Anda di halaman 1dari 21

13

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Lahan
Lahan merupakan sumber daya alam karunia dari Tuhan yang bersifat
langka karena bersifat tidak bisa diperbaharui maupun ditambah jumlahnya,
terlebih lagi untuk daerah perkotaan yang memilki lahan yang terbatas. Lahan
ialah suatu permukaan tanah yang menjadi pijakan manusia, hewan, tumbuhtumbuhan dan berbagai macam kegiatan lainnya, sedangkan untuk tanah ialah
lebih mengarah kepada jenis-jenis kimia yang terkandung di dalamnya. Lahan
sendiri mempunyai sifat rentan terhadap konflik, sehingga perlu dikelola oleh
pemerintah sebagai pihak yang berwenang diantara stakeholders lainnya yaitu
pihak masyarakat dan pihak swasta.
Menurut Mochtarram (dalam Ina, 2001) bahwa lahan mempunyai
beberapa ciri, yaitu :
1.

Permanen, artinya tidak berubah-ubah (bersifat tetap) dan tidak bisa


diperbaharui.

2.

Supply (ketersediaan) lahan terbatas dan langka.

3.

Menjadi tumpuan harapan dari berbagai kepentingan para stakeholders.


Dalam penggunaan lahan perlu dikelola serta direncanakan fungsi dan

penggunaan lahannya sesuai dengan karakteristik lahan tersebut sehingga mampu


meredam konflik dimasa yang akan datang. Agar lahan tidak beralih fungsi
menjadi hal yang tidak sesuai dengan rencana maka diperlukan penataan
penggunaan tanah, yang sangat dikenal sebagai perencanaan tata guna tanah (land
use planning).
2.2 Proses Perubahan Penggunaan Lahan
Ketidaksesuaian pemanfaatan lahan dengan rencana, merupakan gejala
umum yang terjadi di kota-kota yang pesat pertumbuhannya. Perubahan
pemanfaatan lahan dari peruntukan yang direncanakan umumnya disebabkan oleh
ketidaksesuaian antara pertimbangan yang mendasari arahan rencana dengan
pertimbangan pelaku pasar (Zulkaidi, 1999:108).

14

Disatu sisi, peruntukan lahan harus mempertimbangkan kepentingan


umum serta ketentuan teknis dan lingkungan yang berlaku, sedangkan disisi
lainnya kepentingan pasar dan dunia usaha mempunyai kekuatan yang tidak selalu
dapat ditahan. Kedua faktor yang saling berlawanan ini diserasikan untuk
memperoleh arahan pemanfaatan lahan yang optimal, yaitu yang dapat
mengakomodasi kebutuhan pasar dengan meminimumkan dampak sampingan
yang dapat merugikan kepentingan umum. Optimasi yang memuaskan semua
pelaku yang terlibat tidak selalu dapat dicapai, dan ini juga tidak selalu sama
untuk kasus-kasus dan lokasi pemanfaatan lahan yang dihadapi.
Pengertian pemanfaatan atau dialih fungsi lahan secara umum menyangkut
transformasi dalam pengalokasian sebidang lahan dari satu pemanfaatan ke
pemanfaatan lainnya. Dalam kajian ekonomi lahan, pengertian ini sering
dilokasikan pada proses dialihgunakan.
Khusus dalam dinamika perkembangan pusat kota, proses perubahan yang
terjadi dibagi kedalam 7 tahap (Zulkaidi, 1999):
1. Proses Awal (Inception), yaitu nilai berkembangnya suatu kawasan sebagai
calon pusat kota bersama-sama mulai berkembangnya suatu kota.
2. Ekslusi (Eklusion), yaitu terjadinya penonjolan nilai lahan tertinggi di
pusat kota sehingga kawasan pusat kota menjadi eklusif.
3. Proses Segresi, yaitu terjadinya pemisahan kawasan fungsional baru diluar
kawasan pusat kota.
4. Proses Perluasan (Ekstension), yaitu terjadinya pemisahan kawasan pusat
kota akibat bertambahnya jumlah kegiatan dan meluasnya jangkauan
pelayanan.
5. Proses Peniruan dan Penyesuaian (Replication and Readjustment), yaitu
munculnya fungsi serupa pusat kota, terutama pusat perbelanjaan
dipinggiran kota akibat terjadinya perluasan wilayah terbangun kota yang
ada pada gilirannya menimbulkan penyesuaian di pusat kota lama.
6. Proses Peremajaan (Redevelopment), yaitu dilakukannya peremajaan pusat
kota akibat adanya dinamika perubahan karakter maupun kegiatan di
dalamnya.

15

7. Realisme Kota, yaitu terjadinya hubungan berjenjang disuatu kota, dimana


pusat kota menjadi lokasi terpenting sementara kawasan-kawasan lainnya
mengerutkan diri ke dalam jenjang yang lebih rendah.
2.3 Penyebab Terjadinya Penetrasi
Setiap tahun Kota Bandung mengalami peningkatan jumlah penduduk
maka konsekuensi logis dari pertambahan jumlah penduduk di perkotaan ini
adalah adanya pertambahan kegiatan kota terutama dalam kegiatan sosial
ekonomi, pertambahan arus transportasi dan kepadatan penduduk yang semakin
meningkat. Implikasi berikutnya dari keadaan di atas adalah semakin menurunnya
kondisi

lingkungan

perkotaan,

seperti

meluasnya

lingkungan

kumuh,

meningkatnya kemacetan lalu lintas, ketidakteraturan tapak kawasan, in-efisiensi


penggunaan lahan, serta rendahnya tingkat pelayanan untuk keperluan utilitas
umum (air bersih, sarana jalan, kebersihan, dll) baik dari segi keterjangkauan
maupun kualitas pelayanan.
Perubahan pemanfaatan lahan pada dasarnya merupakan gejala normal
sesuai dengan proses perkembangan dan pengembangan kota (Doxiadis, 1968).
Perubahan pemanfaatan lahan dapat mengacu pada dua hal yang berbeda yaitu
pemanfaatan lahan sebelumnya, atau rencana tata ruang. Perubahan yang mengacu
pada pemanfaatan sebelumnya adalah suatu pemanfaatan baru atas lahan yang
berbeda dengan pemanfaatan lahan sebelumnya, sedangkan perubahan yang
mengacu pada rencana tata ruang adalah pemanfaatan baru atas tanah (lahan) yang
tidak sesuai dengan yang ditentukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.
Jenis perubahan pemanfaatan lahan dapat dibagi menjadi tiga cakupan,
yaitu:
1.

