Pembimbing :
dr. Tati, Sp.An
Di susun Oleh:
Selvia Helena Utami
110.2010.265
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmatnya serta karunianya, sehingga syukur Alhamdulillah penulis dapat
menyelesaikan presentasi kasus dengan judul Kuretase dan Tubektomi dengan
Regional Anestesia. Presentasi kasus ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik bagian anestesiologi di RSUD Cilegon.
Penulis menyadari bahwa presentasi kasus ini dapat terselesaikan berkat
bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat para konsulen bagian
Anestesiologi.
dr.Dublianus, Sp.An, dr.Tati, Sp.An dan dr.Evita, Sp.An. atas keluangan waktu dan
bimbingan yang telah diberikan, serta kepada teman sesama kepaniteraan klinik
bagian anestesiologi dan staf bagian anestesiologi yang selalu mendukung, memberi
saran, motivasi, bimbingan dan kerjasama yang baik sehingga dapat terselesaikannya
presentasi kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun presentasi kasus ini masih
memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima
segala kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan presentasi kasus ini.
Akhirnya semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan
setiap pembaca pada umumnya. Amin.
Cilegon, September 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................
1
DAFTAR ISI ....................................................................................................................
2
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................
3
BAB II STATUS PASIEN.................................................................................................
5
BAB III LAPORAN ANASTESI......................................................................................
9
BAB IV ANALISA KASUS.............................................................................................
14
BAB V TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................
16
BAB VI IKESIMPULAN.................................................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
41
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap pasien yang akan menjalani tindakan invasif, seperti tindakan bedah
akan menjalani prosedur anestesi. Anestesi sendiri secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total, yaitu hilangnya
kesadaran secara total, anestesi lokal, yaitu hilangnya rasa pada daerah tertentu yang
diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh), anestesi regional yaitu hilangnya rasa
pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau
saraf yang berhubungan dengannya.
Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang
hanya melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia
kehilangan kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi pembedahan,
maka setelah selesai operasi tidak membuat lama waktu penyembuhan operasi.
BAB II
STATUS ANESTESI
I.
IDENTITAS
Nama
: Ny. M
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 41 tahun
Alamat
Agama
: Islam
Bangsa/ Suku
: Indonesia, Jawa
Status Pernikahan
: Menikah
Pendidikan Terakhir
: D II
Pekerjaan
: Guru
Ruang Perawatan
: R. Edelweis
Tanggal Masuk RS
: 28 September 2015
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis
Cilegon
Pasien merupakan pasien Obgyn dengan diagnosis G5P2A2 dengan missed
abortion
:.
A. Keluhan Utama
Pasien datang ke rumah sakit pada tanggal 28 September 2015 dengan
keluhan keluar darah dari jalan lahir.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Ny. M, G5P2A2 datang ke Poli Kandungan RSUD Cilegon dengan
keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak satu hari sebelum masuk Rumah Sakit.
Pasien telat haid dari bulan April 2015. Pasien merasa pusing dan badan terasa
lemas. Mual dan muntah disangkal oleh pasien.
C. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien menyangkal menderita penyakit jantung, hipertensi, diabetes melitus,
maupun alergi obat dan asma bronkial.
4
Tempat
Penolong
Thn
bersalin
Umur
Jenis
hamil
Persalinan
Penyulit
Jenis
Keadaaan
kelami
n
1.
RS
Dokter
1996
38 mgg
Spontan
PR
Hidup
2.
RS
Bidan
2001
Aterm
Spontan
PR
Hidup
3.
RS
Dokter
2007
12 mgg
Abortus
4.
RS
Dokter
2012
12 mgg
Abortus
5.
Hamil ini
H. Riwayat Kontrasepsi :
Pasien mengaku menggunakan KB suntik 3 bulan.
Thorax
Paru
Inspeksi
Bentuk dada normal, simetris dalam keadaan statis maupun
dinamis,
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas
-
Atas
Genitalia
IV.
: Tidak diperiksa
STATUS FISIK
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik ataupun gangguan organic
lainnya dan tidak didapati adanya komplikasi pada keluhan yang dirasakan
sehingga dapat dikategorikan pasien memiliki status fisik ASA I.
V.
