PBL Sle
PBL Sle
Sasaran Belajar
LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Autoimun
LO.1.1. Definisi
LO.1.2. Klasifikasi
LO.1.3. Mekanisme
LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Sistemic Lupus Eritematosus
LO.2.1. Etiologi
LO.2.2. Patogenesis dan Patofisiologis
LO.2.3. Manifestasi Klinik
LO.2.4. Diagnosis dan Diagnosis Banding
LO.2.5. Pencegahan
LO.2.6. Penatalaksanaan
LO.2.7. Prognosis
LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam dalam Menghadapi Penyakit
LO.1.2. Klasifikasi
Penyakit autoimunity dapat secara luas dibagi menjadi gangguan autoimun sistemik dan organspesifik atau lokal, tergantung pada fitur clinico-pathologic pokok masing-masing penyakit.
LO.1.3. Mekanisme
Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu mengenal setiap antigen
asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul
gangguan terhadap kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap
antigen diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut autoimunitas tersebut dapat berupa
respons imun humoral dengan pembentukan autoantibodi, atau respons imun selular.
produk akibat kerusakan sel atau jaringan. Autoantibodi mengikat produk itu diikuti dengan
proses eliminasi. Autoantibodi dan respons imun selular terhadap antigen diri tidak selalu
menimbulkan penyakit.
Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisologik akibat
respons autoimun. Perbedaan ini menjadi penting karena respons autoimun dapat terjadi
tanpa penyakit atau pada penyakit yang disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi).
Istilah penyakit autoimun yang berkonotasi patologik ditujukan untuk keadaan yang
berhubungan erat dengan pembentukan autoantibodi atau respons imun selular yang
terbentuk setelah timbulnya penyakit.
LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Sistemic
Lupus Eritematosus
LO.2.1.
Etiologi
Penyakit
lupus
eritematosus
termasuk
penyakit
kolagen,
penyakit
kolagenosis,
penyakit
mesenkhim.
Menurut klasifikasi oleh Klemperer, yang termasuk golongan tersebut selain lupus eritematosus
antara lain ; skleroderma, dermatomiositis, arthritis rematika, demam rematik dan poliarthritis.
Klasifikasi tersebut berdasarkan atas degenerasi fibrinoid serat-serat kolagen yang luas yang
terdapat di dalam jaringan mesenkhikm. Kelainan serat kolagen dan serat fibrin menimbulkan
manifestasi klinis yang berlainan. Yang sama ialah, bahwa semua penyakit pada golongan ini
merupakan satu kompleks respon autoimun, disini hanya akan dibahas lupus eritematosus
sistemik.
4
Lupus sebernanya telah dikenal kurang dari seabad lalu. Kala itu, penyakit itu dikira gigitan
anjing hutan. Dugaan itulah yang menyebabkan penyakit ini kemudian disebut lupus yang berarti
anjing hutan dalam bahasa latin. Dalam perkembangan selanjutnya, lupus menyebar ke seluruh
organ di dalam tubuh, maka muncullah sebutan lupus eritematosus sistemik (LES) itu. Perjalanan
penyakit ini dapat ringan atau berat, secara terus menerus, dengan kekambuhan yang
menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya. Sekitar 80 %
kelainan melibatkan jaringan persendian, kulit dan darah ; 30-50 % menyebabkan kelainan
ginjal, jantung dan sistem saraf, serta 10-20 % menyebabkan trombosis arteri dan vena yang
berhubungan dengan anti-bodi anti-kardiolipin 1,2,4,5 . Prevalensi lupus eritematosus sistemik
di antara etnik adalah wanita kulit hitam 1 : 250, wanita kulit putih 1 : 4300 dan wanita cina 1 :
10001,2 .
Faktor Genetik
Orang-orang tertentu secara genetik rentan untuk mengembangkan penyakit autoimun.
Kerentanan ini dikaitkan dengan beberapa gen ditambah faktor risiko lainnya. Genetik individu
tertentu cenderung tidak selalu mengembangkan penyakit autoimun.
Tiga gen utama yang diduga dalam penyakit autoimun.
