Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUAN

Karsinoma rekti merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran
cerna, lebih 60% tumor kolorektal berasal dari rektum. Salah satu pemicu kanker rektal
adalah masalah nutrisi dan kurang berolah raga. Kanker rektal merupakan salah satu jenis
kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia. Kanker rektal
adalah kanker yang menyerang kolon dan rektum. Namun, penyakit ini bukannya tidak
dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka kemungkinan untuk
sembuh bisa mencapai 50 persen.3
Setiap waktu, kanker ini bisa menyerang seseorang. Risikonya akan terus
meningkat seiring dengan penambahan usia. Data dari Amerika Serikat dan Inggris
memperlihatkan, orang yang berusia antara 60 sampai 80 tahun berisiko tiga kali lipat dari
kelompok usia lainnya. Mereka yang memiliki riwayat peradangan saluran cerna seperti
kolik usus kronis, tergolong berisiko tinggi untuk berkembang menjadi kanker kolorektal.
Demikian juga dengan mereka yang memiliki riwayat penyakit kanker tersebut, risiko
terkena penyakit ini bisa menyerang pada kelompok usia mana pun di bawah 60 tahun. 3
Umumnya penderita datang dalam stadium lanjut, seperti kebanyakan tumor ganas
lainnya; 90% diagnosis karsinoma rekti dapat ditegakkan dengan colok dubur. Sampai saat
ini pembedahan adalah terapi pilihan untuk karsinoma rekti. 1,2,3,10

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI DAN ANATOMI


Karsinoma rekti adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum terletak di
anterior sakrum dan coccygeus panjangnya kira kira 15 cm. Rectosigmoid junction terletak
pada bagian akhir mesocolon sigmoid. Bagian sepertiga atasnya hampir seluruhnya
dibungkus oleh peritoneum. Di setengah bagian bawah rektum keseluruhannya adalah
ektraperitoneal.1,2,
Karsinoma merupakan suatu proses pembelahan sel-sel (proliferasi) yang tidak
mengikuti aturan baku proliferasi yang terdapat dalam tubuh (proliferasi abnormal).
Proliferasi ini di bagi atas non-neoplastik dan neoplastik, non-neoplastik dibagi atas :
a. Hiperplasia adalah proliferasi sel yang berlebihan. Hal ini dapat normal karena
bertujuan untuk perbaikan dalam kondisi fisiologis tertentu misalnya
kehamilan.
b. Hipertrofi adalah peningkatan ukuran sel yang menghasilkan pembesaran organ
tanpa ada pertambahan jumlah sel.
c. Metaplasia adalah perubahan dari satu jenis tipe sel yang membelah menjadi
tipe yang lain, biasanya dalam kelas yang sama tapi kurang terspesialisasi.
d. Displasia adalah kelainan perkembangan selular, produksi dari sel abnormal
yang mengiringi hiperplasia dan metaplasia.Perubahan yang termasuk dalam
hal ini terdiri dari bertambahnya mitosis, produksi dari sel abnormal pada
jumlah besar dan tendensi untuk tidak teratur.

Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis
anorektal. Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan
2

sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus
levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula terbentang dari sakrum ke-3
ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Panjang rektum berkisar 10-15 cm,
dengan keliling 15 cm pada rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang
terluas. Pada orang dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan : mukosa, submukosa,
muskularis (sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa.5,11

Gambar 1 : Anatomi Rektum

Gambar 2: Lapisan dinding rektum

Perdarahan arteri daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior,


media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior yang merupakan kelanjutan dari a.
mesenterika inferior, arteri ini bercabang 2 kiri dan kanan. Arteri hemoroidalis merupakan
cabang a. iliaka interna, arteri hemoroidalis inferior cabang dari a. pudenda interna. Vena
hemoroidalis superior berasal dari 2 plexus hemoroidalis internus dan berjalan ke arah
kranial ke dalam v. Mesenterika inferior dan seterusnya melalui v. lienalis menuju v. porta.
Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan alam rongga perut menentukan tekanan di
dalamnya. Karsinoma rektum dapat menyebar sebagai embolus vena ke dalam hati. Vena
hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke v. pudenda interna, v. iliaka interna dan sistem
vena kava.

Gambar 3 : Pembuluh darah Arteri pada rektum

Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang mengalirkan


isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke kelenjar limfe iliaka.
Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan limfadenopati
inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis
seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta.

Gambar 4. Pembuluh darah vena pada rektum

Gambar 5. Pembuluh limfe pada rektum

Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik
berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4, serabut ini
mengatur fungsi emisi air mani dan ejakulasi. Serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3,
dan 4, serabut ini mengatur fungsi ereksi penis, klitoris dengan mengatur aliran darah ke
dalam jaringan.

