Anda di halaman 1dari 15

KONSEP PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN

PUSAT KOTA PONOROGO


Dirthasia Gemilang Putri1
3208 303 003
Bambang Soemardiono2
Rimadewi Suprihardjo3
1

Mahasiswa Program Magister Jurusan Arsitektur, FTSP-ITS Surabaya


dirtasya.gp@gmail.com
2
Staf pengajar Jurusan Arsitektur, FTSP-ITS Surabaya
3
Staf pengajar Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, FTSP-ITS Surabaya
ABSTRAK
Kawasan pusat kota Ponorogo merupakan pusat pemerintahan dan pusat kegiatan
masyarakat kota Ponorogo, akan teteapi seiring dengan perkembangan kota penambahan jumlah
penduduk ruang terbuka hijau di kawasan pusat kota Ponorogo juga semakin berkurang dan tidak
lagi memenuhi fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis, estetika, sosial, budaya dan
ekonomi kota. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan komposisi proporsi dan
distribusi Ruang Terbuka Hijau terutama pada kawasan pusat kota Ponorogo yang sesuai
sehingga dihasilkan sebuah konsep penataan Ruang Terbuka Hijau Kota yang sesuai dengan
fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis kota yang juga sesuai dengan tipologi kota
Ponorogo. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan positivistik dimana teknik analisa yang digunakan adalah analisa
deskriptif, analisa delphi dan triangulasi data untuk menghasilkan suatu konsep ruang terbuka
hijau kawasan pusat kota Ponorogo yang mampu menunjang kualitas ekologi, penunjang estetika
serta keberlangsungan kota.
Kata kunci : Ruang terbuka hijau, Pusat Kota, Proporsi dan distribusi, Ekologis, Estetika, Sosial
budaya dan ekonomi
PENDAHULUAN
Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian penting dari struktur pembentuk kota, dimana
ruang terbuka hijau kota memiliki fungsi utama sebagai penunjang ekologis kota yang juga
diperuntukkan sebagai ruang terbuka penambah dan pendukung nilai kualitas lingkungan dan
budaya suatu kawasan. Keberadaan ruang terbuka hijau kota sangatlah diperlukan dalam
mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan. Ruang terbuka hijau memiliki
dua fungsi utama, yaitu fungsi intrinsik sebagai penunjang ekologis dan fungsi ekstrinsik yaitu
fungsi arsitektural (estetika), fungsi sosial dan ekonomi. Ruang terbuka hijau dengan fungsi
ekologisnya bertujuan untuk menunjang keberlangsungan fisik suatu kota dimana ruang terbuka
hijau tersebut merupakan suatu bentuk ruang terbuka hijau yang berlokasi, berukuran dan
memiliki bentuk yang pasti di dalam suatu wilayah kota. Sedangkan ruang terbuka hijau untuk
fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan ruang terbuka hijau pendukung
dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan
berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan
pendukung arsitektur kota (Dirjen PU, 2005). Proporsi 30% luasan ruang terbuka hijau kota
merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota baik keseimbangan
sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat
meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, ruang terbuka bagi aktivitas
publik serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota (Hakim,2004).
Kawasan pusat Kota Ponorogo merupakan kawasan yang berfungsi sebagai pusat
pemerintahan dan pusat kegiatan masyarakat kota Ponorogo akan tetapi fungsi kawasan tersebut
pada kenyataannya tidak didukung oleh adanya ruang terbuka hijau kota yang mampu berfungsi
1

secara ekologis, estetika maupun sosial budaya dan ekonomi, hal tersebut terjadi dikarenakan
adanya ketidakseimbangan proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota
Ponorogo sehingga diperlukan adanya konsep ruang terbuka hijau yang mampu memenuhi
proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau sehingga mampu memenuhi fungsinys sebagai
penunjang kualitas ekologis, estetika, serta sosial budaya dan ekonomi dari kawasan pusat kota
Ponorogo.
RUANG TERBUKA HIJAU
Lawson (2001) mengungkapkan bahwa sebuah ruang memiliki dua fungsi yang signifikan,
ruang dapat menyatukan sekelompok orang dan juga secara simultan ruang juga dapat
memisahkan sekelompok orang satu sama lainnya. Ruang merupakan hal yang sangat esensial
juga fundamental dan universal dari bentuk komunikasi. Ruang yang mengelilingi kita dan objekobjek yang berada di dalamnya dapat menentukan seberapa jauh kita dapat bergerak, seberapa
hangat atau dingin kita merasa, seberapa banyak yang dapat kita lihat dan dengar, dan dengan
siapa kita dapat berinteraksi. Dimana ruang terbuka didefinisikan sebagai bagian peruntukkan
penggunaan tanah dalam wilayah kota yang disediakan untuk difungsikan sebagai daerah ruang
terbuka yang dapat berupa lahan terbuka hijau, lapangan, pemakaman, tegalan, persawahan dan
bentuk-bentuk lainnya. De Chiara (1982) membagi ruang kota dalam beberapa klasifikasi yaitu
ruang terbuka utilitas yang didasarkan pada fungsi ruang terbuka sebagai lahan yang memiliki
kapasitas produksi dan berproduksi serta sebagai lahan cadangan, ruang terbuka hijau yang
didasarkan pada ruang terbuka yang bersifat alamiah/natural yang dapat digunakan untuk rekreasi
publik serta sebagai penyeimbang bangunan yang bersifat tidak permanen, ruang terbuka koridor
yang merupakan ruang untuk pergerakan yang membentuk suatu sistem sirkulasi, serta ruang
dengan klasifikasi dengan penggunaan yang beragam dimana dalam kategori ini ruang terbuka
yang ada memiliki fungsi ganda, sebagai contoh hutan tadah hujan yang juga berfungsi sebagai
ruang rekreasi.
Secara definitif, ruang terbuka hijau adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang
didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana
lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain
untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, ruang terbuka hijau di
tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota
(Hakim, 2004). Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil
(1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002, Rio
+ 10), telah disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30 persen
dari total luas kota. Penyediaan ruang terbuka hijau pada wilayah perkotaan menurut Pedoman
penyediaan dan pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan terbagi menjadi ruang terbuka hijau
publik dan ruang terbuka hijau privat dimana proporsi ruang terbuka hijau yang sesuai adalah
sebesar 30% dari keseluruhan luas lahan yang komposisinya terbagi atas 20% ruang terbuka hijau
publik dan 10% ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau pada suatu kota harus memenuhi
luasan minimal ruang terbuka hijau sehingga dapat memenuhi fungsi dan memberikan manfaatnya
dalam suatu kawasan kota dimana penyelenggaraan ruang terbuka hijau kota menurut
Purnomohadi (2006) bertujuan untuk menjaga kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem
perkotaan yang meliputi unsur-unsur lingkungan, sosial dan budaya, sehingga diharapkan dengan
adanya Ruang Terbuka Hijau di kawasan perkotaan dapat berfungsi untuk mencapai identitas kota,
upaya pelestarian plasma nutfah, penahan dan penyaring partikel padat dari udara, mengatasi
genangan air, ameliorasi iklim, pelestarian air tanah, penapis cahaya silau, meningkatkan
keindahan, sebagai habitat burung serta mengurangi masalah stress (tekanan mental) pada
masyarakat kawasan perkotaan. Dalam kaitannya dengan lansekap kota, ruang terbuka hijau kota
merupakan suatu bagian penting dari keseluruhan lansekap kota, dimana ruang terbuka hijau
berfungsi sebagai penunjang kualitas ekologis lansekap kota. Jika dalam suatu wilayah perkotaan
proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau Kota sesuai dengan kebutuhan kota terutama kebutuhan
masyarakat, maka kualitas ekologis lansekap kota akan terpenuhi dan kualitas hidup masyarakat
kota akan semakin meningkat. Molnar (1986) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan
ruang terbuka hijau bagi masyarakat perkotaan ada beberapa aspek utama yang harus
2