Perubahan fungsi (use), adalah perubahan jenis kegiatan.

2.

Perubahan intensitas, mencakup perubahan KDB, KLB, kepadatan


bangunan, dan lain-lain.

3.

Perubahan teknis bangunan, mencakup antara lain perubahan GSB, tinggi


bangunan, dan perubahan minor lainnya tanpa mengubah fungsi dan
intensitasnya.

16

Fungsi perubahan lahan biasanya paling sering dan paling besar


mengalami proses perubahan fungsi kawasan terutama dari fungsi perumahan ke
fungsi baru, perubahan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut (Bourne 1971):
1. Penetrasi yaitu terjadinya penerobosan fungsi baru ke dalam suatu fungsi yang
homogen.
2. Invasi yaitu terjadinya serbuan fungsi baru yang lebih besar dari tahap
penetrasi tetapi belum melalui fungsi lama.
3. Dominasi yaitu terjadinya perubahan dominan proporsi fungsi dari fungsi
lama ke fungsi baru akibat besarnya perubahan ke fungsi baru.
4. Suksesi yaitu pergantian selama satu kali dari suatu fungsi lama ke fungsi
baru.
Pergantian fungsi lahan dari perumahan menjadi kegiatan perdagangan
banyak terjadi di ruas-ruas jalan utama di kota disebabkan tingginya pergerakan
penduduk, sehingga memiliki potensi sebagai daya tarik konsumen dan dianggap
sebagai kawasan penetrasi kegiatan komersil yang potensial. Perubahan
penggunaan lahan merupakan gejala yang normal sesuai dengan proses
perkembangan dan pengembangan wilayah atau kota, yaitu pertumbuhan dan
transformasi, berikut ini adalah pengertian mengenai pertumbuhan dan
transformasi:

Pertumbuhan yaitu mencakup semua jenis pemukiman baru termasuk di


dalamnya pemukiman yang sama sekali baru dan perluasan pemukiman yang
ada.

Transformasi yaitu perubahan terus menerus bagian-bagian pemukiman


perkotaan dan pedesaan untuk meningkatkan nilai dan tingkat efisiensi bagian
penghuninya. Transformasi adalah proses yang sangat normal karena
merupakan bentuk pengembangan yang lebih umum di bandingkan
perluasannya, perluasan hanya terjadi satu kali, sementara transformasi dapat
terjadi berkali-kali (Doxiadis, 1968).
Pertambahan penduduk kota meningkatkan kegiatan kehidupan sosial

ekonomi kota, yang mengakibatkan kenaikan kebutuhan lahan. Kebutuhan lahan


wilayah perkotaan terutama yang berhubungan dengan perluasan ruang kota untuk
digunakan bagi prasarana kota seperti perumahan, bangunan fasilitas umum,

17

sistem jaringan jalan, air bersih dan sanitasi serta ruang terbuka, sehingga
penggunaan lahan perkotaan dilakukan dengan sangat efisien dan efektif
berdasarkan aspek produktifitas dan ekonomi (Djohara: 1992; 140).
Yates dan Garner (dalam Ina, 2001) membagi 6 (enam) kategori utama
fungsi lahan perkotaan, yaitu :
a.

Digunakan sebagai pemukiman.

b.

Digunakan sebagai kegiatan industri.

c.

Berfungsi sebagai kegiatan komersial.

d.

Digunakan untuk jaringan jalan.

e.

Berfungsi sebagai fasilitas umum.

f.

dan lahan kosong.


Keenam hal inilah yang biasa digunakan diperkotaan dan memiliki

kepentingan dan fungsi yang berbeda. Biasanya penetrasi terjadi karena beberapa
hal diantaranya ialah semakin tingginya kegiatan perdagangan dan jasa di suatu
kawasan tertentu sehingga merangsang pertumbuhan kegiatan perdagangan yang
lebih besar lagi, dan terjadi di sepanjang jalur utama.
2.4 Pengertian Perdagangan
Perdagangan memiliki banyak sekali definisi diantaranya ialah kegiatan
atau transaksi jual beli barang antara konsumen dengan penjual, dengan
menggunakan uang sebagai alat alat pembayaran dalam perdagangan modern
(Sukirno, 1984:32). Perdagangan merupakan suatu kegiatan usaha yang
menempatkan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat pada orang
(konsumen) yang tepat dengan waktu, tempat dan promosi yang tepat
(Assouri,1990:1-4). Kegiatan perdagangan merupakan salah satu kegiatan
perkotaan yang memberikan pengaruh besar terhadap pertumbuhan dan
perkembangan kota. Menurut UU No. 12 Tahun 2000 pasal 1 ayat 12,
menyebutkan bahwa pengertian perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan
menjual, termasuk kegiatan tukar menukar barang tampa mengubah bentuk atau
sifatnya. Sedangkan di dalam Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan
No. 23/MPP/Kep/1/1998 pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa perdagangan adalah