II. ANGKA KEJADIAN


karsinoma kolorektal merupakan keganasan ke-empat terbanyak di dunia dan
penyebab kematian kedua terbanyak (terlepas dari gender) di Amerika Serikat. Dari data
Globocan 2012, insidensi kanker kolorektal di Indonesia adalah 12,8 per 100.000
penduduk usia dewasa dengan mortalitas 9,5% dari seluruh kasus kanker.
Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi kematian pada
hampir 500,000 kasus tiap tahunnya. (World Health Organization, 2003). Menurut data di
RS Kanker Dharmais pada tahun 1995-2002, kanker rektal menempati urutan keenam dari
10 jenis kanker dari pasien yang dirawat di sana. Kanker rektal tercatat sebagai penyakit
yang paling mematikan di dunia selain jenis kanker lainnya. Namun, perkembangan
teknologi dan juga adanya pendeteksian dini memungkinkan untuk disembuhkan sebesar
50 persen, bahkan bisa dicegah.1,3,4
Dari selutruh pasien kanker rektal, 90% berumur lebih dari 50 tahun. Hanya 5%
pasien berusia kurang dari 40 tahun. Di negara barat, laki laki memiliki insidensi
terbanyak mengidap kanker rektal dibanding wanita dengan rasio bervariasi dari 8:7 - 9:5.
1,2

Gambar 4. Ca rekti

III. ETIOLOGI
Price dan Wilson (1994) mengemukakan bahwa etiologi karsinoma rektum sama
seperti kanker lainnya yang masih belum diketahui penyebabnya. Faktor predisposisi
munculnya karsinoma rektum adalah polyposis familial, defisiensi Imunologi, Kolitis
Ulseratifa, dan Granulomatosis. Faktor predisposisi penting lainnya yang mungkin
berkaitan adalah kebiasaan makan. Masyarakat yang dietnya rendah selulosa tapi tinggi
protein hewani dan lemak, memiliki insiden yang cukup tinggi.
Burkitt (1971) yang dikutip oleh Price dan Wilson mengemukakan bahwa diet
rendah serat, tinggi karbohidrat refined, mengakibatkan perubahan pada flora feces dan
perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak,
dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan
pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil.
Selain itu, masa transisi feses meningkat. Akibatnya kontak zat yang berpotensi
karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.

IV. PATOFISIOLOGI KARSINOMA REKTUM


Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami regenerasi
setiap 6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma terjadi perubahan genetik yang

mengganggu proses diferensiasi dan maturasi dari sel-sel tersebut yang dimulai dengan
inaktivasi gen adenomatous polyposis coli (APC) yang menyebabkan terjadinya replikasi
tak terkontrol. Peningkatan jumlah sel akibat replikasi tak terkontrol tersebut akan
menyebabkan terjadinya mutasi yang akan mengaktivasi K-ras onkogen dan mutasi gen
p53, hal ini akan mencegah terjadinya apoptosis dan memperpanjang hidup sel.

Gambar 5. Patofisiologi Karsinoma Rektum

V. FAKTOR RESIKO
1. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
a. Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar 1%
dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker
pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan
keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun,
8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk
seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan
mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada
pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan
berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif
kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan
segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang

berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan
bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari
displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi
perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.13
b. Penyakit Crohns
Pasien yang menderita penyakit crohns mempunyai risiko tinggi untuk menderita
kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis.
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohns sekitar 20%. Pasien
dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat
yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan
sebuah biopsy dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty.
Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada
fistula kronik pasien dengan crohns disease.14

Gambar 6. Crohns Disease


2. Faktor Genetik
a. Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker
kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai
kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali

10

lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker
kolorektal pada keluarganya.13
b. Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju
mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma
yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan
diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat
jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p
ditunjukkan pada dari seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari
1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar.2 Dua sindrom yang utama dan beberapa
varian yang utama dari sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali
karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal
memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan
hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).13
c. FAP (Familial Adenomatous Polyposis)
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada
kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada
kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun. Pada FAP
yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat
dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat; ketika hal ini terjadi,
direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan
endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali
terdapat terlalu banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan
elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip
harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua
kali sehari selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain
yang mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma,
hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak. Varian dari FAP
termasuk gardners syndrom dan turcots syndrom.13,15

11

Gambar 7. Familial Adenomatous Polyposis & Kolitis Ulseratifa


d. HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynchs sindrom I dan II.2 Generasi
multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur yang muda (45
tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas genetik ini
terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari
abnormal repeating sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite
(mikrosatellite instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari
phenotype mutator, yang dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi error (RER+
phenotype), dimana predisposisi tersebut mengakibatkan seseorang memiliki multitude
12

dari malignansi primer. Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenoma
sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel keratocanthoma, Termasuk kanker dari
endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung dan traktus biliaris. Jika
dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC seringkali poorly
differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi yang mirip crohns (nodul
lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer inflitrasi kanker kolorektal),
kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi muncul
pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi
karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker
kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun.
Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker
kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur 20 tahun
atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker
kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang
didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan dengan pasien
kontrol yang menderita kanker kolorektal pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien
HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan sporadic kanker kolon. Dari penelitian
menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant
kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini. 13,15
3. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian,
meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat
dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara
diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti
epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker
kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan
perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan
asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon
untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif.
Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker
kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara
13

signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan


tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel
disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak
dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti
teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif.
Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma
dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat
memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan.
Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan
kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan
antara diet dan resiko kanker kolorektal.13,16
4. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali
untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan
merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita
adenoma yang berukuran besar.
Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika
dihubungkan dengan pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan
dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas dan
asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan
asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan
aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang
berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan
hubungan yang berkebalikan antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat
diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.
5. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut ( 65 thn) pria dan wanita adalah
61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000
orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per
tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar
setengah dari kanker yang terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat
14