Imunoglobulin
T-sel reseptor
Kompleks histokompatibilitas utama (MHC).
Dua yang pertama, yang terlibat dalam pengakuan antigen, secara inheren rentan terhadap
variabel dan rekombinasi. Variasi ini memungkinkan sistem kekebalan tubuh untuk menanggapi
berbagai sangat luas penjajah, tetapi juga dapat menimbulkan limfosit dalam swa-reaktivitas.
Para ilmuwan seperti H. McDevitt, G. Nepom, J. Bell dan J. Todd juga telah menyediakan bukti
kuat yang menunjukkan bahwa MHC kelas II tertentu allotypes berkorelasi sangat
DM 1.
HLA DR4 berkorelasi dengan asal-usul rheumatoid arthritis , tipe 1 diabetes mellitus ,
dan pemfigus vulgaris .
5
Yang paling menonjol dan konsisten adalah hubungan antara HLA B27 dan ankylosing
spondylitis . Korelasi ini mungkin ada di antara polimorfisme dalam MHC kelas II promotor dan
penyakit autoimun.
Kontribusi dari gen luar kompleks MHC tetap menjadi subjek penelitian, pada hewan model
penyakit (studi ekstensif Linda Wicker genetik diabetes pada tikus NOD), dan pada pasien
(analisis keterkaitan Brian Kotzin dari kerentanan terhadap SLE ).
Baru-baru ini PTPN22 telah dikaitkan dengan penyakit autoimun multiple termasuk Tipe I
diabetes, rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosis, tiroiditis Hashimoto, penyakit
Graves, penyakit Addison, Miastenia Gravis, vitiligo, sklerosis sistemik juvenil idiopatik
arthritis, dan arthritis psoriatis.
Jenis Kelamin
Rasio perempuan / laki-laki insiden penyakit autoimun
Hashimoto thyroiditis
10/1
Graves disease
7/1
2/1
Miastenia gravis
2/1
9/1
Rheumatoid arthritis
5/2
dengan perubahan hormon, misalnya, selama kehamilan, dalam siklus menstruasi, atau saat
menggunakan kontrasepsi oral. Riwayat kehamilan juga tampaknya meninggalkan peningkatan
risiko gigih untuk penyakit autoimun. Pertukaran sedikit sel antara ibu dan anak-anak mereka
selama kehamilan dapat menyebabkan otoimun. Hal ini akan ujung keseimbangan gender dalam
arah betina.
Teori lain menunjukkan kecenderungan tinggi perempuan untuk mendapatkan autoimunitas ini
disebabkan oleh ketidakseimbangan kromosom X dinonaktifkan . Teori X-inaktivasi miring,
diusulkan oleh Princeton University Jeff Stewart, baru-baru ini telah dikonfirmasi eksperimental
pada tiroiditis skleroderma dan autoimun. kompleks lainnya terkait-X mekanisme kerentanan
genetik diusulkan dan sedang diselidiki.
LO.2.2. Patogenesis dan Patofisiologis
Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang patogenesis autoimunitas tetapi
tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran dan kelemahan sendiri.
Berbagai teori patogenesis autoimunitas
Pelepasan antigen sekuesterPenurunan fungsi sel T supresorPeningkatan aktivitas sel Th, pintas
sel TDefek timusKlon abnormal, defek induksi toleransiSel B refrakter terhadap sinyal
supresorDefek makrofagDefek sel stemDefek jaringan idotip-antiidiotip Gen abnormal: gen
respons imun, gen immunoglobulin
Faktor virus
Faktor hormone
Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul dugaan adanya antigen
sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak pernah berkontak dengan sistem limforetikular
maka apabila suatu saat terbebas akan dianggap asing dan menimbulkan pembentukan
autoantibodi. Contohnya adalah autoantibodi terhadap sperma setelah vasektomi, lensa mata
setelah trauma mata, otot jantung setelah infark miokard, atau jaringan lain yang bila terbebas
akan menimbulkan pembentukan autoantibodi.
Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh mekanisme pengatur yang
meningkatkan atau menekan dan menghentikan respons imun. Gangguan pada mekanisme
supresi, baik jumlah maupun fungsi sel Ts, akan meningkatkan pembentukan autoantibodi bila
respons imun tersebut sel ditujukan terhadap autoantigen.