dipertimbangkan yaitu hubungan antar ruang terbuka hijau dengan lingkungan sekitar, ruang
terbuka hijau harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat yang tetap memperhatikan aspek
estetika dan fungsional, mengembangakan pengalaman substansial dari ruang terbuka hijau (efek
dari garis, bentuk, tekstur dan warna), disesuaikan dengan karakter lahan dan karakter pengguna,
memenuhi semua kebutuhan teknis dan pengawasan yang mudah. Melalui penjabaran referensi
tentang ruang terbuka hijau tersebut untuk dapat mewujudkan ruang terbuka hijau didalam suatu
wilayah perkotaan yang mampu berfungsi secara ekologis, estetis dan memiliki nilai sosial budaya
dan ekonomi maka dibutuhkan adanya proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau yang ideal
terhadap suatu wilayah perkotaan, akan tetapi tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat sebagai
pengguna serta kebutuhan kota tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian tentang ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota ini merupakan penelitian
kualitatif dengan pendekatan positvistik yang memandang suatu permasalahan dalam konteks
lingkungannya (Groat dan Wamg, 2002). Terdapat dua jenis data dalam penelitian ini, yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer meliputi observasi, materi dan wawancara, sedangkan data
sekunder berupa data survei, kumpulan data, peta, tabel dan uraian terkait. Untuk mencapai suatu
bentuk ruang terbuka hijau yang ideal pada kawasan pusat kota Ponorogo digunakan beberapa
teknik analisa, dalam langkah pengidentifikasian proporsi ruang terbuka hijau kawasan pusat kota
Ponorogo digunakan teknik analisa deskriptif dengan aplikasi matematis secara sederhana untuk
mendapatkan besaran proporsi ruang terbuka hijau terhadap luasan kawasan pusat kota, selanjutnya
untuk mengidentifikasikan distribusi ruang terbuka hijau digunkan analisa deskriptif secara
kualitatif. berikutnya adalah teknik analisa delphi yang digunakan sebagai acuan untuk mengetahui
kebutuhan masyarakat terhadap ruang terbuka hjau di kawasan pusat kota Ponorogo, triangulasi
data digunakan untuk menemukan kriteria-kriteria ruang terbuka hijau yang menjadi dasar dalam
penentuan konsep ruang terbuka hijau kawasan pusat kota Ponorogo melalui analisa deskriptif
dengan memperhatikan referensi tentang ruang terbuka hijau.
RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN PUSAT KOTA PONOROGO
Proporsi dan Distribusi Ruang Terbuka Hijau
Kota Ponorogo secara keseluruhan memiliki luas lahan sebesar 5.119.905 Ha yang terbagi
menjadi lima bagian wilayah kota (BWK) yaitu:
a. Bagian wilayah pusat kota (BWK-PK) yang merupakan pusat pelayanan utama kota dengan
luas wilayah sebesar 500,98 Ha
b. Bagian wilayah kota A dengan luas wilayah1.202,55 Ha
c. Bagian wilayah kota B dengan luas wilayah 1.219,69 Ha
d. Bagian wilayah kota C dengan luas wilayah 1.235,05
e. Bagian wilayah kota D dengan luas wilayah 961,64 Ha
(RUTRK Kota Ponorogo tahun 1997/1998-2007/2008).
Dari data tersebut diatas disebutkan bahwa kawasan yang menjadi objek penelitian yaitu
kawasan pusat kota memiliki luas lahan sebesar 500,98 Ha sehingga kebutuhan Ruang Terbuka
Hijau kawasan pusat kota Ponorogo jika disesuaikan dengan pendapat Budiharjo (2003) yang
menyatakan bahwa 30% hingga 50% dari keseluruhan luas kawasan kota diperuntukkan bagi
ruang terbuka kota adalah sebesar 150 Ha dari luas kawasan pusat kota secara keseluruhan.
Kawasan Pusat Kota Ponorogo terbagi atas 6 kelurahan yaitu kelurahan Banyudono, kelurahan
Mangkujayan, kelurahan Taman Arum, kelurahan Pakundean, kelurahan Bangunsari dan
kelurahan Surodikaran kawasan pusat kota ini merupakan kawasan yang strategis dan cenderung
berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi sehingga banyak kawasan yang mengalami
perubahan fungsi yaitu menjadi kawasan campuran/Mix-use area (perumahan, perdagangan dan
perkantoran) dan mengakibatkan kurangnya luasan Ruang Terbuka Hijau Kota pada kawasan
pusat kota Ponorogo.
Ruang Terbuka Hijau pada kawasan pusat kota Ponorogo (gambar 1) terbagi menjadi 5 bentuk
ruang terbuka hijau kota yaitu:
3

a)
b)
c)
d)
e)