18

kegiatan jual beli barang dan jasa yang dilakukan secara terus menerus dengan
tujuan pengalihan hak atas barang dan jasa dengan disertai imbalan kompensasi.
Jenis-jenis fasilitas perdagangan berdasarkan fungsi dan lokasinya
diantaranya : (Dirjen Cipta Karya Dep. PU, 1983 : 40-42).
1. Warung
Fungsi utama warung adalah menjual kebutuhan sehari-hari (kebutuhan
primer). Lokasinya terletak di tempat pusat lingkungan yang mudah dicapai dan
mempunyai radius maksimal 500 meter dan minimal jumlah penduduk pendukung
sebesar 250 jiwa.
2. Pertokoan
Fungsi utama pertokoan adalah untuk menjual barang-barang keperluan
sehari-hari berupa toko-toko PD. Lokasi pertokoan sebaiknya berada di pusat dan
tidak menyebrang jalan lingkungan. Minimal jumlah penduduk pendukung
sebesar 2.500 jiwa (skala pelayanan tingkat RW).
3. Pusat Perbelanjaan
Fungsi utama pusat perbelanjaan adalah untuk menjual kebutuhan primer,
sekunder, dan tersier. Lokasinya terletak pada jalan utama lingkungan dan
mengelompok dengan pusat lingkungan. Minimal jumlah penduduk pendukung
sebesar 30.000 jiwa (skala pelayanan tingkat lingkungan).
4. Pusat Perbelanjaan dan Niaga
Fungsi utama pusat perbelanjaan adalah untuk menjual kebutuhan primer,
sekunder, dan tersier dilengkapi dengan sarana niaga lainnya seperti kantor, bank,
industri kecil, dan lain sebagainya. Lokasinya mengelompok dengan pusat
kecamatan. Minimum jumlah penduduk pendukung sebesar 120.000 jiwa (skala
pelayanan tingkat kecamatan).
5. Pusat Perbelanjaan dan Niaga
Fungsi utama pusat perbelanjaan adalah untuk menjual kebutuhan primer,
sekunder, dan tersier dilengkapi dengan sarana niaga lainnya seperti kantor, bank,
industri kecil, dan lain sebagainya tetapi skalanya lebih besar. Lokasinya
mengelompok dengan pusat wilayah. Minimum penduduk pendukung sebesar
480.000 jiwa (skala pelayanan tingkat wilayah).

19

Berdasarkan standar kegiatan dan pusat perbelanjaan berikut ini akan


diuraikan beberapa aspek yang terkait.
A. Skala Pelayanan Kegiatan Perdagangan dan Pusat Belanja
Departemen PU dalam buku Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan
kota mengklasifikasikan pusat belanja menjadi tiga, yaitu pusat belanja
lingkungan, dengan minimum jumlah penduduk pendukung sebesar 30.000
penduduk, kota dengan minimum jumlah penduduk pendukung sebesar 120.000
penduduk, dan wilayah dengan minimum jumlah penduduk pendukung sebesar
480.000 penduduk. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel II.1
Standar Kebutuhan Pusat Perbelanjaan Menurut
Departemen Pekerjaan Umum Cipta Karya
Jumlah
Hirarki
Penduduk
Pusat
Pendukung
Perbelanjaan
(Jiwa)
Pusat
perbelanjaan
30.000
lingkungan
Pusat
perbelanjaan
120.000
kota
Pusat
perbelanjaan
480.000
wilayah

Luas Tiap Unit Berdasarkan Kepadatan Penduduk


<100
jiwa/ha

100-250
jiwa/ha

250-500
jiwa/ha

>500
jiwa/ha

27.000

20.250

13.500

10.125

72.000

54.000

36.000

27.000

192.000

144.000

96.000

72.000

Sumber : DPU- Cipta Karya

Seperti halnya pada pusat pelayanan lain, pada pusat belanja juga terdapat
stuktur wilayah perdagangan yang merupakan tingkatan wilayah perdagangan dari
aktifitas eceran dalam menarik konsumen dengan jarak atau wilayah konsumen
yang berbeda. Adapun struktur wilayah perdagangan dapat dibagi atas tiga
kelompok :
1.

Wilayah perdagangan umum, termasuk di dalamnya semua konsumen


yang datang berbelanja di pusat belanja.

2. Wilayah perdagangan gabungan, merupakan gabungan beberapa wilayah


perdagangan dengan struktur tersendiri sesuai dengan jenis barang yang dijual.

20

3. Wilayah perdagangan yang proposional, diukur berdasarkan jarak/waktu


tempuh konsumen dengan pusat belanja, adapun wilayah tersebut adalah
sebagai berikut :
a)

Wilayah perdagangan primer atau utama


Daerah atau areal geografis dimana pusat belanja akan

mendapatkan pangsa pasar terbesar dari penjualan yang cepat.


Waktu tempuh berkendara untuk toko swalayan atau

super market sekitar lima menit sedang untuk pusat belanja yang lebih
besar mempunyai waktu tempuh sekitas 20 30 menit.
Menarik 60 70% dari total pengunjung yang datang ke

pusat belanja tersebut dan memberikan kontribusi sekitar 60 70%


dari total penjualan.
b)

Wilayah perdagangan sekunder

Waktu tempuh berkendara untuk toko swalayan sekitar 5 12


menit sedang untuk pusat belanja yang lebih besar mempunyai jarak
tempuh sekitar 20 45 menit.

Wilayah geografis yang dapat memberikan tambahan konsumen


sebesar 20 30% dari total pengunjung atau penjualan sekitasr 20
30%.

c)

Wilayah perdagangan tersier

Wilayah geografis yang dapat memberikan tambahan konsumen


atau total penjualan sekitar 5 10%

Waktu tempuh berkendara yang lebih lama atau lokasi bangkitan


konsumen lebih jauh.

