Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan suatu Negara yang berbentuk kepulauan. Indonesia
memanjang yang berbentuk linear dari Sabang di ujung barat hingga Merauke di
ujung timur. Jumlah pulau di Indonesia sekitar 17.000 pulau dengan lima pulau
besar, yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian sedangkan lainya
merupakan pulau- pulau kecil seperti Pulau Bali, Madura, dll. Bentuk kepulauan
Indonesia tidak lepas dari sejarah pembentukanya baik proses endogen maupun
eksogen. Kerangka geologi dan tektonik Indonesia didominasi oleh interaksi
antara empat lempeng lifosfer utama yaitu lempeng Eurasia, Philipina, Pasifik,
dan Indoustralia yang bergerak satu dengan yang lainya.
Keempat lempeng dunia yang berada di Indonesia memberikan bentuk
morfologi Indonesia yang selalu berubah dari waktu ke waktu pembentukan
morfologi Indonesia sebagian besar di karenakan pertemuan dua lempeng antara
keempat lempeng tersebut baik lempeng benua maupun lempeng samudra.
Fisiografi bagian besar wilayah Indonesia di dominasi oleh perbukitan dan
pegunungan. Hal ini disebabkan karena Indonesia di lewati jalur pegunungan api
dinia yaitu jalur pegunungan Mediterania masuk ke Indonesia melalui Sumatra,
Jawa, Bali, kepulauan Nusa Tenggara dan melingkar ke laut Banda, sedangkan
jalur pegunungan pasifik masuk ke Indonesia melalui Sangihe- Talaud, minahasa,
halmahera terus ke laut banda.
Pulau sulawesi merupakan salah satu pulau besar di Indonesia yang
bentuknya meramping. Pulau ini letaknya di Indonesia bagian timur yang di
lewati oleh jalur pegunungan pasifik yang bersifat vulkan dan terbentuk oleh
adanya pertemuan tiga lempeng yaitu lempeng Eurasia Indoustralia dan Pasifika.
Oleh karena itu wilayahnya rawan oleh bencana alam baik gunung meletus dan
juga gempa bumi.

Pengaruh tumbukan lempeng Pasifik, Benua Asia dan Australia terhadap.


Sulawesi adalah bersatunya bagian barat dan bagian timur Sulawesi yang
berbentuk K, terbentuknya jalur gunungapi dalam Mandala Geologi Sulawesi
Barat, serta terjadinya sesar Palu-Koro yang berarah barat laut tenggara. Di
daerah Kabupaten Mamuju dan Majene berkembang beberapa sesar ikutan atau
sesar sekunder yang berarah hampir barat timur.
Inventarisasi bahan galian non logam di daerah Kabupaten Majene
dilakukan baik melalui kajian dari laporan penyelidikan terdahulu (data sekunder)
maupun pengamatan langsung di lapangan (data primer). Hasilnya, bahan galian
yang terdapat di Kabupaten Majene adalah dasit, batugamping, lempung, sirtu,
zeolit, dan lempung bentonitan. Disamping itu, juga diketahui adanya indikasi
keterdapatan batubara dan pasir besi.
B. Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang diatas ditemukan beberapa permasalahan
dalam penyusunan makalah ini, diantaranya :
1.
2.
3.
4.
5.

Bagaimana Geologi Regional Pulau Sulawesi?


Bagaimana perkembangan tektonik Pulau Sulawesi?
Bagaimana stratigrafi geologi Pulau Sulawesi?
Bagaimana struktur Pulau Sulawesi?
Bagaimana potensi geologi Pulau Sulawesi?

C. Tujuan
Dari permasalahan yang diajukan ada beberapa tujuan, antara lain :
a.
b.
c.
d.
e.

Untuk mengetahui Geologi Regional Pulau Sulawesi


Untuk mengetahui perkembangan tektonik Pulau Sulawesi
Untuk mengetahui stratigrafi geologi Pulau Sulawesi
Untuk mengetahui struktur Pulau Sulawesi
Untuk mengetahui potensi geologi Pulau Sulawesi

D. Manfaat
Adapun manfaat dalam makalah ini, adalah sebagai berikut :
a. Kita dapat mengetahui Geologi Regional Pulau Sulawesi
b. Kita dapat mengetahui perkembangan tektonik Pulau Sulawesi
2

c. Kita dapat mengetahui stratigrafi geologi Pulau Sulawesi


d. Kita dapat mengetahui struktur Pulau Sulawesi
e. Kita dapat mengetahui potensi geologi Pulau Sulawesi

BAB II
PEMBAHASAN
A. Geologi Regional Pulau Sulawesi
Sulawesi merupakan pulau yang khas dan terletak di tengah-tengah
kawasan Wallacea. Kawasan ini merupakan wilayah yang terletak di antara dua
benua yaitu Asia dan Australia. Karena posisinya di tengah, maka kawasan ini
memiliki tingkat endemisitas yang tinggi dalam hal flora dan fauna, serta

memiliki perbedaan yang sangat jelas dengan Kalimantan yang hanya dipisahkan
oleh Selat Makassar yang tidak terlalu luas.
Hal ini pertama kali dilaporkan oleh Alfred Wallace yang melakukan
perjalanan keliling Indonesia pada tahun 1856 sampai 1862. Agar kita dapat lebih
memahami keberadaan dan keistimewaan pulau Sulawesi maka disusunlah suatu
essai yang akan menjelaskan bagaimana sejarah geologi terbentuknya pulau
Sulawesi.
Alfred Russel Wallace adalah seorang berkebangsaan Inggris yang
melakukan perjalanan mengelilingi Indonesia dimulai dari Borneo sampai Irian
termasuk Sulawesi.Wallace mengemukakan pandangannya bahwa kepulauan
Indonesia dihuni oleh dua fauna yang berbeda, satu di bagian timur dan yang
lainnya di bagian barat.Wilayah ini ditentukan atas dasar agihan jenis-jenis
burung dengan menempatkan batasnya antara Lombok dan Bali antara
Kalimantan dan Sulawesi.Kalimantan dan Sulawesi memiliki burung yang
berbeda, padahal tidak terpisahkan oleh perintang fisik atau iklim yang berarti.
Wallace berpendapat bahwa Kalimantan, Jawa dan Sumatra pernah merupakan
bagian Asia dan bahwa Timor, Maluku, Irian dan barangkali Sulawesi merupakan
bagian benua Pasifik Australia. Fauna Sulawesi tampak demikian khas, sehingga
diduga Sulawesi itu pernah bersambung baik dengan benua Asia maupun benua
Pasifik Australia.
Di Sulawesi Wallace melakukan perjalanannya yang dimulai dari Ujung
Pandang (Makassar) pada bulan September Desember 1856, kemudian pada bulan
Juni September 1859 berada di Manado dan bagi
an Minahasa serta pulau pulau kecil di sekitarnya. Dari hasil
perjalanannya ini Wallace menyatakan bahwa pulau Sulawesi terletak di tengahtengah kepulauan yang sebelah utaranya berbatasan dengan Filipina, sebelah barat
dengan Borneo, sebelah timur dengan pulau Maluku dan sebelah selatan dengan
kelompok Timor. Dengan demikian posisi Sulawesi dapat lebih mudah menerima
imigran dari semua sisi jika dibandingkan dengan pulau Jawa.

Gambar 1. Peta Pulau Sulawesi


B. Perkembangan Tektonik Pulau Sulawesi
Banyak model tektonik yang sudah diajukan untuk menjelaskan evolusi
tektonik dari Pulau Sulawesi. Ada dua peristiwa penting yang terjadi di Sulawesi
bagian barat pada masa kenozoikum. Yang pertama adalah rifting dan pemekaran
lantai samudera di Selat Makassar pada Paleogen yang menciptakan ruang untuk
pengendapan material klastik yang berasal dari Kalirnantan. Yang kedua adalah
peristiwa kompresional yang dimulai sejak miosen. Kompresi ini dipengaruhi
oleh tumbukan kontinen di arah barat dan ofiolit serta fragmen-fragmen busur
kepulauan di arah timur. Fragmen-fragmen ini termasuk mikro-kontinen Buton,
Tukang Besi dan Baggai Sula. Kompresi ini menghasilkan Jalur Lipatan Sulawesi
Barat (West Sulawesi Fold Belt) yang berkembang pada Pliosen Awal. Meskipun
ukuran fragmen-fragmen ini relatif kecil, efek dari koalisinya dipercaya menjadi
penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa tektonik di seluruh bagian Sulawesi
(Calvert, 2003).