10
11
Gejala mukokutan
Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu
(butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi (55-90%). Pada bagian tubuh yang
terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi.
Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai
penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung lama akan terbentuk sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan ulserasi serta
perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau vagina. Pada beberapa orang
dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat
kuku jari.
terdapat urtikaria yang tidak dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang
beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.
Ginjal
Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan komplek imun
yang mungkin mengandung
Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis
dan matriks ekstraseluler. Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola
kristalin di daerah mesangeal, subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin
yang paling sering tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak IgG, IgA, IgM,
C3, C4 dan C1q pada glomerulus yang sama (pola full house).
Sistem saraf
Gangguan neurologik
merupakan gejala yang paling umum, namun dapat pula mengenai setiap daerah otak, saraf
spinal, atau sistem saraf. Beberapa gejala yang mungkin tampak adalah seizure, psikosis, organic
brain syndrome, dan sakit kepala. Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf
dan mielin. Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta gangguan ingatan
dan konsentrasi ringan.
11
12
Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia
miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks). Keadaan tersebut dapat menimbulkan nyeri
dan arithmia.
Paru
Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis lupus baru
dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti infeksi, virus jamur,
tuberkulosis. Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam. Hemoptisis menandakan terjadinya
pulmonary hemorhage. Nyeri dada dan pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan
tersebut.
Saluran pencernaan
Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk nausea, kehilangan
berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare. Radang traktus intestinal jarang terjadi yaitu
sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut, muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi
usus. Retensi cairan dan pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal.
Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke retina, sehingga
menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya perdarahan retina. Gejala yang paing
umum adalah cotton-wool-like spots pada retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan
sementara yang terjadi secara tiba-tiba.Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital,
perdarahan subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina
LO.2.4. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Beberapa pemeriksaan autoantibodi seringkali dapat membantu diagnosis penyakit autoimun
Pemeriksaan tersebut juga bermanfaat sebagai pemeriksaan penyaring pada kelompok risiko
seperti misalnya keluarga penderita penyakit autoimun, atau mencari penyakit autoimun lain
yang sering menyertai suatu penyakit autoimun tertentu seperti kemungkinan tiroiditis pada
gastritis autoimun atau sebaliknya.
12
13
Diagnosis gangguan autoimun sebagian besar bertumpu pada sejarah yang akurat dan
pemeriksaan fisik pasien, dan indeks kecurigaan yang tinggi dengan latar belakang kelainan
tertentu pada tes laboratorium rutin (misalnya, tinggi protein C-reaktif ). Pada gangguan sistemik
beberapa tes serologi yang dapat mendeteksi spesifik autoantibodi dapat digunakan. Gangguan
Local paling mudah didiagnosa oleh biopsi spesimen imunofluoresensi . Autoantibodi
digunakan untuk mendiagnosa beberapa penyakit autoimun . Tingkat autoantibodi diukur untuk
menentukan kemajuan penyakit.
Diagnosis SLE harus dipikirkan pada :
Wanita muda
Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari
Manifestasi sendi
Depresi dari hemoglobin,sel darah putih,sel darah merah,trombosit
Tes serologi ynag positif(ANA,anti-native DNA,serum complemen yang rendah).
Diagnosis pasti dapat ditegakan bila 4 atau lebih dari 11 kriteria ARA terpenuhi.
Kriteria SLE dari ARA, tahun 1997:
1. Malar rash
erythema yang fixed,datar/meninggi.Letaknya pada malar,biasanya tidak mengenai
lipatan nasolabial.
2. .Discoid rash
Lesi erythemetous yang meninggi dengan squama keratotic.Kadang tampak scar yang
atofi.
3. Fotosensitivitas.
Diketahui melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik.
4. Ulkus oral
Ulserasi dimulut atau nasofaring,biasanya tidak nyeri.
5. Arthritis
nonerosive arthritis melibatkan 2 atau lebih dari sendi perifer. Ditandai dengan
nyeri,bengkak,atau efusi.