(451 per 100.000), kanker paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176 per
100.000). Sekitar 48% kanker yang terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah
kanker payudara (248 per 100.000), kanker kolon (133 per 100.000), kanker paru paru (118
per 100.000) dan kanker lambung (75 per 100.000).
Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker kolorektal
pada sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan
usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih, dan hanya 3% dari kanker
kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen
kanker terdapat pada usia 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur
kurang dari 65 tahun, dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun.13
Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal sebesar
5%. Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker kolorektal adalah
pada usia diatas 40 tahun. Seseorang dengan usia dibawah empat puluh tahun hanya
memiliki kemungkinan menderita kanker kolorektal kurang dari 10%. Dari tahun 20002003, rata-rata usia saat terdiagnosa menderita kanker kolorektal pada usia 71 tahun.
Insidensi berdasarkan usia dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%, 3544 tahun sebesar 3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74
tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar 12,3%.17
VI. MANIFESTASI KLINIK
1. Histologi
Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi, penanganan dan
prognosis dari kanker. Secara mikroskopis kanker kolorektal mempunyai derajat
differensiasi yang berbeda-beda, tidak hanya dari tumor yang satu dengan tumor yang lain
tetapi juga dari area ke area pada tumor yang sama, mereka cenderung mempunyai
morfologi yang heterogen. Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai adalah
tipe adenocarcinoma (90-95%), adenocarcinoma mucinous (17%), signet ring cell
carcinoma (2-4%), dan sarcoma (0,1-3%).
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 19982001 di Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan
gambaran histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2%
karsinoma lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08%

15

berupa sarcoma. Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous carcinoma dan carcinoid
tumor banyak diketemukan pada wanita. Secara keseluruhan, didapatkan suatu pola
hubungan antara tipe histopatologis, derajat differensiasi dan stadium dari kanker
kolorektal. Adenocarcinoma sering ditemukan dengan derajat differensiasi sedang dan
belum bermetastase pada saat terdiagnosa, signet ring cell carcinoma banyak ditemukan
dengan derajat differensiasi buruk dan telah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain
pula pada carcinoid tumor dan sarcoma yang sering dengan derajat differensiasi buruk dan
belum bermetastase pada saat terdiagnosa, sedangkan small cell carcinoma tidak memiliki
derajat differensiasi dan sering sudah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa.
Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais
(RSKD) didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah
adenocarcinoma [diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)],
dan yang jarang adalah musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%).
Jika dari hasil penelitian di RSKD didapatkan bahwa frekuensi terbanyak adalah
adenocarcinoma dengan derajat differensiasi sedang (38,80%), maka lain halnya dengan
penelitian yang dilakukan oleh Soeripto et al di Jogjakarta pada tahun 2001 yang
mendapati frekuensi derajat differensiasi kanker kolorektal banyak didominasi oleh derajat
differensiasi baik. Perbedaan pola demografik dan klinis yang berhubungan dengan tipe
histopatologis akan sangat membantu untuk studi epidemiologi, laboratorium dan klinis di
masa yang akan datang. 13,16

2. Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain ialah : 1,2,5,7,8,12

Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah segar
maupun yang berwarna hitam.

Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat BAB

Feses yang lebih kecil dari biasanya

16

Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada perut
atau nyeri

Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya

Mual dan muntah,

Rasa letih dan lesu

Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada daerah
gluteus.

3. Metastase
Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat
direseksi. Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase
sering ke hepar, cavum peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan
tulang. Metastase ke otak sangat jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum
menuju vena cava inferior, maka metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama
kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon dimana jalur limfatik dan vena menuju vena
porta, maka metastase kanker kolon pertama kali paling sering di hepar.11

VII. DIAGNOSIS DAN STAGING


1. Diagnosis
Pada orang dewasa dengan risiko sedang, skrining harus dimulai pada individu
berusia 50 tahun dengan pilihan berikut :
1. FOBT atau FIT setiap 1 tahun
2. Sigmoidoskopi fleksibel setiap 5 tahun
3. Kolonoskopi setiap 10 tahun
4. Barium enema dengan kontras ganda setiap 5 tahun
5. CT colonography setiap 5 tahun
United States Preventive Services Task Force (USPSTF) menyaranakan skrining
kanker kolorektal menggunakan gFOBT, sigmoidoskopi, atau kolonoskopi dimulai saat
individu berusia 50 tahun sampai berusia 75 tahun.

