal : 23 dari
Hormon Antidiuretik; Walaupun sekresi ADH mempunyai efek yang kecil pada
ekskresi sodium tetapi sekresi nonosmotik dari hormone ini mempunyai peranan yang
penting dalam menjaga volume ekstraseluler dengan penurunan moderat sampai berat
pada volume intravascular `efektif`.
Volume Osmoregulation
Regulati
on
Purpose
Sensors
Hypothalamic osmoreceptors
Carotid baroreceptors
Atrial stretch receptors
Effectors
Reninangiotensinaldosterone
Thirst
Antidiuretic hormone
Tubuloglomerular balance
Renal pressure natriuresis
Atrial natriuretic peptide
Antidiuretic hormone
Brain natriuretic peptide
Adapted from Rose RD: Clinical Physiology of Acid-Base and Electrolyte Disorders, 3rd ed. McGraw-Hill, 198
Implikasi Anestetik
Hal : 24 dari
Hal : 25 dari
potassium pada tubulus distal terjadi berpasangan dengan potassium saat resbsorbsi
potassium yang dimediasi oleh aldosteron(bab. 31).
REGULASI KONSENTRASI POTASIUM EKSTRASELULAR
Konsentrasi potassium ekstraselular hampir seluruhnya diregulasi oleh aktiviatas
Na+-K+ATPase membrane sel sebagi [K] plasma. Aktifitas ini mengatur potasiuma antara
sel CES, sedangkan CES merupakan determinan utama pada ekskresi potassium urin.
PERPINDAHAN POTASIUM INTERKOMPARTEMEN
Perpindahan potassium interkompartemen diketahui akan diikuti dengan perubahan
pada pH ekstraselular (bab.30), level insulin dalam sirkulasi, aktivitas katekolamin di
sirkulasi, osmolalitas plasma dan kemungkinan hipotermia. Insulin dan katekolamin
diketahui diketahui secara langsung mempengaruhi aktivitas Na-K-ATPase. Olah raga
dapat pula menyebabkan peningkatan [K] sebagai hasil dari pepepasan K oleh sel oto;
peningkatan [K] plasma (0,3-2 meq/L) proporsional dengan intensitas dan durasi aktivitas
otot. Perpindahan potassium interkompartemen juga bertanggung jawab pada perubahan
[K] plasma yang terjadi pada sindrom paralysis periodic (bab.37).
Perubahan pada konsentrasi ion hydrogen (pH) secara langsung mempengaruhi [K]
ekstrasel dikarenakan CIS akan menjadi buffer terhadap asam yang ada didalamnya.Pada
saat asidosis, ion hydrogen ekstraseluler akan memasuki sel, bertukaran dengan ion
potassium;keluarnya ion potassium dari dalam sel akan menjaga keseimbangan listrik
tetapi akan meningkatkan [K] ekstraselular dan plasma. Sebaliknya pada alkalosis, ion
potassium ekstraselular akan masuk ke dalam sel untuk mengimbangi pergerakan ion
hydrogen yang keluar sel; sebagai akibatnya [K] plasma akan mengalami penurunan.
Walaupun hubungan dibawah ini dapat bervariasi, ada sebuah aturan yang sangat berguna
dalam perubahan klonsentrasi potassium plasma diman diperkirakan perubahan 0,6 meq/L
akan merubah pH arterial sebesar 0,1 unit (0,2-1,2 meq/L per 0,1 unit).
Perubahan pada level insulin di sirkulasi dapat secara langsung merubah [K] yang
independent terhadap transport glukosa. Insulin akan meningkatkan aktivitas Na-K-ATPase
yang akan meningkatkan ambilansel terhadap potassium dalam hati dan otot skeletal. Pda
kenyataannya, sekresi insulin memegang peranan yang penting pada control basal dari
konsentrasi potassium plasma dan memfasilitasi peningkatan jumlah potassium.
Aktivitas simpatik juga akan meningkatkan ambilan potassium dengan menambah
aktivitas Na-K-ATPase. Efek ini dimediasi melalui aktivasi reseptor 2 adrenergik.
Sebaliknya aktivitas adrenergic dapat menyebabkan hambatan pergerakan K + intraseluler.
[K+] plasma sering kali mengalami penurunan setelah pemberian 2 adrenergik agonis
sebagai hasil ambilan potassium oleh otot dan hati. Lebih dari itu, blokade adrenergic
dapat menghambat penanganan pemberian potassium pada beberapa pasien.