Alun-alun kota Ponorogo dengan luas 1,6 Ha


Taman kota Kabupaten dengan luas 850 m
Taman makam Pahlawan dengan luas 4.772 m
Taman kota Jl. SoekarnoHatta dengan luas 525 m
Jalur hijau dan pulau jalan sepanjang jalan protokol dengan luas 2,05 Ha
a

Gambar 1. Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota


Ponorogo
Sumber. Dokumentasi Pribadi,2010

Dimana apabila dijumlahkan keseluruhan luas ruang terbuka pada kawasan pusat kota akan
didapat luas total ruang terbuka hijau sebesar 42.647 m atau sebesar 4,25 Ha. Dari keseluruhan
kawasan pusat kota dengan luas 500.98 Ha jika dihitung dengan membandingkan luas keseluruhan
kawasan pusat kota dengan luas keseluruhan ruang terbuka hijau maka akan didapatkan proporsi
eksisting dari ruang terbuka hijau, penghitungan tersebut dapat dilakukan sebagai berikut :
L. kawasan pusat kota : 500,98 Ha
L. Ruang terbuka hijau : 4.25 Ha
sehingga untuk menemukan proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota
Ponorogo dilakukan penghitungan sebagai berikut :
L. RTH
4,25 Ha
X 100%
X 100%
0,8 %
L.Kawasan
500,98 Ha
Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa dari keseluruhan luas kawasan pusat kota Ponorogo,
Ruang terbuka hijau kota hanya menempati komposisi penggunaan ruang sebesar 0,8 % dimana
proporsi penggunaan lahan sebagai ruang terbuka hijau seharusnya sebesar 30% dari keseluruhan
kawasan, dimana terbagi atas 20% ruang terbuka hijau pada areal perkotaaan dan 10% ruang
terbuka hijau pekarangan. Sehingga untuk mencapai proporsi Ruang terbuka hijau yang ideal
dibutuhkan komposisi penggunaan lahan sekitar 20% dari keseluruhan luas kawasan pusat kota
yaitu sebesar 100.18 Ha.
Ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota Ponorogo terdiri dari beberapa karakteristik
yaitu:
a. Ruang terbuka hijau publik dengan bentuk alun-alun kota dan taman kota yang terletak di area
pusat pelayanan pada kawasan pusat kota dengan luas keseluruhan sebesar 1,7 Ha.

b. Ruang terbuka hijau sebagai pelengkap infrastruktur kota yang berupa jalur hijau dan pulau
jalan di sepanjang jalan utama pada kawasan pusat kota dengan luas keseluruhan sebesar 2, 05
Ha.
c. Ruang terbuka hijau pemakaman yang berupa Taman Makam Pahlawan dengan luas 4.772 m2
Kawasan pusat kota Ponorogo sendiri terbagi atas 6 kelurahan yaitu kelurahan Banyundono,
kelurahan Mangkujayan, Kelurahan Taman Arum, Kelurahan Pakundean, Kelurahan Bangunsari
dan Kelurahan Surodikaran. Dari 6 kelurahan tersebut kelurahan Taman Arum merupakan
kawasan yang memiliki ruang terbuka hijau publik dengan luasan yang cukup besar yaitu sebesar
1, 68 Ha yang terdiri dari alun-alun kota dan taman kota Pemkab Ponorogo (Rencana Umum Tata
Ruang Kota Ponorogo dengan kedalaman Rencana Detail Tata Ruang Kota, 2008 ).
Ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota Ponorogo (gambar 2) jika ditinjau dari distribusi
dan penyebaran lokasinya masih terpusat pada area yang merupakan pusat pelayanan kawasan
pusat kota, yaitu pada kawasan di sekitar pusat pemerintahan kota dan di sepanjang jalan utama
kawasan tersebut

Keterangan gambar :
Batas wilayah kawasan pusat kota

Batas Kelurahan

Ruang Terbuka Hijau

Jalur hijau median jalan dan pulau jalan

Gambar 2. Distribusi Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat


Kota Ponorogo
Sumber. Hasil Analisa,2010

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau


Sebelum melakukan analisa dengan mengunakan tekhnik delphi terlebih dahulu dilakukan
analisa stakeholder untuk menetapkan responden yang akan ditanyakan pendapatnya sehingga
hasil dari analisa delphi akan menjadi lebih valid, dari hasil analisa stakeholder kemudian
diperoleh para stakeholder yang akan menjadi responden dalam penelitian ini yang terbagi atas
Stakeholder primer yaitu masyarakat sebagai pengguna dan penerima manfaat kawasan ruang
terbuka hijau kota secara langsung, jumlah masyarakat sebagai narasumber dari penelitian ini akan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota yaitu
masyarakat yang beraktivitas pada alun-alun kota, masyarakat yang beraktivitas pada area Taman
kota, masyarakat yang tinggal di sekitar Taman Makam Pahlawan dan masyarakat sebagai
pengguna jalan yang merasakan manfaat dari jalur hijau dan rotunde. Stakeholder primer ini akan
terbagi menjadi 3 kelompok besar dimana pada tiap-tiap ruang terbuka hijau akan diambil sampel
dari 30 orang dengan pembagian waktu pengambilan sampel yang berbeda pula yaitu pada pagi
5