17

Tabel 1. Kategori resiko dan rekomendasi skrining


Kategori Resiko
Usia Dimulai
Rekomendasi
Resiko meningkat - pasien dengan riwayat polip pada kolonoskopi sebelumnya
Pasien

dengan

polip

Kolonoskopi atau pilihan

hiperplastik kecil

skrining

lain

dengan

intervensi yang dianjurkan


kepada individual dengan
resiko sedang
Pasien dengan 1 atau 2 buah 5 sampai 10 tahun setelah kolonoskopi
adenoma tubuler denga low-

polipektomi awal

grade dysplasia
Pasien dengan 3 - 10 buah 3 tahun setelah polipektomi Kolonoskopi tiap 5 tahun
adenoam

atau

adenoma

>1

cm

buah awal
atau

adenoma dengan gambaran


vilosa atau displasia derajat
tinggi
Pasien dengan >10 adenoma <3

tahun

setelah kolonoskopi

pada satu kali pemeriksaan


polipektomi awal
Pasien dengan adeno sesil 2 sampai 6 bulan untuk Kolonoskopi, komplit atau
yang diangkat dalam satu memastikan
waktu

pengangkatan tidaknya

yang komplit

berdasarkan

pengangkatan
evaluasi

endoskopik atau patologik


Tabel 2. Kategori risiko dan rekomendasi skrining - lanjutan
Kategori Resiko
Usia Dimulai
Risiko meningkat - pasein dengan kanker kolorektal

Rekomendasi

Pasien dengan kanker kolon 3 - 6 bulan setelah reseksi kolonoskopi


dan rektum harus menjalani kanker, bila tidak didapatkan
kliring

kualitas-tinggi unresectable metastasis

perioperatif
Pasien setelah reseksi kuratif 1 tahun setelah reseksi

kolonoskopi

untuk kanker kolon atau


rektum.
Risiko meningkat - pasien dengan riwayat keluarga

18

Terdapat

riwayat

kolorektal

atau

kanker Usia 40 tahun atau 10 tahun Kolonoskopi, setiap 5 tahun


polip sebelum

kasus

termuda

adenomatus pada keluarga dalam keluarga langsung


derajat

pertama

sebelum

umur 60 tahun atau 2 atau


lebih

keluarga

derajat

pertama pada umur berapa


saja
Terdapat

riwayat

kolorektal

atau

kanker Usia 40 tahun

Pilihan skrining dan interval

polip

dapat disesuaikan dengan

adenomatus pada keluarga

rekomendasi untuk individu

derajat pertama >60 tahun

dengan resiko sedang

atau terdapat dua anggota


keluarga

derajat

kedua

dengan kanker kolorektal


Tabel 3. Kategori Resiko dan rekomendasi skrining-lanjutan
Resiko Tinggi
Diagnostik genetik familial

Usia Dimulai
Usia 10 - 12 tahun

Rekomendasi
Sigmoidoskopi fleksibel

adenomatus polyposis (FAP)

stiap

tanpa

melihat ekspresi genetik

bukti

pemeriksaan

genetik

tahun

untuk

yang abnormal
Pertimbangkan

untuk

pemeriksaan genetik
Bila hasil pemeriksaan
genetik

positif,

pertimbangkan
kolektomi.
Diagnosis genetik atau klinis Usia 20 - 25 tahun atau 10 Kolonoskopi setiap 1-2
hereditary

nonpolyposis

tahun

sebelum

kasus

colon cancer (HNPCC) atau termuda dalam keluarga


individual

dengan

risiko

meningkat HNPCC
Pasien dengan inflammatory

tahun
Pertimbangkan
pemeriksaan

untuk
genetik

untuk HNPCC
Risiko kanker dimulai 8 Kolonoskopi setiap 1-

bowel disease (IBD) atau tahun

setelah

awitan

2tahun
19

kolitis ulseratif kronis atau pankolitis atau 12-15 tahun Biopsi untuk displasia.
kolitis crohn

setelah

awitan

kolitis

sebelah kiri

Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi kanker rektal,
diantaranya ialah : 1,2,5,7,8,9,12
1) Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik Antigen) dan
Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat perdarahan di jaringan
2) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining
awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal,
pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum,
tumor akan teraba keras dan menggaung.

Gambar 7. Pemeriksaan colok dubur pada Ca Rekti

20

Ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan adanya suatu
penonjolan tepi, dapat berupa :
a. suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram yaitu suatu
plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas tegas.
b. suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi umumnya
mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi
c. suatu bentuk khas dari ulkus maligna

dengan tepi noduler yang menonjol

dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling sering)


d. suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk cincin

Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:


a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah
terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung
os coccygis. Pada penderita perempuan sebaiknya juga dilakukan palpasi
melalui vagina untuk mengetahui apakah mukosa vagina di atas tumor tersebut
licin dan dapat digerakkan atau apakah ada perlekatan dan ulserasi, juga untuk
menilai batas atas dari lesi anular. Penilaian batas atas ini tidak dapat dilakukan
dengan pemeriksaan colok dubur.
b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada
lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih
dalam umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan
ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior
vagina atau dinding anterior uterus.
c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik
pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi.

21

3) Dapat pula dengan Barium Enema,. yaitu Cairan yang mengandung barium
dimasukkan melalui rektum kemudian dilakukan seri foto x-rays pada traktus
gastrointestinal bawah.
\

Gambar 8. Foto Rontgen dengan Barium Enema

4) Sigmoidoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope
dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat
diambil untuk biopsi.