Peningkatan osmolalitas plasma secara akut (hipernatremia, hiperglikemia, atau
pemberian manitol) telah dilaporkan terjadi pada saat [K] plasma meningkat (kira-kira 0,6
meq/L per 10 mosm/L). Pada beberapa kasus, pergerakan air keluar sel (menurun gradient
Hal : 26 dari
osmotiknya) disertai dengan pergerakan K keluar sel. Hal ini mungkin disebabkan oleh
`tarikan solven` atau peningkatan [K] intrasel yang menyertai dehidrasi seluler.
Hipotermia dilaporkan dapat terjadi pada keadaan [K] plasma yang rendah sebagai
akibat dari ambilan seluler. Pemanasan kembali akan mengembalikan pergerakan ini dan
dapat mengakibatkan hiperkalemia yang bersifat sementara jika potassium diberikan
selama hipotermia.
Ekskresi Potasium Melalui Urin
Ekskresi potassium melalui urin biasanya parallel dengan konsentrasi
ekstraselulernya. Potasium disekresi oleh sel-sel tubular pada nefron distal (bab. 31). [K]
ekstrraselular merupakan factor dominant untuk sekresi sldosteron dari kelenjar adrenal.
Keadaan hiperkalemia akan menstimuli sekresi aldosteron, sedangkan hipokalemia akan
mensupresi sekresi aldosteron. Aliran tubular nefron pada distal nefron juga merupakan
factor yang penting untuk sekresi potassium oleh karena kecepatan aliran tubular yang
tinggi (selama diuresis osmotic) akan meningkatkan sekresi potassium dengan menjaga
gradient kapiler dan tubular renal tetap tinggi untuk terjadinya sekresi potassium.
Sebaliknya, kecepatan aliran tubular yang rendah akan meningkatkan [K] pada cairan
tubular dan akan menurunkan gradient untuk mensekresi K.
HIPOKALEMIA
Hipokalemia didefinisikan sebagai keadaan dimana [K] plasma yang kurang dari
3,5 meq/L dapat terjadi sebagai akibat dari: (1).perpindahan K interkompartemen (lihat
atas), (2).peningkatan hilangnya potassium,atau (3).asupan potassium yang inadekuat (table
28-8). Konsentrasi potassium plasma secara tipikal mempunyai korelasi yang kecil
terhadap potassium total. Penurunan [K] plasma dari 4 meq/L menjadi 3 meq/L biasanya
menggambarkan deficit sebesar 100-200 meq, sedangkan [K] plasma yang berada di bawah
3 meq/L dapat menggambarkan deficit antara 200-400 meq.
Hipokalemia Akibat Pergerakan Potasium Intraselular
Hipokalemia yang terjadi akibat pergerakan potassium dari intraselular dapat timbul
pada keadaan alkalosis, terapi insulin, agonis 2 adrenergik, hipotermia, salam serangan
paralysis hipokalemia periodik (lihat atas). Hipokalemia juga dapat terjadi setelah
pemberian Frozen Red Cell; kehilangan potassium terjadi pada saat proses pengawetan dan
pengambilan potassium akibat proses re-infus. Ambilan K selular oleh RBC (dan platelet)
juga diperkirakan menyebabkan terjadinya hipokalemia yang tejadi pada pasien yang
sebelumnya mendapat terapi dengan folat atau vitamin B12 pada anemia megaloblastik.
Table 288. Major Causes of Hypokalemia.
Hal : 27 dari
Hal : 28 dari
Hal : 29 dari
Cardiovascular
Electrocardiographic changes/arrhythmias
Myocardial dysfunction
Neuromuscular
Skeletal muscle weakness
Tetany
Rhabdomyolysis
Ileus
Renal
Polyuria (nephrogenic diabetes insipidus)
Increased ammonia production
Increased bicarbonate reabsorption
Hormonal
Decreased insulin secretion
Decreased aldosterone secretion
Metabolic
Negative nitrogen balance
Encephalopathy in patients with liver disease
Efek-efek neuromuscular akibat hipokalemia dapat berupa kelemahan otot-otot
skeletal (terutama quadriceps), ileus, kram otot, tetani, dan kadang-kadang
rhabdomyolisis.Disfungsi renal juga sering terjadi dan bersifat tipikal yang dapat berupa
kegagalan renal untuk mengkonsentrasikan urin (resisten terhadap ADH, menghasilkan
poliuria), retensi sodium, peningkatan bikarbonat, dan peningktan produksi ammonia, yang
menyebakan terjadinya kegagalan proses pengasaman urin. Peningkatan produksi ammonia
menggambarkan adanya asidosis intrasel; ion H akan masuk ke dalam sel untuk
mengkompensasi hilangnya potassium intrasel. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
alkalosis metabolic. Mengikuti peningkatan produksi ammonia akan dapat mempresipitasi
terjadinya ensefalopati pada pasien-pasien dengan penyakit hati kronis. Hipokalemia kronis
sering dihubungkan dengan fibrosis renal (nefropati tubulointerstitial).