hari 10 orang, siang hari 10 orang dan sore hari 10 orang. Dengan detail pembagian sampel terebut
maka total keseluruhan sampel yang diambil adalah sebesar 150 orang, Stakeholder sekunder
dalam penelitian tentang konsep penataan ruang terbuka hijau kota terutama pada kawasan pusat
kota Ponorogo diutamakan pada para ahli tentang Ruang Terbuka Hijau dan ahli tentang Lansekap
perkotaan, oleh karena itu maka narasumber yang menduduki peran sebagai stakeholder sekunder
adalah seorang ahli tata ruang khususnya penataan ruang terbuka hijau dari Direktorat Jenderal
Penataan Ruang Kementrian Pekerjaan Umum dan seorang ahli lansekap perkotaan dari Fakultas
Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti.
Stakeholder kunci pada penelitian ini adalah instansi yang memiliki peran sebagai
narasumber adalah instansi dari pemerintah kabupaten Ponorogo yaitu Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Ponorogo, Bappeda Kabupaten Ponorogo serta Dinas Pertamanan dan Kebersihan
kabupaten Ponorogo.
Setelah melakukan pembagian kuesioner kepada masing-masing responden kemudian
didapatkan hasil eksplorasi pendapat dimana dalam penelitian ini terbagi atas tiga tahap eksplorasi
yaitu :
a. Eksplorasi fungsi ekologis yang menghasilkan,
- Masyarakat sebagai penguna merasakan manfaat akan keberadaan ruang terbuka hijau
sebagai pencipta iklim mikro.
- Jenis dan keragaman vegetasi, penentuan lokasi ruang terbuka hijau dan penggunaan
material yang alami sangat berpengaruh sebagai faktor penentu terciptanya iklim mikro pada
ruang terbuka hijau.
- Belum terserapnya polusi dan debu secara maksimal khususnya pada kawasan pusat kota
dikarenakan kurangnya jumlah ruang terbuka hijau dan belum maksimalnya pengunaan
vegetasi pada masing-masing ruang terbuka hijau yang mampu menyerap debu dan
mereduksi polusi
- Belum maksimalnya penggunaan vegetasi dengan variasi jenis yang sesuai dengan
fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis pada kawasan pusat kota.
b. Eksplorasi fungsi estetika dimana didapatkan bahwa sebagian besar responden (97%)
menyatakan bahwa ruang terbuka hijau kawasan pusat kota Ponorogo masih kurang tertata
dengan baik selain itu penggunaan variasi vegetasi dengan berbagai macam warna juga harus
diperlukan untuk menciptakan kesan estetis pada ruang terbuka hijau.

Pada area alun-alun kota masih terlihat kurangnya variasi jenis warna yang mampu menjadi
penarik pandangan dan menciptakan nilai estetika pada area tersebut.

Pada jalur hijau terutama pada kawasan pusat kota belum terlihat adanya variasi penggunaan vegetasi berwarna
sehingga terkesan monoton, akan tetapi pada area tersebut di sebagian ruas jalan sudah terlihat adanya perbedaan
tekstur yang juga dapat menciptakan nilai estetis dari area tersebut.

c. eksplorasi fungsi sosial budaya dan ekonomi, yang dihasilkan beberapa pendapat yaitu,
Masyarakat khususnya pada kawasan pusat kota Ponorogo menyatakan bahwa ruang
terbuka hijau merupakan area yang diperuntukkan sebagai tempat beraktivitas baik secara
sosial maupun budaya.
Kurang aksesibelnya beberapa ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota Ponorogo

Kedua taman ini kurang aksesibel bagi


penggunanya sehingga keberadaannya kurang
diperhatikan masyarakat.

Adanya usulan untuk memperbaiki dan menambah fasilitas dan utilitas pada ruang terbuka
hijau pada kawasan pusat kota untuk mendukung fungsi sosial, budaya dan ekonomi dari
ruang terbuka hijau.
Kebutuhan masyarakat akan keberadaan ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota
Ponorogo jika disimpulkan dari analisa yang telah dilakukan jika terkait dengan fungsi
ekologisnya maka keberadaan ruang terbuka hijau akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat
melalui terciptanya iklim mikro dan berkurangnya polusi dan debu dimana kedua faktor tersebut
dapat terwujud dengan adanya variasi jenis dan keragaman vegetasi, dari hasil eksplorasi pendapat
dari para responden didapatkan beberapa usulan yang terkait dengan jenis dan keragaman
vegetasi yaitu pemilihan vegetasi dengan penggunaan tanaman yang terdiri dari berbagai jenis
variasi vegetasi dengan mayoritas tanaman peneduh, aman dan tidak mudah rapuh/patah, tanaman
dengan variasi jenis warna dan tinggi, serta tanaman lokal kota Ponorogo yang mampu
mengundang satwa (satwa dengan jenis burung terutama) mengeluarkan aroma tertentu dan
mudah adaptasi dan perawatannya. Jika dikaitkan dengan fungsi estetika dari ruang terbuka hijau
para responden memberikan pendapatnya terkait dengan nilai estetika dari vegetasi dimana pada
ruang terbuka hijau dibutuhkan adanya penggunaan vegetasi dengan tekstur daun dan bentuk tajuk
yang bervariasi serta pemilihan jenis vegetasi dengan warna daun dan bunga yang menarik untuk
menghilangkan kesan monoton yang ada pada keseluruhan ruang terbuka hijau pada kawasan
pusat kota Ponorogo yang ada saat ini. Pada fungsi ekonomi-sosial-budaya dari keberadaan ruang
terbuka hijau dapat disimpulkan bahwa mayoritas masyarakat berpendapat bahwa dibutuhkan
adanya penambahan jumlah dan luasan ruamg terbuka hijau pada kawasan pusat kota untuk
memaksimalkan fungsi ekologis ruang terbuka hijau dan untuk mendukung aktivitas ruang luar
masyarakat khususnya masyarakat pada kawasan pusat kota Ponorogo.
-

