Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep ISPA

1. Definisi ISPA
ISPA adalah penyakit saluran pernapasan akut dengan
perhatian khusus pada radang paru (pneumonia) dan bukan
penyakit telinga dan tenggorokan
( Wdiyono, 2008). Menurut Hartono dalam Rahmawati (2008)
ISPA adalah infeksi pada sistem dideskripsikan sesuai dengan
areanya,

saluran

pernafasan

atas

(upper

airway)

yang

meliputi hidung dan faring. Sistem pernafasan bawah meliputi


bronkus, bronkeulus( bagian reaktif pada saluran pernafasan
karena ototnya yang halus dan kemapuan untuk membatasi.
2. Klasifikasi ISPA
Menurut Widoyono (2008) Klasifikasi ISPA terdiri dari :
a. Bukan penomonia
Mencakup pasien balita dengan batuk yang tidak
menunjukan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak
menunjukan adanya tarikan dinding dada bagian bawah
kearah dalam. Contohny adalah common cold, fraingitis,
tonsilitis dan otitis.
b. Pneumonia
Didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran
bernafas,

diagnosa

ini

berdasarkan

umur.

Batasan

frekuensi nafas cepat pada anak berusia dua bulan sampai


7

< 1 tahun adalah 50 kali per menit dan untuk anak usia 1
samapai < 4 tahun adalah 40 kali permenit.
c. Pneumonia berat
Didasarkan pada adanya batuk dan

kerusakan

bernafas disertai sesak nafas tarikan dinding dada bagian


bawah kearah dalam (chest indrawing), pada anak berusia
dua bulan samapai < 5 tahun.
3. Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan
riketsia.

Bakteri

Streptococcus,

penyebabnya

Stafilococcus,

antara

lain

Pnemococcus,

dari

genus

Hemofilus,

Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara


lain

golongan

Micsovirus,

Adenovirus,

Coronavirus,

Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus (Handayani, 2005).


4. Tanda dan Gejala ISPA
Penyebab Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat
menular, hal ini timbul karena menurunnya sistem kekebalan
atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres.
Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan
gatal dalam hidung yang kemudian diikuti bersin terus
menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam
dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah
dan

membengkak.

Infeksi

lebih

lanjut

membuat

sekret

menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak

terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5


hari.

Komplikasi

yang

mungkin

terjadi

adalah

sinusitis,

faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii,


hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru) (Handayani,
2005).
5. Cara Penularan ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara
yang telah tercemar, bibit penyakit masuk kedalam tubuh
melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA ini
termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui
udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa
kontak

dengan

penderita

maupun

dengan

benda

terkontaminasi.
Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula
menular

melalui

kontak

langsung,

namun

tidak

jarang

penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena


menghisap udara yang mengandung unsure penyebab atau
mikroorganisme penyebab. Adanya bibit penyakit di udara
umumnya berbentuk aerosol yakni susupensi yang melayang
di udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau hanya
sebagian. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit ISPA
tersebut yakni:

a. Droplet nuclei, yaitu sisa dari sekresi saluran pernafasan


yang dikeluarkan dari tubuh yang berbentuk droplet dan
melayang di udara.
b. Dust, yaitu campuran antara bibit penyakit yang melayang
(Isbagio, 2006).
6. Diagnosis ISPA
Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk
ditegakkan

karena

dahak

sedangkan

prosedur

memberikan

hasil

yang

biasanya

pemeriksaan
memuaskan

sukar

diperoleh,

imunologi
untuk

belum

menentukan

adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia. Sampai saat ini


hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta
pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk
membantu

menegakkan

diagnosis

etiologi

pneumonia.

(Isbagio, 2006).
Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan
dan menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada
balita, namun disisi lain dianggap prosedur yang berbahaya
dan bertentangan dengan etika (terutama jika semata untuk
tujuan

penelitian).

Berdasarkan

pertimbangan

tersebut,

diagnosa bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia


masih merujuk pada hasil penelitian asing (melalui publikasi
WHO), bahwa Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus

influenza merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada


penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju
pnemonia pada balita disebabkan
oleh virus.Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan
pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai
peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur.
Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung
frekuensi pernafasan dengan menggunakan sound timer.
Batas nafas cepat adalah :
1. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak
60 kali permenit atau lebih.
2. Pada anak usia 2 bulan - < 1 tahun frekuensi pernafasan
sebanyak 50 kali per menit atau lebih.
3. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan
sebanyak 40 kali per menit atau lebih.
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2
bulan ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi
pernafasan sebanyak 60 kali per menit. atau lebih, atau adanya
penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.
Rujukan penderita
pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran
bernafas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat
minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya

adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis,


otitis atau penyakit non-pnemonia lainnya (WHO, 2003).
7. Faktor penyebab ISPA
Menurut Raharjoe (2008) membagi penyebab ISPA ke dalam 2
bagian yaitu:
a. Faktor

internal

merupakan

suatu

keadaan

didalam

diri

penderita (balita) yang memudahkan untuk terpapar dengan


bibit penyakit (agent) ISPA yang meliputi jenis kelamin, berat
badan lahir, status ASI ekslusif, dan status imunisasi.
1) .Usia
Hasil analisis faktor risiko membuktikan bahwa faktor usia
merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya kematian.
Semakin tua usia balita yang sedang menderita ISPA, semakin
kecil risiko meninggal dibandingkan dengan usia muda. Dari
hasil penelitian Lubis dkk (1996 dalam Sulistijani, 2006)
didapatkan bahwa anak yang berumur 1-2 tahun lebih peka 5
kali terkena ISPA dibandingkan anak usia 5 tahun. Ini
disebabkan karena anak yang berumur 1-2 tahun tingkat
kekebalan tubuhnya lebih rendah dari pada anak usia 5 tahun.
2) Jenis Kelamin
Berdasarkan

hasil

penelitian

Kartasasmita

(1993

dalam,Agustama, 2005), menunjukkan bahwa tidak terdapat


perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki

dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa


penelitian kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan, terutama anak usia
muda, dibawah 6 tahun.
Menurut Glenzen dan Deeny (1997 dalam Khin 2003) anak
laki18 laki lebih rentan terhadap ISPA yang lebih berat,
dibandingkan dengan anak perempuan. Berdasarkan hasil
penelitian

Dewa,

dkk

di

Kabupaten

Kota

Baru

(2005),

didapatkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada anak lakilaki sebesar 58,97%, sementara untuk anak perempuan
sebesar 41,03%.
3) Status Gizi
Di

banyak

negara

di

dunia,

penyakit

infeksi

masih

merupakan penyebab utama kematian terutama pada anak


dibawah usia 5 tahun. Anak-anak yang meninggal karena
penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi yang
kurang memuaskan. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi
buruk

sangat

memudahkan

dan

mempercepat

berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh.Hasil penelitian


Dewa, dkk (2005) diKabupaten Kota Baru, dengan desain
cross sectional didapatkan bahwa anak yang berstatus gizi
kurang/buruk mempunyai risiko pneumonia 2,5 kali lebih

besar

dibandingkan

dengan

anak

yang

berstatus

gizi

baik/normal.
Hasil penelitian Mustafa di Kota Banda Aceh (2006),
dengan desai cross sectional, berdasarkan hasil analisis
bivariat antara penyakit ISPA dengan status gizi anak balita
menunjukkan bahwa anak balita yang menderita penyakit
ISPA didapatkan 2,19 kali mempunyai status gizi tidak baik
dibandingkan dengan anak
balita yang tidak menderita penyakit ISPA (p = 0.038).
Salah satu penentuan status gizi adalah klasifikasi
menurut

Keputusan

Menteri

Kesehatan

RI

No.

920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk keperluan Pemantauan Status


Gizi

(PSG) anak

balita

dengan mengukur

berat badan

terhadap umur. Status gizi diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:


a) Gizi kurang, jika berat badan menurut umur 61% sampai
80% standart WHO (garis kuning dalam Kartu menuju
sehat).
b) Gizi buruk, jika berat badan menurut umur 60% standart
WHO (garis merah dalam Kartu menuju sehat).
c) Gizi baik, jika BB menurut umur > 80% standart WHO
(garis hijau dalam Kartu menuju sehat).
8. Strategi dan Kebijakan Penangulangan ISPA
Pelaksanaan pemberantasan penyakit ISPA ditujukan
pada kelompok usia balita, yaitu bayi (0-<1 tahun ) dan anak

balita (1- <5 tahun ) dengan fokus penanggulangan pada


penyakit pnemonia (Depkes RI, 2004).
a. Kebijakan
Untuk mencapai tujuan program pemberatasan penyakit ISPA
balita maka dirumuskan kebijakan sebagai berikut: (Depkes
RI, 2004).
1) Melaksanakan

promosi

penanggulangan

pnemonia

balita

sehingga masyarakat, mitra kerja terkait dan pengambil


keputusan

mendukung

pelaksanaan

penanggulangan

pnemonia balita.
2) Melaksanakan penemuan penderita melalui saran kesehatan
dasar (pelayanan kesehatan di desa, Puskesmas Pembantu,
Puskesmas dan Sarana Rawat Jalan Rumah Sakit) dibantu oleh
kegiatan Posyandu dan Kader Posyandu.
3) Melaksanakan tatalaksana standard penderita ISPA dengan
deteksi dini, pengobatan yang tepat dan segera, pencegahan
komplikasi dan rujukan ke sarana kesehatan yang lebih
memadai.
4) Melaksanakan surveilans kesakitan dan kema tian pneumonia
balita serta faktor resikonya termasuk faktor resiko lingkungan
dan kependudukan.
b. Strategi
Rumusan umum strategi pemberantasan penyakit ISPA adalah
sebagai berikut: (Depkes, 2004).

10

1) Promosi penanggulangan pnemonia balita melalui advokasi,


bina suasana dan gerakan masyarakat.
2) Penurunan angka kesakitan dilakukan
pencegahan

atau

penanggulangan

faktor

dengan

upaya

resiko

melalui

kerjasama lintas program dan lintas sektor, seperti melalui


kerjasama dengan program imunisasi, program bina kesehatan
balita, program bina gizi masarakat dan program penyehatan
lingkungan pemukiman.
3) Peningkatan penemuan melalui upaya peningkatan prilaku ma
syarakat dalam pencaharian pengobatan yang tepat.
4) Melaksanakan
tatalaksana
kasus
melalui
pendekatan
Manejemen Terpadu Balita sakit (MTBS) dan audit kasus untuk
peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA.
5) Peningkatan sistem surveilans ISPA melalui kegiatan surveilans
rutin, autopsi verbal dan pengembangan informasi kesehatan
serta audit manejemen program.
9. Pencegahan ISPA
Depkes (2004) upaya penting untuk pencegahan ISPA
pada anak balita di negara berkembang telah diidentifikasi
dalam enam hal. Cara kerja ini telah dianut oleh WHO dan
London School of Hygiene and Tropical Medicine dalam
mengontrol infeksi saluran pernapasan akut sehingga berhasil
mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat ISPA terutama
pneumonia pada anak-anak.
a. Imunisasi

11

Yaitu dengan meningkatkan cakupan imunisasi terhadap


penyakit

infeksi

yang

serius

seperti

campak

dengan

memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan batuk


rejan dengan memberikan imunisasi DPT (Difteri, Pertusis,
Tetanus) sebanyak tiga kali yaitu pada usia 2,3 dan 4 bulan.
b. Pemberinan asi
Beberapa penelitian melaporkan bahwa ASI dapat
melindungi bayi terhadap penyakit pernafasan. ASI yang
pertama atau kolostrum penting dalam pertahanan melawan
infeksi ASI juga mengandung vitamin A dan kaya akan suatu
hurmonal host resistence factors yang dapat melawan infeksi
bakteri dan virus. Para ibu dapat membantu pencegahan ISPA
dengan memberikan ASI kepada bayi selama paling sedikit 6
bulan pertama. ASI membantu melindungi bayi terhadap
infeksi (WHO, 2002)
c. Pemberian vitamin A
Vitamin A dikenal sebagai vitamin anti infeksi. Definisi
vitamin

ini

menyebabkan

keratinasi

membrane

mukosa

sepanjang saluran pernafas, saluran pencernaan, dan saluran


kemih. Dan hal ini akan menurunkan pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Vitamin A juga tampak berpengaruh terhadap
hurmonal dan sel mediator imunitas.
d. Memperbaiki Nutrisi
Untuk mencegah resiko pneumonia pada bayi dan anakanak yang disebabkan karena malnutrisi sebaiknya dilakukan
dengan pemberian ASI pada bayi neonatal sampai dengan