Gambar 2. perkembangan tektonik Sulawesi (Hall dan Smyth, 2008)


1. Kapur Akhir
Selama Kapur Akhir sikuen tebal sedimen bertipe flysch diendapkan di
daerah yang luas di sepanjang daerah Sulawesi bagian barat. Sedimen ini ditindih
oleh kompleks melange di bagian selatan dan kompleks batuan dasar metamorf di
bagian tengah dan utara. Sedimen umumnya berasosiasi dengan lava dan
piroklastik yang mengindikasikan bahwa batuan ini berasal dari busur kepulauan
vulkanik dan diendapkan di daerah cekung an depan busur (Sukamto &
Simandjuntak, 1981). Pada saat yang sama, daerah sulawesi bagian timur
berkembang sebagai cekungan laut dalam, tempat sedimen pelagic diendapkan
sejak zaman Jura di atas batuan dasar ofiolit. Besar kemungkinan jika cekungan
laut dalam Kapur ini dipisahkan oleh sebuah palung dari daerah Sulawesi Bagian
Barat. Palung tersebut kemungkinan terbentuk akibat subduksi ke arah barat,
tempat Melange Wasuponda berakumulasi (Sukamto & Simandjuntak, 1981).
Subduksi ini menyebabkan terjadinya magmatisme di sepanjang daerah Sulawesi
Bagian Barat. Batuan metamorf yang ada di Sulawesi Bagian Barat diyakini
terjadi selama subduksi Kapur ini. Daerah Banggai-Sula merupakan bagian dari
paparan benua sejak Mesozoikum awal, dimana diendapkan klastik berumur Trias
akhir hingga Kapur. Batuan dasar benua terdiri dari batuan metamorf zaman
karbon dan plutonik Permo-Trias.
2. Paleogen
Perkembangan sedimen bertipe flysch di Sulawesi bagian barat berhenti di
bagian selatan, sementara di bagian utara masih berlanjut hingga Eosen.
Gunungapi aktif setempat selama Paleo sen di bagian selatan dan selama Eosen di
bagian tengah dan utara, pengendapan batuan karbonat (Formasi Tonasa) terjadi
di daerah yang luas di selatan selama Eosen hingga Miosen yang
mengindikasikan bahwa bagian daerah tersebut adalah paparan yang stabil. Sejak:
6

Paleosen, sulawesi bagian timur mengalami shoaling dan diendapkan batuan


karbonat air-dangkal (Formasi Lerea). Pengendapan batuan karbonat di daerah ini
berlanjut hingga Miosen Awal (Formasi Takaluku). Di bagian barat Banggai-Sula,
sikuen tebal karbonat bersisipan klastik diendapkan di daerah yang luas. Karbonat
ini diendapkan sampai Miosen Tengah (Sukamto & Simandjuntak, 1981). Zona
subduksi dengan kemiringan ke barat yang dimulai sejak zaman Kapur
menghasilkan vulkanik Tersier Awal di Daerah Sulawesi Bagian Barat, dan proses
shoaling laut di daerah Sulawesi Bagian Timur, begitu pula di Daerah BanggaiSula (Sukamto & Simandjuntak, 1981). Di daerah Selat Makassar terjadi
peregangan kerak. Daerah Selat Makassar bagian utara adalah bagian awal dari
failed rift atau aulacogen, yang terbentuk sebagai bagian selatan dari pusat
pemekaran Laut Sulawesi. Kombinasi guyot, kelurusan gravitasi, fasies seismik,
bersama dengan distribusi aliran panas yang dihasilkan oleh Kacewicz dkk tahun
2002 (dalam Fraser dkk., 2003), mendukung usulan pola transform/ekstensional
untuk peregangan kerak Eosen Tengah di laut dalam Cekungan Makassar Utara.
Titik paling utara Selat Makassar yang mengalami transform adalah cekungan
Muara dan Berau. Sumbu pemekaran lantai samudera kemudian menyebar ke
arah selatan mendekati Paternosfer Platform sumbunya menyimpang ke arah
timur dan kembali ke arah liaratdaya menuju Selat Makassar selatan. Perluasan
yang menerus dan diikuti pembebanan pada Eosen akhir (menghasilkan
peningkatan akomodasi ruang yang signifikan), kelimpahan material benua
berbutir halus diendapkan di daerah yang luas pada Cekungan Makassar Utara,
berlanjut hingga Oligo sen dan Miosen Awal. Suksesi batulempung tebal yang
dihasilkan membentuk.
3. Neogen
Distribusi produk vulkanik yang luas menunjukkan terjadinya vulkanisme
yang kuat selama Miosen Tengah di Daerah Sulawesi Bagian Barat. Batuan
vulkanik yang awalnya diendapkan lingkungan dasar laut dan kemudian setempat
menjadi terestrial pada Pliosen. Vulkanisme berhenti pada Kuarter Awal di selatan
tetapi menerus sampai sekarang di bagian utara. Magmatisme yang kuat di
7

Daerah Sulawesi Bagian Barat selama Miosen Tengah berkaitan dengan dengan
proses tekanan batuan dalam Daerah Sulawesi Bagian Timur akibat gerakan
benua-mikro Banggai-Sula ke arah barat. Peristiwa tektonik ini mengangkat dan
menganjak hampir keseluruhan material di dalam Daerah Sulawesi Timur, batuan
ofiolit teranjak dan terimbrikasi dengan batuan yang berasosiasi termasuk
melange. Pada bagian lain, ofioit di bagian timur menyusup ke arah timur ke
dalam sedimen Mesozoikum dan Paleogen dari Daerah BanggaiSula. Selama
pengangkatan seluruh daerah Sulawesi yang terjadi sejak Miosen Tengah, sesar
turun (block-faulting) terbentuk di berbagai tempat membentuk
cekungancekungan berbentuk graben. Saat Pliosen, seluruh area didominasi oleh
block faulting dan sesar utama seperti sesar Palu-Koro tetap aktif. Pergerakan
epirogenic setelahnya membentuk morfologi Pulau Sulawesi yang sekarang.
Peristiwa tektonik ini menghasilkan cekungan laut dangkal dan sempit di
beberapa tempat dan beberapa cekungan darat terisolasi. Batuan klastik kasar
terendapkan di cekungan-cekungan ini dan mernbentuk Molasse Sulawesi.
Peristiwa tektonik Miosen Tengah juga membengkokkan Daerah Sulawesi bagian
Barat seperti bentuk lengkungan yang sekarang dan menyingkap batuan metamorf
di bagian leher pulau. Jaluh Lipatan Sulawesi Barat terletak tepat di sebelah barat
Sesar Palu-Koro, sebuah transform kerak besar dan sinistral, yang pada awalnya
terbentuk saat Eosen oleh pemekaran Laut Sulawesi. Kompresi yang menerus
menghasilkan strukturstruktur berarah barat dari JLSB, sementara material mikrokontinen yang awalnya berasal dari Lempeng Australia (Material Australoid)
bergerak ke arah barat selama Miosen bertumbukan dengan JLSB. Pada Pliosen
awal, bagian timur dari batas pre-rift dari Cekungan Makassar Utara membentuk
komponen dasar laut dari JLSB. Mikrokontinen Australia ini yang pertama adalah
Buton, kemudian diikuti oleh Tukang Besi. Arah vector tumbukan ini pada
awalnya adalah utara-barat laut (dengan perhitungan sekarang), tumbukan
selanjutnya lebih berarah baratlaut.
C. Stratigrafi Pulau Sulawesi
1. Stratigrafi Sulawesi Utara

Berdasarkan stratrigrafi, susunan batuan yang membentuk Sulawesi Utara


dari tua ke muda adalah; Batu gamping Gatehouse, Batu lumpur Rumah kucing,
Batu gamping Ratatotok, Intrusi Andesit Porfiri, Volkanik Andesit, Epiklastik
Volkanik dan Aluvial Endapan sungai dan Danau.

