Anda di halaman 1dari 3

PROSTITUSI

Pelacuran atau Prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang
harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan.
Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan.
Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Di kalangan masyarakat
Indonesia pelacuran dipandang negatif dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya
sering dianggap sebagai sampah masyarakat, namun ada pula pihak yang menganggap
pelacuran sebagai sesuatu yang buruk bahkan jahat.
Hampir di setiap media massa baik koran, majalah, dan televisi memberikan
gambaran yang nyata tentang kehidupan masyarakat khususnya tentang pelacuran atau
prostitusi dengan segala permasalahannya. Berbagai tindakan dan langkah-langkah strategis
telah

diambil pemerintah

dalam menangani

masalah ini,

baik dengan

melakukan

tindakan persuatif melalui lembaga-lembaga sosial sampai menggunakan tindakan represif


berupa penindakan bagi mereka yang bergelut dalam bidang pelacuran tersebut. Tetapi
kenyataan yang dihadapi adalah pelacuran tidak dapat dihilangkan melainkan memiliki
kecenderungan untuk semakin meningkat dari waktu ke waktu. Pelacuran merupakan profesi
tertua di dunia, yang nampaknya sulit dihilangkan selama hukum penawaran dan permintaan
tetap berlaku di bidang itu.
Jika dipandang dari sisi agama, baik agama islam maupun agama lainnya jelas
prostitusi itu dilarang. Dalam agama Islam, prostitusi merupakan salah satu perbuatan zina
dan zina hukumnya haram dan termasuk kategori dosa besar. Ada beberapa ayat yang
menjelaskan tentang hukuman bagi orang yang berzina yaitu para pezina yang masih bujang
di hukum cambuk delapan puluh kali (An-Nur : 4) dan yang sudah menikah dilempari batu
100 kali. Nabi Muhammad SAW bersabda Tidak halal darah bagi seorang muslim yang
bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah Rasulnya, kecuali disebabkan oleh salah
satu dari tiga hal : orang yang sudah menikah berzina, membunuh orang, meninggalkan
agamanya serta memisahkan dari jamaah.
Adapun faktor faktor yang mempengaruhi seseorang mejalani profesi sebagai
pelacur yaitu (a) Faktor internal, faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu itu
sendiri. Misalnya karena kehidupan kelam yang mereka alami dulu membuat hati dan moral
mereka terpuruk.(b) Faktor eksternal, faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara
langsung dari individu wanita itu

sendiri, melainkan karena ada faktor luar yang

mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk

desakan kondisi ekonomi, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, kegagalan


percintaan dan sebagainya.
Selain faktor internal dan eksternal ada beberapa peristiwa sosial penyebab
timbulnya pelacuran. (1) Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, serta tidak
adanya larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum pernikahan atau
di luar pernikahan. Yang dilarang dan diancam dengan hukuman ialah: praktik germo (Pasal
296 KUHP) dan mucikari (Pasal 506 KUHP). KUHP 506: Barang siapa yang sebagai
mucikari mengambil untung dari perbuatan cabul seorang perempuan, dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Namun, dalam praktik sehari-hari, pekerjaan
sebagai mucikari ini selalu ditoleransi, secara konvensional dianggap sah ataupun dijadikan
sumber pendapatan dan pemerasan yang tidak resmi. (2) Merosotnya norma-norma susila dan
keagamaan . Masyarakat sekarang sudah bersifat acuh tak acuh dan cenderung cuek sehingga
mereka hanya mengurusi kehidupan pribadi tanpa memperdulikan norma-norma susila dan
keagamaan dalam masyarakat, (3) Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan
kebudayaan-kebudayaan setempat. Hal ini tidak terlepas dari asimilasi kebudayaan, dimana
kebudayaan Barat membuat norma-norma susila dan keagamaan semakin merosot.
Ada beberapa usaha untuk mengatasi masalah tunasusila ini antara lain usaha yang
bersifat preventif seperti : (1) Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau
penyelenggaraan pelacuran, (2) Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan
kerohanian, (3) Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita yang disesuaikan dengan
bakatnya, (4) Menyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam
kehidupan keluarga sejak dini, (5) Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua usaha
penanggulangan pelacuran yang dilakukan oleh beberapa instansi sekaligus mengikutsertakan
potensi masyarakat lokal, (6) Penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul,
gambar-gambar porno, film-film seks serta sarana-sarana lainnya yang merangsang nafsu
seks. Kedua dengan usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk
menekan (menghapuskan, menindas) dan usaha menyembuhkan para wanita dari
ketunasusilaan untuk kemudian membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha represif dan
kuratif ini antara lain : (1) Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang
melakukan pengawasan/kontrol yang ketat, diusahakan melalui aktivitas rehabilitas dan
resosialisasi, agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila, (2)
Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila yang terkena razia,
(3) Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap, (4) Mengadakan

pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur dan masyarakat asal mereka mau menerima
kembali bekas-bekas wanita tunasusila itu, (5) Mengikutsertakan ex-WTS (bekas wanita tuna
susila) dalam usaha transmigrasi dalam rangka pemerataan penduduk di tanah air, dan
perluasan kesempatan kerja bagi kaum wanita.

Anda mungkin juga menyukai