VI.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
KESAN ANESTESI
Pasien seorang perempuan berusia 41 tahun G5P2A2 dengan missed abortion
dengan klasifikasi ASA I.
VII.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kepada pasien meliputi :
a. Intravena fluid drip RL 500cc 20tpm
b. Informed consent mengenai tindakan kuretase dan tubektomi
c. Konsul ke bagian Anestesi
d. Informed consent pembiusan : dilakukan operasi kuretase dan tubektomi
dengan regional Anestesi dengan klasifikasi ASA I
VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ;
Diagnosis pre operatif : G5P2A2 dengan missed abortion
Status operatif
: ASA I (Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
sistemik ataupun gangguan organic lainnya dan tidak
didapati
Jenis Operasi
Jenis Anestesi
adanya
komplikasi
pada
keluhan
yang
dirasakan )
: Kuretase dan tubektomi
: Regional Anestesi (Sub Arachnoid Block Anesthesia)
BAB III
LAPORAN ANESTESI
A. Preoperatif
- Informed Consent (+)
- Puasa (+) kurang lebih 6-8 jam
- Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu
- IV line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar
- Keadaan umum tampak sakit ringan
- Kesadaran Compos Mentis
- Tanda Vital:
o Tekanan darah
: 110/70 mmHg
o Pernafasan
: 20 x/menit
o Nadi
: 80 x/menit
o Suhu
: 36,5C
B. Premedikasi Anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Ondansentron 4 mg secara
bolus intravena.
C. Tindakan Anestesi
Pasien dalam posisi duduk, kepala menunduk, kemudian menentukan lokasi
penyuntikkan di L3-4 yaitu di atas titik hasil perpotongan antara garis yang
menghubungkan crista iliaca dextra dan sinistra dengan garis vertical tulang
vertebra yang berpotongan di vertebra lumbal 4. Kemudian dilakukan tindakan
asepsis dan antisepsis dengan kassa steril dan povidone iodine. Lalu dilakukan
penyuntikan di titik L3-4 paramediana yang sudah ditandai sebelumnya dengan
menggunakan jarum spinal no. 26G, kemudian jarum spinal dilepaskan hingga
tersisa kanulnya, lalu dipastikan bahwa LCS yang berwarna jernih mengalir
melalui kanul (ruang subarachnoid), kemudian obat anestesi yaitu Bupivacain 20
mg disuntikkan dengan terlebih dahulu melakukan aspirasi untuk memastikan
kanul spinal masih tetap di ruang subarachnoid, setelah Bupivacain disuntikkan
setengahnya kembali dilakukan tindakan aspirasi LCS untuk memastikan kanul
tidak bergeser, lalu Bupivacain disuntikkan semua.
Setelah itu menutup luka bekas suntikkan dengan kassa steril dan micropore.
Kemudian pasien kembali posisi berbaring di meja operasi. Sesaat setelah pasien
dibaringkan lalu dilakukan tes blockade motorik dengan cara menyuruh pasien
mengangkat kakinya dalam keadaan lurus kemudian ditanyakan kepada pasien
apakah kakinya sudah terasa berat, tidak bisa diangkat, ataupun kesemutan.
8
5 menit.
Respirasi: inspeksi pernapasan spontan kepada pasien dan saturasi oksigen
Cairan : monitoring input cairan infus.
Tindakan
Tensi
Nadi
Saturas
i
10.05
132/81
101
98
132/78
103
98
130/81
103
98
10.20
132/81
94
98
10.25
124/76
94
99
10.30
124/78
98
99
Operasi dimulai
10.35
120/76
95
98
10.40
124/81
95
98
124/77
84
99
127/78
96
98
140/82
91
98
137/83
97
99
10.45
10.50
10.55
11.00
bolus
11.05
142/80
88
99
11.10
140/89
87
99
133/78
88
98
11.15
Laporan Anestesi
1. Diagnosis Pra Bedah
G5P2A2 dengan missed abortion
2. Diagnosis Pasca Bedah
P2A3 dengan missed abortion
3. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus RL 500cc
Bupivacaine 20 mg
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis pembedahan
: Kuretase dan tubektomi
b. Jenis Anestesi
: Regional Anestesi
c. Teknik Anestesi
: Sub Arachnoid Block , L3-4, LCS +, jarum spinal no.