Gambar 3. Stratigrafi Sulawesi Utara


2. Stratigrafi Sulawesi Selatan
Batuan yang tersingkap di daerah Sulawesi Selatan terdiri dari 5 satuan,
yaitu Satuan Batuan Gunungapi Formasi Carnba, Formasi Walanae, Satuan Intrusi
Basal, Satuan Batuan Gunung api Lompobatang dan Endapan aluvial, Rawa, dan.
Pantai. Satuan Batuan Gunung api Formasi Camba berumur Miosen TengahMiosen Akhir, terdiri dari breksi gunungapi, lava, konglomerat, dan tufa halus
hingga batuan lapili. Formasi Walanae berumur Miosen Akhir - Pliosen Awal,
terdiri dari batupasir, konglomerat, batu lanau, batu lempung, batu gamping, dan
napal. Satuan Intrusi Basal berumur Miosen Akhir - Pliosen Akhir, terdiri dari
terobosan basal berupa retas, silt, dan stok. Satuan Batuan Gunungapi
9

Lompobatang berumur Pleistosen, terdiri dari breksi, lava, endapan lahar, dan
tufa. Endapan Aluvial, Rawa, dan Pantai berumur Holosen, terdiri dari kerikil,
pasir, lempung, lumpur, dan batugarnping koral.
Berdasarkan peta geologi Kampala, batuan di daerah ini dapat dibagi
menjadi tiga satuan batuan, yaitu : Formasi Walanae, yang menempati daerah
yang sangat luas atau sekitar 80 %, terdiri dari perselingan antara batupasir
berukuran kasar hingga sangat halus, konglomerat, batulanau, batulempung,
batugamping, dan napal. Satuan ini mempunyai perlapisan dengan kemiringan
maksimum 100. Namun, pada beberapa tempat di sekitar Sesar Kalamisu
kemiringan lapisannya mencapai 600. Lingkungan pengendapan Formasi Walanae
adalah laut. Satuan ini berumur Miosen Akhir - Pliosen Awal. Kemudian Intrusi
Basal, yang merupakan retas-retas yang mengintrusi Formasi Walanae. Sebagian
besar dari basal ini bertelsstur afan itik. Pada beberapa lokasi ditemukan
bertekstur porfiritik dengas enokris plagioklas, piroksen, mika, olivin, tertanam
dalan) masadasar afanitik. Intrusi basal ini di permukaan umumnya telah
terkekarkan dan di beberapa tempat telah terubah menjadi batuan ubahan (zona
argilik) yang didominasi mineral lempung (smektit, kaolinit, haloisit). Batuan
ubahan ini dijumpai di sekitar mata air panas Kampala, mata air panas Ranggo,
dan Kainpung Buluparia. Menurut Pusat Sumber Daya Geologi satuan ini
berumur Miosen Akhir - Pliosen Akhir. Adapun yang terakhir adalah Endapan
Aluvial Sungai, merupakan endapan permukaan hasil rombakan dari batuan yang
lebih tua, terdiri dari material kerikil, pasir, lempung. Batuannya tersebar di tepitepi sungai dan dasar sungai. Satuan ini berumur Holosen Resen.

10

Gambar 4. Stratigrafi Sulawesi Selatan


3. Stratigrafi Sulawesi Barat
Stratigrafi Sulawesi bagian Barat didominasi oleh batuan Neogen, tetapi di
dalamnya termasuk juga formasi batuan yang berumur Jura. Geologi daerah
Bonehau dan sekitarnya didominasi oleh batuan beku dan metamorf, termasuk
batuan sedimen yang sedikit termetamorfkan. Litologi mengindikasikan adanya
tektonik aktif di area ini.

11

Batuan tertua di daerah penelitian adalah Formasi Latimojong, yang


berumur Kapur, Di atas Formasi Latimojong diendapkan Formasi Toraja (Tet)
secara tidak selaras. Formasi ini berumur Eosen Tengah sampai Akhir.
Formasi Toraja tertindih tak selaras oleh Formasi Sekala dan Batuan
Gunungapi Talaya. Aktivitas vulkanik ini kemudian diikuti oleh kehadiran
Formasi Sekala (Tmps) pada Miosen Tengah - Pliosen, yang dibentuk oleh
batupasir hijau, grewake, napal, batulempung dan tuf, sisipan lava bersusunan
andesit-basalt.
Formasi sekala berhubungan menjemari dengan batuan Gunung api Talaya
(Batuan Vulkanik Talaya, Tmtv) yang terdiri dari breksi gunungapi, tuf dan lava
bersusunan andesit-basal, dengan sisipan batu pasir dan napal, setempat batubara.
Batuan Gunungapi Talaya menjari dengan batuan Gunung api Adang (Tma) yang
terutama bersusunan leusit-Basalt, dan berhubungan menjemari dengan Formasi
Mamuju (Tmm) yang Berumur Miosen Akhir.
Formasi Mamuju terdiri atas napal, batupasir gampingan, napal tufaan,
dan batugamping pasiran bersisipan tufa. Formasi ini mernpunyai Anggota
Tapalang (Tmmt) yang terdiri dari batu gamping koral, batu gamping bioklastik,
dan napal yang banyak mengandung moluska.
Formasi Lariang terdiri dari batupasir gampingan dan mikaan,
batulempung, bersisipan kalkarenit, konglomerat dan tuf, umurnya Mieseh Akhir
Pliosen awal. Endapan termuda adalah aluvium (Qal) yang terdiri dari endapan
endapan sungai, pantai, dan antar gunung.

12

Gambar 5. Stratigrafi Sulawesi Barat


4. Stratigrafi Sulawesi Tengah

Gambar 6. Stratigrafi Sulawesi Tengah


13

5. Stratigrafi Banggai Sula


Secara umum stratigrafi Cekungan Banggai terbagi menjadi dua periode
waktu, periode pertama berupa sikuen hasil pengangkatan/sobekan dari batas
kontinen yang terendapkan sebelum terjadinya tumbukan, sedangkan periode
kedua adalah sikuen pengendapan molasse di bagian daratan yang terjadi selama
dan pasca tumbukan.

Gambar 7. Stratigrafi Sulawesi Timur dan Banggai Sula


D. Struktur Geologi Pulau Sulawesi
Berdasarkan struktur litotektonik, Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya
dibagi menjadi empat, yaitu Mandala barat (West & North Sulawesi VolcanoPlutonic Arc) sebagai jalur magmatik yang merupakan bagian ujung timur
14

Paparan Sunda, Mandala tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt) berupa


batuan malihan yang ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian dari blok
Australia, Mandala timur (East Sulawesi Ophiolite Belt) berupa ofiolit yang
merupakan segmen dari kerak samudera berimbrikasi dan batuan sedimen
berumur Trias-Miosen dan yang keempat adalah Fragmen Benua Banggai-SulaTukang Besi, kepulauan paling timur dan tenggara Sulawesi yang merupakan
pecahan benua yang berpindah ke arah barat karena strike-slip faults dari New
Guinea.

