Anda di halaman 1dari 34

STATUS PASIEN

I. Keterangan Umum
Nama

: Tn. Kusnadi

Umur

: 61 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Pasanggrahan RT 01/06, Kel/Desa Talagasari, Kec


Kawalu

II.

Status Martial

: Menikah

Pekerjaan

: Pensiunan PNS

Tanggal pemeriksaan

: 14 09 - 2015

Anamnesa
Keluhan utama
Keluar darah dari hidung
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli THT dengan keluhan keluar darah di kedua
lubang hidung sejak 3 hari yang lalu, awalnya pada jumat siang ketika solat
jumat tiba-tiba mengeluarkan darah dari lubang hidung sebelah kanan
dengan warna darah yang merah segar, darah yang keluar banyak, dengan
frekuensi waktunya 20 menit, lalu berhenti sendiri dengan menggunakan
daun sirih. Namun pada malam hari os mengeluarkan darah dari hidung
kembali yang dimana sekarang pada kedua lubang hidung sehingga os
memutuskan berobat ke RS. Os juga mengeluh sering pilek pada pagi hari
namun menghilang bila menjelang siang. Untuk riwayat trauma pada hidung
disangkal oleh Os.
Untuk riwayat pada telinga dan tenggororokan os mengaku tidak ada
keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi (+) sejak 2 tahun lalu


DM (-)
Asma (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada yang mengeluh gejala seperti ini dikeluarga

Riwayat Pengobatan
Pasien berobat ke puskesmas untuk riwayat hipertensi

Riwayat Alergi
Alergi pada cuaca dingin.

III.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah: 170/100 mmHg
Nadi
: 108x/menit
Respirasi
: 24x/menit
Suhu
: 36,6C
Status Generalis
Kepala
:DBN
Leher
:DBN
Thorax
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Neurologis
: Tidak dilakukan pemeriksaan
STATUS LOKALIS
Telinga
Bagian
Preaurikula
Aurikula
Retroaurikula

Kelainan
Kelainan kongenital
Radang dan Tumor
Trauma
Kelainan kongenital
Radang dan Tumor
Trauma
Edema
Hiperemis
Nyeri tekan

Auris
Dextra
-

Sinistra
-

Sikatriks
Fistula
Fluktuasi
Kelainan kongenital
Kulit
Sekret
Serumen
Edema
Jaringan Granulasi
Massa
Kolesteoma
Warna
Intak
Cahaya

Canalis
Akustikus
Externa

Membran

DBN
(+) minimal
Abu-abu, keruh
utuh
(-)

DBN
(+) minimal
Abu-abu, keruh
utuh
(-)

Timpani

Tes Pendengaran
Pemeriksaan
Tes Bisik/Suara
Tes Rinne
Tes Webber
Kesan
: ADS normal

Auris
Dextra
Sinistra
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
+
+
Tidak ada lateralisasi

Hidung
Pemeriksaan
Keadaan luar
Bentuk dan
ukuran

Nares
Dextra
Normal

Sinistra
Normal

Rhinoskopi
Anterior

Mukosa
Sekret
Krusta
Konka inferior
Septum
Polip/tumor

hiperemis
mukus
oedem
normal
-

hiperemis
mukus
oedem
normal
-

Pasase udara

Rhinoskopi
posterior

Mukosa
Koana
Sekret
Torus tubarius
Fossa rosenmuller
Adenoid

Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai

Mulut dan Orofaring


Mulut

Tonsil

Mukosa mulut
Lidah
Palatum molle
Gigi geligi
Uvula
Halitosis
Mukosa
Besar
Kripta
Dentritus
Perlengketan

Merah muda
DBN
DBN
Tidak ada caries
medial
Merah muda
Merah muda
T1
T1
Tidak melebar
Tidak melebar
-

Faring
Laring

Maksilofasial
Bentuk
Parase N.Kranial
Leher

IV.