B. Perdagangan Eceran
Perdagangan eceran adalah semua aktivitas yang dilakukan untuk menjual
barang atau jasa langsung kepada konsumen akhir bagi penggunaan pribadi, dan
bukan untuk bisnis. Pengecer adalah bisnis yang penjualannya terutama berasal
dari perdagangan eceran. Perdagangan eceran dapat dilakukan di perdagangan
eceran toko dan perdagangan eceran bukan toko seperti; lewat pos, telepon,
kontak dari rumah ke rumah, mesin penjual dan berbagai cara elektronik (Kotler,

21

1996: 42-43). Pedagang pengecer (retailer) menurut Keputusan Menteri


Perindustrian dan Perdagangan No.23/MPP/Kep/1/1998 pasal 1 ayat 7,adalah
perorangan atau badan usaha yang kegiatan pokoknya melakukan penjualan
secara langsung kepada konsumen akhir dalam partai kecil.
Di bawah beberapa istilah yang banyak dipakai pada studi ini berdasarkan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.23/MPP/Kep/1/1998:

Pedagang pengecer (retailer) adalah agen pabrik dan agen


penjualan, agen pembelian, agen penjualan pemegang merek, pemasok
(supplier), dealer pengecer, dan pengecer tanpa toko. Pada pasal 3 ayat 2,
pedagang pengecer dibedakan menjadi pedagang pengecer skala kecil dan
pedagang pengecer skala besar.
a.

Pedagang Pengecer Skala Kecil harus memenuhi Ketentuan


sebagai berikut :
1.

Memiliki modal usaha di luar tanah dan bangunan tempat


usaha tidak lebih dari Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah);

2.

Hanya memperkerjakan beberapa orang atau dikerjakan


oleh pemilik sendiri dan keluarganya.

Pedagang Pengecer Skala Besar harus memenuhi


ketentuan sebagai berikut :
1.

Memiliki modal usaha di luar tanah dan bangunan tempat


usaha sekurang-kurangnya Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah);

2.

Menggunakan teknologi pemasaran dan pelayanan modern;

3.

Menguasai gudang secukupnya sesuai dengan komoditi


yang diperdagangkan;

4.

Menerapkan

manajemen

modern

dalam

pengelolaan

usahanya.

Pemasok (supplier) adalah perorangan atau badan usaha yang


bertindak atas namanya sendiri secara teratur memenuhi kebutuhan pihakpihak lain dengan berbagai macam barang dalam parati kecil yang oleh pihakpihak lain tersebut membelinya dengan tujuan untuk dijual kembali atau
digunakan dalam kegiatan usahanya.

22

Toko adalah tempat atau bangunan yang diperuntukkan bagi


perorangan, perusahaan atau koperasi untuk melakukan penjualan secara
langsung kepada konsumen.
Kotler dan Amstrong di dalam bukunya membagi tiga tipe utama dari

pengecer murah, yaitu (Kotler, 1996: 48-49):


1.

Outlet pabrik (Factory Outlet)


Outlet pabrik adalah pengecer murah yang dimiliki dan dioperasikan oleh

pabrik dan biasanya menjual kelebihan produksi pabrik, barang yang sudah tidak
diproduksi lagi, atau barang yang tidak selalu diproduksi. Di Amerika Serikat,
outlet-outlet seperti itu kadang-kadang disatukan menjadi mal outlet pabrik dan
pusat eceran bernilai tinggi, disitu puluhan toko menawarkan harga sampai 50
persen lebih murah dari harga eceran normal dari berbagai produk. Mall outlet
terutama terdiri dari outlet pabrik, pusat eceran bernilai tinggi merupakan
gabungan outlet pabrik dengan outlet toko eceran murah dan toserba yang sedang
cuci gudang.
2.

Pengecer murah independen (Independent Off-Price Retailer)


Pengecer murah independen adalah pengecer murah yang dimiliki atau

dijalankan oleh wiraswasta atau merupakan divisi dari perusahaan pengecer yang
lebih besar. Walaupun banyak pengecer murah dijalankan oleh pengusaha kecil
indipenden, kebanyakan pengecer murah berukuran besar dimiliki oleh rangkaian
pengecer besar.
3.

Klub gudang (Warehouse club atau klub pedagang besar atau keanggotaan
gudang/warehouse membership)
Klub Gudang (atau klub pedagang besar) adalah pengecer murah yang

menjual barang dagangan bermerek, peralatan rumah tangga, pakaian, dan aneka
macam barang lain dalam jenis terbatas dengan potongan harga besar bagi
anggota yang membayar iuran keanggotaan selama tahunan.
Klub pedagang besar, dengan biaya umum rendah serta menawarkan
beberapa tambahan. Sering kali, toko kosong dimusim dingin dan penuh di musim
panas. Pelanggan harus berjuang sendiri membawa mebel, peralatan yang berat,
dan barang besar lainnya ke tempat pembayaran. Klub seperti ini tidak bersedia

23

mengantarkan barang ke rumah dan tidak menerima kartu kredit, tetapi harga
yang dipasang benar-benar rendah.

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Pemanfatan Lahan


Ada dua gaya berlawanan yang mempengaruhi pembentukan dan
perubahan pemanfaatan lahan, yaitu:
1. Gaya sentrifugal, mendorong kegiatan berpindah dari kawasan (pusat
kota) ke wilayah pinggiran.
Ada lima gaya yang bekerja dalam hai ini, yaitu:

Gaya ruang akibat meningkatnya kemacetan,

Gaya tapak, kerugian akibat pusat kota terlalu intensif

Gaya situasional, akibat jarak bangunan dan alinemen fungsional


yang tidak memuaskan

Gaya evolusi sosial, akibat tingginya nilai lahan, pajak, dan


keterbatasan berkembang

Status dan organisasi hunian, akibat bentuk fungsional yang


kadaluarsa, pola mengkristal, dan fasilitas transportasi yang tidak
memuaskan.

