Anda di halaman 1dari 8

B.

Syarat-syarat ijma
Dari definisa ijma diatas dapat diketahui bahwa ijma itu bisa

terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria dibawah ini.


1. Yang bersepakat adalah para Mujtahid
Para ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid,
secara umum, mujtahid itu diartikan sebagai para ulama
yang mempunyai kemampuan dalam mengisthinbat hukum
dari dalil-dalil syara. Dalam kitab jamul jamawi disebutkan
bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang faqih.
Dalam sulam Ushulliyin kata mujtahid diganti dengan
istilah ulama ijma, sebagaimana menurut pandangan ibnu
Hazm dalam Hikam.
Selain pendapat diatas, ada juga yang memandang
mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, dan istilah ini sesuai
dengan pendapat al-wahid dalam kitab isbat bahwa
Mujtahid

yang diterima fatwanya adalah ahlu Al-ahli wal

aqdi.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai
kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang
islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan
mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya. Dengan
demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka
yang

belum

mencapai

derajat

mujtahid

tidak

bisa

dikatakan ijma, begitu pula penolakan mereka. Karena


mereka tidak ahli dalam menelaah hukum-hukum syara.
2. Yang berseakt adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian nujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak,
meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal itu tidak bisa
dikatakan

ijma,

karena

ijma

itu

harus

mencakup

keseluruhan mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma itu sah
bilaa dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang
dimaksud kesepakatan iijma termasuk pul kesepakatan

sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah


fiqh,

sebagian

besar

itu

telah

mencakup

hukum

keseluruhan.
Sebagian ulama ulama yang lain berpandangan
bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah
hujjah,, meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma karena
kesepakatan sebagian besar mereka menunjukan adanya
kesepakatan

terhadap

dalil

sahih

yang

mereka

menunjukkann adanya kesepakatan terhadap dalil sahih


yang mereka jadikan landasan penetapan hukum. Dan
jarang terjadi, kelompok kecil yang tidak sepakat, daat
mengalahkan kelompok besar.
3. Para mujtahid harus umat muhammad saw
Para ulama berpendapat tentanng arti umat muhammad
saw. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat
Muhammad saw. Adalah orang yang mukallaf

dari

golongan muhammad . namu n yang jelas, arti mukallaf


dalam muslim, berakal, dan telah baligh.
Kesepkatan yang dilakukan oleh para ulama selain
umat Muhammad saw tidak bisa dikatakan ijma. Hal itu
menunjukkan adanya umat para Nabi lain yang ber-ijma.
Adapun ijma uamt Nabi Muhammad saw telah dijamin
bahwa mereka tidak mungkin di ijma untuk melakukan
suatu kesalahan.
4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi
Ijma itu tidak terjadi ketika nabi masih hidup, karena nabi
senantiasa

menyepakayti

perbuatan-perbuatan

para

sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai


syariat.
5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syariat
Maksudnya,
kesepakatan
mereka
haruslah
kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat, seperti
ttentang wajib , sunah, makruh, haram dan lain-lain.
Hal itu sesuai dengan pendapat al-ghazali yang
menyatakan bahwa kesepakatan tersebut dikhususkan

pada masalah-masalah agama , juga sesuai

dengan

pendapat Al-juwaini dalam kitab al-warakat, Safiudin dalam


qawaidul Ushul, Kamal bin Hamal dalm kitab Tahrir dan
lain-lain.
Adapun mengenai mas atau zaman, para ulama ada
yang memasukkan sebagai syarat ijma sedang Al-athar
dalam kitab Hasiyah Jamul Jawami mengartikan zaman
dalam definisi ijma diatas degan zaman mana saja.
C. Macam-macam Ijma
Ijma ditinjau dari cara penetapannya dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1. Ijma Sharih ( jelas )
Yaitu para mujtahid pada suatu masa itu sepakat atas
hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan
pendapat masing-masing yang diperkuat dengan fatwa
atau keputusan.
2. Ijma Sukuti ( diam )
Yaitu
sebagian
mujtahid

pada

suatu

masa

mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap


suatu peristiwa dengan fatwa atau keputusan, dan
sebagian yang lain diam dengan tidak mengemukakan
komentar setuju atau tidak terhadap pendapat yang
telah dikemukakan.1
Sedangkan