Mukosa
Granulasi
Post nasal drip
Epiglottis
Kartilago aritenoid
Plika ariepiglotika
Plika vestibularis
Plika vokalis
Rima glottis
Trakea

Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai

: DBN
:: DBN

Resume
Anamnesa
Telinga

Otalgia (-)
Tinitus (-)
Hearing loss (-)
Sekret (-)
Otorea (-)

Hidung

Rhinorea (+)
Hidung tersumbat (+)
Epistaksis (+)
Nyeri (-)
Bersin (-)

Tenggorokan

Odinofagia (-)
Disfagia (-)

Disfonia (-)
Halitosis (-)
Pemeriksaan fisik
a. Status generalis
- Keadaan umum

: Tampak sakit sedang


TD 170/100 mmHg

b. Status lokalis
- ADS
- CN

NPOP
MF
Leher

: Serumen (+) ADS


: Rhinoskopi anterior :
Mukosa hiperemis (+)
Sekret (+) mukus
Konka Inferior oedem (+)
: Sulit dinilai
: Bentuk: DBN
: DBN

V.

Diagnosis banding
Epitaksis anterior ec Hipertensi
Epitaksis posterior ec Hipertensi

VI.

Diagnosis kerja
Epitaksis anterior ec Hipertensi

VII.

Usulan pemeriksaan
Darah lengkap

VIII. Penatalaksanaan
1. Umum
- Tampon Anterior
- Hindari kontak

dengan

alergen

penyebabnya

(debu,cuaca

dingin,makanan)
2. Medikamentosa
-

Infus RL 20 tpm

antibiotik cefadroxyl 2x500 mg

fibrolitik Asam traneksamat 2x500 mg

Anti-hipertensi Amlodipin 1x10 mg

3. Operatif
IX.

Prognosis
4. Quo ad vitam
:Dubia ad bonam
5. Quo ad functionam : Dubia ad bonam

Laporan Follow Up
Tan
Keadaan Klinis
Program
ggal
14
Vital sign
Terapi dilanjutkan
KS : compos mentis
TD : 140/90 mmHg
Ganti Tampon
N : 82 x /menit
Transfusi Darah
R : 22 x / menit
S: 36,6 o C
Permasalahan :
Os masih mengeluh keluar darah
dari hidung bewarna merah segar

15

Hb = 7,1 g/dl
Vital sign
KS : compos mentis
TD : 160/100 mmHg
N : 100 x/ menit
R : 24x/menit
S : 36,5 o C

Terapi dilanjutkan

Permasalahan :
Post Transfusi 2 labu Hb = 7,7 g/dl

16

Vital sign
KS : compos mentis
TD : 160/100 mmHg
N : 100 x/ menit
R : 24x/menit
S : 36,5 o C

Terapi dilanjutkan

Permasalahan :
Post Transfusi 3 labu Hb = 8,8 g/dl

TINJAUAN PUSTAKA
A.

HIDUNG
1. Anatomi
Hidung terdiri dari hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar berbentuk
piramid, bagiannya (dari atas ke bawah) yaitu pangkal hidung (bridge), dorsum nasi,
puncak hidung, ala nasi, kolumela, lubang hidung (nares anterior). Sedangkan bagian
hidung dalam terdiri dari vestibulum dan cavum nasi. Tiap kavum nasi memiliki 4
buah dinding yaitu :
-

medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yaitu
lamina prependikularis, vomer, krista nasalis os maksilla, krista nasalis os palatina,

kartilago septum, dan kolumela


lateral adalah konka yang terdiri dari konka inferior, media, dan superior. Diantara
konka tersebut dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus.
1. Concha nasalis superior
-Meatus nasi superior
2. Concha nasalis media
-Meatus nasi medius
3. Concha nasalis inferior
-Meatus nasi inferior
Dasar cavum nasi
Pada meatus medius terdapat muara sinus frontalis, maksila, dan etmoid anterior.
Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sfenoid.

inferior adalah os maksilla & os palatum


superior adalah lamina kribiformis

Vaskularisasi

10

Bagian bawah hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna,


di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina lalu memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang
a.fasialis.
Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari a.etmoid aanterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian
depan septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior, a.palatina mayor (Pleksus Kiesselbach) .