2. Gaya sentripetal, bekerja menahan fungsi-fungsi tertentu di suatu kawasan


dan menarik fungsi lainnya kedalamnya. Gaya ini terjadi karena sejumlah
kaulitas daya tarik kawasan, yaitu:

Daya tarik (fisik) tapak, biasanya kualitasnya alami

Kenyamanan fungsional, merupakan hasil dari adanya aksesbilitas


maksimum terhadap wilayah metropolitan dan sekitarnya

Daya tarik fungsional, yaitu konsentrasi satu fungsi di pusat kota


yang bekerja sebagai magnet kuat yang menarik fungsi lainnya,

Gengsi fungsional, yaitu berkembangnya reputasi (misalnya suatu


jalan atau lokasi) akibat adanya fungsi tertentu (restoran, toko, dll).

Selain kedua gaya tersebut, ada faktor lain yang merupakan hak manusia
untuk memilih, yaitu faktor persamaan manusia (human equation). Faktor ini

24

dapat bekerja sebagai gaya sentripetal maupun sentrifugal. Misalnya; Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) di pusat kota yang tinggi dapat membuat seseorang pindah
dari pusat kota (gaya sentrifugal) karena kegiatannya tidak ekonomis, tetapi dapat
menahan dan menarik orang lainnya untuk tinggal (gaya sentripetal) karena
keuntungan yang diperoleh dari kegiatannya masih lebih besar dari pajak yang
harus dibayar (Charles C.Colby dalam Bourne,ed, 1971).
Terdapat tiga faktor yang memberikan pengaruh kuat dalam pergeseran
dan perubahan penggunaan lahan yaitu:
a. Faktor Ekonomi
Dari segi pandang ahli ekonomi, lahan dipandang dalam konteks teori
ekonomi. Pandangan ini menyatakan bahwa penggunaan lahan perkotaan
ditentukan oleh pasar lahan perkotaan. Hal ini berarti lahan dilihat sebagai
komoditi yang dapat diperdagangkan sehingga penggunaan sebidang lahan
ditentukan oleh tingkat permintaan dan penawaran. Sesuai dengan teori
pertimbangan klasik harga lahan menjadi fungsi dari biaya untuk
menjadikan lahan tersebut produktif dan fungsi dari pendapatan yang
dihasilkan melalui pengembangan sebidang lahan.
b. Faktor Sosial
Berpengaruh sebagai perubahan penggunaan lahan sebagai akibat dari
proses ekologi dalam konteks fisik kota dan proses organisasi dalam
konteks struktur sosial masyarakat. Proses-proses yang membawa
konsekuensi dari dominasi, gradasi, segresasi, sentralisasi, invasi, suksesi.
c. Faktor Kepentingan Umum
Berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan karena pengaruh
aspek-aspek berikut:
-

Kendali terhadap tujuan-tujuan masyarakat dan kepentingan


umum.

Pengaruh tindakan untuk mencapai dan meningkatkan kelayakan


hidup dalam suatu kualitas lingkungan fisik tertentu yang lebih baik.

Terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan


lahan, berikut ini diuraikan penjelasan mengenai beberapa aspek terkait.

25

A. Faktor Situasi Tapak


Faktor ini lebih ditunjukan pada berbagai faktor yang menyatakan
karakteristik dari lokasi tersebut, seperti keadan lingkungan masyarakat (faktor
sosial), sarana yang ada disekitar lokasi dan keadaan lingkungan fisik lokasi.
a.

Faktor Sosial
Faktor ini akan menerangkan sejauh mana faktor sosial diperhitungkan oleh
pengusaha dalam memilih suatu lokasi bagi kegiatan uasaha, kegiatan usaha
perdagangan merupakan pasar yaitu terjadinya transaksi antara konsumen dan
prodesen, oleh karenanya (konsumen) dan keadaan perumahan yang ada di
sekitarnya. Disisi lain kegiatan usaha mempunyai kecenderungan untuk
berlokasi di tempat yang kondisi lingkungan sekitarnya cukup baik, sehingga
mempunyai daya tarik tersendiri (Priohutomo, 1988).

b.

Faktor Ekonomi
Faktor ini akan menerangkan sejau mana faktor ekonomi yang terdapat dalam
suatu lokasi akan berpengaruh terhadap pemilihan suatu lokasi kegiatan
usaha. Faktor situasi tapak yang lebih berkaitan dengan faktor ekonomi dapat
ditunjukan oleh adanya sarana-sarana dan fasilitas ekonomi seperti pusat
pertokooan, sekolah, perkantoran dan tempat-tempat rekreasi.

c.

Faktor Fisik
Faktor ini lebih banyak berkaitan dengan daya dukung lahan, yaitu
kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya. Semakin besar kemampuan lahan untuk mendukung
perikehidupan manusia, semakin besar kemungkinan dareh tersebut untuk
dipilih ( Prihutomo, 1988 : 50).

B. Faktor situasi lokasi


Faktor ini lebih banyak berkaitan dengan pengertian konsep ruang yaitu
melihat keterkaitan atau hubungan antar suatu lokasi dengan lokasi lainnya.
Faktor-faktor situasi lokasi dilihat dalam studi ini mencakup faktor aksesibilitas
dan perangkutan.

26

Faktor ini lebih banyak berkaitan dengan konsep tata ruang yang
mampunyai beberapa elemen atau unsur yang dapat dilihat secara terpisah, tetapi
bila dilihat secara bersama dapat digunakan untuk lingkungan yang lebih luas
yaitu tata ruang kegiatan manusia, unsur-unsur tata ruang yang penting antara lain
jarak, lokasi, bentuk dan ukuran atau skala dimana unsur-unsur ini akan
membentuk suatu wilayah (Nasution, 1983:16)
Kemudahan pencapaiaan (aksesibilitas) dari suatu lokasi terhadap lokasi
lainnya dapat dijadikan suatu indikator tentang kemampuan lokasi tersebut untuk
berkembang. Suatu daerah yang memiliki faktor kemudahan pencapaian dan
ketersediaan fasilitas perangkutan yang tinggi akan lebih cepat berkembang bila
dibandingkan dengan daerah lain yang lebih rendah (Sukmawati 1984:74).
Berpengaruhnya tingkat pencapaiaan terhadap kemungkinan perkembangan suatu
daerah akan menyebabkan daya tarik daerah tersebut yang terpengaruh.
Kemudahan pencapaian suatu lokasi akan dipengaruhi oleh keadaan
sisitem perangkutannya. Baik yang menyangkut kapasitas jalan, lebar jalan,
kondisi jalan maupun banyak kendaraan umum yang melalui lokasi tersebut.
Adanya sarana angkutan umum yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah
lain akan meningkatkan pergerakan penduduk, sehingga akan menunjang daerah
tersebut yuntuk berkembang. Kondisi prasarana perangkutan yang baik akan
memudahkan penduduk dalam melakukan pergerakan. Semakin banyak daerah
yang memiliki penjang jalan, kondisi jalan yang baik semakin besar pula
kecenderungan penduduk untuk bertempat tinggal dan melakukan kegiatan pada
daerah tersebut (Sukmawati, 1984 : 75).
Dilain pihak, pentingnya keterhubungan suatu lokasi dengan pusat kota
patut pula dipertimbangkan mengingat fungsi kota sendiri sebagai pusat
pelayanan utama kota. Dalam penelitian ini faktor aksesibilitas dan perangkutan
ditunjukan oleh:
1. Kapasitas jalan
2. Kondisi jalan
3. Lintasan kendaraan umum
4. Jarak terhadap pusat kota

27

Faktor aksesibilitas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap


penetrasi guna lahan, kerena akan mempermudah dalam pencapaian suatu lokasi
sehingga akan lebih cepat berkembang daerahnya.
C. Faktor Aksesibilitas (Ruston, 1979)
Banyak pengertian alternatif mengenai kemudahan (aksesibilitas) telah
dikemukakan dan metode-metode telah ditemukan, untuk menghubungkan
keduanya dibutuhkan pengertian-pengertian yang selalu berbeda. Definisi pola
lokasi yang memberikan kemudahan orang akan pembangunan suatu fasilitas:
1. Jarak total semua orang dari fasilitas terdekat adalah minimum, ini dapat
disebut sebagai kriteria jarak total minimum. Ini juga sama dengan jarak
rata-rata minimum atau kriteria jarak rata-rata.
2. Jarak terjauh orang dari fasilitas terdekat adalah minimum atau disebut
kriteria jarak minimal.
3. Jumlah orang disekitar areal terdekat untuk setiap fasilitas adalah kira-kira
sama atau disebut kriteria penempatan yang sama.
4. Jumlah orang disekitar areal terdekat setiap fasilitas adalah lebih besar dari
jumlah standar atau disebut kriteria ambang batas.
5. Jumlah orang di sekitar areal terdekat setiap fasilitas tidak lebih besar dari
jumlah yang ditetapkan atau disebut kriteria batas kapasitas.
6. Sebuah pola lokasi yang sangat memberikan kemudahan pada saat adanya
pemberian sejumlah fasilitas, jarak total semua orang dari fasilitas terdekat
adalah minimal batasan subjek yang tidak ada penambahan orang lebih
dari jarak yang ditetapkan dari fasilitas terdekat.
7. Temukan jumlah minimum dan tanggapan mereka mengenai lokasi
fasilitas yang telah diatur termasuk jarak jauh setiap orang dari fasilitas
terdekat tidak lebih dari jarakl yang total.
D. Faktor Intensitas Bangunan
Rencana kepadatan bangunan diatur berdasarkan jenis penggunaan lahan
di suatu kawasan yang dituangkan dalam aturan KDB (Koefisien Dasar

28

Bangunan) dan KLB (Koefisien Lantai Bangunan) berdasarkan Perda Kota


Bandung No. 03 Tahun 2004 yang dimaksud dengan:

Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yaitu angka persentase berdasarkan


perbandingan antara seluruh luas lantai dasar bangunan dengan luas
lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan
rencana kota. KDB ini diperlukan untuk membatasi luas lahan yang
tertutup perkerasan, sebagai upaya melestaraikan ekosistem, sehingga
dalam lingkungan yang bersangkutan sisa tanah sebagai ruang terbuka
masih mampu menyerap/mengalirkan air hujan ke dalam tanah.
Komponen yang termasuk hitungan KDB adalah bangunan (yang tertutup
atap) dan tutupan lainnya seperti jalan masuk, rabat, teras dan lain-lain

yang tidak bias menyerap air ke dalam tanah.


Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah angka perbandingan antara
jumlah

seluruh

luas

lantai

seluruh

bangunan

terhadap

luas

perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana kota


(pendekatan urban design). KLB ini ditetapkan sesuai rencana intensitas
penggunaan lahan yang sekaligus dapat membatasi ketinggian bangunan.
Penentuan KDB dan KLB di Wilayah Pengembangan Tegallega
berdasarkan rencana pengaturan KDB dan KLB maksimum di Wilayah
Pengembangan Tegallega diklasifikasikan menurut peruntukan lahan sebagai
berikut:
a. Perumahan
Hampir semua bangunan yang berada di koridor-koridor jalan di wilayah
Pengembangan Tegallega pada saat ini memiliki nilai KDB tinggi (>50%)
seperti Jl. Otista, Jl. Sudirman, Jl. Jamika, Jl. Babakan Ciparai, dan
sebagainya. Sedangkan menurut RTRW Tahun 2013 perumahan yang
berada seperti pada ruas tersebut memiliki KDB maksimal 60% dan
minimal 40% sesuai dengan kepadatan bangunannya. Agar tidak
melampaui batas tersebut pada tahun 2012, ditetapkan di Wilayah
Pengembangan Tegallega KDB perumahan sebesar maksimal 60% sesuai
dengan konsep pengembangan Tegallega.
b. Perdagangan dan Jasa

29

Sektor perdagangan dan jasa merupakan sector yang mempunyai nilai


pertumbuhan yang pesat di Wilayah Pengembangan Tegallega, hal ini
didukung oleh adanya kawasan wisata belanja seperti Cigondewah dan
Cibaduyut. Untuk itu pertumbuhan yang pesat tentu harus pula diimbangi
dengan mengarahkan sesuai dengan besaran ideal KDB perdagangan
(60%) dan jasa (50%).
c. Industri dan Pergudangan
Penggunaan lahan industri dan pergudangan di Wilayah Pengembangan
Tegallega mempunyai KDB sebesar 40 80%. Arahan rasio luasan untuk
industri dan pergudangan lebih memprioritaskan skala kegiatan dari
industri tersebut. Untuk industri diarahkan untuk tidak melampaui 50%,
sedangkan untuk industri kecil diarahkan pada 60 70%. Kebutuhan
ruang terbuka bagi peruntukan ini dapat diarahkan memenuhi 50 6%.
Menurut RDTRK Wilayah Pengembangan Tegallega rencana KDB dan
KLB maksimum untuk Jalan Cigondewah yaitu KDB 50 60% dan KLB 0,9
2,4.
2.6 Persoalan dan Pihak yang Terlibat dalam Perubahan Pemanfaatan
Lahan
Konflik atau ketidaksesuaian kepentingan dua pihak atau lebih terhadap
satu atau lebih masalah, sering terjadi dalam perubahan pemanfaatan lahan. Pihakpihak sering konflik ini berkaitan langsung dengan aktor-aktor yang terlibat di
dalam perubahan pemanfatan lahan,yaitu:
1. Developer/Investor, merupakan pihak yang menuntut perubahan pemanfaatan
lahan yang biasanya lebih memperhitungkan keuntungan yang akan diperoleh
daripada developer/investor tidak mau menanggungnya.
2. Pemerintah kota, adalah pihak yang berhadapan dan langsung dengan dampak
negatif perubahan pemanfaatan lahan serta terhadap penataan dan pelayanan
kota secara keseluruhan.
3. Masyarakat, adalah pihak yang seringkali terkena dampak/eksternalitas
negatif suatu perubahan pemanfaatan lahan, seperti kemacetan lalu lintas,
berkurangnya kenyamanan dan privasi.

30

Zulkaidi dalam tulisannya membagi 4 kasus tipe kemungkinan persoalan


perubahan atau pergeseran pemanfaatan lahan yang dapat terjadi, baik perubahan
pemanfaatan lahan yang direncanakan maupun tidak (Zulkaidi, 1999: 111-112).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel II.2

Tabel II.2
Hubungan Rencana Pemanfaatan Lahan Dan Tuntutan Pelaku Pasar Dalam
Perubahan Pemanfaatan Lahan
Tuntutan Pemanfaatan Lahan Dari Pelaku Pasar
Berubah
Tidak Berubah

Rencana
Peruntukan Lahan

Kasus tipe 1a:

Berubah

Kasus tipe 2a:

Ada perubahan pemanfaatan lahan

Ada perubahan peruntukan

yang sesuai dengan tuntutan

lahan, tetapi tidak sesuai

perubahan pemanfaatan lahan dari

dengan keinginan pelaku

pelaku

yang ingin mempertahankan

Kasus tipe 1b:

pemanfaatan lahan yang ada

Ada perubahan peruntukan lahan


tetapi tidak sesuai dengan tuntutan
perubahan pemanfaatan lahan dari

Tidak Berubah

pelaku
Kasus tipe 3:

Kasus tipe 4:

Ada tuntutan perubahan

Tidak ada tuntutan

pemanfaatan lahan dari pelaku

perubahan pemanfaatan

yang tidak sesuai dengan rencana

lahan maupun rencana

peruntukan lahan

perubahan peruntukan lahan

Sumber: Zulkaidi, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 1999

Kasus tipe 2 dan 3 lebih menarik untuk diamati karena tingkat kesulitan
pengendalian hampir sama. Kasus tipe 1a dan 4 umumnya tidak menimbulkan
konflik dalam pengendaliannya, sedangkan sifat kasus tipe 1b pada dasarnya
mirip dengan kasus 2, yaitu adanya konflik karena peruntukan tidak sesuai dengan
tuntutan pelaku pasar. Selain itu kasus tipe 1b, tipe 2 dan tipe 3 akan lebih banyak

31

menimbulkan pertanyaan karena umumnya sulit untuk mengatasi persoalan yang


mengandung konflik. Kasus tipe 1a dan tipe 4 relatif tidak mengandung konflik.
2.7 Perangkat Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pada dasarnya, bila peruntukan pemanfaatan lahan telah didasari
pertimbangan yang matang mempunyai kekuatan hukum yang pasti (Perda), dan
dianggap masih sesuai dengan kebutuhan masyarakat umum dan perkembangan
kota, maka prosedur pengendaliannya menjadi sangat sederhana. Setiap
permohonan yang tidak sesuai dengan peruntukan harus ditolak, kecuali bila
dalam