Hipokalemia dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan sekresi insulin dan akan
mengantagonis efek-efek perifernya, seringkali terjadi hiperglikemia bahkan pada individu
yang sebelumnya tidak memiliki diabetes. Perubahan metabolisme protein selama
hipokalemia kronik juga telah dilaporkan dapat menyebabkan terjadinya keseimbangan
nitrogen yang negative.
Terapi Hipokalemia
Terapi hipokalemia tergantung dari adanya dan beratnya disfungsi organ yang
terjadi. Perubahan EKG yang signifikan seperti perubahan segmen ST atau disritmia
Punya : Dr. Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran)
Hal : 30 dari
Figure 285.
Hal : 31 dari
HIPERKALEMIA
Hiperkalemia terjadi bila kadar [K] plasma lebih dari 5,5 meq/L. Hiperkalemia
jarang terjadi pada individu yang normal oleh karena kapasitas ginjal yang sangat hebat
untuk mengekskresi potassium. Bila terjadi peningkatan asupan potassium secara perlahan,
ginjal dapat menekskresi sebanyak 500 meq potassium perhari. Sistem simpatis dan sekresi
insulin memegang peranan yang penting dalam pencegahan peningkatan [K] plasma secara
akut setelah pemberian potassium.
Hal : 32 dari
Hal : 33 dari
Hal : 34 dari
Gambar 286.
Hal : 35 dari
Hal : 36 dari
Kalsium (5-10 ml kalsium glukonas atau 3-5 ml kalsium klorida 10%) secara
parsial akan mengantagonis efek-efek hiperkalemia terhadap jantung dan sangat berguna
pada pasienhiperkalemia berat. Efeknya timbul secara cepat tetapi mempunyai durasi yang
pendek.Terapi harus selalu dievaluasi pada pasien yang mendapatkan terapi digoksin
karena kalsium dapat mempotensiasi terjadinya toksisitas digoksin.
Bila terdapat asidosis metabolic dapt diberikan sodium bikarbonat secara intravena
(biasanya 45 meq) yang akan meningkatkan penganmbilan potassium oleh sel dan akan
dapat menurunkan [K] plasma dalam 15 menit. Agonis 2 adrenergik akan meningkatkan
ambilan potassium oleh selular dan mungkin sangat bergunapada keadaan hiperkalemia
akut yang terjadi pada transfuse massif (bab. 29); dosis rendah epinefrin (0,5-2
g/menit)dapat secara cepat menurunkan [K] plasma dan memberikan efek inotropik pada
keadaan ini. Infus glukosa dan insulin secara intravena (30-50 g glukosa per 10 unit
insulin) juga efektif untuk menaikkan ambilan potassium oleh selular dan , menurunkan
[K] plasma, tetapi membutuhkan waktu sampai 1 jam untuk mencapai efek puncaknya.
Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal dapat digunakan furosemid sebagai
terapi tambahan yang sangat berguna untuk meningkatkan ekskresi potassium melalui urin.
Pada keadaan dimana ginjal tidak berfungsi, elim inasi dari potassium yang berlebihan
hanya dapat dilakukan dengan memberikan resin pengganti kation yang tidak diserap
seperti pemberian sodium polystyrene sulfonat baik secara oral atau rectal (kayexalat). Tiap
gram resin akan mengikat sampai 1 meq K dan melepaskan 1,5 meq Na; dosis oralnya
adalah 20 g dalam 100 ml sorbitol 20%.