Konsep Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Pusat Kota Ponorogo


Pengembangan konsep penataan ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota Ponorogo dapat
dicapai melalui adanya analisa dengan teknik triangulasi data ruang berfungsi untuk mencari
validitas data, dimana dalam pelaksanaannya analisa dengan teknik triangulasi data ini
mengelaborasikan hasil pengamatan dan hasil analisa yang telah dilakukan sebagai Fakta empiris,
hasil kajian teoritis melalui Referensi dan Regulasi serta Pendapat Pakar untuk menghasilkan
suatu konsep ruang terbuka hijau yang ideal pada kawasan pusat kota Ponorogo.
Pengembangan konsep Ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota akan dibagi menjadi
beberapa faktor sesuai dengan tahapan analisa yang telah dilaksanakan (gambar 3), yaitu faktor

proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota dan faktor kebutuhan
masyarakat akan ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota Ponorogo.

Pada kawasan pusat kota Ponorogo konsep proporsi ruang terbuka hijau kota merupakan hasil
elaborasi antara UU no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, hasil KTT BUMI tahun 2007 serta
hasil pendapat pakar dimana disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau kota yang ideal
adalah sebesar 30% dari keseluruhan luas yang disesusaikan dengan kebutuhan masyarakat
kawasan pusat kota sebagai penerima manfaat langsung akan keberadaan dari ruang terbuka hijau
kota. Ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota Ponorogo disesuaikan dengan kebutuhan
kotanya terbagi atas ruang terbuka hijau sebesar publik yaitu alun-alun kota, taman kota, Taman
Pemakaman Umum, Taman Pemakaman Pahlawan, taman lingkungan, jalur hijau sempadan jalan
dan jalur hijau sempadan sungai dimana ruang terbuka hijau publik menempati proporsi sebesar
20% dan ruang terbuka hijau privat sebesar 10% dari keseluruhan luas wilayah. Pemenuhan
proporsi ruang terbuka hijau khususnya pada kawasan pusat kota Ponorogo dibutuhkan adanya
penambahan luasan ruang terbuka hijau kota yang dimaksimalkan penambahannya khsususnya
pada wilayah pusat kota Ponorogo yang terbagi atas Taman Kota di area yang berfungsi sebagai
pusat kegiatan masyarakat, jalur hijau dan pulau jalan di sepanjang jalan protokol pada pusat kota
Ponorogo, Taman Lingkungan pada area pemukiman serta pada area sempadan sungai. Distribusi
ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota Ponorogo menurut pendapat Purnomohadi dan Joga
(2007) yang menyatakan bahwa keberadaan ruang terbuka hijau kota dalam hal pendistribusiannya
dalam keseluruhan wilayah kota lebih baik menyebar secara merata dimana ruang terbuka hijau
tersebut saling terhubung dengan adanya jalur-jalur hijau sebagai penghubungnya. Dalam kawasan
pusat kota Ponorogo alun-alun kota merupakan ruang terbuka hijau sebagai citra kota dimana
alun-alun kota ini berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat kota Ponorogo, alun-alun kota ini
nantinya saling terhubung dengan taman kota dan taman lingkungan yang melayani kebutuhan
masyarakat akan ruang terbuka hijau kota melalui keberadaan jalur hijau dan pulau jalan
khsusunya disepanjang jalan protokol yang menjadi urat nadi pada kawasan pusat kota Ponorogo.
Daerah sempadan sungai khususnya yang berada pada kawasan pusat kota Ponorogo dihijaukan
selain untuk pemenuhan proporsi ideal bagi ruang terbuka hijau, ruang terbuka hijau sempadan
sungai juga berfungsi sebagai penghubung antar ruang terbuka hijau lainnya, pelindung dan
pencegah terjadinya erosi serta sebagai area preservasi pada kawasan pusat kota Ponorogo.
Dengan adanya pembagian bentuk dan pendistribusian ruang terbuka hijau pada kawasan
pusat kota Ponorogo maka nantinya proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau tersebut akan
memaksimalkan fungsi dan manfaat akan keberadaan ruang terbuka hijau kota khususnya pada
kawasan pusat kota Ponorogo.
Pada kawasan pusat kota Ponorogo terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab kuramgmya
ruang terbuka hijau yaitu meningkatnya jumlah pebduduk dan meningkatnya intesitas kepadatan
8

penduduk serta perubahan fungsi lahan pada kawasan pusat kota, sehingga untuk mengatasi
permasalahan tersebut dibutuhkan adanya konsep penataan ruang terbuka hijau pada kawasan
pusat kota Ponorogo.
Pemenuhan proporsi ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota dapat
dimaksimalkan dengan penambahan ruang terbuka hijau pada area pemukiman dan
pada area sempadan sungai serta memaksimalkan penghiijauan pada jalur hijau.
Ruang terbuka hijau
privat sebesar 10 %
Ruang terbuka
hijau publik
sebesar 20 %