Perda

peruntukan

lahan

tersebut

dicantumkan

dispensasi

yang

diperbolehkan. Keringanan/dispensasi yang diperbolehkan, yang dikenal dengan


istilah minor variance, dapat diberikan oleh pejabat yang diberi kewenangan
(biasanya Kepala Dinas Tata Kota), asal aturannya telah ditetapkan dalam Perda
tersebut secara tegas dan diterapkan dengan transparan tanpa diskriminasi.
Dengan kepastian hukum peruntukan lahan yang disertai dengan penegakan
hukum yang tegas, maka pergeseran pemanfaatan lahan yang tidak diinginkan
hampir tidak mungkin terjadi (Zulkaidi, 1999).
Zulkaidi juga menjelaskan dalam tulisannya beberapa contoh perangkat
yang telah mempunyai dasar hukum, antara lain:
1. Mekanisme Perizinan
Mekanisme perizinan merupakan penerapan dari prinsip pencegahan
(preventive). Berbagai izin dan persyaratan yang berkaitan dengan
pem,anfaatan ruang telah diatur, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah,
misalkan izin prinsip, izin lokasi, izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT),
izin usaha (SIUP), izin tempat usaha (SITU), izin mendirikan bangunan
(IMB), izin gangguan (HO), AMDAL, dan lain-lain. Meskipun secara prinsip
bagus, syarat yang diberikan tidak tegas dimanfaatkan untuk mengendalikan,
dan seringkali memang sulit dipenuhi karena berada di luar kendali
pengembang/investor. Akibatnya izin tetap diberikan sementara tida ada
jaminan persoalan yang dikwatirkan tidak akan muncul. Contoh syarat yang
sulit dikendalikan pengembang adalah kemacetan lalulintas di sekitar lahan
usaha dan gangguan terhadap penduduk sekitar.

32

2. Pencabutan Izin
Berdasarkan pasal 26 UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang izin
pemanfaatan ruang (tempat usaha, lokasi, mendirikan bangunan, dll) yang
tidak sesuai dengan rencana ruang yang ditetapkan dapat dinyatakan batal atau
dicabut oleh Kepala Daerah yang bersangkutan. Pembatalan izin ini dapat
dimintakan penggantian yang layak bila dapat di buktikan bahwa izin tersebut
diperoleh dengan itikad baik. Pencabutan izin yang tidak sesuai ini merupakan
penerapan dari prinsip penyembuhan (curative). Tindakan yang lebih moderat
adalah dengan menghentikan pembangunan untuk dievaluasi. Hasil evaluasi
dapat berupa pencabutan izin atau bentuk penertiban lainnya yang lebih
ringan.
3. Insentif dan Disinsentif
Dalam hal perubahan pemanfaatan lahan kota, Departemen Dalam Negeri
telah mengeluarkan Permendagri No. 4/1996 tentang Pedoman Perubahan
Lahan Kota. Pedoman ini mengadopsi konsep pengendalian perubahan
pemanfaatan lahan yang awalnya diterapkan di Jakarta. Dalam peraturan
tersebut, perubahan pemanfaatan lahan dikenai biaya yang besarnya dapat
ditentukan secara terukur. Terlepas dari kelemahan cakupan pengaturannya,
peraturan ini merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan atau
mendorong perubahan pemanfaatan lahan dengan mengenakan biaya
pembangunan sesuai dengan strategi dan tujuan pembangunan daerah. Aturan
ini merupakan disinsentif bila diterapkan untuk menghambat perubahan
pemanfaatan lahan, tetapi dapat menjadi insentif bila diterapkan untuk
mendorong pemanfaatan lahan yang diharapkan. Besarnya biaya yang
dikenakan diatur dalam Peraturan Daerah sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan daerah. Bagi perubahan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan rencana, maka indeks biaya pembangunan dapat diperbesar agar
menjadi faktor penghambat perubahan pemanfaatan lahan, sedangkan bagi
perubahan

pemanfaatan

ruang

pembangunan dapat diturunkan.


4. Perpajakan

yang

didorong

maka

indeks

biaya

33

Disamping pengenaan biaya pembangunan yang hanya dikenakan satu kali,


sesungguhnya pengenaan disinsentif dapat pula dilakukan setiap tahun dalam
bentuk pajak atau retribusi. Saat ini, belum ada peraturan yang mendukung
disentif ini. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebetulnya dapat menjadi dasar
bagi pengenaan disisentif ini, akan tetapi aturan PBB yang berlaku ini belum
mempunyai komponen pengendalian di dalamnya karena dikenakan secara
seragam berdasarkan komponen yang telah ditetapkan. Apabila komponen
pengendalian dimasukan dalam struktur tari PBB ini, maka pemanfaatan lahan
yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan dikenakan PBB yang lebih tinggi
untuk fungsi tersebut yang berada diperuntukan yang sesuai. Misalnya
bangunan perdagangan yang berada di kawasan yang diperuntukan bagi fungsi
perumahan dikenai PBB 3 5 kali lebih besar dari PBB untuk bangunan pada
lahan di kawasan perdagangan. Dengan cara ini, maka perubahan pemanfaatan
lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan akan dipikirkan berkali-kali
sebelum dilakukan.
Pengertian insentif adalah pengaturan yang bertujuan memberikan
rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang,
misalnya; dibidang ekonomi dengan membuat tata cara penyelenggaraan sewa
ruang, dibidang fisik dengan pembangunan serta pengadaan sarana dan prasarana
(jalan, listrik, air minum, dll). Sedangkan pengertian disinsentif adalah pengaturan
yang bertujuan membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak
sejalan dengan tata ruang, misalnya; pengenaan pajak yang tinggi, ketidaksediaan
sarana dan prasarana.

Anda mungkin juga menyukai