12

umur 2 tahun. Hal ini disebabkan karena ASI terjamin


kebersihannya dan mengandung faktor-faktor antibodi cairan
tubuh, sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap
infeksi bakteri dan virus. Selain pemberian ASI peningkatan
status gizi anak penderita ISPA pneumonia juga perlu perhatian
untuk kesembuhan anak tersebut.
e. Mengurangi polusi lingkungan
seperti polusi udara dalam ruangan, lingkungan berasap rokok
dan polusi di luar ruangan.
f. Menghindari balita dari penderita pilek
ISPA menunjukan penyakit yang disebabkan oleh berbagai
macam mikroorganisme yang dapat ditularkan dari penderita
dengan aerosol yaitu pada saat batuk-batuk maupun hand to
hand transmition sehingga balita harus dihindarkan dari
penderita batuk pilek ataupun penderitaISPA lainya. Orang lain
yang meludah atau bersin dekat anak-anak akan menambah
baya penularan, balita khususnya bayi harus dijauhkan dari
orang batuk atau pilek.
g. Memperbaiki cara-cara perawatan anak
dengan usaha untuk mencari pertolongan

dari

petugas

kesehatan dan memberikan pendidikan pada ibu tentang cara


perawatan anak yang baik.
10. Pengobatan ISPA
Sesuai dengan kebijakan Program Pemberantasan Penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (P2ISPA), antibiotika yang dipakai
untuk pengobatan pneumonia adalah kotrimoksasol dengan

13

pemberian selama 5 hari. Antibiotika yang dapat dipakai sebagai


pengganti kotrimoksasol ialah ampisilin, amoksisilin, dan prokain
penisilin (Depkes, 2004) Kotrimoksasol adalah antibiotika yang
diprioritaskan oleh WHO (2003) dengan pertimbangan sebagai
berikut :
a. Resistensinya belum pernah dilaporkan.
b. Harganya murah dan mudah didapat.
c. Sangat mudah cara pemberiannya yaitu cukup dua kali sehari
selama 5 hari (bila dibandingkan dengan antibiotika lain
pemberiannya harus empat kali sehari).

B. Konsep IMUNISASI
1. Definisi

Imunisasi menurut ikatan dokter anak indonesia (IDAI) adalah suatu cara
untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara aktifterhadap suatu
antigen, sehingga bila kelak terpapar pada antigen serupa, tidak terjadi
penyakit. Imunisasi dilakukan dengan memberikan vaksin yang merupakan
kuman penyakit yang telah dibuat lemah kepada seseorang agar tubuh dapat
membuat antibodi sendiri terhadap kuman penyakit yang sama (WHO, 2002
dan IDAI, 2008). Imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama, Padahal
tidaklah sama, imunisasi adalah suatu proses yang bertujuan untuk membuat
kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit.
2. Tujuan imunisasi

14

Imunisasi dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada


seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok populasi
atau bahkan menghilangkan pernyakit tertentu dari dunia seperti pada
imunisasi cacar/variola (Kliegman, 2007). Balita mudah terserang berbagai
penyakit yang berbahaya karena tubuh anak masih belum sempurna sistem
kekebalan tubuhnya. Untuk itulah diperlukan imunisasi lengkap dan teratur
pada anak agar terhindar dari berbagai macam gangguan penyakit berbahaya
dan fatal (Depkes, 2004)
3. Manfaat imunisasi

Lingkungan disekitar di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur


penyakit (patogen), misalnya bakteri, virus, jamur, protozoa, dan parasit, yang
dapat menyebabkan infeksi pada manusia, infeksi yang terjadi pada orang
normal umumnya singkat dan jarang menimbulkan kerusakan permanen. Hal
ini disebabkan oleh tubuh manusia memiliki suatu sistem yang disebut sistem
imun (kekebalan) yang memberikan respon dan melindungi tubuh terhadap
unsur patogen tersebut (Kliegman, 2007). Bila sistem imun terpapar dengan
zat yang dianggap asing, maka akan terjadi 2 jenis respon imun yang akan
terjadi, yaitu: Respon imun non spesifik dan respon imun spesifik.
Imun non spesifik umumnya merupakan kekebalan bawaan, dalam arti
respon bahwa respon terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh
sebelumnya tidak terpapar pada zat tersebut (Adul dkk, 2001). Imun spesifik
merupakan respon imun yang timbul terhadap zat asing tertentu, dimana tubuh
pernah terpapar sebelumnya. Respon imun jenis ini memiliki memori sehingga
paparan berikutnya akan meingkatkan keefektifan mekanisme pertahanan
tubuh sifat demikian inilah merupakan dasar dilakukan vaksinasi (Adul dkk,
2001).Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap

15

penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi
tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan
penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.
Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit seperti, POLIO
(lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus, pertusis.
Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakitpenyakit tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan yang ada dalam
Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT 3x : 2-11 bulan,
Polio 4x : 0-11 bulan, Campak 1x : 9-11 bulan, Hepatitis B 3x : 0-11 bulan.
Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih dari 1x adalah 4 minggu (Dewi,
2006). Telah diketahui secara teoritis, bahwa imunisasi adalah cara untuk
menimbulkan kekebalan terhadap berbagai penyakit. Imunisasi yang tidak
memadai merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan insiden ISPA
terutama pneumonia, sehingga faktor anak yang diimunisasi sangat
menentukan dalam tingginya angka insidens pneumonia. Anak yang belum
pernah diimunisasi lebih berisiko terhadap terjadinya kematian karena ISPA
pada balita yang menderita ISPA (Dewi, 2006).

C. Konsep GIZI
1. Definisi

Gizi atau nutrisi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan


yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan, untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ organ,
serta menghasilkan energi (Sulistyoningsih, 2011).

16

2. Macam- macam Zat gizi

Macam macam zat gizi yang diperlukan tubuh di klasifikasikan menjadi 5


macam yaitu :
a. Karbohidrat
Karbohidrat dikelompokan menjadi tiga, yaitu monosakarida, disakarida,
polisakarida. Fungsi karbohidrat diantaranya adalah : membantu pengeluaran
feses, sebagai cadangan energi, memberi rasa manis pada makanan, mengatur
metabolisme lemak, serta sebagai bagian dari struktur sel, dalam bentuk
glykoprotein. Sumber karbohidrat diantaranya umbi-umbian, nasi, gandum dll.
b. Protein
Protein merupakan zat gizi kedua yang banyak di dalam tubuh setelah
air. Protein memiliki fungsi yang penting bagi tubuh, yaitu: berperan dalam
pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, merupakan salah satu penghasil
utama energi (selain karbohidrat), merupakan bagian dari enzim dan antibodi,
sebagai alat angkut zat gizi, serta mengukur keseimbangan air. Bahan
makanan sumber protein diantaranya adalah : ikan,susu, telur, kacang, kerang,
unggas, kedelai dll. Defisiensi protein biasanya bersamaan dengan defisiensi
karbohidrat.
c. Lemak
Lemak merupakan zat gizi yang mempunyai fungsi sebagai sumber
asam lemak esensial linoleat dan linoleat, membantu transportasi dan absopsi
vitamin A, D, dan K, sebagai bantalan organ tubuh, serta membantu
memelihara suhu tubuh dan melindungi tubuh dari hawa dingin. Sumber

17

lemak diantaranya adalah: kelapa, sawit, daging, keju dll. Kekurangan lemak
diantaranya dapat menyebabkan timbulnya gejala penyakit akibat kekurangan
vitamin larut lemak.
d. Vitamin
Vitamin dikelompokkan menjadi; vitamin yang larut dalam air, meliputi
vitamin B dan C dan vitamin yang larut dalam lemak/minyak meliputi A, D,
E, dan K. Di Indonesia saat ini anak kelompok balita menunjukkan prevalensi
tinggi untuk defisiensi vitamin A. Vitamin A (Aseroftol) berfungsi : penting
bagi pertumbuhan sel-sel epitel dan penting dalam proses oksidasi dalam
tubuh serta sebagai pengatur kepekaan rangsang sinar pada saraf mata.
e. Mineral

Mineral merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang
sangat sedikit. Contoh mineral adalah zat besi/Fe, zat fosfor (P), zat kapur
(Ca), zat fluor (F), natrium (Na), chlor (Cl), dan kalium (K). Umumnya
mineral terdapat cukup di dalam makanan sehari-hari. Mineral mempunyai
fungsi : sebagai pembentuk berbagai jaringan tubuh, tulang, hormon, dan
enzim, sebagai zat pengatur berbagai proses metabolisme, keseimbangan
cairan tubuh, proses pembekuan darah. Zat besi atau Fe berfungsi sebagai
komponen sitokrom yang penting dalam pernafasan dan sebagai komponen
dalam hemoglobin yang penting dalam mengikat oksigen dalam sel darah
merah ( Proverawati, 2010).

18

Tabel 2.2 Kebutuhan zat gizi berdasarkan Angka Kecukupan gizi (AKG)
Balita/ hari. Sumber ( Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, 2004)
Usia

Berat

Tinggi

Energi Protein( Vitamin Besi/

1-3 tahun

badan
12 kg

badan
90

(Kkal) gr)
1250
23

A
350

(mg)
8

3-6 tahun

18 kg

110

1750

450

39

3. Kebutuhan gizi balita

Kebutuhan gizi seseorang adalah jumlah yang diperkirakan cukup


untuk memelihara kesehatan pada umumnya. Secara garis besar,kebutuhan
Energi ditentukan oleh usia, jenis kelamin, aktifitas, berat badan, dan tinggi
badan. Antara asupan zat gizi dan pengeluarannya harus seimbang sehingga
mendapatkan status gizi yang baik.
a. Kebutuhan Energi

Kebutuhan bayi dan balita relatif besar dibandingkan dengan orang


dewasa, sebab pada usia tersebut pertumbuhannya masih sangat pesat.
Kecukupannya akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia.
b. Kebutuhan zat pembangun

FE

19

Secara fisiologis, Balita sedang dalam masa pertumbuhan sehingga


kebutuhannya relatif lebih besar daripada orang dewasa. Namun, jika
dibandingkan dengan bayi yang usianya kurang dari satu tahun, kebutuhannya
relatif lebih kecil.
c. Kebutuhan zat pengatur

Kebutuhan air balita dalam sehari berfluktuasi seiring dengan


bertambahnya

usia.

Untuk

pertumbuhan

dan

perkembangan

balita

memerlukan enam zat gizi utama yaitu karbohidrat, protein, lemak,


vitamin,mineral dan air. Zat gizi tersebut dapat diperoleh dari makanan yang
balita konsumsi (Sulistyoningsih, 2010).
4. Status gizi Balita

Status gizi balita adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi


makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Sulistyoningsih, 2010). Sedangkan
menurut Suhardjo 2003,

Status gizi adalah keadaan kesehatan individu-

individu atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan


fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan
yang dampak fisiknya diukur secara antropometri. Sedangkan menurut
Sarwono 2004, mengatakan bahwa status gizi optimal adalah keseimbangan
antara asupan zat gizi dengan kebutuhan zat gizi. Dengan demikian asupan zat
gizi mempengaruhi status gizi seseorang (Proverawati, 2010)
5. Metode penilaian Status gizi
a) Penilaian status gizi secara langsung
1) Antropometri

20

Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi berhubungan


dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh
dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Parameter disini adalah ukuran
tunggal dari tubuh manusia seperti umur, berat badan, tinggi atau panjang
badan. Menurut Atikah, 2010 Ada 3 cara penilaian antropometri balita
dengan mengacu pada nilai Rujukan tabeL WHO:
b) Berat badan menurut Umur (BB/U)

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan


gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahanperubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi,
menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang
dikonsumsi. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan
keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka
berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam
keadaan yang abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat
badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan
normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat
badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status
gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U
lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini secara keseluruhan.
(Atikah, 2010)
c) Tinggi badan menurut Umur (TB/U)

21

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan


keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh
seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tingi badan tidak seperti
berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi
dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan
akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Berdasarkan karakteristik
tersebut, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu
(Proverawati, 2010)
d) Berat badan menurut Tinggi badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan.


Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan
pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu.(Proverawati, 2010).
Dari berbagai jenis-jenis indeks tersebut, untuk menginterpretasikannya
dibutuhkan

ambang

batas,

penentuan

ambang

batas

diperlukan

kesepakatan para Ahli Gizi. Ambang batas dapat disajikan kedalam 3 cara
yaitu, Persen terhadap Median, Persentil dan Standar deviasi unit namun
dalam penelitian ini penulis menjelaskan tentang indikator BB/U yang
mengacu pada Tabel Angka Kecukupan Gizi yang di setarakan oleh WHO
dan digunakan di setiap institusi kesehatan seperti puskesmas dan rumah
sakit.

22

Bagan 2.1 Kerangka Teori


Hubungan status gizi dan imunisasi dengan kejadian infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) di wilayah puskesmas Munjul Jaya Purwakarta

Faktor internal

Status Gizi
Imunisasi
Usia
Kejadian ISPA
Jenis Kelamin
Faktor Eksternal
Ekonomi
Lingkungan
Ekonomi

Sumber : ( Raharjoe, 2008)

Anda mungkin juga menyukai