Dialisa diindikasikan pada pasien-paasien yang simptomatik dengan hiperkalemia
berat atau refrakter. Hemodialisa dapat dengan cepat dan efektif dibandingkan dengan
dialysis peritoneal dalam menurunkan [K] plasma. Potasium maksimal yang dapat
dikeluarkan dengan hemodialisis mendekati 50 meq/jam sedangkan pada dialysis peritoneal
sebabyak 10-15 meq/ jam.
Pertimbangan Anestetik
Operasi elektif tidak boleh dilakukan pada pasien dengan hiperkalemia. Pengelolan
anestesi pada pasien hiperkalemia yang menjalani pembedahan diarahkan pada usaha untuk
menurunkan konsentrasi potassium plasma dan mencegah peningkatannya lebih lanjut.
Monitoring EKG harus dilakukan dengan hati-hati. Suksinilkolin merupakan kontra
indikasi begitu pula dengan larutan intravena yang mengandung potassium seperti Ringer`s
Lactat. Pencegahan terjadinya asidosi metabolic atau respiratorikadalah hal yang sangat
penting untuk mencegah peningkatan [K] plasma lebih lanjut. Ventilasi harus dikontrol
dengan anesthesia umum;dengan memberikan hiperventilasi yang ringan. Terakhir, fungsi
neuromuscular juga harus dimonitor ketat oleh karena hiperkalemia dapat memperkuat
efek-efek dari obat pelemas otot.
Hal : 37 dari
Walaupun hamper 90% dari jumlah total kalsium tubuh berada dalam tulang namun
pengaturan keseimbangan konsentrasi kalsium ekstraselular yang normal adalah hal yang
penting. Ion-ion kalsium berperan dalam fungsi-fungsi biologis yang penting, seperti pada
kontraksi otot, pelepasan hormone danneurotransmitter, pembekuan darah, dan
metabolisme tulang. Sehingga tidaklah mengejutkan apabila terjadi abnormalitas
keseimbangan kalsium akan menyebabkan gangguan fisiologis.
KESEIMBANGAN NORMAL KALSIUM
Pemasukan kalsium rata-rata pada orang dewasa berkisar antara 600-8mg/hari.
Absorbsi kalsium dalam usus terutama terjadi di dalam usus kecil bagian proksimal tetapi
juga bervariasi. Kalsiumjuga disekresikan ke dalam saluran intestinal; sekresi ini bersifat
konstan dan independent dari proses absorbsi. Normalnya lebih dari 80% kalsium akan
dikeluarkan melalui feses.
Ginjal bertanggung jawab terhadap ekskresi kalsium. Ekskresi kalsium melalui
ginjal rata-rata adalah 100 mg/ hari tetapi nilainya bervariasi mulai dari 50 mg/hari sampai
dengan lebih dari 300 mg/ hari. Normalnya 90% dari kalsium yang difiltrasi akan diserap
kembali. Reabsorbsi kalsium terjadi bersamaan dengan reabsorbsi sodium yang terjadi di
tubulus proksimal ginjal dan di ascending loop of henle. Reabsorbsi kalsium di tubulus
distal tergantung dari sekresi hormone paratiroid, sedangkan reabsorbsi sodium tergantung
dari sekresi aldosteron. Peningkatan sekresi hormone paratiroid akan meningkatkan
reabsorbsi kalsium dan menurunkan ekskresi kalsium melalui urin.
Konsentrasi Kalsium Plasma
Konsentrasi kalsium plasma yang normal adalah 8,5-10,5 mg/dl (2,1-2,6 mmol/L).
Kira-kira 50%nya berada dalam bentuk ion bebas, 40% terikat dengan protein (terutama
albumin), dan 10% membentuk komplek dengan anion seperti sitrat dan asam amino.
Konsentrasi ion kalsium bebas secara fisiologis adalah yang terpenting. [Ca] plasma
normal berkisar 4,5-5 mg/dl (2,2-2,5 meq/L atau 1,1-1,25 mmol/L. perubahan pada
konsentrasi albumin plasma akan mempengaruhi konsentrasi total kalsium tetapi tidak
mempengaruhi konsentrasi ion kalsium; untuk tiap peningkatan atau penurunan 1 g/dl
albumin akan diikuti dengan peningkatan atau penurunan konsentrasi total kalsium
plasmakra-kira 0,8-1,0 mg/dl.