22

Gambar 9. Sigmoidoskopi

5) Colonoscopy yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid
apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat colonoscope dimasukkan
melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil
untuk biopsi.
6) Biopsi. Jika ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus
dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling
sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah
karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan
undifferentiated tumors.1,2

2. Staging
The American Joint Committee on Cancer (AJCC) memperkenalkan TNM staging
system, yang menempatkan kanker menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV). 1,2,5
1. Stadium 0

23

Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rektum.yaitu pada
mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis dan
melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar kebagian terluar dinding
rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.

3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat namun tidak
menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak menyebar
kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru, atau
ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer.

24

Gambar 7. Stadium Ca Recti I-IV

Tabel 4. Tumor Primer


Stadium

Deskripsi

T0

No evidence of primary tumor

Tis

Carcinoma in situ : intraepithelial or invasion of lamina propia

T1

Tumor invades submukosa

T2

Tumor invades muscularis propia

T3

Tumor invades through the muscularis propia into pericolorectal


tissue

T4a

Tumor penetrates to the surface of the visceral peritonium

T4b

Tumor directly invades or is adherent to other organs or structures

Tabel 5. Kelenjer Getah Bening (KGB) regional


N Stadium

Regional lymph nodes cannot be assesse

N0

No regional lymph nodes metastasis

N1

Metastases in 1-3 regional lymph nodes

N1a

Metastases in 1 regional lymph nodes

N1b

Metastases in 2-3 regional lymph nodes

N1c
N2

Tumor deposit in the subserosa, mesentery, or nonperitonealized


pericolic or perirectal tissues without regional nodal metastases
Metastases in >4 regional lymph nodes

25

N2a

Metastases in 4-6 regional lymph nodes

N2b

Metastases ini >7 regional lymph nodes

Tabel 6. Metastasis Jauh

M0

No distant metastasis

M1

Distant metastasis

M1a

Metastasis confined to 1 organ or site (e.g. Liver, lung, ovary,


nonregional)

M1b

Metastasis in >1 organ / site or the peritonium

VIII. PENATALAKSANAAN
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa adalah terapi
standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi standar untuk
kanker rektal yang digunakan antara lain ialah :
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk
stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga
dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode penentuan
stadium kanker, banyak pasien kanker rektal dilakukan pre-surgical treatment dengan
radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai
neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan
terutama pada stadium II dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan,
meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien

26

masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel
kanker yang tertinggal. 2,7
Tipe pembedahan yang dipakai antara lain : 1,2,9

Eksisi lokal : jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat dihilangkan
tanpa tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker ditemukan dalam bentuk
polip, operasinya dinamakan polypectomy.

Reseksi: jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan anastomosis. Jiga
dilakukan pengambilan limfonodi disekitan rektum lalu diidentifikasi apakah limfonodi
tersebut juga mengandung sel kanker.

Gambar 8. Reseksi dan Anastomosis


Gambar 9. Reseksi dan Kolostomi

Pengangkatan kanker rektum biasanya dilakukan dengan reseksi abdominoperianal,


termasuk pengangkatan seluruh rectum, mesorektum dan bagian dari otot levator ani dan
dubur. Prosedur ini merupakan pengobatan yang efektif namun mengharuskan pembuatan
kolostomi permanen.
Rektum terbagi atas 3 bagian yaitu 1/3 atas, tengah dan bawah. Kanker yang
berada di lokasi 1/3 atas dan tengah ( 5 s/d 15 cm dari garis dentate ) dapat dilakukan
restorative anterior resection kanker 1/3 distal rectum merupakan masalah pelik. Jarak
antara pinggir bawah tumor dan garis dentate merupakan faktor yang sangat penting untuk
menentukan jenis operasi.
Goligher dkk berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa kegagalan operasi
Low anterior resection akan terjadi pada kanker rectum dengan jarak bawah rectum

27

normal 2 cm. Angka 5 cm telah diterima sebagai jarak keberhasilan terapi. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh venara dkk pada 243 kasus menyimpulkan bahwa jarak lebih dari 3
cm dari garis dentate aman untuk dilakukan operasi Restorative resection. Colonal
anastomosis diilhami oleh hasil operasi Ravitch dan Sabiston yang dilakukan pada kasus
kolitis ulseratif. Operasi ini dapat diterapkan pada kanker rectum letak bawah, dimana
teknik stapler tidak dapat dipergunakan. Local excision dapat diterapkan untuk mengobati
kanker rectum dini yang terbukti belum memperlihatkan tanda-tanda metastasis ke kelenjar
getah bening. Operasi ini dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu transanal,
transpinchteric atau transsacral. Pendekatan transpinshter dan transacral memungkinkan
untuk dapat mengamati kelenjar mesorectal untuk mendeteksi kemungkinan telah terjadi
metastasis. Sedang pendekatan transanal memiliki kekurangan untuk mengamati
keterlibatan kelenjar pararektal.
Pada tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan mempertahankan
sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan amputasi rektum melalui
reseksi abdominoperineal Quenu-Miles. Pada operasi ini anus turut dikeluarkan.
Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan sigmoid
dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limf pararektum dan retroperitoneal
sampai kelenjar limf retroperitoneal. Kemudian melalui insisi perineal anus dieksisi dan
dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui abdomen.
Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan
menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal rendah.
Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma terbatas. Seleksi
penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain dengan menggunakan endoskopi
ultrasonografik untuk menentukan tingkat penyebaran di dalam dinding rektum clan
adanya kelenjar ganas pararektal.