13
14
6. Serositis
Pada pleuritis didapatkan riwayat nyeri pleural,pleural friction rub,efusi pleura.Pada
pericarditis tampak pada ECG,gesekan pericard,efusi pericard.
7. Gangguan Renal
proteinuria >0,5 g/hari atau >3+,atau cellular cast berupa eritrosit,hemoglobin
granular,tubular,atau campuran.
8. Kelainan neorologis
psikosis,kejang-kejang (tanpa sebab yang jelas).
9. Kelainan hematologis
anemia hemolytic
leukopenia(<4000/L)
limfopenia (<1500/L)
trombositopenia (<100.000/L).
10. Kelainan imunologis
Anti ds-DNA , Anti-Sm(antibody terhadap antigen otot polos) ,Antifosfolipid
antibody,STS false positve.
11. Antibodi antinuclear
ANA test +.
Penderita dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria terpenuhi, baik secara
bersamaan ataupun simultan, selama observasi.
DIAGNOSIS BANDING
Drug eruption.
Limfoma.
14
15
Leukemia.
Sarcoidosis.
Lues II
Bacterial sepsis.
LO.2.5. Pencegahan
Untuk mencegah kekambhan SLE, pasien sebaiknya melakukan hal-hal sebagai berikutii:
1. Hindari stress dan trauma fisik. Stress dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini.
2. Hindari merokok
3. Hindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi,
4. Cukuplah beristirahat. Kelelahan dan aktivitas fisik berlebih bias memicu kambuhnya
SLE.
5. Diet sesuai kelainan. Misalnya jika hiperkolestrol, maka pasien harus diet rendah lemak.
6. Hindari infeksi. Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang
penyakit ini kambuh setelah infeksi.
7. Hindari pajanan sinar matahari, khususnya pukul 09.00-15.00 karena psien SLE
cenderung sensitive terhadap sinar ultraviolet,kulit yang terkena sinar matahari akan
menimbulkan kelainan kulit seperti timbul bercak merah yang menonjol/menebal.
8. Hindari obat-obatan yang mengandung hormone estrogen seperti KB/kontrasepsi.
LO.2.6. Penatalaksanaan
Pengobatan untuk penyakit autoimun secara tradisional seperti imunosupresif , anti-inflamasi
(steroid), atau paliatif . Non-imunologi terapi, seperti penggantian hormon pada tiroiditis
15
16
Hashimoto atau tipe 1 diabetes mellitus mengobati hasil dari respon autoaggressive, sehingga ini
adalah paliatif perawatan. Intervensi diet dan manipulasi diet membatasi keparahan penyakit
celiac, srtritis dan penyakit lainnya.Pengobatan steroid atau NSAID membatasi gejala inflamasi
dari banyak penyakit. Terapi spesifik imunomodulator , seperti antagonis TNFa (misalnya
etanercept ), sel B depleting agen rituximab , reseptor anti-IL-6 tocilizumab dan pemblokir
costimulation abatacept telah terbukti berguna dalam mengobati RA. Beberapa immunotherapies
mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko efek samping, seperti kerentanan terhadap
infeksi.
Terapi obat cacing adalah pendekatan eksperimental yang melibatkan inokulasi pasien dengan
spesifik usus parasit nematoda (cacing). Saat ini ada dua perlakuan yang terkait erat tersedia,
inokulasi dengan baik Necator americanus, umumnya dikenal sebagai cacing tambang , Trichuris
atau Ova Suis, umumnya dikenal sebagai Telur cacing cambuk babi. T vaksinasi sel juga sedang
dieksplorasi sebagai terapi masa depan untuk auto-imun gangguan.