Gambar 8. Peta Geologi Sulawesi (Hall and Wilson, 2000)


1. Mandala Barat (West & North Sulawesi Volcano-Plutonic Arc)
Mandala barat memanjang dari lengan utara sampai dengan lengan selatan
pulau Sulawesi. Secara umum busur ini terdiri dari batuan volkanik-plutonik
berusia Paleogen-Kuarter dengan batuan sedimen berusia mesozoikum-tersier dan
batuan malihan. Van Leeuwen (1994) menyebutkan bahwa mandala barat sebagai
busur magmatic dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bagian utara dan barat.
15

Bagian utara memanjang dari Buol sampai sekitar Manado, dan bagian barat dari
Buol sampai sekitar Makassar. Batuan bagian utara bersifat riodasitik sampai
andesitik, terbentuk pada Miosen - Resen dengan batuan dasar basaltik yang
terbentuk pada Eosen - Oligosen. Busur magmatik bagian barat mempunyai
batuan penyusun lebih bersifat kontinen yang terdiri atas batuan gunung api sedimen berumur Mesozoikum - Kuarter dan batuan malihan berumur Kapur.
Batuan tersebut diterobos granitoid bersusunan terutama granodioritik sampai
granitik yang berupa batolit, stok, dan retas.
a. Mandala barat bagaian utara
Busur Sulawesi Utara mencakup Propinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo,
memanjang sekitar 500km dari 121 0E - 125020E dengan lebar 50-70 km dan
memiliki ketinggian lebih dari 2065 m, dimana ketinggian daerah di sekitar leher
pulau Sulawesi mencapai 3.225 m.
Geologi daerah Sulawesi Utara didominasi oleh batugamping sebagai
satuan pembentuk cekungan sedimen Ratatotok. Satuan batuan lainnya adalah
kelompok breksi dan batupasir, terdiri dari breksikonglomerat kasar, berselingan
dengan batupasir halus-kasar, batu lanau dan batu lempung yang didapatkan di
daerah Ratatotok Basaan, serta breksi andesit piroksen. Kelompok Tuf Tondano
berumur Pliosen terdiri dari fragmen batuan volkanik kasar andesitan
mengandung pecahan batu apung, tuf, dan breksi ignimbrit, serta lava andesittrakit. Batuan Kuarter terdiri dari kelompok Batuan Gunung api Muda terdiri atas
lava andesit-basal, bom, lapili dan abu. Kelompok batuan termuda terdiri dari
batugamping terumbu koral, endapan danau dan sungai serta endapan aluvium.
Adapun sirtu atau batu kali banyak terdapat di daerah sungai Buyat yang
diusahakan oleh penduduk setempat sebagai bahan pondasi bangunan.

16

Gambar 9. Peta Geologi Manado dan Minahasa, Sulawesi Utara


Evolusi dari Busur Sulawesi Utara dibagi menjadi dua tahap, yaitu
subduksi di bagian barat Sulawesi di awal masa Miosen (22 16 Ma) dan pasca
tumbukan dan pengangkatan busur Sulawesi serta permulaan subduksi sepanjang
palung Sulawesi Utara selama akhir Miosen sampai dengan Kuarter (9 Ma).
Batuan vulkanik busur Sangihe yang berusia Pliosen-Kuarter, menyimpan banyak
geologi daerah sekitar Manado di masa awal Miosen. Singkapan-singkapan kecil
berupa andesit dan diorite di bawah batuan vulkanik Kuarter yang menutupi
kepulauan Sangihe dan bagian utara Manado, menunjukkan bahwa busur
volkanik yang lebih tua berada di sepanjang pantai bahkan mungkin sampai ke
Mindanao yang membentuk basement busur Sangihe saat ini. Adapun busur
Neogen yang merupakan busur batuan gunung api tidak berada di antara Tolitoli
dan Palu di sekitar leher pulau Sulawesi, hal ini disebabkan karena pengangkatan
tingkat tinggi dan erosi dalam, dimana batuan granit lower Miosen tidak
diketahui, dan bukti bahwa busur Sulawesi di masa awal Miosen meluas ke arah
17

leher pulau Sulawesi sangat sedikit. Meskipun demikian, masih bisa disimpulkan
bahwa zona Benioff di awal Miosen berada sepanjang leher pulau Sulawesi ke
arah selatan menuju sesar Paleo Palu-Matano.

Gambar 10. Peta Geologi Gorontalo


Daerah Gorontalo merupakan bagian dari lajur volkano-plutonik Sulawesi
Utara yang dikuasai oleh batuan gunung api Eosen - Pliosen dan batuan
terobosan. Pembentukan batuan gunung api dan sedimen di daerah penelitian
berlangsung relatif menerus sejak Eosen Miosen Awal sampai Kuarter, dengan
lingkungan laut dalam sampai darat, atau merupakan suatu runtunan regresif.
Pada batuan gunung api umumnya dijumpai selingan batuan sedimen, dan
sebaliknya pada satuan batuan sedimen dijumpai selingan batuan gunung api,
sehingga kedua batuan tersebut menunjukkan hubungan superposisi yang jelas.
Fasies gunung api Formasi Tinombo diduga merupakan batuan ofiolit, sedangkan
batuan gunung api yang lebih muda merupakan batuan busur kepulauan. Geologi
umum daerah Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Gorontalo disusun oleh batuan
dengan urutan stratigrafi sebagai berikut :

18

1. Batuan beku berupa : Gabro, Diorit , granodiorit, granit, dasit dan munzonit
kwarsa.
2. Batuan piroklastik berupa : lava basalt, lava andesit, tuf, tuf lapili dan breksi
gunungapi
3. Batuan sedimen berupa : batupasir wake, batulanau, batupasir hijau dengan
sisipan batugamping merah, batugamping klastik dan batugamping terumbu.
Endapan Danau, Sungai Tua dan endapan alluvial
2. Mandala barat bagaian barat
Pemekaran yang terjadi pada Tersier Awal membawa bagian timur dari
Kalimantan ke wilayah Pulau Sulawesi sekarang, dimana rifting dan pemekaran
lantai samudera di Selat Makassar pada masa Paleogen, menciptakan ruang untuk
pengendapan material klastik yang berasal dari Kalimantan.

Gambar 11. Peta Geologi Sulawesi Selatan (Suyono dan Kusnama, 2010)

19

Geologi daerah bagian timur dan barat Sulawesi Selatan pada dasarnya
berbeda, dimana kedua daerah ini dipisahkan oleh sesar Walanae. Di masa
Mesozoikum, basement yang kompleks berada di dua daerah, yaitu di bagian
barat Sulawesi Selatan dekat Bantimala dan di daerah Barru yang terdiri dari
batuan metamorf, ultramafik dan sedimen. Adanya batuan metamorf yang sama
dengan batuan metamorf di pulau Jawa, pegunungan Meratus di Kalimantan
tenggara dan batuan di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa basement kompleks
Sulawesi Selatan mungkin merupakan pecahan fragmen akhibat akresi kompleks
yang lebih besar di masa awal Cretaceous (Parkinson, 1991). Adapun sedimensedimen di masa akhir Crateceous mencakup formasi Balangbaru dan Marada
berada di bagian barat dan timur daerah Sulawesi Selatan, dimana formasi
Balangbaru tidak selaras dengan basement kompleks, terdiri dari batuan
sandstone dan silty-shales, sedikit batuan konglomerat, pebbly sandstone dan
breksi konglomerat, sedangkan formasi Marada terdiri dari campuran sandstone,
siltstones dan shale (van Leeuwen, 1981), dimana unit-unit formasi Balangbaru
berisi struktur khas sedimen aliran deposit, termasuk debris flow, graded bedding
dan indikasi turbidit.
Batuan vulkanik berumur Paleosen terdapat di bagian timur daerah
Sulawesi Selatan dan tidak selaras dengan formasi Balangbaru. Di daerah
Bantimala batuan vulkanik ini disebut Bua dan di daerah Biru disebut Langi.
Formasi ini terdiri dari lava dan endapan piroklastik andesit dengan komposisi
trachy-andesit dengan sisipan limestone dan shale (van Leeuwen, 1981). Sifat
calc-alkali dan unsur tanah tertentu menunjukkan bahwa batuan vulkanik
merupakan hasil subduksi dari arah barat (van Leeuwen, 1981).
Formasi Malawa terdiri dari arkosic, sandstone, siltstone, claystone, napal
dan konglomerat diselingi dengan lapisan batubara dan limestone. Formasi ini
terletak di bagian barat daerah Sulawesi Selatan dan tidak selaras dengan formasi
Balangbaru. Formasi Malawa diduga telah diendapkan dari laut marjinal ke laut
dangkal. Formasi limestone Tonasa selaras Formasi Malawa atau batuan vulkanik
Langi. Formasi Tonasa berumur Eosen sampai dengan pertengahan Miosen (Van
Leeuwen, 1981). Formasi Malawa dan formasi Tonasa tersebar luas di bagian
20

barat Sulawesi Selatan, dimana kedua formasi tersebut tidak tersingkap di bagian
timur sesar Walanae selain singkapan kecil formasi limestone Tonasa.
Formasi Salo Kalupang yang sekarang terletak di sebelah timur Sulawesi
Selatan terdiri dari sandstone, shale dan claystone interbedded dengan batuan
vulkanik konglomerat, breksi, tufa, limestone dan napal. Berdasarkan teknik
foraminifera dating, usia formasi Salo Kalupang diyakini berkisar awal Eosen
sampai dengan akhir Oligosen. Formasi ini seusia dengan formasi Malawa dan
bagian bawah formasi Tonasa. Formasi Kalamiseng tersingkap di sebelah timur
sesar Walanae, yang terdiri dari breksi vulkanik dan lava dalam bentuk pillow
lava ataupun massive flows yang ber-interbedded dengan tufa, batupasir dan
napal. Pegunungan Bone ditafsirkan sebagai bagian dari ophiolit berdasarkan
anomali high gravity dan MORB, dimana formasi Bone diduga terdiri dari
wackestone bioklastika dan butiran packstones foraminifera planktonik.