Daerah Aliran Sungai


Sabuk Hijau

Distribusi Ruang
Terbuka Hijau
Pada kawasan
Pusat Kota
Ponorogo

Alun-alun Kota
Taman Lingkungan
Jalur Hijau
Taman Kota

Pada kawasan pusat kota Ponorogo konsep ruang terbuka hijau pada kawasan pemukiman
adalah melalui memaksimalkan penghijauan pada area pekarangan rumah minimal sebesar 20%
dari keseluruhan luas lahan dengan penggunaan tanaman-tanaman lokal yang mampu meredam
polusi dan sekaligus menciptakan keteduhan seperti pohon Tanjung (Mimusops elengi) dan Kere
Payung (Filicium decipiens) yang mampu meredam polusi kadar NO sebesar 61,47% (Balitbang
Kemen.PU, 1997) serta jenis pohon yang dapat menghasilkan buah serta dapat meredam polusi
dan menciptakan keteduhan seperti pohon Belimbing (Averrhoa bilimbi) dan pohon Mangga
(Mangivera indica) selain tanamn berjenis pohon tersebut beberapa jenis tanaman perdu hias yang
dapat digunakan sebagai pagar hidup pembatas antara halaman rumah dan jalan antara lain Puring
(Codiaeum variegatum), soka (Ixora javanica) dan Nusa indah (Mussaenda sp.) yang memiliki
kemampuan untuk menurunkan kadar NO. Tanaman dengan jenis semusim dan penutup tanah
juga dapat digunakan sebagai filter udara diantara lain jenisnya adalah Maranta (Maranta
leuconeura), Sri Rejeki (Diffenbachia sp.) dan Rumput Embub (Zoysia matrella) yang juga dapat
menurunkan kadar NO di udara sebesar 55, 5% sampai dengan 62, 08% (Balitbang Kemen. PU,
1997).
Pada kawasan pemukiman fungsi hijau juga dapat dimaksimalkan melalui pemanfaatan lahanlahan kosong pada area pemukiman sebagai ruang terbuka hijau bagi publik dalam bentuk Taman
lingkungan serta penggunaan ruang-ruang yang terbentuk antar bangunan sebagai area hijau untuk
meningkatkan kualitas kondisi fisik kawasan dan kualitasn ekologis kawasan. kriteria penggunaan
tanaman pada taman lingkungan area hijau antar bangunan lebih difokuskan pada penggunaan
tanaman lokal khas kota Ponorogo yang memiliki fungsi sebagai peneduh dan peredam polusi dan
juga memiliki nilai estetis sebagai penarik pandangan diantaranya adalah pohon Ki hujan
(Samanea saman), pohon Mahoni (Mahonia swietegani) dan pohon Asam (Tamarindus indica)
tanaman berjenis perdu yang memiliki nilai estetis karena bentuk daunnya yang eksotis dan warna
daun yang mampu menarik pandangan seperti Puring (Codiaeum variegatum) dan Nusa indah
(Mussaenda sp). Pada kawasan komersial dan jasa perkantoran ruang terbuka hijau dapat
dimaksimalkan pada pengkombinasian fungsi antara fungsi lahan sebagai ruang terbuka hojau
dengan fungsi lahan sebagai pusat jasa perkantoran dimana terdapat ruang terbuka hijau diantara
bangunan, selaian itu penggunaan tembok hijau/vertical green wall (gambar 4) sebagai metode
penghijauan juga dapat digunakan untuk meredam polusi pada kawasan dengan bangunan padat.
9

Pada kawasan pusat kota Ponorogo konsep penataan ruang terbuka hijau kota yang disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat yang terkait dengan fungsi ekologis, fungsi estetika dan fungsi
sosial budaya ekonomi dari ruang terbuka hijau kota adalah melalui pemenuhan proporsi dan
distribusi ideal ruang terbuka hijau kota yang terbagi atas alun-alun kota sebagai pusat kegiatan
masyarakat, taman kota yang berfungsi sebagai wadah bagi aktivitas masyarakat kota, adanya
taman-taman lingkungan dalam lingkungan perumahan yang mampu melayani masyarakat pada
kawasan tersebut, memaksimalkan penghijauan pada daerah sempadan sungai untuk
meningkatkan nilai ekologis dan nilai estetika kawasan serta memaksimalkan fungsi ruang terbuka
hijau pada jalur hijau dan pulau jalan melalui pentaan lansekap area sehingga mampu berfungsi
secara ekologis dan meningkatkan citra kota melalui nilai estetika area tersebut.

Gambar 4. Tembok Hijau Pada Kawasan Kantor Pemerintah Kota


Ponorogo
Sumber. Hasil analisa,2010

Pada ruang terbuka hijau kota khususnya pada kawasan pusat kota Ponorogo yang cukup
padat komponen-komponen vegetasi utama yang mampu berfungsi secara ekologis dan mampu
menciptakan kesan estetis terbagi atas Pepohonan dengan kriteria bentuk tajuk kanopi yang
menciptakan keseimbangan antara besaran batang dan tajuk dengan jenis vegetasi lokal khas kota
Ponorogo diantaranya adalah Beringin (Ficus benjamina), Pohon Asem (Tamarindus indica) dan
pohon Trembesi (Samanea saman) dimana ketiga vegetasi tersebut berfungsi sebagai peneduh,
vegetasi khas kota Ponorogo yang spesifik, memiliki nilai visual yang cukup menarik melalui
bentuk tajuk yang khas dan dapat meredam polusi NO,CO dan Pb dari udara melalui kemampuan
tekstur daunnya untuk menyerap racun. Kemudian komponen yang kedua adalah adanya
hamparan rerumputan yang mampu berfungsi ganda selain sebagai pencipta kesan estetis juga
sebagai peredam polusi baik polusi udara (rumput embun/ Zoysia matrella memliki kemampuan
untuk meredam polusi NO dan Pb) maupun polusi suara / kebisingan yang sering terjadi pada
kawasan pusat kota yang padat. Komponen vegetasi yang ketiga adalah penggunaan jenis perdu
berbunga yaitu pepohonan yang pendek dengan keanekaragaman warna bunga dimana
penggunaan vegetasi dengan jenis ini pada kawasan pusat kota Ponorogo digunakan vegetasi khas
kota Ponorogo yaitu Puring (Codiaeum variegatum) dan Nusa Indah (Mussaenda sp.) dimana
vegetasi ini memiliki kekampuan untuk menyerap polusi udara dengan jenis NO dan juga
memiliki keunggulan bentuk tekstur daun dan warna yang eksotis sehingga dapat menciptakan
kesan estetis. Pada ruang terbuka hijau di kawasan pusat kota Ponorogo juga dibutuhkan adanya
penambahan sarana dan prasarana pendukung yang memadai dan mampu menampung kegiatan
yang menjadi ciri khas kota Ponorogo yaitu kegiatan seni tradisional Reog, sarana dan prasarana
10