Dua prinsip strategi pengobatan autoimun antara lain supresi respons imun atau mengganti
fungsi organ yang rusak. Penggantian fungsi merupakan metode pengobatan yang sering
digunakan pada autoimun endokrinologi pada gagal organ yang ireversibel, contohnya pada
hipotirodisme. Namun apabila kebutuhan hormon yang defisit tidak dapat diatasi melalui terapi
pengganti, maka dapat timbul masalah metabolik. Supresi autoimun sebelum kerusakan organ
ireversibel menjadi pilihan yang lebih menarik, namun sangat sulit dalam deteksi dini. Pada
kasus autoimun seperti SLE, artritis reumatoid dan penyakit ginjal autoimun, terapi imunosupresi
menjadi sarana yang dapat mencegah disabilitas berat dan kematian. Pengobatan penyakit
autoimun meliputi kontrol metabolik, obat anti-inflamasi, imunosupresan, dan kontrol
imunologis.
Kontrol metabolik
Sebagian besar pendekatan pengobatan penyakit autoimun adalah dengan manipulasi respons
imun. Tetapi pada penyakit organ spesifik kontrol metabolik biasanya sudah memadai, misalnya
pemberian tiroksin untuk miksedema primer, insulin untuk diabetes juvenil, vitamin B12 untuk
anemia pernisiosa, obat antitiroid untuk penyakit Grave, dan lain-lain.
Obat antikolinesterase untuk miastenia gravis biasanya diberikan dalam jangka panjang.
Timektomi seringkali bermanfaat sehingga disimpulkan bahwa kelenjar tersebut mengandung
reseptor asetilkolin dalam bentuk antigen.
16
17
Obat anti-inflamasi
Obat yang bekerja sebagai anti-inflamasi, misalnya kortikosteroid, menunjukkan manfaat
terhadap berbagai penyakit autoimun serius seperti miastenia gravis, LES, dan nefritis kompleks
imun. Obat AINS seperti salisilat, indometasin, fenoprofen atau ibuprofen dipakai pula untuk
artritis rheumatoid.
Imunosupresan
Siklosporin A yang menghambat sekresi IL-2 bekerja sebagai anti-inflamasi dan antimitotik,
serta telah dicoba pemakaiannya untuk diabetes juvenil, LES, dan artritis reumatoid walaupun
masih belum dapat diambil kesimpulan akhir tentang manfaatnya.
Imunosupresan yang dipakai saat ini umumnya obat konvensional yang bersifat nonspesifik,
misalnya azatioprin, siklofosfamid, dan metotreksat yang biasanya diberikan bersama
kortikosteroid. Pengobatan tersebut telah sering dilakukan dengan hasil cukup baik, misalnya
untuk LES, hepatitis kronik aktif, dan anemia hemolitik autoimun.
Kontrol imunologis
Pada saat ini kontrol imunologis terhadap penyakit autoimun masih sangat terbatas
pemakaiannya untuk riset terutama pada hewan percobaan. Tindakan yang cukup sering
dilakukan adalah transfusi tukar plasma untuk mengurangi kompleks imun, yang dilaporkan
bermanfaat sementara untuk LES tetapi cukup baik untuk sindrom Goodpasture. Iradiasi kelenjar
limfe total masih terus dieksplorasi dan diamati hasilnya. Pada saatnya kelak diharapkan akan
dapat dilakukan koreksi terhadap defek sel stem atau timus dengan transplantasi sumsum tulang,
sel stem atau timus, atau dengan hormon timus. Selain itu pemberian faktor timus diharapkan
akan dapat menjaga kontrol sel Ts terhadap autoimunitas.
Percobaan pada hewan telah berhasil untuk melakukan switching-off sel B yang terlihat dengan
menurunnya anti-DNA. Demikian pula pemberian beberapa antibodi monoklonal seperti antikelas II dan antiT4 memperlihatkan perbaikan klinis LES dan artritis reumatoid pada hewan
percobaan.
Aksi imunosupresif kuat oleh antibodi anti-idiotipik telah dicoba untuk dimanfaatkan. Bayi yang
lahir dari ibu penderita miastenia gravis dapat bertahan terhadap efek patogen anti-reseptor
asetilkolin maternal dengan membentuk anti-idiotipik terhadap antibodi maternal tersebut.
17
18
Diharapkan aplikasi pemahaman terhadap jaringan anti-idiotip akan dapat mengatasi berbagai
kesulitan pada pengobatan penyakit autoimun.