26G
d. Mulai Anestesi
: pukul 10.05 WIB
e. Mulai Operasi
: pukul 10.15 WIB
f. Premedikasi
: Ondansentron 4 mg IV
g. Medikasi
: Bupivacain 20 mg
h. Medikasi tambahan
: Methylergometrin 0,2mg, midazolam 2,5mg, asam
traneksamat 500mg, tramadol 100mg, oxyticin 10 IU,
pronalgess supp (ketoprofen 100mg)
i. Respirasi
: Pernapasan spontan
j. Cairan durante operasi : RL 500 cc
k. Pemantauan tekanan drah dan HR : terlampir
l. Selesai operasi
: Pukul 11.15 WIB
5. Post Operatif
a. Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan (Recovery Room) kemudian dibawa
b.
-
NO
KRITERIA
SKOR
Pasien memenuhi skor Bromage yaitu <2, maka pasien dapat dipindah ke bangsal
11
BAB IV
ANALISA KASUS
Berdasarkan anamnesis, maka pasien dapat diklasifikasikan ke dalam ASA 1,
yaitu pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik ataupun gangguan organic
lainnya dan tidak didapati adanya komplikasi pada keluhan yang dirasakan. Persiapan
yang dilakukan sebelum operasi yaitu memastikan pasien dalam keadaan sehat,
memasang infus, dan pasien dalam keadaan puasa selama 6-8 jam sebelum operasi.
Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak sakit ringan dan kesadaran compos
mentis. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu Regional Anestesi dengan teknik
Spinal Anesthesia Subarachnoid Block Sit Position. Dari anamnesis didapatkan pasien
G5P2A2 dengan missed abortion. Pasien direncanakan untuk operasi dilakukan
tindakan kuretase dan tubektomi elektif.
Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu yaitu
memastikan infus berjalan lancar, hal ini dimaksudkan karena pada saat operasi
sebagian besar obat-obatan diberikan melalui jalur intravena, kemudian pemasangan
alat-alat tanda vital seperti alat tensi dan alat saturasi yang bertujuan untuk melihat
12
tekanan darah pasien apakah pasien mengalami hipertensi atau hipotensi karena
beberapa obat anestesi dapat mempengaruhi perubahan tekanan darah, dan alat
saturasi bertujuan untuk memantau suplai oksigen pasien, kemudian memastikan
pasien dalam keadaan tenang dan kooperatif.
Sebelum
operasi
dimulai
pasien
diberikan
obat
premedikasi
yaitu
Ondansentron 4mg yang diberikan secara bolus IV. Hal ini bertujuan karena obat-obat
anestesi dapat merangsang muntah pada pasien. Ondansentron adalah suatu antagonis
reseptor serotonin 5 HT 3 selektif. Serotonin 5-hydroxytriptamine (5HT3)
merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat toksin dalam saluran cerna,
berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus menyampaikan
rangsangan ke CTZ (Chemoreseptor Trigger Zone) dan pusat muntah dan kemudian
terjadi mual dan muntah.
Kemudian dilakukan anestesi kepada pasien dengan menggunakan obat
Bupivacain 20mg. Obat Bupivacaine adala obat anestesi lokal yang cara kerjanya
memblok generasi dan konduksi impuls saraf, dengan meningkatkan ambang eksitasi
untuk listrik pada saraf, dengan memperlambat penyebaran impuls saraf, dan dengan
mengurangi laju kenaikan dari potensial aksi. Bupivacaine mengikat bagian saluran
intraseluler natrium dan memblok masuknya natrium ke dalam sel saraf, sehingga
mencegah depolarisasi, sifatnya reversibel. Dan Bupivacaine merupakan obat
anestetik lokal yang memiliki masa kerja panjang dan mula kerja pendek.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang didapatkan diagnosis pasien
G5P2A2 dengan missed abortion. Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan
operasi kuretase dan tubektomi. Saat operasi diberikan methylergometrin 0,2mg,
midazolam 2,5mg, asam traneksamat 500mg, tramadol 100mg, oxyticin 10 IU.
Operasi berlangsung selama satu jam lewat sepuluh menit. Selama operasi diberikan
cairan Ringer laktat yang berisi natrium laktat, Nacl, Kcl, kalsium klorida, air.