pendukung ruang terbuka hijau yang mampu memenuhi kebutuhan dan mewadahi aktivitas
masyarakat terdiri dari :
Jalur pejalan kaki dengan lebar minimal 1,5 meter dengan jenis perkerasan dengan material
perkerasan yang mampu menyerap air dan dilengkapi dengan pohon peneduh dimana pada
perkerasan ini digunakan warna-warna khas kota Ponorogo yang diambil dari kesenian
tradisional Reog yaitu warna merah, kuning dan hijau.
Area duduk yang disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah pengunjung khususnya pada
alun-alun kota, taman kota dan taman lingkungan.
Area seni sebagai area yang dikhususkan sebagai area pertunjukkan seni tradisional Reog serta
sebagai area pendidikan seni.
Area permainan anak
Area terbatas untuk berjualan
Fasilitas Olah raga khususnya pada taman kota dan taman lingkungan
Fasilitas informasi (Papan petunjuk dan papan informasi nagi wisatawan yang menceritakan
sejarah kota dan sejarah Reog yang merupakan kesenian tradisional kota Ponorogo)
Fasilitas penerangan dan kebersihan yang memadai
1.

Area Berjualan

Konsep RTH Alun-alun kota

Penggunaan vegetasi lokal yang mampu


meredam polusi

Beringin, Mahoni dan Pohon Asem


-

Pada Alun-Alun kota konsep penataan dengan dominasi penggunaan hamparan rumput yang telah
ada tetap dipertahankan sebagai ciri khas alun -alun kota
Penggunaan vegetasi pada alun-alun kota diutamakan vegetasi yang mampu menyerap polusi dan
debu dengan tajuk pohon yang rapat untuk menciptakan area teduh serta vegetasi dengan perpaduan
warna dan tekstur untuk meningkatkan nilai estetika RTH
Penambahan sarana dan prasarana yang diseusikan dengan kebutuhan dan aktivitas masyarakat
(area duduk, area seni, area berjualan, fasilitas penerangan, fasilitas informasi dan fasilitas
kebersihan yang memadai)
Penggunaan perkerasan dengan material perpaduan antara bahan buatan dan alami untuk
memudahkan penyerapan air
Penggunaan vegetasi lokal sebagai penanda identitas kawasan
2.

Konsep RTH Taman Kota

Pada Taman kota konsep penataan disesuaikan dengan fungsinya sebagai penunjang aktivitas
masyarakat, yaitu kombinasi antara adanya ruang terbuka dan area teduh
Penambahan sarana dan prasarana yang diseusikan dengan kebutuhan dan aktivitas masyarakat
(area duduk,area permainan anak,area seni, fasilitas olah raga, fasilitas penerangan, fasilitas
informasi dan fasilitas kebersihan yang memadai)
Penggunaan perkerasan dengan material perpaduan antara bahan buatan dan alami untuk
memudahkan penyerapan air (Grass block)
Penggunaan vegetasi lokal yang mampu menyerap polusi dan debu dengan tajuk pohon yang rapat
untuk menciptakan area teduh (Beringin, Mahoni, Johar dan pohon Asem)
11

Penggunaan ornament Reog sebagai penanda identitas kawasan

Area Olahraga sebagai fasilitas kesehatan bagi


masyarakat kawasan pusat kota Ponorogo
Area seni berupa panggung pertunjukkan
sendra tari dan Reog
Penggunaan vegetasi lokal yang mampu
menyerap polusi, debu dan menciptakan
keteduhan
Penggunaan ornament seni Reog yang berfungsi meningkatkan nilai
estetis dan pencipta identitas kawasan

Perpaduan warna dan tekstur


vegetasi mampu meningkatkan
nilai estetika kawasan

3.
-

Konsep RTH Taman Lingkungan


Lahan-lahan kosong diantara pemukiman dapat dimanfaatkan sebagai taman lingkungan yang
mampu mewadahi aktivitas masyarakat dan meningkatkan kualitas lingkungan pada area
pemukiman tersebut.
Penambahan sarana dan prasarana yang diseusikan dengan kebutuhan dan aktivitas masyarakat
(area duduk, area permainan anak,area seni, fasilitas olah raga, fasilitas penerangan dan fasilitas
kebersihan yang memadai)
Penggunaan perkerasan dengan material perpaduan antara bahan buatan dan alami untuk
memudahkan penyerapan air (Grass Block)
Diutamakan vegetasi lokal yang mampu menyerap polusi dan debu dengan tajuk pohon yang rapat
untuk menciptakan area teduh serta vegetasi dengan perpaduan warna dan tekstur daun untuk
menambah keindahan kawasan (Pohon Asem, Tanjung, Cassia dan Mahoni)
Penggunaan ornament Reog pada maerial-material lansekap sebagai penanda identitas kawasan

Lahan kosong
yang
dimanfaatkan
sebagai taman
lingkungan
Area seni sebagai tempat pertunjukkan seni Reog

12

Lahan kosong yang dimanfaatkan


sebagai taman lingkungan

4.
-

Konsep RTH Jalur hijau pulau jalan

Pada jalur hijau dan pulau jalan didominasi oleh penggunaan vegetasi yang mampu menyerap polusi
dan debu dengan perpaduan warna dan tekstur daun sehingga menciptakan kesan estetis yang juga
berfungsi sebagai aksen pada kawasan (Pohon Tanjung, Mahoni, Bungur, Lantana,Puring)
Penggunaan perkerasan dengan material perpaduan antara bahan buatan dan alami untuk
memudahkan penyerapan air
Penggunaan vegetasi
lokal yang mampu
menyerap polusi dan
berrfungsi sebagai
peneduh
Jalur pedestrian selebar
2 m untuk
memudahkan
aksesibilitas
Jalur hijau sebagai pembatas jalan
dua arah menggunakan vegetasi
yang mampu menyerap polusi
dengan perpaduan warna dan
tekstur daun unuk menciptakan
kesan estetis