Ijma

dipandang

dari

segi

yakin

atau

tidaknya terjadi suatu ijma dibagi juga menjadi dua, yaitu :


1. Ijma Qathai
Yaitu hukum yang dihasilkan ijma itu adalah qathI atau
diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain
bahwa hukum adalah peristiwa atau kejadian yang telah
ditetakan berbeda dengan hasil ijma yang dilakukan
pada waktu yang lain.
2. Ijma Dzanni

1 Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah Hukum Islam dalam Ilmu


Ushul Fikih. ( Jakarta : Pustaka Amani, 2002 ), hlm.62.

Yaitu hukum yang dihasilkan ijma itu adalah dhanni.


Masih

ada

kemungkinan

lain

bahwa

hukum

dari

peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda


dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma
yang dilakukan pada waktu yang lain.2
ijma dari segi waktu dan tempat ijma ada beberapa
macam, antara lain sebagai berikut :
1. Ijma sahaby
Yaitu kesepakatan para sahabat Rasulullah dalam suatu
masalah pada masa tertentu.
2. Ijma Ahli Madinah
Yaitu ijma yang dilakukan
terhadap

sesuatu

urusan

ulama-ulama

hukum.

madinah

Madzhab

Maliki

menjadikan ijma ahli madinah ini sebagai salah satu


sumber hukum islam.
3. Ijma Ulama Kuffah
Yaitu ijma yang dilakukan ulama-ulama kuffah terhadap
sesuatu urusan hukum. Madzhab Hanafi menjadikan
ijma ulama kuffah sebagai salah satu sumber hukum
islam.
4. Ijma Khulafaurrasyidin
Yaitu ijma' yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar,
Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini
hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu
hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu
Bakar meninggal dunia ijma' tersebut tidak dapat
dilakukan lagi.




Persesuaian paham khalifah yang empat terhadap
sesuatu soal yang diambil dalam satu masa atas suatu
hukum.
5. Ijma' shaikhan, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Abu
Bakar dan Umar bin Khattab.
D. Ijma' sebagai Metode Istinbath Hukum Islam
2 Prof. Dr. Rahmat SafeI, MA. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2007). Hal. 72-73

Kata istinbath bila dihubungkan dengan hukum


seperti yang dijelaskan oleh Muhammad bin Ali al-Fayyuni (
w.770 ) adalah upaya menarik hukum dari al-Quran dan asSunnah dengan jalan ijtihad. Secara garis besar, metode
istinbath dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan,
segi maqasid ( tujuan ) syariah, dan segi penyelesaian
beberapa dalil yang bertentangan.3
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma
menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al
Quran dan sunnah. Ini berarti ijma dapat menetapkan
hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila
tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al Quran maupun
sunnah.
Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa
landasan ijma itu bisa berasal dari dalil yang qathI, yaitu
Al-Quran, Sunnah Mutawatir serta bisa juga berdasarkan
dalil

dhanni,

seperti

hadits

ahad.

Sedangkan

ulama

dzahiriyyah, syiah, dan ibnu Jarir Al-Thabari mengatakan


bahwa landasan ijma itu harus dalil yang qathi. Menurut
mereka, ijma itu dalil yang qathI. Suatu dalil yang qathI,
tidak mungkin didasarkan kepada dalil dzanni. Disamping
itu, seorang mujtahid boleh menolak ijtihad mujtahid lain
yang didasarkan kepada qiyas.
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan
maslahah mursalah sebagai landasan ijma. Para ulama
yang menerima maslahah mursalah (kemaslahatan yang
tidak

didukung

oleh

nash

yang

rinci,

tidak

pula

ditolakmoleh nash, tetapi didukung oleh sejumlah makna


nash) sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum
menyatakan bahwa ijma bisa didasarkan pada maslahah
mursalah,

dengan

syarat

apabila

kemaslahatan

itu

3 DR. Hasbiyallah,M.AG. Fiqh dan Ushul Fiqh. ( Bandung : PT Remaja


Rosdakarya, 2013 ), hlm.45.

berubah, maka ijma pun bisa berubah. Alasan mereka


adalah

para

ahli

fiqh

madinah

ber[endapat

bahwa

penetapan harga (al-taksir al-jabari) hukumnya boleh,


sedangkan para sahabat sebelumnya tidak memberlakukan
penetapan

harga.