Perubahan pada pH plasma secara langsung akan mempengaruhi ikatan dengan
protein dan demikian pula konsentrasi ion kalsium. Peningkatan ion kalsium kira-kira 0,16
mg/dl untuk setiap 0,1 unit penurunan pH plasma dan akan mengalami penurunan dengan
nilai yang sama pada peningkatan tiap satu unit pH.
Hal : 38 dari
Secara normal kalsium akan masuk kedalam cairan ekstraselular melalui absorbsi di
saluran intestinal atau resorbsi dari tulang; hanya 0,5-1% kalsium dalam tulang yang dapat
bertukaran dengan cairan ekstraselular. Sebaliknya kalsium akan keluar dari cairan
ekstraselular secara normal melalui: (1) deposisi kedalam tulang, (2) ekskresi melalui urin,
(3) sekresi kedalam saluran pencernaan, dan (4) melalui pembentukan keringat.[Ca]
ekstraselular diregulasi oleh 3 hormon, yaitu; hormone paratiroid, vitamin D, dan
kalsitonin. Ketiga hormone ini bekerja di dalam tulang, tubulus distal ginjal, dan pada usus
kecil.
PTH adalah regulator [Ca] plasma yang terpenting. Penurunan [Ca] plasma akan
menstimulasi sekresi PTH, sedangka peningkatan [Ca] plasma akan menghambat sekresi
PTH. Efek kalsemik dari hormone paratiroid adalah (1) memolisasi kalsium dari tulang, (2)
meningkatkan reabsorbsi kalsium di tubulus distal renal (3) secara tidak langsung
meningkatkan kalsium di intestinal melalui akselerasi sintesa 1,25 dihidroksikolekalsiferol
di ginjal (lihat bawah).
Vitamin D dalam tubuh ada dalam beberapa bentuk tetapi
1,25
dihidroksikolekalsiferol adalah bentuk yang mempunyai aktivitas biologis yang
terpenting.Bentuk ini merupakan hasil dari metabolisme dari kolekalsiferol yang oleh hati
akan dirubah menjadi 25 kolekalsiferol dan kemudian oleh ginjal akan dirubah lagi menjadi
1,25 dihidroksikolekalsiferol. Perubahan menjadi bentuk yang terakhir inilah yang
ditingkatkan oleh hormone paratiroid seperti halnya pada hipofosfatemia. Vitamin D akan
menambah absorbsi kalsium dari intestinal, memfasilitasi aksi hormone paratiroid pada
tulang, dan menambah reabsorbsi kalsium di tubulus distal.
Kalsitonin adalah hormone polipeptida yang disekresikan oleh sel parafolikular
kelenjar tiroid. Sekresi hormone ini distimulasi oleh keadaan hiperkalsemia dan diinhibisi
oleh keadaan hipokalsemia. Kalsitonin akan menginhibisi reabsorbsi oleh tulang dan
meningkatkan ekskresi kalsium melalui urin.
HIPERKALSEMIA
Hiperkalsemia dapat timbul akibat berbagai kelainan (tabel 28-11). Terutama adalah
hiperparatioid dimana sekresi paratiroid hormone akan meningkat dan hal ini tidak
dipengaruhi oleh [Ca]. Sebaliknya pada keadaan hiperparatiroid skunder (gagal ginjal
kronik atau malabsorbsi) peningkatan jumlah hormone paratiroid adalah merupakan respon
dari keadaan hipokalsemia kronik (bab. 32). Hiperparatiroid skunder yang berlarut kadangkadang akan menyebabkan sekresi PTH secara otonom yang mengakibatkan [Ca] berada
dalam kadar normal atau meningkat (hiperparatiroid tersier).
Pasien dengan kanker dapat memberikan gambaran hiperkalsemia baik apakah itu
dengan metastase pada tulang ataupun tidak.Destruksi tulang yang terjadi secara langsung
atau sekresi mediator humoral pada hiperkalsemia (PTH like substance, sitokin,, atau
prostaglandin) kemungkinan bertanggung jawab pada sebagian besar pasien. Hiperkalsemia
yang berhubungan dengan peningkatan pengeluaran kalsium dari tulang dapat pula terjadi
pada pasien dengan penyakit yang tidak ganas seperti Paget`s disease dan imobilisasi yang
kronis. Peningkatan absorbsi kalsium oleh intestinal dapat menimbulkan hiperkalsemia
Hal : 39 dari
pada pasien dengan milk-alkali syndrome (ditandai dengan peningkatan intake kalsium),
hipervitaminosis D, atau penyakit granulomatosa (memperkuat sensitivitas terhadap
vitamin D). Mekanisme lain terjadinya hiperkalsemia belum banyak diketahui.