Setelah operasi selesai, pasien diberikan tramadol yang merupakan opioid
sebagai analgetik yang tidak mempengaruhi kesadaran pasien. Oxytosin 10 IU.
Tramadol diberikan 100mg dan oxytosin 10 IU dalam ringer laktat, dan pronalgess
(ketoprofen 100mg) yang merupakan analgetik golongan NSID diberikan secara
suppositoria utnuk mengurangi rasa nyeri asca operasi. Kondisi pasien stabil dan
13
14
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.
B. Pembagian Anestesi/Analgesia Regional
1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok
lapangan, dan analgesia regional intravena.
3.
15
Anastesi Spinal
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik
lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga
sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan
menembus kutis subkutis Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum
Lig. Flavum ruang epidural durameter ruang subarachnoid.
Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
16
bedah
abdomen
atas
dan
bawah
pediatrik
biasanya
Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal
17
2.
Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3.
2.
Peralatan resusitasi
3.
Jarum spinal
Jarum
spinal
dengan
ujung
tajam
(ujung
bambu
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 12% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau
ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia
spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
20
Anestesia Epidural
Anestesia atau analgesia epidural adalah blokade saraf dengan
menempatkan obat di ruang epidural. Ruang ini berada di antara ligamentum
flavum dan duramater. Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm dan di bagian
posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal.
Obat anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar saraf
spinal yang terletak di lateral. Awal kerja anestesi epidural lebih lambat
dibanding anestesi spinal, sedangkan kualitas blokade sensorik-motorik juga
lebih lemah.
Bisa segmental
Reaksi sistemis
Komplikasi anestesi / analgesi epidural :
1. Blok tidak merata
2. Depresi kardiovaskular (hipotensi)
3. Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
4. Mual muntah
Ada beberapa situasi di mana resiko epidural lebih tinggi dari biasanya :
1. Kelainan anatomis, seperti spina bifida, meningomyelocele, atau skoliosis
2. Operasi tulang belakang sebelumnya (di mana jaringan parut dapat
menghambat penyebaran obat)
3. Beberapa masalah sistem saraf pusat, termasuk multiple sclerosis
4. Beberapa masalah katup jantung (seperti stenosis aorta, di mana
vasodilatasi yang diinduksi oleh obat bius dapat mengganggu suplai darah
ke jantung)
Anestesi epidural sebaiknya dilakukan pada:
1. Kurangnya persetujuan
2. Gangguan pendarahan (koagulopati) atau penggunaan obat antikoagulan
(misalnya warfarin)
3. Risiko hematoma
4. Kompresi tulang belakang
5. Infeksi dekat titik penyisipan
6. Hipovolemia
Penyebaran obat pada anestesi epidural bergantung :
1. Volume obat yg disuntikan
2. Usia pasien
3. Kecepatan suntikan
4. Besarnya dosis
5. Ketinggian tempat suntikan
6. Posisi pasien
7. Panjang kolumna vetebralis
Teknik anestesia epidural :
Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid.
1.
2.
3.
5.
Cara penyuntikan: setelah yakin posisi jarum atau kateter benar, suntikkan
anestetik lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sampai tercapai dosis total.
Suntikan terlalu cepat menyebabkan tekanan dalam ruang epidural
mendadak tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan intrakranial,
nyeri kepala dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.
Melipat Lutut
++
+
-
Melipat Jari
++
++
+
-
2.
3.
4.
Mual-muntah
ligamentum
supraspinosum,
ligamentum
interspinosum,
dan
ligamentum flavum. Ruang kaudal berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum
terminale dan kantong dura.
Indikasi : Bedah daerah sekitar perineum, anorektal misalnya hemoroid,
fistula paraanal.
Kontra indikasi : Seperti analgesia spinal dan analgesia epidural.
Teknik anestesia kaudal :
1. Posisi pasien terlungkup dengan simfisis diganjal (tungkai dan kepala
lebih rendah dari bokong) atau dekubitus lateral, terutama wanita hamil.
2. Dapat menggunakan jarum suntik biasa atau jarum dengan kateter vena
ukuran 20-22 pada pasien dewasa.
3. Untuk dewasa biasa digunakan volum 12-15 ml (1-2 ml/ segmen)
4. Identifikasi hiatus sakralis dengan menemukan kornu sakralis kanan dan
kiri dan spina iliaka superior posterior. Dengan menghubungkan ketiga
tonjolan tersebut diperoleh hiatus sakralis.