Gambar 12. Peta Geologi Sulawesi Barat


21

Bagian teratas formasi Camba yaitu batuan vulkanik Camba yang terletak
di bagian barat, terdiri dari breksi vulkanik dan konglomerat, lava dan tuf
interbedded dengan marine sedimen. Foraminifera dating menduga batuan
vulkanik Camba beumur akhir Miosen. Batuan vulkanik Parepare adalah sisa-sisa
gunung strato-volcano yang terdiri aliran lava dan breksi piroklastik berumur
akhir Miosen. Aliran lava yang menengah untuk asam dalam komposisi. Batuan
vulkanik Plio/Pliestocene gunung strato-volcano Lompobatang terletak paling
selatan daerah Sulawesi Selatan dengan ketinggian 2.871 m. Batuan vulkanik ini
terdiri dari silika yang tidak tersaturasi dalam alkali potassic dan asam silika yang
tersaturasi dengan aliran lava shoshonitic dan breksi piroklastik. Pada
pertengahan Miosen sampai dengan Pleistosen batuan vulkanik Sulawesi Selatan
mencakup formasi Camba, memiliki sifat alkali sebagai akibat dari peleburan
parsial mantel atas yang kaya akan unsur-unsur yang tidak kompatibel dengan
metasomatism. Hal ini mungkin berhubungan dengan subduksi sebelumnya di
awal Miosen dalam konteks intraplate distensional. Sifat alkali gunung api ini
diduga disebabkan oleh asimilasi berlebihan dari limestone/batu gamping tua
yang mencair dan bergabung dengan material benua kedalam subduksi busur
vulkanik.
Batuan magmatis berumur Neogen di bagian barat daerah Sulawesi
Tengah berhubungan erat dengan penebalan dan pelelehan litosfer. Sifat bimodal
dari batuan Igneous berumur Neogen di daerah ini diperkirakan dari pencairan
mantel peridotit dan kerak yang menghasilkan komposisi alkalin basaltik
(shoshonitic) dan granitik yang mencair. Pada sendimentasi akhir Miosen ditandai
dengan perkembangan formasi Tacipi. Formasi Walanae secara lokal tidak selaras
dengan formasi Tacipi, dimana formasi Walanae diperkirakan
berumur pertengahan Miosen sampai dengan Pliosen. Di bagian Timur Sengkang
Basin, pembentukan Walanae dapat dibagi menjadi dua interval, yaitu interval
yang lebih rendah yang terdiri dari batuan mudstone yang berumur calcareous dan
interval yang bagian atas yang lebih arenaceous. Batu gamping (Limestone) di
ujung selatan daerah Sulawesi Selatan dan yang berada di Pulau Selayar yang
disebut selayar limestone, merupakan bagian formasi Walanae. Batuan selayar
22

limestone terdiri dari coral limestone, calcarenite dengan sisipan napal dan
sandstone. Unit karbonat ini diperkirakan berumur Miosen sampai dengan
Pliosen.
Hubungan formasi Walanae dan Selayar limestone terdapat di Pulau
Selayar. Terrace, aluvial, endapan danau dan endapan pantai terjadi secara lokal di
Sulawesi Selatan, dimana pengangkatan Sulawesi Selatan ditandai dengan
terangkatnya deposit terumbu karang (van Leeuwen 1981).
2. Mandala Tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt)

Gambar 12. Peta Geologi Wilayah Palu-Koro, Sulawesi Tengah


Batuan magmatik potassic calc-alkaline berusia akhir Miosen di Sulawesi
Tengah terdapat di bagian kiri bentangan zona sesar PaluKoro, dimana batuan
granit di wilayah tersebut berkorelasi dengan subduksi microcontinent BanggaiSula dengan Pulau Sulawesi pada pertengahan Miosen.
Berdasarkan aspek petrografi, batuan granit berumur Neogen tersebut
dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok dari yang paling tua sampai dengan
yang termuda untuk melihat karakteristik perubahannya di masa mendatang.
Pertama adalah KF-megacrystal bantalan granit yang kasar (Granitoid-C) yang
terdistribusi di bagian utara dan selatan wilayah Palu-Koro yang berumur 8,393,71 Ma, dimana dua karakteristik petrografi tersebut dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu biotit yang mengandung granit dan hornblende sebagai mineral mafik
(4,15-3,71 Ma dan 7,05-6,43 Ma) dan biotit yang mengandung granit sebagai
mineral mafik utama (8,39-7,11Ma). Kelompok kedua adalah batuan granit
23

medium mylonitic-gneissic (Granitoid-B) yang relatif terdapat di daerah pusat


(sekitar Palu-Kulawi) berupa medium grained granitoids yang kadangkadang
mengandung xenoliths. Batuan granit ini juga dapat dibagi lagi menjadi
hornblende-biotit yang terdistribusi di bagian selatan (Saluwa-Karangana) sekitar
5,46-4,05 Ma dan granit bantalan biotit yang berumur 3,78-3,21 Ma di sekitar
Kulawi. Kelompok ketiga adalah Fine and biotite-poor granitoid (Granitoid-A)
kelompok batuan termuda yang tersebar di daerah Palu-Koro sekitar 3,07-1,76
Ma, yang nampak sebagai dyke kecil hasil potongan dari granit lain. Batuan
tersebut berwarna putih bersih mengandung sejumlah biotites sebagai mineral
mafik tunggal, kebanyakan batuan tersebut terlihat di antara daerah Sadaonta dan
Kulawi.

Gambar 13. Peta Geologi Sulawesi Tengah (Villeneuve dkk., 2002)


24

3. Mandala Timur (East Sulawesi Ophiolite Belt)

Gambar 14. Peta Geologi Mandala Timur Sulawesi


Batuan kompleks ofiolit dan sedimen pelagis di Lengan Timur dan
Tenggara Sulawesi dinamakan Sabuk Ofiolit Sulawesi Timur. Sabuk ini terdiri
atas batuan-batuan mafik dan ultramafik disertai batuan sedimen pelagis dan
melange di beberapa tempat. Batuan ultramafik dominan di Lengan Tenggara,
tetapi batuan mafiknya dominan lebih jauh ke utara, terutama di sepanjang pantai
utara Lengan Tenggara Sulawesi. Sekuens ofiolit yang lengkap terdapat di Lengan
Timur, meliputi batuan mafik dan ultramafik, pillow lava dan batuan sedimen
pelagis yang didominasi limestone laut dalam serta interkalasi rijang berlapis.
25

Berdasarkan data geokimia sabuk Ofiolit Sulawesi Timur ini diperkirakan berasal
dari mid-oceanic ridge (Surono, 1995).