Indikasi dan kontra indikasi eksisi lokal kanker rectum


1. Indikasi
Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate
T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound
Termasuk well-diffrentiated atau moderately well diffrentiated secara histologi
Ukuran kurang dari 3-4 cm
2. Kontraindikasi
Tumor tidak jelas

28

Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound


Termasuk Poorly diffrentiated secara histologi
Transanal Endoscopic Microsurgery (TEM), jika lesi dapat diidentifikasi

secara adekuat di rektum, dapat dilakukan Transanal Endoscopic Microsurgery


(TEM). Prpsedur TEM memudahkan eksisi tumor rektum yang berukuran kecil
melalui anus. Kedua tindakan (eksisi transanal dan TEM) melibatkan eksisi full
thickness yang dilakukan tegak lurus melewati dinding usus dan ke dalam lemak
perirektal
Fragmentasi tumor harus dihindarkan, selain itu harus dipastikan pula
bahwa garis tepi mukosa dan batas tepi dalam harus negatif (>3mm). Keuntungan
prosedur lokal adalah morbiditas dan mortalitas yang minimal serta pemulihan
pasca operasi yang cepat. Keterbatasan eksisi transanal adalah evaluasi penyebaran
ke KGB secara patologis tidak dapat di lakukan. Hal ini menyebabkan angka
kekambuhan lokal lebih tinggi dibandingkan pasien yang mengalami reseksi
radikal.

2. Radiasi
Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III lanjut,
radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Peran lain
radioterapi adalah sebagai sebagai terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor
lokal yang sudah diangkat melaui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis
jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi
yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan resiko kekambuhan
lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastasis
jauh, radiesi telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada
otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki
tumor lokal yang unresectable. 1,2,9

3. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy, (menengani pasien yang tidak terbukti memiliki penyakit
residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan), dipertimbangkan pada pasien
dimana tumornya menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol ( Stadium II
29

lanjut dan Stadium III). Terapi standarnya ialah dengan 5-fluorouracil (5-FU), (5-FU)
dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya,
levamisole, (meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi bagi leucovorin.
Protopkol ini menurunkan angka kekambuhan kira kira 15% dan menurunkan angka
kematian kira kira sebesar 10%. 1,2,9
Obat kemoterapi yang digunakan :
A. 5-Fluorourasil (5-FU)
Secara kimia, fluorourasil suatu fluorinated pyrrimidine, adalah 5-fluoro-2,4
(1H,3H)-pyrimidinedione. 5-Flourourasil (5-FU) merupakan kemoterapi golongan
antimetabolit pirimidin dengan mekanisme kerja menghambat metilasi asam deoksiuridilat
menjadi asam timidilat dengan menghambat enzim timidilat sintase, terjadi defisiensi timin
sehingga menghambat pembentukan asam ribonukleat (RNA).
5-FU efektif untuk terapi karsinoma kolon, rektum, payudara, gaster dan
pankreas.kontraindikasi pada pasien dengan status nutrisi buruk, depresi sumsum tulang,
infeksi berat, dan hipersensitif terhadap fluorourasil. Efek samping penggunaan
flourourasil sebagai berikut :
i.

Stomatitis dan esofagofaringitis, tampak lebih awal

ii. Diare, anoreksia, mual dan muntah.


iii. Tukak dan perdarahan gastrointestinal
iv. Leukopenia (leukosit <3.500/L) atau penurunan leukosit secara cepat
v.

Trombositopenia (trombosit <100.000/L)

vi. Sindrom palmar-plantar erythrodysesthesis atau hand-foot syndrome dan alopesia


B. Leucovorin / Ca-folinat
Leucovorin secara kimia merupakan turunan asam folat yang juga dapat digunakan
sebagai antidotum obat yang bekerja sebagai antagonis asam folat. Leucovorin dapat
30

menambah efek terapi dan efek samping penggunaan fluoropirimidine termasuk 5-FU pada
pengobatan kanker. Leucovorin dengan mudah diubah menjadi turunan folat yang lain,
yaitu