Vena-vena di hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arterinya. Vena di vestibulum & struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
Inervasi
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari
cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus
trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang
kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior
dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina

11

kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior
melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis
internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum
Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus
petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas
ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
2. Fisiologi
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
hidung dan sinus paranasal adalah :
1.

Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi,


penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal

2.

Fungsi penghidu karema terdapatnya mukosa olfaktorus dan reservoir udara


untuk menampung stimulus penghidu

3.

Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses biacara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang

4.

Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas

5.

Refleks nasal.

12

Epitaksis
2.1.

Definisi
Merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu penyakit,

melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai serius
dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya
berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.
1.

Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung, umumnya mudah
diatasi dan dapat berhenti sendiri.

2.

Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat menimbulkan syok
dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya iskemia serebri, insufisiensi koroner
dan infark miokard yang kalau tidak cepat ditolong dapat berakhir dengan kematian.
Pemberian infus dan transfusi darah serta pemasangan tampon atau tindakan lainnya
harus cepat dilakukan. Disamping itu epistaksis juga dapat merupakan tanda adanya
pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini juga memerlukan
penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan diagnosis dan menentukan
modalitas pengobatan yang terbaik.

2.2.

Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya,

kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh


kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma,
kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor,
pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler,
kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan
kelainan kongenital.

13

Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau akibat trauma
yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga
bias terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya septum yang tajam. Perdarahan
dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan
bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.

Kelainan pembuluh darah (lokal)


Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan selselnya lebih sedikit.

Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis
atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberculosis, lupus,
sifilis, atau lepra.

14

Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering
terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.

Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada
arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi sering kali
hebat dan dapat berakibat fatal.

Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis anatara lain leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemofilia.
Kelainan Kongenital
Kelainan

kongenital

yang

sering

menyebabkan

epistaksis

adalah

teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis OslerRendu-Weber disease), juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.

15

Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah (dengue
hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbilli juga dapat disertai
epistaksis.

Perubahan udara dan tekanan atmosfir


Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya
sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di
tempat industry yang menyebabkan keringnya mukosa hidung

Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.

Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan sistemik.
Etiologi lokal

Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek hidung,
fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.

Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas. Tersering adalah
tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri perdarahan yang hebat dan

16

karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan berulang ringan bercampur lendir atau
ingus.

Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang pada
anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal tersering.
Eiologi lainnya yaitu :

iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada mukosa

hidung;
Keadaan lingkungan yang sangat dingin
Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba tiba
Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama
Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai
Ingus berbau busuk.

Etiologi sistemik

Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis.


Hipertensi yang disertai atau tanpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab
epistaksis tersering pada usia 60-70 lahun.

Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.

Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili, demam


tifoid dll.

Termasuk etiologi sistemik lain

Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya pada


kehamilan, menarke dan menopause

17

kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau

penyakit Rendj-Osler-Weber;
Peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronkitis, pertusis,

pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung


pada pasien dengan pengobatan antikoagulansia.

2.3.

Epidemiologi
Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, sering pada anak, agak jarang pada

orang dewasa muda, dan lebih banyak lagi pada orang dewasa tua. Epistaksis atau
perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian dari
epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun dan
>50 tahun. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada anak- anak dan dewasa muda,
sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia lebih tua, terutama pada
laki- laki berusia 50 tahun dengan penyakit hipertensi dan arteriosklerosis. Pasien
yang menderita alergi, inflamasi hidung dan penyakit hidung lebih rentan terhadap
terjadinya epistaksis, karena mukosanya lebih kering dan hiperemis yang disebabkan
oleh reaksi inflamasi.
Kira- kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung berdarah
beberapa kali dalam hidupnya. Sekitar 30% anak- anak umut 0-5 tahun, 56% umur 610 tahun dan 64% berumur 11- 15 tahun mengalami satu kali epistaksis. Sebagai
tambahan, 56% orang dewasa dnegan perdarahan hidung berulang pernah mengalami
kejadian serupa pada saat kecil.