Gambar 15. Peta Geologi Sulawesi Tenggara (Surono, 1998)


Continental terrain Sulawesi Tenggara (The Southeast Sulawesi
continental terrain : SSCT) menempati area yang luas di Lengan Tenggara
Sulawesi, sedangkan sabuk ofiolit terbatas hanya pada bagian utara lengan
tenggara Sulawesi. SSCT berbatasan dengan Sesar Lawanopo di sebelah timur
laut dan Sesar Kolaka di sebelah barat daya. Dataran ini dipisahkan dari Dataran
Buton oleh sesar mendatar, dimana pada ujung timur terdapat deretan ofiolit yang
lebih tua. SSCT memiliki batuan dasar metamorf tingkat rendah dengan sedikit
campuran aplitic, karbonat klastik berumur Mesozoikum dan limestone berumur
Paleogen. Deretan sedimen klastik tersebut mencakup formasi Meluhu di akhir
Triassic dan unit limestone yang berumur Paleogen mencakup formasi Tamborasi
dan formasi Tampakura.
Batuan dasar metamorf tingkat rendah membentuk komponen utama
lengan Tenggara Sulawesi. Batuan metamorf tua terkait dengan proses
penguburan, sedangkan batuan metamorf muda disebabkan oleh patahan dalam
skala besar ketika continental terrain Sulawesi Tenggara bertabrakan dengan

26

sabuk ofiolit, Batuan metamorf ini diterobos oleh aplite dan ditindih oleh lava
kuarsa-latite terutama di sepanjang pantai barat Teluk Bone.
Di daerah Kendari, batuan dasar secara tidak selaras ditindih oleh formasi
Meluhu berumur Triassic, yang terdiri dari sandstone, shale dan mudstone.
Formasi Meluhu disusun oleh 3 kelompok wilayah, yaitu :
a. Wilayah Toronipa merupakan kelompok yang paling tua, kemudian
Watutaluboto dan Tuetue yang merupakan kelompok termuda. Wilayah
Toronipa terdiri dari endapan sungai meandering dan didominasi oleh
sandstone diselingi batuan sandstone konglomerat, mudstone dan shale.
b. Wilayah Watutaluboto adalah pengendapan tidal-delta yang didominasi oleh
mudstone dengan sisipan lapisan tipis sandstone dan batuan konglomerat.
c. Wilayah Tuetue terdiri dari mudstone dan sandstone yang naik ke atas laut
dangkal marjinal, napal dan limestone. Sandstone di wilayah Toronipa terdiri
dari litharenite, sublitharenite dan quartzarenite berasal dari daur ulang
sumber orogen.
Fragmen batuan metamorf di dalam sandstone mengindikasikan bahwa
area sumber formasi Meluhu didominasi oleh batuan dasar metamorfik. Batuan
metamorf itu mungkin tertutup oleh sedimen tipis. Adanya sedikit fragmen
vulkanik dalam formasi Meluhu menunjukkan bahwa batuan vulkanik juga
membentuk lapisan tipis dengan cakupan lateral terbatas di daerah sumber.
Sedikit fragmen igneous rock mungkin berasal dari dyke yang menerobos
basement metamorf. Umur formasi Meluhu setara dengan umur formasi Tinala di
dataran Matarombeo dan umur formasi Tokala di dataran Siombok, hal ini
disebabkan litologi ketiga formasi tersebut serupa, dimana terdapat deretan klastik
yang dominan di bagian yang lebih rendah dan karbonat yang dominan di bagian
yang lebih tinggi dari ketiga formasi tersebut. Adanya Halobia dan Daonella di
ketiga formasi tersebut menunjukkan umur akhir Triassic, dimana kehadiran
ammonoids dan polen dalam wilayah Tuetue dari formasi Meluhu sangat
mendukung penafsiran ini.
Deretan sedimen klastik formasi Tinala di dataran Matarombeo ditindih
oleh butiran halus sedimen klastik formasi Masiku dan sedimen yang kaya
karbonat formasi Tetambahu. Moluska, ammonita dan belemnites yang melimpah
27

di bagian bawah formasi Tetambahu menunjukkan usia Jurassic. Bagian atas


formasi Tetambahu mengandung cherty limestone dan chert nodul yang kaya
radiolarians. Radiolames mengindikasikan usia Jurassic sampai dengan awal
Cretaceous. Formasi Tokala di daratan Siombok dan Banggai-Sula yang berada di
lengan timur Sulawesi, terdiri dari limestone dan napal dengan sisipan shale dan
chert (rijang). Adapun Steptorhynchus, Productus dan Oxytoma yang sekarang
berada di formasi Tokala menunjukan usia Permo-Carbonaferous. Namun,
Misolia dan Rhynchonella ditemukan dalam lapisan limestone mengindikasikan
umur akhir Triassic. Karena kesamaan litologi antara formasi ini dan bagian atas
formasi Meluhu, usia akhir Triassic mungkin yang paling tepat untuk usia formasi
Tokala, sedangkan usia Permo-Carbonaferous mungkin merupakan usia
basementnya, dimana formasi Tokala ditindih oleh batuan konglomerat pink
granite dari formasi Nanaka yang mungkin berasal dari basement granit
Kepulauan Banggai-Sula.
Deretan limestone berumur Paleogen dari formasi Tampakura (400m
tebal) menimpa formasi Meluhu di SSCT (Sulawesi Tenggara Continental
Terrane). Formasi ini terdiri atas :
a. Ophiolite
b. Lime Mudstone
c. Wackestone
d. Locally Packstone
e. Grainstone
f. Framestone.
Pada bagian terendah dari formasi, ada strata klastik terdiri dari mudstone,
sandstone dan batuan konglomerat. Adanyan kandungan foraminifera pada
formasi mengindikasikan umur akhir Eosen Akhir sampai dengan awal Oligosen.
Nanoflora dalam formasi menunjukkan umur pertengahan Eosen sampai dengan
pertengahan Miosen, sehingga pengendapan pada formasi tersebut harus terjadi
selama akhir Eosen sampai dengan awal Oligosen. Deposisi awal berada di
lingkungan delta dimana material silisiklastik masih dominan. Penurunan suplai
sedimen klastik membiarkan fasies karbonat intertidal-subtidal berkembang
secara luas pada platform relief rendah. Karbonat bertambah, didominasi oleh
batu karang dan pasir karbonat. Adapun deretan karbonat berumur Paleogen yang
28

sama pada formasi Tamborasi diendapkan di laut dangkal, dimana berdasarkan


usia dan litologi batuan, Formasi Tampakura dan Tamborasi ataupun juga formasi
Lerea di Matarombeo diendapkan pada satu laut dangkal yang mengelilingi
sebuah pulau dengan komposisi basement metamorf dan granit dan sisipan
sedimen klastik berumur Mesozoikum mencakup formasi Meluhu , Tinala dan
Tetambahu. Unit ekuivalen di daratan Banggai-Sula termasuk limestone berumur
Eosen-Oligosen formasi Salodik yang berhubungan dengan napal dalam Formasi
Poh.
Formasi batuan tertua pada masa Triassic disebut formasi Tokala. Formasi
ini terdiri dari batuan limestone dan napal dengan sisipan shale dan cherts
(rijang), yang diendapkan di laut dalam.
Fasies batuan lain pada usia yang sama yang diendapkan di laut dangkal
dibentuk oleh formasi Bunta yang terdiri dari butiran halus sedimen klastik
seperti batu tulis, metasandstone, silt, phyllite dan schist. Pada lengan Timur
Sulawesi juga ditemukan batuan kompleks ofiolit yang berumur akhir Jurassic
sampai dengan Eosen yang berasal kerak samudera (Simandjuntak, 1986). Batuan
kompleks ofiolit ini ditemukan dalam kontak tektonik dengan sedimen berumur
Mesozoikum dan terdiri dari batuan mafik dan ultramafik seperti harzburgite,
lherzolite, pyroxenite, serpentinite, dunite, gabro, diabase, basalt dan
microdiorite. Batuan ini dipindahkan beberapa kali akhibat deformasi dan
displacement sampai dengan pertengahan masa Miosen. Formasi Tokala dan
Bunta yang tidak selaras ditindih oleh formasi Nanaka yang terdiri dari butiran
kasar sedimen klastik seperti batuan konglomerat, batupasir dengan sisipan silts
dan batubara. Di antara fragmen dalam batuan konglomerat ditemukan granit
merah, batu metamorfik dan chert (rijang) yang diperkirakan berasal dari
mikrokontinen Banggai-sula (Simandjuntak, 1986). Umur formasi ini dianggap
kurang dari pertengahan masa Jurassic dan terbentuk di lingkungan paralik.
Selaras dengan hal itu formasi Nanaka bertemu formasi Nambo di pertengahan
massa Jurassic. Unit laut dalam ini terdiri dari sedimen klastik napal berpasir dan
napal yang mengandung belemnite dan Inoceramus.
Formasi Matano di akhir masa Jurassic sampai dengan akhir masa
Cretaceous terdiri dari sandstone dengan sisipan chert (rijang), napal dan silt.
29