5,10-metilintetrahidrofolat

yang

mampu

menstabilkan

ikatan

asam

fluorodeoksiuridilat terhadap timidilat sintase dan dengan demikian meningkatkan


penghambatan enzim tersebut.
Leucovorin tidak boleh digunakan pada anemia pernisosa dan anemia
megaloblastik yang lain, sekunder akibat kekurangan vitamin B12.
C. Capecitabine
Adalah sebuahfluoromidin karbamatyang dirancang sebagai obat kemoterapi oral,
merupakan prodrug fluorourasil yang mengalami hidrolisis di hati dan jaringan tumor
untuk membentuk fluorourasil yang aktif sebagai antineoplastik
D. Oxalipatin
Mekanisme kerja oxalipatin sama seperti senyawa dasar platinum lainnya. Setelah
mengalami hidrolisi intraselular, platinum berikatan dengan DNA membentuk ikatan silang
yang menghambat replikasi DNA dan transkripsinya sehingga menyebabkan kematian sel.
E. Irinotecan
Irinotecan adalah bahan semisintetik yang mudah larut dalam air dan merupakan
derivat alkaloid sitotoksik yang diekstraksi dari tumbuhan Camptotheca acuminata.
Irinotecan dan metabolit aktifnya, SN-38, menghambat kerja enzim topoisomerase 1, yaitu
enzim yang memecah DNA selama proses replikasi DNA. Irinocetan dan sn-38 mengikat
DNA topoisomerase 1 sehingga pemecahan DNA yang menghasilkan dua DNA baru
dicegah dan terjadi kematian sel.

4. Terapi Biologis

A. Bevacizumab

31

Bevacizumab diberikan secara infus intravena dalam waktu 30-90 menit dengan
dosis 5mg/kg bila dikombinasikan dengan regimen kemoterapi siklus 2 mingguan dan
dosis 7,5 mg/kg bila dikombinasikan dengan regimen kemoterapi siklus 3 mingguan.
Efek samping pada penggunaan bevacizumab :
-. Perforasi gastrointestinal
-. Perdarahan
-. Tromboemboli
-. Hipertensi
-. Neutropenia
-. Gagal jantung kongestif
B. Cetuximab
Merupakan antibodi monoklonal chimeric mouse/ rekombinan manusia yang
mengikat secara spesifik reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR, HER1< c-ErB-1)
dan secara kompetitif menghambat ikatan EGF dan ligan lain. Ikatan dengan EGFR akan
menghambat fosforilasi dan aktivasi reseptor kinase terkait, menghasilkan hambatan
pertumbuhan sel, induksi apoptosis, penurunan matrix metalloproteinase serta produksi
VEGF.
C. Ziv-Aflibercept
Aflibercept merupakan protein rekombinan yang memiliki bagian reseptor 1 dan 2
VEGF manusia yang berfusi pada porsi Fc dari IgG manusia. Didesain sebagai perangkap
VEGF untuk mencegah aktivasi reseptor VEGF dan selanjutnya menghambat
angiogenesis.
D. Panitumumab, Regorafenib, BIBF 1120, cediranib
Panitumumab, Regorafenib, BIBF 1120, cediranib merupakan targeted therapy
yang belumtersedia di Indonesi. Panitumumab merupakan antibodi monoklonal murni dari
32

manusia. Mekanisme kerjanya sama dengan cetuximab. Kedua antibodi monoklonal ini
diindikasi pada pasien metastasis kanker kolorekral dengan KRAS dan NRAS wild type.
Regorafenib adalah target multipel VEGFR2-TIE2 tyrosine kinase inhibitor, yang
meliputi reseptor VEGF, resptor fibroblast growth factor (FGF), reseptor platelet derived
growth factor (PDGF), BRAF, KIT dan RET yang melibatkan berbagai proses termasuk
pertumbuhan tumor dan angiogenesis.

Tabel 7. Rangkuman penatalaksanaan kanker rektum

Stadium

Terapi

Stadium 1

Eksisi transanal (TEM)


Reseksi transabdominal + pembedahan teknik TME
bila risiko tinggi, observasi

Stadium IIA - IIIC

Kemoradioterapi neoajuvan (5-FU/RT jangka pendek


atau capecitabine/RT jangka pendek

Stadium IIIC dan atau locally

Neoajuvan : 5-FU/RT atau Cape/RT

unresectable
5FU/leuco/ RT (RT ; jangka panjang 25x) reseksi
trans-abdominal + teknik TME bila memungkinkan
Ajuvan pada T apapun (5-FU + leucovorin atau
FOLFOX atau CapeOx)
Stadium

IVA/IVB

(metastasis Kombinasi kemoterapi

dapat direseksi)
Reseksi staged/ synchronous lesi metastasis + lesi

33

rektum atau 5-FU/RT pelvis


Lakukan pengkajian ulang untuk menentukan stadium
dan kemungkinan reseksi
Stadium

IVA/IVB

(metastasis Kombinasi kemoterapi atau 5-FU/RT pelvik.

borderline resectable)
Lakukan pengkajian ulang untuk menentukan stadium
dan kemungkinan reseksi
Stadium

IVA/IVB

(metastasis Bila simptomatik, terapi simptomatis : reseksi atau

synchronous tidak dapat direseksi stoma atau kolon stenting


atau secara medis tidak dapat
dioperasi)

Lanjutkan dengan kemoterapi paliatif untuk kanker


lanjut
Bila asimptomatik berikan terapi non-bedah lalu kaji
ulang untuk menentukan kemungkinan reseksi.

Regimen terapi ajuvan :

1. mFOLFOX6
a.

Oxalipatin 85 mg/ m IV selama 2 jam, hari ke-1

b.