18

2.4.Sumber perdarahan
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.
Epistaksis anterior

Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior. Perdarahan


biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.

Pada saat pemeriksaan dengan lampu kepala, periksalah pleksus Kiesselbach


yang berada di septum bagian anterior yang merupakan area terpenting pada
epistaksis. la merupakan anastomosis cabang a.etmoidalis anterior, a.sfenopaltina, a.
palatina asendens dan a.labialis superior. Terutama pada anak pleksus ini di dalam
mukosa terletak lebih superfisial, mudah pecan dan menjadi penyebab hampir semua
epistaksis pada anak.

Epistaksis posterior
umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari. Umumnya
berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian besar darah mengalir
ke rongga mulut dan memerlukan pemasangan tampon posterior untuk mengatasi
perdarahan. Sering terjadi pada penderita usia lanjut dengan hipertensi.

19

2.5.

Patofisiologi
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris interna

yaitu arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat
perdarahan dari arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan)
dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior
dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus kiesselbach (littles area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar
melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang
masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus
epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan

20

berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga
hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan
dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak
terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis
posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat jarang
berhenti spontan.
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan
lanjut,terlihat

perubahan

progresif dari

otot pembuluh

darah tunika

media

menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial


sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika
media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.
Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah
terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding
pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
Hipertensi dapat membuat kerusakan yang berat pada pembuluh darah di
hidung (terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang
dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis

21

2.6.

Diagnosis
Penegakkan diagnosis epistaksis memerlukan ketelitian dalam melakukan

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan jika diperlukan bersamaan


dengan persiapan untuk menghentikan epistaksis. Setelah perdarahan berhenti,
lakukan evaluasi untuk menentukan penyebab.
Dari anamnesis yang dapat digali adalah :
1.

Riwayat perdarahan sebelumnya

2.

Lokasi perdarahan

3.

Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah


keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?

4.

Lama perdarahan dan frekuensinya

5.

Kecenderungan perdarahan

6.

Hipertensi

7.

Diabetes mellitus

8.

Penyakit hati

9.

Penggunaan antikoagulan

10.

Trauma hidung yang belum lama

11.

Obat-obatan, seperti aspirin, fenibutazon

22

Pada pemeriksaan fisik diawali dengan kesadaran, tanda vital, pemeriksaan


kepala sampai ekstremitas. Pada epistaksis anterior, keadaan umum pasien baik, tidak
ada gangguan tanda vital, dan tidak ditemukannya tanda hipoperfusi. Sedangkan pada
epistaksis posterior, pemeriksaan fisik sangat bergantung dengan jumlah dan waktu
perdarahan. Kesadaran pasien dapat menurun, dapat terjadi gangguan tanda vital
hingga menunjukkan tanda syok seperti nadi lemah, hipotensi, takipnea, akral dingin.
Epistaksis posterior dicurigai bila (1) sebagian besar perdarahan terjadi ke
dalam faring, (2) suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau (3) nyata
dari pemeriksaan hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan superior.

Pemeriksaan yang diperlukan berupa :


1.

Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat

2.

Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma

3.

Pengukuran tekanan darah


Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang

4.

Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi

5.

Skrinning terhadap koagulopati


Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin
parsial, jumlah platlet dan waktu perdarahan

23

2.6.

Penatalaksanaan
Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan

perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulang nya epistaksis.


Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya
dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah,
perlu dibersihkan atau dihisap. Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari
sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah
mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah
sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus
diperhatikan jangan sampai darah masuk ke saluran napas bagian bawah. Pasien anak
duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak
bergerak-gerak.
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan
darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian dipasang tampon sementara yaitu
kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000 1/10.000 dan pantocain atau
lidocain 2% dimasukan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan
mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu
dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat
apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.
Perdarahan Anterior
Perdarahan seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan.
Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak,

24

dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung luar selama 10-15 menit, seringkali
berhasil. Pasien dengan perdarahan aktif lewat bagian depan hidung harus duduk
tegak, menggunakan apron plastic serta memegang suatu wadah berbentuk ginjal
untuk melindungi pakaiannya. Gulungan kapas yang telah dibasahi larutan kokain 4%
dimasukkan dengan hati-hati ke dalam hidung sambil mengaaspirasi darah yang
berlebihan.
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik
dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim
antibiotik.