Table 2811. Causes of Hypercalcemia.
Hyperparathyroidism
Malignancy
Excessive vitamin D intake
Paget's disease of bone
Granulomatous disorders (sarcoidosis, tuberculosis)
Chronic immobilization
Milk-alkali syndrome
Adrenal insufficiency
Drug-induced
Thiazide diuretics
Lithium
Manifestasi Klinis Hiperkalsemia
Hiperkalsemia sering menimbulkan keadaan anoreksia, mual, muntah, kelemahan,
dan poliuria. Ataksia, iritabilitas, lethargi atau konfusi dapt berkembang secara cepat
menjadi koma. Hipertensi sering kali timbul awal sebelum terjadi hipovolemia.Tanda-tanda
dari EKG dapat berupa pemendekan segmen ST dan pemendekan interval QT.
Hiperkalsemia akan meningkatkan sensitivitas jantung terhadap digitalis. Pankreatitis,
penyakit ulkus peptikum , dan gagal ginjal dapat juga menimbulkan hiperkalsemia.
Terapi Hiperkalsemia
Hiperkalsemia yang telah menimbulkan gejala harus secepatnya diterapi. Terapi
yang paling efektif adalah dengan melakukan diuresis cepat (output urin 200-300 ml/jam)
dengan memberikan infuse salin intravena dan loop diuretic untuk mengakselerasi ekskresi
kalsium. Biasanya diperlukan juga penggantian potassium dan magnesium. Hiperkalsemia
yang berat (>15mg/dL) memerlukan juga biphosphonat (pamidronat 60-90 mg) atau
kalsitonin (2-8 unit/kg bb). Dialisis diperlukan bila pada pasien terdapat kegagalan ginjal
atau jantung. Terspi tambahan tergantung dari penyebabnya dapat diberikan glukokortikoid,
plicamycin (mythramicyn), atau phosfat.
Pertimbangan Anestesi
Hal : 40 dari
HIPOKALSEMIA
Hipokalsemia harus didiagnosis berdasarkan konsentrasi ion kalsium plasma. Bila
pemeriksaan [Ca] plasma secara langsung tidak dapat dilakukan, konsentrasi kalsium total
tetap harus dikoreksi untuk menurunkan konsentrasi albumin plasma (lihat atas). Penyebab
hipokalsemia terdapat dalam tabel 28-12.
Hipokalsemia yang berhubungan dengan keadaan hipoparatiroid relative sering
menyebabkan hipokalsemia simptomatik. Hipoparatiroid dapat terjadi karena surgical,
idiopatik, bagian dari kelainan endokrin multiple (paling sering insufisiensi adrenal), atau
berhubungan dengan hipomagnesemia. Defisiensi magnesium dikatakan dapat
menggagalkan sekresi PTH dan mengantagonis efeknya pada tulang. Hipokalsemia yang
terjadi pada saat sepsis berhubungan dengan supresi pelepasan hormone paratiroid.
Hiperphosfatemia juga merupakan penyebab yang relative sering dari hipokalsemia
terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Hipokalsemia yang berhubungan dengan
defisiensi vitamin D kemungkinan terutama disebabkan karena reduksi intake (nutrisional),
malabsorbsi vitamain D, atau abnormalitas metabolisme vitamin D.
Reaksi ion kalsium dengan ion sitrat pada pemberian darah merupakan penyebab
terpenting dari hipokalsemia intraoperatif; sama dengan terjadinya penurunan [Ca] yang
secara teori munkin terjadi setelah pemberian besar infuse albumin. Hipokalsemia yang
terjadi pada pankreatitis akut berhubungan dengan terjadinya presipitasi kalsium dengan
lemak setelah pelepasan enzim lipolitik dan nekrosis lemak; Hipokalsemia yang terjadi
pada emboli lemak memiki dasar yang sama. Presipitasi kalsium (pada otot yang
cedera)dapat juga terlihat pada rhabdomyolisis.