Leucovorin 400 mg/m selama 2 jam, hari ke-1

c.

5-FU 400 mg/m IV bolus pada hari ke -1 kemudian 1200mg/m/hari x 2 hari (total
2400mg/m selama 46-48 jam) secara IV infus kontinyu.

d.

Ulangi setiap 2 minggu

34

2. CapeOX
a.

Oxaliplatin 130 mg/m selama 2 jam, hari ke-1

b.

Capecitabine 1000 mg/m 2x sehari, per oral hari ke-1 sampai hari ke-14

c.

Ulangi setiap 3 minggu x 24 minggu.

Regimen terapi paliatif :

1.

mFOLFOX6

a.

Oxaliplatin 85 mg/m IV selama 2 jam, hari ke-1

b.

Leucovorin 400 mg/m IV selama 2 jam, hari ke-1

c.

5-FU 400 mg/m IV bolus pada hari ke-1, kemudian 1200 mg/m/hari x 2 hari (total
2.400 mg/m selama 46-48 jam) secara IV infus kontinyu.

d.

Ulangi setiap 2 minggu

2. mFOLFOX6 + Bevacizumab
a.

Oxaliplatin 85 mg/m IV selama 2 jam, hari ke-1

b.

Leucovorin 400 mg/m IV selama 2 jam, hari ke-1

c.

5-FU 400 mg/m IV bolus pada hari ke-1, kemudian 1200 mg/m/hari x 2 hari (total
2.400 mg/m selama 46-48 jam) secara IV infus kontinyu.

d.

Bevacizumab 5 mg/kg IV, hari ke-1

e.

Ulangi setiap 2 minggu

35

3. CapeOX
a.

Oxalipatin 130 mg/m selama 2 jam, hari ke-1

b.

Capecitabine 1.000 mg/m 2x sehar, per oral selama 14 hari

c.

Ulangi setiap 3 minggu

4. CapeOX + Bevacizumab
a.

Oxalipatin 130 mg/m selama 2 jam, hari ke-1

b.

Capecitabine 1.000 mg/m 2x sehar, per oral selama 14 hari

c.

Bevacizumab 7,5 mg/kg IV, hari ke-1

d.

Ulangi setiap 3 minggu.

IX. PROGNOSIS
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah sebagai berikut :
a. Stadium I - 72%
b. Stadium II - 54%
c. Stadium III - 39%
d. Stadium IV - 7%

Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa
kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi.
Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama setelah operasi.
Faktor faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli

36

bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh batas - batas negatif
tumor. 2

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Hassan, Isaac., 2006. Rectal carcinoma. Available from

www.emedicine.com.

(Download : 18 Juni 2009)


2. Cirincione, Elizabeth., 2005. Rectal Cancer. Available from www.emedicine.com.
(Download : 18 Juni 2009).
3. Anonim, 2006. Mengatasi Kanker Rektal. Republika online. Available from
www.republika.co.id. (Download : 18 Juni 2009)
4. American Cancer Society, 2006. Cancer Facts and Figures 2006. American Cancer
Society Inc. Atlanta
5. Anonim, 2006. A Patients Guide to Rectal Cancer. MD Anderson Cancer Center,
University of Texas.
6. Azamris, Nawawir Bustani, Misbach Jalins., 1997. Karsinoma Rekti di RSUP Dr.
Jamil

Padang,

Cermin

dunia

Kedokteran

No.120.

Available

from

http://www.kalbe.co.id (Download : 18 Juni 2009)


7. Anonim, 2006. Rectal Cancer Facts : Whats You Need To Know. Available from
Available from www.healthABC.info. (Download : 18 Juni 2009)
8. Anonim, 2006. Rectal Cancer - Overview, Screening, Diagnosis & Staging.
Available from www.OncologyChannel.com. (Download : 18 Juni 2009)
9. Anonim,

2005.

Rectal

Cancer

Treatment.

Available

from

www.nationalcancerinstitute.htm. (Download : 18 Juni 2009)


10. Marijata, 2006. Pengantar Dasar Bedah klinis. Unit Pelayanan Kampus, FK UGM.
11. De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
12. Mansjoer Arif et all, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Penerbit Buku
Media Aesculapius. Jakarta.
13. Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott Willi ams
& Wilkins: USA.p 201
14. Schwartz SI, 2005. Schwartzs Principles of Surgery 8th Ed. United States of
America: The McGraw-Hill Companies.
38

15. Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer. the New England Journal
of Medicine. Available from www.pubmed.com. p.348:919-932, (Download : 24
Juni 2009)
16. Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of
Cancer

Prevention,

(Online),

2003;

Vol.

4,

No.

4,

Available

from

http://www.apocp.org/ cancer_download/Vol4_No4/Soeripto.pdf,. (Download : 24


Juni 2009)
17. National Cancer Institute. 2006. SEER Cancer Statistics Review 1975-2003,
Available from http://seer.cancer.gov/statfacts/html/colorect.html. (Download : 24
Juni 2009)
18. Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia . 2014. Panduan
Penatalaksanaan Kanker Kolorektal.

39

Anda mungkin juga menyukai