5. Setelah dilakukan tindakan a dan antisepsis pada daerah hiatus sakralis,
tusukkan jarum mula-mula 90o terhadap kulit. Setelah diyakini masuk
kanalis sakralis, ubah jarum jadi 450-600 dan jarum didorong sedalam 1-2
cm. Kemudian suntikan NaCl sebanyak 5 ml secara agak cepat sambil
meraba apakah ada pembengkakan di kulit untuk menguji apakah cairan
masuk dengan benar di kanalis kaudalis.
Anestesi spinal total ialah anestesi spinal intratekal atau epidural yang
naik sampai di atas daerah servikal. Anestesi ini biasanya tidak disengaja,
pasien batuk-batuk, dosis obat berlebihan, terutama pada analgesia epidural
dengan posisi pasien yang tidak menguntungkan.
Tanda-tanda klinis:
1. tangan kesemutan
2. lidah kesemutan
3. napas berat
4. mengantuk kemudian tidak sadar
5. bradikardi dan hipotensi berat
6. henti napas
7. pupil midriasi.
Walaupun saraf phrenikus mungkin terkena blokade namun henti napas
lebih disebabkan oleh hipoperfusi pusat kendali napas. Kejadian ini timbul
segera setelah tindakan atau setelah 30-45 menit kemudian. Kejadian ini
bersifat sementara namun apabila tidak ditanggulangi dapat mengakibatkan
henti jantung yang dapat merenggut nyawa pasien. Pengenalan dini anestesia
spinal total ini amat penting agar pertolongan dapat segera dilakukan.
Tindakan terhadap anestesi spinal total ini adalah dengan menaikkan
curah jantung, infus cairan koloid 2-3 L, menaikkan kedua tungkai,
kendalikan pernapasan dengan O2 100% kalau perlu dengan intubasi dan
intubasi ini dapat dilakukan dengan mudah karena telah terjadi relaksasi otot
maksimal, beri atropin untuk melawan bradikardi dan beri efedrin untuk
melawan hipotensi.
Efek Fisiologis Blok Neuroaksial
1. Efek Kardiovaskuler:
-
Akibat dari blok simpatis, akan terjadi penurunan tekanan darah (hipotensi).
Efek simpatektomi tergantung dari tinggi blok. Pada spinal, 2-6 dermatom di
atas level blok sensoris, sedangkan pada epidural, terjadi blok pada level yang
sama.
Hipotensi dapat dicegah dengan pemberian cairan (pre-loading) untuk
mengurangi hipovolemia relatif akibat vasodilatasi sebelum dilakukan
29
Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok pada cardioaccelerator fiber di
T1-T4), dapat menyebabkan bradikardi sampai cardiac arrest.
2. Efek Respirasi:
-
Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok lebih dari dermatom T5)
mengakibatkan hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak dan menyebabkan
terjadinya respiratory arrest.
Bisa juga terjadi blok pada nervus phrenicus sehingga menyebabkan gangguan
gerakan diafragma dan otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi dan ekspirasi.
3. Efek Gastrointestinal:
-
membran mukosa
30
4. Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu
yang yang cukup lama
5. Dapat larut air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga stabil terhadap
pemanasan.
Anestesi lokal sering kali digunakan secara parenteral (injeksi) pada
pembedahan kecil di mana anestesi umum tidak perlu atau tidak diinginkan. Di
Indonesia, yang paling banyak digunakan adalah lidokain dan bupivakain.
Mekanisme kerja
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium-channel),
mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium
sehingga tidak terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya, tidak terjadi
konduksi saraf.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten.
Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja dan konstanta
dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja.
Konsentrasi minimal anestetika lokal (analog dengan MAC, minimum
alveolar concentration) dipengaruhi oleh:
1. Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf
2. pH (asidosis menghambat blokade saraf)
3. Frekuensi stimulasi saraf
Mula kerja bergantung beberapa faktor, yaitu:
1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi
meningkat dan dapat menembus membrane sel saraf sehingga menghasilkan
mula kerja cepat
2. Alkalinisasi anestetika lokal membuat awal kerja cepat
3. Konsentrasi obat anestetika local
Lama kerja dipengaruhi oleh:
1. Ikatan dengan protein plasma karena reseptor anestetika lokal adalah protein
2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi
3. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian
31
32
Obat anestesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik, sehingga
untuk tiap jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya. Komplikasi
dapat bersifat lokal atau sistemik
Komplikasi lokal
1. Terjadi ditempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis dan gangrene.
2. Komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis dan
antisepsis.
3. Iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor yang
disuntikkan pada daerah dengan end-artery.
Komplikasi sistemik
1. Manifestasi klinis umumnya berupa reaksi neurologis dan kardiovaskuler.
2. Pengaruh pada korteks serebri dan pusat yang lebih tinggi adalah berupa
perangsangan sedangkan pengaruh pada pons dan batang otak berupa
depresi.
3. Pengaruh kardiovaskuler adalah berupa penurunan tekanan darah dan depresi
miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung.
A. Infiltrasi Lokal
Penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan sekitar tempat lesi
B. Blok Lapangan (Field Block)
Infiltrasi sekitar lapangan operasi (contoh, untuk ekstirpasi tumor kecil)
C. Analgesia Permukaan (Topikal)
Obat analgetika lokal dioles atau disemprot di atas selaput mukosa
D. Analgesia Regional Intravena (Bier Block)
Anestesi jenis ini dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit pada
lengan atau tungkai. Biasanya dikerjakan untuk orang dewasa dan pada lengan.
Teknik analgesia regional intravena:
1. Pasang kateter vena (venocath) pada kedua punggung tangan. Pada sisi
tangan atau lengan yang akan dibedah digunakan untuk memasukkan obat
33
34
OBAT-OBATAN
1. Ondansentron
Ondansentron merupakan antagonis 5HT3 yang dapat ditemukan pada
reseptor yang memediasi pusat muntah di otak (area post arema) dan juga
lambung. Ondansentron digunakan sebagai profilaksis anti mual dan muntah
dianjurkan sebelum induksi dan pascabedah terutama pada pasien dengan riwayat
mual muntah. Dosis yang direkomendasikan pada ondansentron adalah 4 mg.
2. Bupivacaine
Bupivacain (Marcain) merupakan obat anestesi lokal kelompok amida,
dengan
rumus
bangun
sebagai
berikut:
1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-
piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivacain adalah derivat butil dari mepivacain yang kurang lebih tiga
kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini termasuk golongan obat anestesi long
acting. Secara kimia dan farmakologis mirip lidokain. Toksisitas setaraf dengan
tetrakain. Secara komersial bupivacain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan
kecenderungan yang lebih menghambat sensoris daripada motoris, menyebabkan
obat ini sering digunakan untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah.
Farmakologi
Bupivacain adalah obat anestetik lokal yang memiliki masa kerja panjang
dan mula kerja yang pendek.Seperti halnya anestesi lokal lainnya, bupivacain
menghasilkan blokade konduksi atau blokade lorong natrium pada dinding saraf
yang bersifat reversibel, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik
lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan
dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.
Farmakodinamik
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah
peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga
terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten. Ikatan
35
spinalis
8. Gangguan pembekuan darah atau sedang mendapat terapi antikoagulan secara
berkesinambungan
9. Hipertensi tidak terkontrol
10. Syok kardiogenik atau hipovolemi
Dosis
Anestesi spinal pada orang dewasa 7,5 - 20 mg. Penyebaran anestesi
tergantung pada beberapa faktor, termasuk di dalamnya volume larutan dan posisi
pasien selama dan setelah penyuntikan ke rongga sub-arachnoid. Harus dipahami
bahwa tingkat anestesi spinal yang dicapai oleh anestesi lokal tidak dapat
diperkirakan pada pasien.
Injeksi spinal hanya boleh diberikan jika ruang subarachnoid sudah
teridentifikasi secara jelas dengan ditandai keluar dan menetesnya cairan
serebrospinal yang jernih, atau terdeteksi oleh aspirasi cairan serebrospinal.
Larutan harus segera digunakan setelah ampul terbuka dan sisanya harus dibuang.