Beberapa subjek penelitian lain misalnya terhadap aktivitas kontrasupresor atau ekspresi HLA
yang tidak adekuat, antagonis limfokin, atau mengolah berbagai matra sitotoksik baik dengan
pemanfaatan toksin bakteri ataupun bahan radioaktif.
Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna(sangat jarang didapatkan remisi yang
sempurna).Meskipun begitu dokter bertugas untuk memanage dan mengkontrol supaya fase akut
tidak terjadi.Tujuan pengobatan selain untuk menghilangkan gejala,juga memberi pengertian dan
semangat kepada penderita untuk dapat bekerja dan melakukan kegiatan sehari-hari.
Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diit tinggi kalori tinggi protein dan pemberian vitamin.
Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE,yaitu:
a. Monitoring teratur
b. Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup
c. Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sun
screen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari
d. Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang adekuat.
e. Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan .
Berikut adalah beberapa terapi medikamentosa pada penderita SLE.
1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID):
NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan antiinflamasi. Obat ini
berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu
yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk
mengobaati SLE dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria.
Keterbatasan obat ini adalah efeksamping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan
ulserasi. Cox2 dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini,
sayang belum ada penelitian mengenai efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS
adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.
18
19
2. Antimalaria
Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui, dan
obat initelah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama LE diskoid dan LE
kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag
dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga
menghambat fagositosis, migrasi netrfil, dam metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria
dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghaambat reaksi kulit
karena sinar UV. Bebrapa penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan
koSLEterol total, HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima steroid maupun yang
tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200-400mg/hari), klorokuin
(250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan
efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada
saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efk sam ping lain adalah timbulnya ruam,
toksisitas retin, daan neurologis (jarang).
3. Kortikosteroid
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekaanisme antiinflamasi dan amunosuprefit. Dari
berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison dan metilprednisolon.
Pada SLE yang ringan (kutneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan
antimalaria, diberikan prednison2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1
sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa
langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi
serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis berat ataau SCLE,
poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis, glomeruloneftritis (bentuk
proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan krisis lupus.
Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:
1.
Regimen I: daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon), dosis: 1-2
mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap (tapering)
sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol
19
20
penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hemotologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas;
3-10 minggu untuk glomerulonephritis.
1.
2.
Regimen III: kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine atau
cyclophosphamide.
Setelah kelaainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5 mg/minggu
sampai dicapai maintenance dose.
4. Methoreksat
Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyaakit rematik
efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat alkilating atauazathrioprin. Methorekxate dosis
rendah mingguan, 7,5-15 mg, eektif sebagai steroid sprring agent dan dapat diterima baik oleh
penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Gansarge dkk. Melakukan
percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada kegagalan steroid dan antimalaria.
Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah:lekopenia, ulkus oral, toksisitas
gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah
lengkap,tes
fungsi
ginjal
dan
hepar.pada
penderita
dengan
efek
samping
gastrointestinal,pemberian asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.
5. Imunosupresan atau sitostatik yang lain.
Azathhioprine (Imuran AZA)
Cylophosphamide (chitokxan, CTX)
Chlorambucil (leukeran, CHL)
Cyclosporine A
Tacrolimus (FK506)
Fludarabine
Cladribine
Mycophenolate mofetil
20
21
6. Terapi hormonal
Dehidroxyepiandrosterone Sulfate (DHEAS)
Danazol
7. Pengobatan Lain
Dapsone
Dapsone, atau 4.4- diaminophenylsulphone, bekerja dengan cara mengganggu metabolisme
folat dan menghambat asam para aminobenzoat, dan menghambat jalur alternative komplemen
serta sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari 50 tahun yang lalu untuk pengobatan lepra.
Dapson ternyata efektif untuk pengobatan Lupus eritematosus kutaneus. Leukopenia, dan
trombositopenia pada SLE, dengan dosis 50-150 mg/hr. hampir semua penderita yang menerima
dapsone akan mengalami anemia hemolitik ringan yang biasanya berhubungan dengan dosis.
Clofazimine (Lamprene)
Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk LE kutaneus yang refrakter.