Tidak selaras dengan hal itu, formasi Nambo ketemu formasi Salodik dan Poh
pada masa Eocene sampai dengan Upper Miocene. Formasi Salodik terdiri dari
batuan limestone dengan sisipan napal dan sandstone yang mengandung fragmen
kuarsa. Kelimpahan karang, alga dan foraminifera besar yang ditemukan dalam
formasi ini mengindikasikan bahwa formasi ini terbentuk di lingkungan laut
dangkal.
Formasi Poh terdiri dari napal dan limestone dengan sisipan sandstone.
Asiosiasi foraminifera dari formasi ini menunjukkan zaman Oligosen sampai
dengan Miosen, dimana plankton Nanno dalam formasi ini mengindikasikan
usianya sekitar Oligosen sampai dengan pertengahan Miosen. Dataran Sulawesi
Molasse yang dulunya terdiri dari wilayah Tomata, bongka, Bia, Poso, Puna dan
formasi Lonsio (Surono, 1998) adalah dataran yang berumur pertengahan Miosen
sampai dengan Pliosen. Dataran ini mengandung batuan konglomerat, sandstone,
silt, napal dan limestone yang diendapkan dalam paralik untuk fasies laut
dangkal. Area ini terbentang tidak selaras dengan formasi Salodik dan Poh serta
kompleks ofiolit.
Pada masa pertengahan Miosen sampai dengan akhir Pliosen, area
vulkanik Bualemo bersatu dengan formasi Lonsio yang berada pada dataran
Sulawesi Molasse, terdiri dari pillow lava dan batuan vulkanik. Adapun daerah
Sulawesi Molasse itu adalah formasi Luwuk di masa Pleistosen, yang terdiri dari
terumbu karang limestone dengan sisipan napal di bagian bawahnya.
4. Fragmen Benua Banggai-Sula dan Tukang Besi
Fragmen benua Banggai-Sula dan Tukang Besi di wilayah Sulawesi
bersama-sama dengan area Sulawesi tengah dan tenggara diyakini berasal dari
bagian benua Australia utara. Daratan ini di masa Jurassic bergerak ke timur laut
memisahkan diri dari Australia ke posisi sekarang.
Batuan metamorfik didistribusikan secara luas di bagian timur Sulawesi
Tengah, lengan tenggara Sulawesi dan Pulau Kabaena. Batuan metamorf tersebut
dapat dibagi menjadi fasies amfibolit dan epidot-amfibolit dan kelompok
dynamometamorphic tingkat rendah glaukofan atau fasies blueschist. Fasies
amfibolit dan epidot-amfibolit lebih tua dari batuan radiolarite, ofiolit dan spilitic
30

igneous rocks yang ditemukan di sabuk metamorf Propinsi Sulawesi Tengah,


sedangkan sekis glaukofan lebih muda. Sekis glaukofan ini konsisten dengan
petrogenesis tekanan tinggi dan suhu rendah, tetapi batuan ini hanya menjalani
pemeriksaan petrologi eksaminasi, dimana Glaukofan semakin banyak di wilayah
barat. Kecuali di Buton, batuan metamorf diterobos batuan granit di masa PermoTriassic.
Di Sulawesi Tenggara, Banggai-Sula dan Buton, Microcontinents batuan
metamorf membentuk basement cekungan Mesozoikum. Batuan ini ditindih
secara tidak selaras oleh satuan batuan sedimen berumur Mesozoikum yang
didominasi oleh batuan limestone di pulau Buton dan batuan silisiklastik di
wilayah Sulawesi Tenggara dan Microcontinents Banggai-Sula. Batuan limestone
berumur Paleogen ditemukan pada semua microcontinents. Pada akhir Oligosen
sampai dengan pertengahan Miosen, satu atau lebih microcontinent IndoAustralia
bergerak ke arah barat bertabrakan dengan kompleks ofiolit Sulawesi timur dan
tenggara. Tabrakan ini menghasilkan melange dan imbrikasi zona busur
kepulauan Mesozoikum dan strata sedimen Paleogen dari microcontinents,
dengan irisan patahan ofiolit. Selama tumbukan, cekungan sedimen lokal
terbentuk di Sulawesi, dimana setelah tumbukan, cekungan menjadi lebih lebar di
sepanjang Sulawesi.
Sedimentasi di lengan Tenggara Sulawesi dimulai lebih awal pada awal
Miosen dibandingkan dengan lengan Timur yang nanti di akhir Miosen. Kedua
deretan ini biasanya disebut sebagai Sulawesi Molasse yang terdiri deretan major
sediment klastik dan deretan minor batu karang limestone. Sebagian besar area
Sulawesi Molasse diendapkan di laut dangkal tetapi di beberapa tempat
diendapkan di dalam sungai ke lingkungan transisi (Sukamto dan Simandjuntak,
1981).

31

Gambar 16. Peta Geologi Pulau Taliabu, Sula

Gambar 17. Peta Geologi Pulau Banggai


E. Potensi Geologi Pulau Sulawesi
Potensi geologi yang ada di Pulau Sulawesi, meliputi :

1. Potensi Sumber Daya Bahan Galian di Sulawesi Tengah


Di wilayah Sulawesi Tengah, tiga jenis bahan galian utama yang telah
nampak survei dan produksinya adalah minyak, gas bumi dan nikel. Kegiatan
ekplorasi minyak bumi dilakukan di wilayah perairan Morowali (Teluk Tomori)
sedangkan Gas bumi terletak di Senoro (Sinorang) Kabupaten Banggai dan telah
32

melakukan produksinya. Adapun nikel yang terdapat di wilayah Banggai dan


Morowali (menerus sampai ke wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara)
sampai saat ini masih dalam tahapan eksplorasi.
Berdasarkan data statistik tahun 2006, produksi minyak dan gas bumi
telah berlangsung sejak tahun 2005, dengan nilai produksi tahun 2005 dan 2006
masing-masing sebesar Rp. 63,2 milyar dan Rp. 225,1 milyar, dengan laju
pertumbuhan sebesar 158,79 %. Dengan prosentase kontribusi masih senilai
1,16% jika nilai ini digabungkan dengan produksi pertambangan bahan galian
mineral yang berkontribusi sebesar 1,75% maka total kontribusi sector
pertambangan adalah 2,91%, masih rendah dibandingkan dengan sector pertanian
yang merupakan penyumbang terbesar yaitu 44,80%. Prosentase kontribusi
tersebut disajikan pada gambar berikut.