Bila dengan cara ini perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas
vaselin atau salep antibiotik. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan
teratur dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang rongga
hidung, serta harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama
2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini
dilaukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila
perdarahan belum berhenti dipasang tampon baru.

25

Bila hanya memerlukan tampon anterior tanpa adanya gangguan medis


primer, pasien dapat diperlakukan ssebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk
duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala ditinggikan pada malam hari.
Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.
Perdarahan Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab perdarahan hebat
dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Penanganan
epistaksis posterior antara lain adalah blok ganglion sfenopalatinum, tampon hidung
posterior, atau ligase pembuluh spesifik.
Blok Ganglion Sfenopalatinum
Pada kasus epistaksis posterior, blok sfenopalatinum dapat bersifat diagnostik
dan terapeutik. Injeksi 0,5 ml Xilokain 1% dengan epinefrin 1:100.000 secara hatihati ke dalam kanalis palatina mayor yang akan menyebabkan vasokontriksi arteri
sfenopalatina. Disamping vasokontriksi, injeksi ini juga menimbulkan anastesia untuk
prosedur pemasangan tampon hidung posterior. Bila perdarahan berasal dari cabang
arteri sfenopalatina, maka epistaksis akan berkurang dalam beberapa menit.
Berkurangnya perdarahan ini hanya berlangsung singkat hingga Xilokain diabsorbsi,
untuk itu dapat digunakan Gliserin (USP 2%) dan Xilokain untuk efek yang lebih
lama. Jika injeksi tidak member efek, maka perdarahan mungkin berasal dari arteri

26

etmoidalis posterior. Metode ini lebih sering digunakan oleh spesialis karena
komplikasinya ke okular.
Tampon Hidung Posterior
Suatu tampon posterior yang dimasukkan melalui mulut dapat ditarik
memakai kateter melalui hidung ke dalam koana posterior. Suatu spons berukuran
4x4 inchi yang digulung erat dan diikat dengan benang sutera No.1 merupakan
tampon yang baik. Dapat diolesi dengan salep antibiotic topikal untuk mengurangi
insidens infeksi. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan
tampon posterior (tampon Bellocq). Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk
kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah
di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan
bantuan kateter karet yang dimasukan dari lubang hidung sampai tampak di
orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang
tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang
keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk
dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka
dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari
hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon
yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut
diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon
keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat
menyebabkan laserasi mukosa.

27

Tamponade dengan berbagai balon hidung komersial yang dimasukkan lewat


depan dan kemudian ditiup, dapat pula dilakukan. Beberapa pabrik membuat balon
dengan dua ruang terpisah, yang satu berfungsi sebagai tampon anterior, dan yang
satunya sebagai tampon posterior. Suatu kateter Folay no.14 biasa dengan suatu
kantung 15cc juga dapat dimasukan tranasal, dikembangkan dan ditarik rapat pada
koana posterior. Posisi kateter dapat dipertahankan dengan suatu klem umbilicus.
Yang paling sering dilakukan adalah memasukan suatu kateter melalui hidung,
ditangkap pada faring dan kemudian dikeluarkan lewat mulut. Dua benang yang
melekat pada tampon diikatkan pada kateter yang menjulur dari mulut. Tali ketiga
yang melekat pada tampon dibiarkan menggantung dalam faring sebagai tali penarik.
Kateter kemudian ditarik keluar melalui hidung depan untuk menempatkan tampon
pada koana. Jika perlu, tampon dapat dibantu penempatannya dengan jari dokter
hingga berada diatas palatum mole. Posisi tampon harus cukup kuat dan tidak boleh
menekan palatum mole. Sementara tegangan dipertahankan melalui kedua tali yang
keluar dari hidung depan, dokter harus menempatkan tampon anterior diantara kedua
tali dan kedua tali diikatkan simpul pada gulungan kasa kecil. Kedua tali harus
dikeluarkan lewat lubang hidung yang sama dan tidak diikatkan pada kolumela, hal