Digunakan dengan dosis antara 100 sampai 200 mg/hr. efek samping yang terutama adalah
warna kulit yang berubah menjadi pink atau coklat gelap, dan menjadi kering.
Thalidomide
Thalidomide dengan dosis50 sampai 100 mg/hr serta dosis pemeliharaan 25 sampai 5o mg/hr,
efektif untuk LE kutaneus refrakter. Obat ini bekerja dengan menghambat TNF alfa. Obat ini
dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak laporan mengenai terjadinya malformasi
janin (fokomelia).
Immunoglobulin intravena
Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan menghambat reseptor Fc reikuloendotelial.
Terapi ini berguna untuk mengatasi trombositopenia iun, dan pada keadaan mengamcam jiwa,
dengan dosis 2 k/kgBB/hari. 5 hari berturut-turut setiap bulan. IVIg sangat mahal, oleh karena itu
hanya digunakan pada SLE yang resisten terhadap terapi standar, atau pada keadaan SLE yang
berat.
21
22
External Device
Terdapat beberapa teknik eksternal yang kegunaannya pada SLE agak terbatas, yaitu:
plasmapheresis, photopheresis, immunoadsorption, UVA1light (panjang gelombang: 340400nm), and iradiasi limfoid total.
8. Transplantasi Sumsum Tulang
Hanya diberikan pada kasus SLE yang paling agresif dan rekfrakter. Terapi ini masih merupakan
ekspwrimental untuk saat ini.
Pengobatan Terhadap Komplikasi
Pada komplikasi gagal ginjal dipertimbangkan pemberian diuretic,anti hipertensi,mungkin juga
dilakukan dialysis serta transplantasi ginjal.
Terhadap kejang-kejang dapat diberikan antikonvulsan.
LO.2.7. Prognosis
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang
menunjukan penyakit yang ringan. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%.
Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paruparu, jantung dan ginjal yang berat. Wanita hamil penderita lupus dapat melahirkan bayinya
dengan aman, didampingi dokter spesialis kandungan (Sp.OG) dan dokter spesialis penyakit
dalam (Sp.PD) yang berkompeten.
23
23
24
Bersabarlah yang baik,
maka niscaya kelapangan itu begitu dekat
Barangsiapa yang mendekatkan diri pada Allah untuk lepas dari kesulitan,
maka ia pasti akan selamat
Barangsiapa yang begitu yakin dengan Allah,
maka ia pasti tidak merasakan penderitaan
Barangsiapa yang selalu berharap pada-Nya,
maka Allah pasti akan memberi pertolongan
|
Rasulullah saw pernah ditanya, Siapakah yang paling berat ujiannya?
Nabi menjawab,
Para nabi, kemudian yang terbaik, lalu yang terbaik, seseorang mendapatkan (bala)
ujian sesuai dengan kadar agamanya, bila agamanya kuat maka bertambah berat
ujiannya, dan apabila agamanya dangkal, maka Allah mengujinya sesuai dengan kadar
agamanya, seorang hamba tidak akan lepas dari ujian sampai ia berjalan di bumi
dengan keadaan tidak berdosa
Fakta telah menunjukkan bahwa manusia yang paling gampang shock, kaget, dan paling
cepat goncang menghadapi kesulitan-kesulitan hidup adalah orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah, orang-orang yang ragu dan lemah imannya.
Di antara manusia ada yang menyembah Allah dengn berada di tepi, maka bila ditimpa
kebaikan ia merasa tenang, dan jika ditimpa fitnah ia membalikkan wajahnya (murtad)
ia merugi di dunia dan akirat, itulah kerugian yang nyata . (QS. Al Hajj: 11)
24
25
Demikian itu karena mereka tidak beriman terhadap takdir Allah yang membuatnya rela,
tidak mengimani Tuhan yang membuat tenang.
Tidak pula beriman kepada para nabi sehingga dapat mene mukan keteladanan pada
kehidupannya yang serba sulit, tidak mempercayai kehidupan akhirat yang menghembuskan
udara segarnya yang dapat melegakan nafas, mengusir kesedihan dan membangkitkan
harapan.
Skenario 3
Rona Merah Dipipi
MPT
25