Penyebab yang lebih jarang dari hipokalsemia adalah calcitonin-secreting
medullary carcinomas dari tiroid, osteoblastic metastatc disease (kanker payudara dan
prostate), dan pseudohipoparatiroid (unresponsive terhadap hormone paratiroid yang
bersifat familial). Hipokalsemia juga dapat terjadi pada pemberian heparin, protamin, atau
glukagon.
Manifestasi Klinis Hipokalsemia
Hal : 41 dari
Terapi Hipokalsemia
Hipokalsemia yang simptomatik merupak keadaan darurat medis dan harus diterapi
secepatnya dengan kalsium klorida intravena (3-5 ml larutan 10%) atau kalsium glukonas
(10-20 ml larutan 10%).(10 ml dari CaCl2 berisi 272 mg Ca, sedangkan 10 ml kalsium
glukonas 10% berisi hanya 93 mg Ca). Untuk mencegah terjadinya presipitasi maka
pemberian calsium intravena tidak boleh diberikan bersamaan dengan larutan yang
mengandung bikarbonat atau phosfat. Disarankan juga untuk melakukan pemeriksaan ion
kalsium secara serial. Pemberian secara bolus yang berulang atau infuse yang kontinyu (Ca
1-2 mg/kg bb/jam) mungkin diperlukan. Konsentrasi magnesium plasma harus diperiksa
untuk menyingkirkan keadaan hipomagnesemia. Pada keadaan hipokalsemia kronis
biasanya diperlukan pemberian kalsium secara oral (CaCO3), dan vitamin D. Terpi untuk
hipophosfatemia akan dibicarakan di bawah.
Pertimbangan Anestesi
Hal : 42 dari
HIPERPHOSFATEMIA
Punya : Dr. Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran)
Hal : 43 dari
Hal : 44 dari
kalsifikasi metastatik. Potasium atau sodium phosfat (2-5 mg elemen phosphor per
kilogram, atau 10-45 mmol secara lambat selama 6-12 jam) secara intravena biasanya
digunakan untuk koreksi hipophosfatemia simptomatik yang berat.
Pertimbangan Anestetik
Manajemen anestesi untuk pasien dengan hipophosfatemia memerlukan
pengetahuan tentang komplikasinya (lihat atas).Keadaan hiperglikemia dan alkalosis
respiratorik harus dihindari untuk mencegah penurunan phosphor plasma yang lebih lanjut.
Fungsi neuromuscular harus dimonitor secara hati-hati bila diberikan obat pelemas otot.
Beberapa pasien dengan hipophosfatemia yang berat memerlukan ventilasi mekanik pada
saat post operatif.
Hal : 45 dari
Peningkata [Mg] plasma hamper selalu berhubungan dengan intake yang berlebihan
(antacid atau laksativ yang mengandung magnesium), kegagaln ginjal (GFR<30ml/menit),
atau keduanya. Hipermagnesemia iatrogenic dapat terjadi selama terapi dengan magnesium
sulfat pada hipertensi gestasional yang terjadi baik pada ibu maupun dengan fetus.
Penyebab yang lebih jarang antaralain insusiensi adrenal, hipotiroid, rhabdomyolisis, dan
pemberian lithium.
Manifestasi Klinis Hipermagnesemia
Hipermagnesemia simptomatik dapat memberikan manifestasi neurologist,
neuromuscular, atau manifestasi kardiak. Karakteristik yang muncul berupa
hiporefleksia,sedasi dan kelemahan otot skeletal. Hipermagnesemia akan menyebabkan
kegagalan pelepasan asetilkolin danmenurunkan sensitivitas motor end-plate di otot
terhadap asetilkolin. Pada level >10mmol/dL (>24 mg/dL) dapat menyebabkan
vasodilatasi, bradikardia, dan depresi myocardial yang dapat menimbulkan hipotensi.
Tanda-tanda EKG tidak konsisten tetapi sering terjadi pemanjangan interval PR dan
pelebaran kompleks QRS. Hipermagnesia berat dapat mengakibatkan respiratory arrest.
Terapi Hipermagnesemia
Semua sumber intake yang mengandung magnesium harus dihentikan (paling sering
antacid).Efek hipermagnesemia secara temporer dapat diantagonis dengan pemberian
kalsium intravena (1g kalsiu glukonas). Pemberian loop diuretic dengan infuse normal salin
dalam 5% dekstrosa akan meningkatkatkan ekskresi Magnesium melalui urin. Diuresis
menggunakan normal salin biasanya tidak dianjurkan pada keadaan hipokalsemia
iatrogenic karena akan mempotensiasi efek hipermagnesemia. Dialisis diperlukan pada
pasien dengan kegagalan ginjal.