Efek Samping
1. Sistem saraf pusat (SSP)
SSP rentan terhadap toksisitas anestetik lokal, dengan tanda-tanda awal
parestesi lidah gelisah, nyeri kepala, pusing, penglihatan kabur, tinitus, mual,
muntah, tremor, gerakan koreatosis, rasa logam di mulut, inkoherensia, kejang
koma.
2. Sistem Pernafasan
Relaksasi otot polos bronkus. Henti nafas akibat paralisis nervus
phrenikus, paralise interkostal atau depresi langsung, pernafasan dalam dan
kemudian tak teratur, sesak nafas hingga apneu, hipersekresi dan
bronkospasme.
3. Sistem kardiovaskuler : vasodilatasi, hipotensi, bradikardi, nadi kecil dan
syok.
37
3.
Midazolam
Golongan Sedativa & Transquilizer
-
Golongan ini berfungsi sebagai obat penenang dan membuat pasien menjadi
mengantuk.
Contoh : luminal dan nembufal untuk golongan sedative; diazepam dan DHBF
(Dihidrobensferidol) untuk golongan transquilizer.
Midazolam
-
4.
Tramadol
Salah satu derivate sintetik opioid adalah tramadol. Opioid menghasilkan
efek melalui interaksinya dengan reseptor opioid di susunan saraf pusat dan
saluran gastrointestinal. Opioid menghasilnkan hiperpolarisasi sel saraf,
inhibisi pelepasan saraf dan inhibisi prasinap dan pelepasan meutransmitter.
Opioid mempunyai efek klinis yaitu:
38
Analgesia
Pada manusia pemberian opioid akan menghasilkan efek analgesia, rasa
mengantuk, perubahan mood dan mental. Opiod menghilangkan nyeri dengan
meningkatkan ambang nyeri pada tingkat medulla spinalis dan yang paling
penting dengan mengubah presepsi nyeri di otak. Efek analgesia yang timbul
tidak berhubungan dengan hilangnya kesadaran. Roses menghilangkan nyeri
oleh opioid adalah selektif, tidak mempengaruhi kekuatan sensoriknya. Pasien
masih merasakan nyeri namun perasaan yang ditimbulkan lebih nyaman.
Nyeri nosiseptif lebih berespon terhadap efek analgesia dari opioid
dibandingkan nyeri neuropati.
Respirasi
Opioid menyebabkan depresi pernapasan dengan cara menurunkan
sensitivitas neuron pusat pernapasan terhadap CO2. Depresi nafas terjadi setelah
mencapai kadar tertentu dan akan meningkat dengan peningkatan dosis.
Emesis
Opioid menstimulasi secara langsung chemoreceptor trigger zone (CTZ)
pada area postrema yang menyebabkan muntah.
Kardiovaskular
Opioid tidak terlalu mempengaruhi tekanan darah kecuali pada dosis yang
sangat tinggi.dalam hal ini dapat terjadi hipotensi dan bradikardia. Tekanan
serebrospinal dapat meningkat karena vasodilatasi pembuluh serebal akibat
depresi pernafasan dan retensi CO2.
Dosis yang diberikan untuk tatalaksana nyeri sedang sampai berat pasca
operasi dengan cara drip infuse 100 mg dilanjutkan 50 mg setiap 10-20 menit,
bila perlu sampai 250 mg pada satu jam pertama. Dosis maintenance 50-100 mg
setiap 4-6 jam. Dosis maximal adalah 600 mg per hari.
5.
Ketoprofen
-
lambung.
Hipersensitivitas kulit: gatal, pruritus, erupsi, urtikaria, sindroma Steven-
Johnson.
Gangguan fungsi ginjal: penurunan aliran darah ginjal, penurunan laju filtrasi
glomerulus, retensi natrium, hiperkalemia, peningkatan ureum-kreatinin,
gagal jantung.
Gangguan respirasi: tonus bronkus meningkat, asma.
Keamanan belum terbukti pada wanita hamil, menyusui, proses persalinan,
anak kecil, manula.
BAB VI
KESIMPULAN
40
DAFTAR PUSTAKA
Dobson, M. B. dkk. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: EGC. 1994.
41
Latief, Said. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi II.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2009.
Morgan, Edward dkk. Clinical Anesthesiology Fourth Edition. McGraw-Hill
Companies. 2006.
Werth, M. Pokok-pokok Anestesi. Jakarta: EGC. 2010.
42