Gambar 18. Distribusi Prosentase Produk Domestik Regional Bruto Provinsi


Sulawesi Tengah Menurut Lapangan Usaha (BPS Sulteng, 2007)
Kegiatan penambangan nikel sebetulnya berskala besar telah dan sedang
dilakukan bahkan dengan melakukan perubahan fungsi lahan dimana sebagian
lahan permukiman (umumnya transmigrasi) dan pertanian menjadi wilayah
konsesi tambang sebagaimana terjadi di Kecamatan Petasia, Wita Ponda, Bumi
Raya, Bungku Barat, Bungku Tengah, Bahodopi dan Bungku Selatan (Morowali).
Wilayah berpotensi lainnya adalah di Bunta (Banggai) dimana saat ini kegiatan
eksplorasi sedang berjalan. Terhadap batubara, bahan galian ini pun dimiliki oleh
33

Sulawesi Tengah, namun sampai saat ini belum terekplor lebih lanjut. Indikasi
lapangan menunjukkan sebagian bahan ini masih berupa gambut.
Beberapa lokasi memperlihatkan potensi batubara seperti wilaya Bungku
Utara di sekitar Kolo Atas, Tomata (Mori Atas), Oti (Sirenja) dan Lemban Tongoa
(Palolo). Mengingat bahan ini sangat dibutuhkan sebagai bahan bakar untuk
industri kelistrikan sudah selayaknya tingkat penyelidikan dan usaha mencari
investor lebih diintensifkan. Hal ini dirasakan sangat mendesak mengingat
keterbatasan ketersediaan bahan bakar minyak dan mengurangi tingkat
ketergantungan terhadap minyak bumi.
2. Potensi Geologi di Sulawesi Tenggara
Berdasarkan data digital potensi bahan galian mineral kabupaten Konawe
yang dikompilasi oleh Direktorat Inventarisasi Sumber daya Mineral terdapat
mineralisasi logam besi laterit dengan kadar bijih Fe = 49 %, sumber daya
terunjuk = 1.500.000 ton bijih di daerah Lingkobale, Kecamatan Asera,
Kabupaten Konawe dan juga terdapat beberapa daerah potensi mineral bukan
logam lainnya.
Di Kabupaten Kolaka terdapat khromit plaser dengan sumber daya
hipotetik 7 juta ton bijih. Di Kec. Pomalaa, PT. Aneka Tambang telah menambang
bijih nikel dengan kadar Ni 2,17 % s.d. 2,29 % dan di sebelah selatannya terdapat
laterit dengan asosiasi Ni-Co dengan kadar Fe 19,17 %.
Ditinjau dari segi geologi daerah ini menempati batuan batuan ultrabasa
atau ofiolit (Ku) berumur Kapur, batuan ini merupakan tempat kedudukan
mineralisasi logam Ni dan asosiasinya. Bahan bangunan banyak dijumpai di
daerah ini seperti kuarsa, sekis, batusabak, batugamping, kerikil, pasir, dan
bongkah batuan, meliputi Peg. Mekongga, Tangkelemboke, Tamosi dan Abuki.
Bahan bangunan ini telah dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai bahan
pengeras jalan atau bangunan lainnya.
3. Potensi Geologi Cadangan Batubara di Sulawesi Selatan
Secara umum Daerah Desa Massenrengpulu Kecamatan Lamuru
merupakan daerah yang memiliki banyak potensi bahan galian, diantaranya
34

adalah batubara yang menjadi lokasi Penelitian di daerah ini, yang meliputi
pemetaan geologi setempat dan pengukuran geolistrik resistivity pada lokasi
pedataran bergelombang, alur-alur sungai kecil, punggungan perbukitan yang
dijadikan sebagai lintasan geologi untuk mengamati litologi pada batuan yang
tersingkap khususnya batubara. Lokasi-lokasi yang dijadikan lintasan pemetaan
geologi setempat dan pengukuran geolistrik resistivity adalah di alur-alur lembah
bukit, tepi jalan dan aliran sungai-sungai kecil yang menyebar di Daerah
penelitian, khususnya pada daerah yang mempunyai singkapan batubara.
Batubara di Daerah Massenrengpulu ini berdasarkan pengamatan pada
singkapan di lapangan dan hasil deskripsi sampel batubara yang tersingkap
menunjukkam ciri fisik batuan berdasarkan ciri stratigrafi adalah merupakan
sisipan dalam batulempung karbonat yang merupakan bagian dari Formasi
Mallawa (Tem).
Berdasarkan hasil penelitian ini tentang potensi cadangan batubara yaitu
terdapat Lapisan batubara yang terindikasi di Daerah Massenrengpulu,
Kecamatan Lamuru, Kabupaten Bone terdapat sebagai sisipan di batulempung
pada Formasi Mallawa dengan ketebalan yang bervariasi.

BAB III
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan pada makalah ini menenai pembahasan diatas, adalah
sebagai berikut :
1. Sulawesi merupakan pulau yang khas dan terletak di tengah-tengah kawasan
Wallacea. Kawasan ini merupakan wilayah yang terletak di antara dua benua
yaitu Asia dan Australia.
35

2. Perkembangan Tektonik Pulau Sulawesi, melalui tiga tahap yaitu kapur akhir,
Paleogen, dan Neogen
3. Stratigrafi Pulau Sulawesi terdiri dari :
a. Stratigrafi Sulawesi Utara
b. Stratigrafi Sulawesi Selatan
c. Stratigrafi Sulawesi Barat
d. Stratigrafi Sulawesi Tengah
e. Stratigrafi Banggai Sula
4. Struktur Pulau Sulawesi, terdiri dari
a. Mandala Barat (West & North Sulawesi Volcano-Plutonic Arc)
b. Mandala Tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt)
c. Mandala Timur (East Sulawesi Ophiolite Belt)
d. Fragmen Benua Banggai-Sula dan Tukang Besi
5. Potensi Geologi Pulau Sulawesi
a. Nikel dan batubara yang terdapat pada Sulawesi Tengah
b. Nikel terdapat pula pada Sulawesi Tenggara
c. Cadangan batubara terdapat pada Sulawesi selatan

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, 2007, Sulawesi Tengah dalam
Angka 2006/2007
Calvert, S. J. & Hall, R., 2003, The Cenozoic Geology Of The Lariang And
Karama Regions, Western Sulawesi: New Insight Into The Evolution Of
The Makassar Straits Region, Proceeding 29th, Indonesian Petroleum
Association.
Fraser, T.H., Jackson, B. A., Barber, P. M., Baillie, P., Keith, M., 2003, The West
Sulawesi Fold Belt and Other New Plays Within the North Makassar
Straits a Prospectivity Review, Proceeding 29th, Indonesian Petroleum
Association.
Irianto Uno, 2010, Potensi Bahan Galian Dan Mitigasi Bencana Alam
Di Wilayah Sulawesi Tengah, Fakultas Teknik Universitas Tadulako,
Palu.
Hall, R. & Smyth, H.R., 2008, Cenozoic arc activity in Indonesia: identification
of the key influences on the stratigraphic record in active volcanic arcs, in
36

Draut, A.E., Clift, P.D., and Scholl, D.W., eds., Lessons from the
Stratigraphic Record in Arc Collision Zones: The Geological Society of
America Special Paper 436.
Hall, R. & Wilson, M. E. J., 2000, Neogene sutures in eastern Indonesia. Journal
of Asian Earth Sciences, 18, 781808.
Parkinson, C. D., 1991, The petrology, structure and geological history of the
metamorphic rocks of central Sulawesi, Indonesia, PhD Thesis, University
of London.
Sukamto R., and Simandjuntak T.O., 1981, Tectonic Reletionship Between
Geologic Aspect of Western Sulawesi, Eastern Sulawesi dan Banggai
Sula In The Light Of Sedimentological Aspects, GRDC Bandung.
Indonesia.
Surono, 1995, Sedimentology of the Tolitoli Conglomerate Member of the
Langkowala Formation, Southeast Sulawesi, Indonesia. Journal of
Geology and Mineral Resources, GRDC Bandung, Indonesia 5, 1 7.
Surono, 1998, Geology and origin of the southeast sulawesi Continental
Terrane,Indonesia, Media Teknik, No.3 Tahun xx.
Suyono and Kusnama, 2010, Stratigraphy and Tectonics of the Sengkang Basin,
South Sulawesi, Jurnal Geologi Indonesia, 5, 1-11.
Irsyam M., Sengara W., Aldiamar F., Widiyantoro S., Triyoso W., Hilman D.,
Kertapati E., Meilano I., Suhardjono, Asrurifak M, Ridwan M., 2010,
Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010, Bandung.
Van Leeuwen, T. M., 1981, The geology of Southwest Sulawesi with special
reference to the Biru area, Spec. Publ. Nop. 2, 1981, pp.277- 304.
Van Leeuwen, T.M., 1994, 25 Years of Mineral Exploration and Discovery in
Indonesia, Journal of Geochemical Exploration, 50, h.13-90.

37

Anda mungkin juga menyukai