28

ini dapat menimbulkan nekrosis jaringan lunak. Pasien yang memasang tampon harus
dirawat dirumah sakit.
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri,
dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti
tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Akhir-akhir ini juga
banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau
tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya pemakaian
endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a.
sfenopalatina dengan panduan endoskop.
Ligasi Pembuluh Spesifik
Bila tampon posterior dan anterior gagal mengendalikan epistaksis, maka
perlu dilakukan ligase arteri spesifik. Arteri tersebut antara lain arteri karotis eksterna,
arteri maksilaris interna dengan cabang terminusnya, arteri sfenopalatina dan arteri
etmoidalis posterior anterior.

2.7.

Komplikasi

29

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai
akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran
napas bagian bawah, nekrosis septum, aspirasim sinusitis, eksaserbasi dari sleep
obstructive apnea, hipoksia, syok, anemia, hipotensi, iskemia serebri, insufisiensi
koroner, sampai infark miokard dan hingga kematian. Dalam hal ini pemberian infus
atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu
diberikan antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media,
septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan
antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus
dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu dapat
terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius,
dan air mata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara retrograd
melalui duktus nasolakrimalis. Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat
menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari
mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh
dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung dan
septum.

30

PEMBAHASAN
Pasien datang ke Poli THT dengn keluhan keluar darah di kedua lubang
hidung sejak 3 hari yang lalu, awalnya pada jumat siang ketika solat jumat tiba-tiba
mengeluarkan darah dari lubang hidung sebelah kanan dengan warna darah yang
merah segar, darah yang keluar banyak, dengan frekuensi waktunya 20 menit, lalu
berhenti sendiri dengan menggunakan daun sirih, namun pada malam hari os
mengeluarkan darah dari hidung kembali.

31

Riwayat penyakit dahulu sebelumnya tidak pernah seperti ini, HT(+) , DM,
dan penyakit kelainan darah (-), riwayat trauma pada wajah/hidung (-). Riwayat
pengobatan sering berobat ke puskesmas untuk mengontrol hipertensi. Riwayat
Penyakit Keluarga dikeluarga tidak ada yang seperti ini Pemeriksaan hidung
ditemukan Mukosa hiperemis (+)

Sekret (+) mukus, Konka Inferior oedem (+).

Pada pemeriksaan lab darah ditemukan Hb=7,7g/dl. Maka dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik, maka dapat diambil diagnosis sementara yaitu epistaksis anterior.
Mekanisme epistaksis dari pasien adalah :
Etiologi

Pecahnya pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior

Epiktaksis

Pasien diberikan terapi berupa :


Nonmedikamentosa
Pasang tampon
Medikamentosa
Infus RL 20 tpm
Mengandung Na, K,

Ca,

Cl,

Basa.

Diindikasikan

untuk

mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan


syok hipovolemik.
Kalnex
Mengandung asam traneksamat. Diindikasikan untuk fibrinolisis lokal
(epistaksis), edema angioneurotik hereditas, perdarahan abnormal
sesudah operasi, perdarahan setelah operasi, menoragia. Dosis yang
diberikan injeksi 1-2 x/hr ,oral 3-4 x 500 mg.
Cefradoxyl
Golongan antibiotik gram positif. Diindikasikan untuk infeksi berat.
Amlodipin
Golongan obat anti-hipertensi yang menghambat kanal kalium.

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Higler PA. In Adam GL. Boeis LR. Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
ke-6. Jakarta : EGC, 1997
2. Moore KL, Anne MR. Anatomi klinis dasar. Jakarta : Hipokrates. 2002
3. Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Kepala, Leher Ekstremitas
Atas Jilid I. Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta; 2000.

33

4. Mangunkusumo E, dan Soetjipto D. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N,


Bahiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI, 2007
5. Guyton AC. Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta :
EGC
2007; Hal 505.

34

Anda mungkin juga menyukai