Pertimbangan Anestetik
Hipermagnesemia memerlukan monitoring terhadap EKG, tekanan darah, dan
fungsi neuromuscular. Potensiasi dari efek vasodilatasi dan inotropik negative dari zat
anestetik dapat terjadi. Dosis dari obat pelemas otot harus dikurangi 25-50%. Penggunakan
kateter urin diperlukan bila dipergunakan diuretic dan infuse salin untuk meningkatkan
ekskresi kmagnesium (lihat atas). Pemeriksaan kadar [Ca] dan [Mg] serial akan berguna.
HIPOMAGNESEMIA
Hipomagnesemia adalah masalah yang umum dan sering terjadi,terutama pada
pasien dengan sakit kritis. Sering kali terdapat hubungan dengan defisiensi komponen
intraselular yang lain seperti potassium dan phosphor. Defisiensi magnesium biasanya
dikarenakan intake yang tidak adekuat, penurunan absorbsi gastrointestinal, atau
peningkatan ekskresi renal (tabel 28-13). Agonis beta adrenergic dapat menyebabkan
hipomagnesemia melalui pengambilan ion oleh jaringan. Obat-obatan dapat meningkatkan
pembuangan magnesium oleh ginjal yaitu ethanol, teofilin, diuretic, sisplatin,
aminoglikosid, siklosporin, amfoterisin B, pentamidin, dan granulocyt colony stimulating
factor.
Hal : 46 dari
Hal : 47 dari
Pertimbangan anestetik
Meskipun tidak ada interaksi yang spesifik yang dapat digambarkan, namun
gangguan elektrolit yang biasanya menyertainya harus dikoreksi sebelum pembedahan,
seperti hipokalemia, hipophosfatemia, dam hipokalsemia. Hipomagnesemia yang
ditemukan harus dikoreksi sebelum prosedur eleltif karena dapat berpotensi menimbulkan
aritmia jantung. Sedangkan magnesium mempunyai efek antiaritmia intrinsic dan mungkin
memiki efek ptektif terhadap serebral (bab.25).
DISKUSI KASUS:
ABNORMALITAS ELEKTROLIT SETELAH DIVERSI URIN
Hal : 48 dari
Hal : 49 dari
sedikitnya pengosongan atau panjangnya saluran- tersendiri dari hipovolemia- yang dibuat
menjadi predisposisi terjadinya asidosis metabolic hiperkloremik. Kegagalan ginjal yang
sedang terjadi juga menjadi factor resiko yang besar dan kemungkinan menyebabkan
ketidakmampuan untuk mengkompensasi kelebihan bikarbonat yang berlebihan.
Apakah terapi yang dibutuhkan pada pasien ini (jika ada)?
Ileal loop harus diirigasi dengan salin-dengan memasukkan kateter atau stent- untuk
menyingkirkan obstruksi parsial dan memastikan drainase urin yang bebas. Adanya
hipovolemia harus dipertimbangkan untuk diterapi dengan berdasrkan pada pengukuran
central venous pressure atau respon terhadap fluid challenge (bab 29). Asidosis sistemik
yang ringan sampai sedang (pH arteri.7,25)lebih dapat ditolerir dengan baik pada sebagian
besar pasien. Sedangkan asidosis metabolic hiperkloremik setelah pembuatan saluran ileal
sering kali menyebabkan stasis urin. Asidosis persisten atau yang lebih berat memerlukan
terpi dengan bikarbonat. Penggantian potassium juga diperlukan jika terdapat hipokalemia.
Apakah kelainan elektrolit juga terjadi pada diversi urin tipe lainnya?
Prosedur yang membuat usus sebagai saluran (ileal atau kolonik) lebih dapat
menyebabkan asidosis metabolic hiperkloremik dibandingkan dengan membuat usus
sebagai saluran. Insiden dai asidosis metabolic hiperkloremik mendekati 80% setelah
dilakukan ureterosigmoidostomi. Sebaliknya teknik yang lebih baru dengan reservoir
kontinen seperti the Kock Pouch dan Indiana pouch memiliki insiden yang sangat kecil
untuk terjadinya abnormalitas elektrolit post operatif.
Hal : 50 dari