Landasan

kesepakatan

ini

adalah

maslahah mursalah.
Demikian juga kesepakatan ulama tentang larangan
orang yang ada hubungan kekerabatan dan suami istri
menjadi saksi dalam kasus istri atau suaminya, atau
sebaliknya.

Landasan

kesepakatan

ulama

ini

adalah

fiqh

Mesir,

maslahah mursalah.
Zakiyuddin
Syaban,

ahli

ushul

mengatakan

yang

didasarkan

bahwa

ijma

kepada

maslahah mursalah tidak bersifat tetap dan abadi, tetapi


bisa berubah sesuai dengan perkembangan kemaslahatan
itu sendiri. Karenanya jika terjadi perubahan kemaslahatan,
maka ijma tersebut boleh dilanggar dan ditentukan hukum
lain yang lebih mendatangkan kemaslahatan.
Dengan demikian setiap ijma yang dapat dijadikan
sumber fiqih adalah ijma yang mempunyai sandaran qathI
seperti ayat Al-Quran atau Sunnah yang mutawatir. Maka
kalau sandarannya itu dzanni seperti hadits ahad atau
qiyas masih dianggap sebagai ijma, para fuqaha berbeda
pendapat. Jumhurul fuqaha memberikan contohnya seperti
ijma tentang haram memakan lemak babi yang diqiaskan
dengan daging babi,dan wajib membuang minyak lampu
yang didalamnya terdapat bangkai tikus.4
Alasan jumhur ulama ushul fiqh

bahwa

ijma

merupakan hujjah yang qathi sebagai sumber hukum


Islam adalah sebagai berikut :
a.
Firman Allah SWT :
4 Drs. Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh I. (Jakarta : Departemen Agama,
1985), hlm. 105-106

(59 : )
Artinya :
wahai orangorang beriman, taatilah Allah dan taatilah
rasul ( Muhammad ) dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan )
diantara kamu. ( Q.S. an Nisa 59 )
Maksud Ulil Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil
Amri Fiddunnya adalah penguasa dan Ulil Amri fiddin
adalah mujtahid atau para ulama, sehingga dari ayat ini
berarti juga memerintahkan untuk taat kepada para ulama
mengenai suatu keputusan hukum yang disepakati mereka.
b.
Hadist Rasulullah SAW

( )

Artinya : Sesungguhnya umatKu tidak akan bersepakat
atas kesesatan.

Artinya : apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik,
maka menurut pandangan Allah juga baik..
Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam
kedudukannya sebagai umat yang sama sama sepakat
tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma itu
terpelihara

dari

kesalahan,

sehingga

putusannya

merupakan hukum yang mengikat umat islam.


Pandangan ulama mengenai Ijma sukuti :
Imam Syafii dan kalangan Malikiyyah ijma sukuti
tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum,
dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum
tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa
atau sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya
pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah dan Hanabilah Ijma sukuti syah jika
digunakan sebagai landasan hukum, karena diamnya
mujtahid

dipahami

sebagai

persetujuan,

karena

jika

mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka


harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan
tegas, berarti mereka setuju.

Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan jika diamnya


sebagian ulama mujtahid tidak dapat dikatakan telah
terjadi ijma.

Dan pendapat ini dianggap lebih kuat

daripada pendapat perorangan.5


Contoh-contoh Hukum yang di Dasari Ijma :
a. Pengangkatan Abu Bakar asSiddiq sebagai khalifah
menggantikan Rasulullah SAW.
b. Pembukuan Alquran yang dilakukan

pada

masa

Khalifah abu bakar as-siddiq.


c. Menentukan awal bulan ramdhan dan bulan syawal.
Ijma merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita
tidak mendapatkan didalam Al Quran dan demikian pula
sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat,
apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama
muslimin,

apabila

sudah,

maka

wajib

mengambilnya dan beramal.

5 Prof. Dr. H. Satria M. Zein, MA. Ushul fiqh, ( Jakarta: Fajar


Interpratama Offset,2005 )

bagi

kita

Anda mungkin juga menyukai