5.
-

Konsep RTH Taman Makam Pahlawan

Untuk memaksimalkan fungsi ekologis area ini didominasi oleh area hijau sebesar 80 % dan area
terbangunnya adalah sebesar 20 %
Penggunaan vegetasi lokal dengan kerapatan sedang yang mampu menyerap polusi dan debu
(Beringin, Mahoni dan pohon Tanjung)
Mempertahankan bentuk eksisting dari TMP

13

6.
-

Konsep RTH Daerah Sempadan Sungai


Lahan sepanjang daerah aliran sungai peruntukannya dikembalikan sebagai area ruang terbuka hijau
dengan luas minimal 5 meter yang ditambah jalan inspeksi untuk perawatan dan penghijauan agar
tetap berfungsi secara optimal
Penggunaan vegetasi peneduh dengan perakaran kuat yang dapat menyerap polusi dan debu

Area hijau dengan


jarak minimal 5-10 m
untuk mencegah erosi
dan memaksimalkan
fungsi ekologis

PENUTUP
Kesimpulan
1. Adanya kebutuhan masyarakat pada kawasan pusat kota Ponorogo akan ruang terbuka hijau
yang terbagi atas fungsi ekologis, fungsi estetika serta fungsi sosial budaya dan ekonomi dari
ruang terbuka hijau dimana konsep penataannya terdiri dari alun-alun kota, taman kota,
Taman Lingkungan, jalur hijau pulau jalan, taman makam pahlawan dan daerah sempadan
sungai dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat karakter kawasan dan penggunaan
vegetasi lokal serta ornamen-ornamen roeg yang mampu menciptakan citra kawasan.
2. Konsep penataan ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota Ponorogo tersebut juga
didukung oleh pemenuhan proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau yang ideal melalui :
- Mempertahankan bentuk ruang terbuka hijau publik yang telah ada (alun-alun kota,
taman kota, jalur hijau, pulau jalan dan Taman Makam Pahlawan).
- Pemenuhan proporsi ruang terbuka hijau dengan menambahkan luasan proporsi ruang
terbuka hijau kota pada area pemukiman (lahan kosong yang dapat dimanfaatkan sebagai
taman lingkungan, ruang-ruang yang tercipta antar bangunan), sepanjang jalur sempadan
sungai dan di sepanjang jalan utama kota.
- Penyebaran ruang terbuka hijau kota yang merata di seluruh kawasan pusat kota dan
saling terhubung (alun-alun kota jalur hijau dan pulau jalan jalur hijau sungai
taman kota taman lingkungan taman rumah tinggal).
3. Konsep penataan ruang terbuka hijau untuk mengatasi kurangnya ruang terbuka hijau pada
kawasan pusat kota adalah :
- Memaksimalkan fungsi ruang terbuka hijau pekarangan dengan menghijaukan area
pekarangan minimal sebesar 20% dari keseluruhan luas lahan.
- Memaksimalkan penggunaan lahan kosong pada kawasan pemukiman sebagai taman
lingkungan yang mampu meningkatkan kualitas lingkungan serta melayani dan mewadahi
aktivitas masyarakat di kawasan pemukiman.
- Menggunakan ruang-ruang yang terbentuk antar bangunan pada kawasan pemukiman
untuk meningkatkan kualitas kondisi fisik kawasan dan kualitas ekologis kawasan.
- Pengembangan perpaduan fungsi lahan antara ruang terbuka hijau dengan pusat jasa
komersial dan perkantoran untuk meningkatkan kualitas lingkungan pada kawasan pusat
kota Ponorogo.
14

Saran
Saran bagi kalangan Akademisi dan Praktisi terkait dengan penelitian tentang konsep penataan
ruang terbuka hijau di kawasan pusat kota Ponorogo adalah:
- Perlu dilakukan penelitian selanjutnya terkait dengan fungsi ekologis ruang terbuka hijau kota
dengan menggunakan pengukuran fungsi-fungsi ekologis dari kondisi topografis dan fungsi
ekologis dari vegetasi
- Perlu dilakukannya penelitian terkait dengan aspek pemeliharaan ruang terbuka hijau kota agar
dapat berfungsi secara maksimal.
- Perlu adanya penelitian selanjutnya yang terkait dengan ruang terbuka hijau sebagai pencipta
identitas kota.
DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, Eko. 2003, Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung: Alumni
De Chiara, Joseph and Koppelman, Lee E. 1978. Site Planning Standards. New York: McGraw Hill
Book Company
Groat, Linda & Wang, David. 2002. Architectural Research Methods. Canada: John Wiley&
Sons,inc.
Haeruman. Herman JS. Ning Purnomohadi. 1998. Kebijakan dan Peranan Pemerintah dalam
Pengembangan dan Pemanfaatan RTH di Perkotaan sebagai Wahana Pengembangan
Keanekaragaman Puspa dan Satwa. Jakarta.
Hakim, Rustam. 2004. Arsitektur Lansekap, Manusia, Alam dan Lingkungan. Jakarta: FALTL
Universitas Trisakti.
Kantor Statistik Kabupaten Ponorogo. 2009. Ponorogo Dalam Angka. Ponorogo: Kantor Statistik
Kabupaten Ponorogo
Joga, Nirwono & Antar, Yori. 2007. Komedi Lenong: Satire Ruang Terbuka Hijau. Jakarta:
Gramedia.
Molnar, Donald J. 1986. Anatomy of A Park. New York: McGraw-Hill inc.
Purnomohadi, Ning. 2006. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota. Jakarta:
Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementrian Pekerjaan Umum
Tim Departemen Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor. 2005. Makalah Lokakarya:
Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan. Direktorat Jenderal Penataan
Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai