Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. M

Usia

: 11 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki Laki

Alamat

: Sukaraja

Tgl Masuk RS

: 09 April 2015

ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS : terhadap Ibu OS)


KELUHAN UTAMA

Batuk berdahak dan sesak sejak 1 Bulan SMRS

KELUHAN TAMBAHAN

Sesak makin memberat

Demam

Pilek

Nafsu makan menurun

Keringat di malam hari

Riwayat Penyakit Sekarang

Menurut ibu pasien, batuk berdahak dan sesak sejak 1bulan SMRS, dahak tidak ada
darah. Pilek (+), keringat di malam hari, dan nafsu makan menurun. Berat badan selama 3
bulan terakhir tetap, 20 kg. Demam sejak 6 hari SMRS, demam tidak tinggi, terus menerus.
Sesak makin memberat dalam seminggu terakhir. Tidak ada mual dan muntah. 3 hari SMRS
ibu membawa OS ke klinik, tapi tidak ada perubahan. BAK normal dan BAB normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
1

- Asma (-)
- Kejang demam (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada yang mengeluh keluhan yang sama dalam keluarga

Riwayat Pengobatan :

Sudah berobat ke klinik. Diberikan obat penurun panas dan puyer batuk pilek tapi tidak
ada perubahan

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


ANC teratur di bidan, lahir spontan pervaginam ditolong oleh bidan. BBL: 3000 gr,
PB: 51 cm

Riwayat Imunisasi : Semua imunisasi dasar (+)


Kesan Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Tumbuh Kembang :

Duduk : 7 bulan

Berdiri : 8 bulan

Jalan: 11 bulan

Kesan riwayat tumbuh kembang sesuai dengan usia

Riwayat Makanan :

ASI eksklusif : 0-6 bulan

Susu formula : >6 bulan

Nasi tim: > 1 tahun

Sekarang : anak susah untuk makan


2

Riwayat Alergi :

Debu (-)

Dingin (-)

Makanan (-)

Obat (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda Vital

Suhu

: 36,4 oC

Nadi

: 104 x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup

RR

: 38 x/menit

STATUS GENERALIS
Kepala :

Bentuk

: Normocephal

Lingkar kepala : 50 cm
Ubun-ubun

: sudah menutup

Rambut

: hitam, tipis, distribusi merata

Alis

: madarosis (-)

Mata

: Konjungtiva anemis (+/+),Sklera ikterus


(-/-),refleks cahaya (+/+), pupil isokor (+/+)

Telinga

: Normotia, sekret (-/-)

Hidung

: Normonasi, pernapasan cuping hidung (-), septum deviasi (-), sekret (+/+)

Mulut

: Bibir pucat (-), bibir kering (-), sianosis (-), stomatitis angularis (-), lidah kotor (),
tonsil, faring hiperemis (-)

Leher

: Pembesaran KGB (+), jumlah 2, ukuran 2 cm, tidak nyeri

Thorak: Normochest
3

Inspeksi
Dada

: simetris kanan kiri

Palpasi
Vocal Fremitus

: paru kiri lebih kuat dari pada paru kanan

Perkusi paru

: Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi

: Vesikuler, Wheezing (-/-), Ronki (+/+)

Jantung

Inspeksi

: Ictus cordis terlihat pada ulu hati

Palpasi

: Ictus cordis teraba pada ulu hati

Auskultasi

: BJ I dan II murni, reguler,cepat, murmur (-), gallops (-)

Abdomen

Inspeksi

: supel

Auskultasi

: Bising usus (+)

Palpasi

: Nyeri tekan (-), hepatomegali(-), splenomegali(-),


Turgor (baik)

Perkusi

: Timpani

Ekstremitas

:
Atas

Bawah

Akral hangat

: +/+

+/+

RCT

: < 2 detik

< 2 detik

Udem

: -/-

+/+

Clubbing

: +/+

+/+

Inguinal

: Tidak ada pembesaran kelenjar KGB

Anus dan Rektum

: Dalam batas normal.

Genitalia

: Laki-laki (normal)

Kekuatan Motorik
5

HASIL LABORATORIUM
Hasil Laboratorium 09 April 2015
4

PEMERIKSAAN

HASIL

SATUAN

NILAI RUJUKAN

Hb

9,1

mg/dL

10,7 14,7

Hematokrit

25

31-43

Trombosit

418

Ribu / L

229-553

Leukosit

9,9

Ribu / L

5,0 14,5

LED

13

mm/jam

0 - 20

Elektrolit
Natrium, Na.

129

Mmol/L

137-147

Kalium, K.

4,1

Mmol/L

3,6-5,4

Klorida, Cl.

103

Mmol/L

94-111

GDS

73

Mg/dl

< 120

.
DAFTAR MASALAH
TB Paru Susp. MDR
Susp. RHD
FOLLOW UP

Tanggal
10-04-2015

11-04-2015

Perjalanan penyakit
S : sesak,lemas,batuk,panas,nafsu makan
menurun, mual, pusing, nyeri pada seluruh
sendi, BAK dan BAB dbn.
O : composmentis
Ca +/+
Si -/Suhu 36,9 C
Thoraks Ronkhi (+/+), Wheezing (-/-)
Cor BJ I&II reguler, sangar cepat. Gl MrAbdomen Dbn
Ekstrimitas clubbing finggers (+/+ | +/+)
oedema (-/- | +/+)
A : Tb paru
anemia
susp. Kelainan jantung
Per S : sesak,lemas,batuk,panas,nafsu
makan menurun, mual, pusing, nyeri pada
seluruh sendi, BAK dan BAB dbn.

Pengobatan
02 1-2 L/mnt
IVFD Kaen 3b 20tpm
Inj. Cefotaxime 2.1gr
Inj. Furosemide 1.20mg
Inf. Sanmol 3.500mg
Ro. Thoraks
BTA S-P-S
Diet TKTP

O2 1-2 L/mnt
IVFD Kaen 3b 20tpm
Inj. Cefotaxime 2.1gr
5

12-04-2015

O : composmentis
Ca +/+
Si -/Suhu 36,9 C
Thoraks Ronkhi (+/+), Wheezing (-/-)
Cor BJ I&II reguler, sangar cepat. Gl MrAbdomen Dbn
Ekstrimitas clubbing finggers (+/+ | +/+)
oedema (-/- | +/+)
A : Tb paru
anemia
susp. Kelainan jantung jalanan
penyakit
S : sesak,lemas,batuk,panas,nafsu makan
menurun, mual, pusing, nyeri pada seluruh
sendi, BAK dan BAB dbn.
O : composmentis
Ca +/+
Si -/Suhu 36,9 C
Thoraks Ronkhi (+/+), Wheezing (-/-)
Cor BJ I&II reguler, sangar cepat. Gl MrAbdomen Dbn
Ekstrimitas clubbing finggers (+/+ | +/+)
oedema (-/- | +/+)
A : Tb paru
anemia
susp. Kelainan jantung jalanan

Inj. Furosemide 1.20mg


Inf. Sanmol 3.500mg
Diet TKTP tan

02 1-2 L/mnt
IVFD Kaen 3b 20tpm
Inj. Cefotaxime 3.1gr
Inj. Ampicillyn 3.1gr
Inf. Sanmol 3.500mg
Diet TKTP

Planning terakhir
Rencana rujuk RSUP Hasan Sadikin
dengan TB Paru susp. MDR dan
dilakukan pemeriksaan
Echocardiography

02 1-2 L/ menit
IVFD RL 20 tpm
Inj. Cefotaxime 3.1gr
Inj. Ampicillyn 3.1gr
OAT : INH

200mg

Rif

300mg

Pirazinamid

500mg

TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS
1.1 Definisi
Tuberkulosis

adalah

penyakit

akibat

infeksi

kuman

Mikobakterium

tuberkulosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ
6

tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
primer.
1.2 Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis,sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Yang
tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex

adalah : 1. M.

tubeculosae, 2. Varian Asian, 3. Varian African I, 4. Varian African II, 5. M. bovis.


Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.
Kelompok kuman Mycobacteria Other Than TB (MOTT) atypical adalah 1.
M. kansasi, 2. M. avium, 3. M. intra cellular, 4. M. scrofulaceum, 5. M. malmacerse,
6. M. xenopi .

1.3 Epidemiologi TB di Indonesia


Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah
china dan india. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di china, india dan Indonesia
berturut-turut 1.828.000, 1.414.000 dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTA di
sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survey
kesehatan rumah tangga tahun 1985 dan survai kesehatan nasional 2001, TB
menempati rangking no 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. sampai sekarang angka
kejadian TB di Indonesia relative terlepas dari angka pandemi infeksi HIV karena
masih relative rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah dimasa
datang mengingat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ke tahun.
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB
anak pertahun adalah 5-6% dari total kasus. Tuberkulosis anak merupakan faktor
penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah
40-50% dari jumlah seluruh populasi seperti gambar di bawah ini.

1.4 Patogenesis
Paru merupakan port d'entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 m), kuman TB dalam percik renik (droplet nudei)
yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar
dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan
akan terns berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama
masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103-104,
yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk,

yang

dapat

diketahui

dengan

adanya

hipersensitivitas

terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin
masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik,
pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan
tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
selular telah terbentuk, kuman TB barn yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi

penyembuhannya

biasanya

tidak

sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritic fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve
mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
9

mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang Bering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering
di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang
di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses
patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian
hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan
setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi
kuman TB yang beredar Berta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam
mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di
bawah dua tahun.

10

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic


spread dengan jumlah kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh,
dalam perjalanannya di dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan
membentuk tuberkel di tempat tersebut. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara
ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, sedangkan
secara histologik merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di
dinding vaskular pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic
spread.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru
kronik. Sebanyak 0,5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau
meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat
terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat
bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. Tuberkulosis paru kronik
biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi
sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering pada remaja dan
dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi
TB. Tuberkulosis tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan
paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian.
Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer. Secara singkat,
patogenesis tuberkulosis dapat dilihat pada Gambar dibawah ini

11

1.5 Faktor Resiko


Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko
infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).
1.5.1 Risiko infeksi TB
12

Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemic,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat
penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak
terdapat pasien TB dewasa aktif.
Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang
dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti, bayi dari seorang ibu
dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin eras bayi
tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan
percik renik (droplet nudei) yang infeksius.
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih
tinggi Jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat lugs atau
kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat,
serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak
baik.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa
di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret
endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut.
Pertama, jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena
imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan
sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB
primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak
terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak
terdapatnya receptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat
gejala batuk pada TB anak.
1.5.2 Risiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut
ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi
sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak berusia <5 tahun mempunyai
risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas
selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini
13

akan berkurang secara bertahap wiring dengan pertambahan usia. Pada bayi yang
terinfeksi TB, 43%-nya akan menjadi sakit TB, pada anak usia 1-5 tahun, yang
menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15%, dan pada dewasa 5-10%. Anak
berusia <5 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB
milier dan meningitis TB), dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Risiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB adalah selama 1
tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang
waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun)
dan biasanya timbul gejala yang akut.
Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam. 1 tahun terakhir. Faktor
risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi
HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi), diabetes melitus,
dan gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah
status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan human,
pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan
masyarakat. Di negara maju, migrasi penduduk termasuk menjadi faktor risiko,
sedangkan di Indonesia hal ini belum menjadi masalah yang berarti. Faktor lain yang
mempunyai risiko terjadinya penyakit TB adalah virulensi dari M. tuberculosis dan
dosis infeksinya. Akan tetapi, secara klinis hal ini sulit untuk dibuktikan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan imunokompromais merupakan
salah satu faktor risiko penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun
sehingga kuman TB yang dorman mengalami aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan
AIDS menyebabkan peningkatan pelaporan TB secara bermakna . di beberapa negara.
Diperkirakan risiko terjadinya sakit TB pada pasien HIV dengan tuberkulin positif
adalah 7 10% per tahun, dibandingkan dengan pasien non-HIV yang risiko
terjadinya sakit TB adalah 5 10% selama hidupnya. Pada tahun 1990, 4,6%
kematian akibat TB disebabkan oleh infeksi HIV dan diperkirakan akan meningkat
menjadi lebih dari 14% pada tahun 2000. Angka kejadian TB yang telah menurun
pada awal abad ke-20 kembali meningkat pada akhir tahun 1980. Hal tersebut terjadi
bersamaan dengan meningkatnya epidemi HIV dan resistensi multiobat (Multi Drug
Resistance = MDR), bahkan sekarang sudah terjadi resistensi obat yang ekstrim
14

(Extreme Drug Resistance =XDR). Secara ringkas risiko sakit TB pada anak yang
terinfeksi TB dapat dilihat pada Tabel 4.1.1.

1.6 Gejala-Gejala Klinis


Patogenesis TB sangat kompleks, sehingga manifestasi klinis TB sangat
bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman
TB, pejamu, serta interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah
dan virulensi kuman, sedangkan faktor pejamu bergantung pada usia, dan kompetensi
imun serta kerentanan pejamu pada awal terjadinya infeksi. Anak kecil seringkali
tidak menunjukkan gejala walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada
foto toraks. Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi sistemik dan
manifestasi spesifik organ/lokal.
Manifestasi sistemik (umum/nonspesifik)
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Sebagian besar
anak dengan TB tidak memperlihatkan gejala dan tanda selama beberapa waktu.
Sesuai dengan sifat kuman TB yang lambat membelah, manifestasi klinis TB
umumnya berlangsung bertahap dan perlahan, kecuali TB diseminata yang dapat
berlangsung dengan cepat dan progresif. Seringkali, orang tua tidak dapat
menyebutkan secara pasti kapan berbagai gejala dan tanda klinis tersebut mulai
muncul. Tuberkulosis yang mengenai organ manapun dapat memberikan gejala dan
tanda klinis sistemik yang tidak khas, terkait dengan organ yang terkena. Keluhan
sistemik ini diduga berkaitan dengan peningkatan tumor necrosis factor-a, (TNF-).
Salah satu gejala sistemik yang sering terjadi adalah demam. Temuan demam
pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus. Demam biasanya tidak tinggi dan
hilangtimbul dalam jangka waktu yang cukup lama. Manifestasi sistemik lain yang
sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan (BB) tidak naik (turun, tetap, atau naik,
tetapi tidak sesuai dengan grafik tumbuh), dan malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
Keluhan ini sulit diukur dan mungkin terkait dengan penyakit penyerta.

15

Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manifestasi
respiratorik yang menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering pada TB paru
dewasa, tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama. Pada anak, gejala batuk
berulang lebih sering disebabkan oleh asma, sehingga jika menghadapi anak dengan
batuk kronik berulang. telusuri dahulu kemungkinan asma. Fokus primer TB paru
pada anak umumnya terdapat di daerah parenkim yang tidak mempunyai reseptor
batuk. Akan tetapi, gejala batuk kronik pada TB anak dapat timbul bila limfadenitis
regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara kronik. Selain
itu, batuk berulang dapat timbul karena anak dengan TB mengalami penurunan
imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi respiratorik akut (IRA) berulang.
Gejala batuk kronik berulang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain, misalnya
rinosinusitis, refluks gastroesofageal, pertusis, rinitis kronik, dan lain-lain (gambar
dibawah). Gejala sesak jarang dijumpai, kecuali pada keadaan sakit berat yang
berlangsung akut, misalnya pada TB milier, efusi pleura, dan pneumonia TB.
Rangkuman dari gejala umum pada TB anak adalah sebagai berikut:
1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang dapat
disertai dengan keringat malam. Demam umumnya tidak tinggi.
2. Batuk lama >3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.
3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan
dengan penanganan gizi yang adekuat.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik
dengan adekuat (failure to thrive).
5. Lesu atau malaise
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

16

1.7 Pemeriksaan penunjang


1.7.1 Uji Tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah
terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk
imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi
suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin dan
terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk
reaksi tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses
penyakit.
Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama dikenal,
tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada
anak, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Tuberkulin yang tersedia di
Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) buatan Statens Serum
Institute Denmark, dan PPD (purified protein derivative) dari Biofarma.

17

Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT23 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi
yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi
untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter
transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan
dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0
mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif (lihat lampiran gambar). Selain ukuran
indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel
hingga bula.
Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi

10 mm

dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar
disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi
Bacille Calmette-Guerin (BCG) atau infeksi M. atipik. Bacille Calmette-Guerin
merupakan infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis yang dilemahkan, sehingga
kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi positif, tidak sekuat
infeksi alamiah. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin secara bertahap
akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu, dan paling lama berlangsung
hingga 5 tahun setelah penyuntikan.
Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15 mm
dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah,
tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi 15
mm, hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil
tuberkulin pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan.
Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberkulin. negatif.
Diameter 5-9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh
kesalahan teknis (trauma dan lain-lain), keadaan anergi, atau reaksi silang dengan M.
atipik. Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberkulin dapat diulang. Untuk
menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dan
penyuntikan dilakukan di lokasi yang lain, minimal berjarak 2 cm.
Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais),
maka cut off-point hasil positif yang digunakan adalah 5 mm. Keadaan
18

imunokompromais ini dapat dijumpai pada pasien dengan gizi buruk, infeksi HIV,
keganasan,

morbili,

pertusis,

varisela,

atau

pasien-pasien

yang

mendapat

imunosupresan jangka panjang (2 minggu). Pada anak yang mengalami kontak eras
dengan pasien TB dewasa aktif disertai BTA positif, juga digunakan batas 5 mm. Uji
tuberkulin sebaiknya tidak dilakukan dalam kurun waktu 6 minggu setelah imunisasi
morbili; measles, mumps, rubella (MMR); dan varisela, karena dapat terjadi anergi
(negatif palsu karena terganggunya reaksi tuberkulin).
Pada reaksi uji tuberkulin dapat terjadi reaksi lokal yang cukup kuat bagi
individu tertentu dengan derajat sensitivitas yang tinggi, berupa vesikel, bula, hingga
ulkus di tempat suntikan. juga pernah dilaporkan terjadinya limfangitis, limfadenopati
regional, konjungtivitis fliktenularis, bahkan efusi pleura, yang dapat disertai demam,
walaupun jarang terjadi.
Tuberkulosis pada anak tidak selalu bermanifestasi klinis secara jelas,
sehingga perlu dilakukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberkulin. Pada anak yang
tinggal di daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan secara rutin, bila
hasilnya negatif dapat diulang setiap tahun.
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:
1. Infeksi TB alamiah
a.

infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)

b.

infeksi TB dan sakit TB

c.

TB yang telah sembuh.

2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan).


3. Infeksi mikobakterium atipik.
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut:
1.

Tidak ada infeksi TB.

2.

Dalam masa inkubasi infeksi TB.

3.

Anergi.
19

Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan,


sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun sebenarnya
sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi
buruk, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbili,
pertusis, varisela, influenza, TB yang berat, Berta pemberian vaksinasi dengan vaksin
virus hidup. Yang dimaksud dengan influenza adalah infeksi oleh virus influenza,
bukan batuk-pilekpanas biasa, yang umumnya disebabkan oleh rhinovirus dan disebut
sebagai selesma (common cold).
Satu hal yang perlu dicermati saat pembacaan uji tuberkulin adalah
kemungkinan uji tuberkulin postif palsu/negatif palsu. Uji tuberkulin positif palsu
dapat juga ditemukan pada keadaan penyuntikan salah dan interpretasi salah,
demikian juga negatif palsu, disamping penyimpanan tuberkulin yang tidak baik
sehingga potensinya menurun (gambar dibawah).

.
1.7.2 Uji Interferon
Secara garis besar, pemeriksaan penunjang untuk mencari bukti adanya
penyakit infeksi dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah
pemeriksaan untuk menemukan kuman patogen di dalam spesimen, misalnya dengan
20

pemeriksaan langsung, pemeriksaan biakan, atau polymerase chain reaction (PCR).


Kedua adalah pemeriksaan untuk mendeteksi respons imun terhadap kuman tersebut.
Pemeriksaan untuk respons imun terhadap penyakit infeksi terdiri dari pemeriksaan
respons imun humoral (enzyme-linked immunoabsorbent assay, ELISA) dan
pemeriksaan respons imun selular. Pada penyakit infeksi non-TB, yang banyak
dipakai adalah pemeriksaan respons imun humoral vaitu pemeriksaan serologi. Pada
infeksi TB, respons imun selular lebih memegang peranan, sehingga pemeriksaan
diagnostik yang lebih representatif adalah uji tuberkulin.
Uji tuberkulin dianggap tidak praktis karena pasien harus datang minimal dua
kali untuk diagnostik, yaitu saat penyuntikan dan saat pembacaan. Pemeriksaan
imunitas selular yang ada biasanya tidak dapat membedakan antara infeksi TB dengan
sakit TB, oleh karena itu telah dikembangkan suatu pemeriksaan imunitas selular
yang lebih praktis vaitu dengan memeriksa spesimen darah. Hasil pemeriksaan ini
diharapkan dapat membedakan infeksi TB dengan sakit TB. Pemeriksaan yang
dimaksud adalah uji interferon (interferon gamma release assay, IGRA).
Ada 2 macam pemeriksaan IGRA di pasar dunia yaitu Quantiferon TB gold
dan Tspot-TB. Quantiferon TB-gold mengukur jumlah IFN-y dengan ELISA yang
dinyatakan dalam pg/ml atau IU-ml. T-spot-TB menghitung jumlah IFN-y secreting Tcell berupa titiktitik (Spot foaming cells). pemeriksaan IGRA belum dibuktikan
hasilnya pada anak-anak.
1.7.3 Radiologis
Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; kelainan-kelainan radiologis pada
TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto toraks yang normal
(tidak terdeteksi secara radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis
dan pemeriksaan penunjang lain mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto
toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran milier.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut.

Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat.

Konsolidasi segmental/lobar.

Milier.
21

Kalsifikasi dengan infiltrat.

Atelektasis.

Kavitas.

Efusi pleura.

Tuberkuloma.

Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus
disertai dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus
biasanya lebih jelas pada foto lateral. Sebagai pegangan umum, jika dijumpai
ketidaksesuaian (diskongruensi) antara gambaran radiologis yang berat dan gambaran
klinis ringan, maka harus dicurigai TB. Pada keadaan foto toraks tidak jelas, bila perlu
dilakukan pemeriksaan pencitraan lain seperti computed tomography scan (CT-scan)
toraks.
1.7.4 Serologis
Pada awalnya, pemeriksaan serologis diharapkan dapat membedakan antara
infeksi TB dan sakit TB. Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan
imunologik antigenantibodi spesifik untuk M. tuberculosis ELISA dengan
menggunakan PPD, A60, 38kDa, lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan
pemeriksaan dari darah, sputum, cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar
lavage; BAL), cairan pleura, dan CSS terus dilakukan. Beberapa pemeriksaan
serologis yang ada : PAP TB, Mycodot, immunochromatographic test (ICT), dan lainlain, hingga saat ini belum ada satu pun pemeriksaan tersebut yang dapat memenuhi
harapan itu. Semua pemeriksaan tersebut umumnya masih dalam taraf penelitian
untuk pemakaian klinis praktis.
1.7.5 Mikrobiologis
Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis, uji
tuberkulin, dan gambaran radiologis paru. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan
kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang
dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung
untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman M. tuberculosis.
22

Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan


specimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan peffieriksaan bilas lambung
(gastric lavage) 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik
langsung pada anak sebagian besar negatif, sedangkan hasil biakan M. tuberculosis
memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 6-8 minggu. Saar ini ada pemeriksaan
biakan yang hasilnya diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec,
tetapi biayanya mahal dan secara teknologi lebih rumit.
Perkembangan lain di bidang mikrobiologi adalah pemeriksaan PCR.
Pemeriksaan PCR merupakan teknik amplifikasi urutan deoxyribonudeotic acid
(DNA) yang spesifik. Secara teori, dengan metode ini, kuman yang berasal dari
spesimen bilas lambung akan dapat dideteksi meskipun hanya ada satu kuman M.
tuberculosis pada bahan pemeriksaan, sehingga diharapkan sensitivitasnya cukup
tinggi.
Akan tetapi, terdapat beberapa kelemahan untuk menerapkan pemeriksaan
PCR sebagai pemeriksaan klinis rutin, yaitu tingginya variasi tingkat sensitivitas pada
pemeriksaan PCR di berbagai laboratorium, dan mudahnya terjadi kontaminasi
kuman/bagian dari kuman yang berasal dari pemeriksaan sebelumnya, sehingga dapat
menyebabkan positif palsu. Hasil positif pun tidak selalu menunjukkan kuman yang
aktif, karena kuman dorman atau persister dapat terdeteksi dengan pemeriksaan ini.
Selain itu. teknologi yang digunakan masih tergolong rumit, sehingga menyebabkan
tingginya biaya PCR. Oleh karena itu, hingga saat ini pemeriksaan PCR masih
digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis
rutin. penelitian lebih lanjut untuk melihat sensitivitas dan spesifisitasnya pada anak
masih diperlukan.
Akan tetapi, adanya positif palsu ini menyebabkan masih diperlukannya suatu
sistem kontrol standar mutu yang lebih baik, sehingga belum digunakan sebagai
pemeriksaan klinis rutin. Pada pasien TB dewasa, metode ini telah terbukti sensitivitas
dan spesifisitasnya yang cukup tinggi, akan tetapi peranannya dalam diagnosis TB
anak masih kontroversial dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dalam pemeriksaan PCR ini, perlu diperhatikan aspek pemilihan spesimen.
Seperti kita ketahui, kuman TB ada di dalam darah hanya dalam waktu singkat selama
masa inkubasi, sehingga pemeriksaan PCR dengan spesimen darah tidak bermanfaat.
23

Spesimen yang dapat digunakan adalah sputum, bilas lambung, cairan pleura, atau
CSS.
1.7.6 Patologi anatomi
Pemeriksaan penunjang yang mempunyai nilai tinggi meskipun tidak setinggi
mikrobiologi adalah pemeriksaan histopatologik, yang dapat memberikan gambaran
yang khas. Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya
kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma
tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah
granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinudeated giant cell
(sel datia Langhans). Diagnosis histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan
perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans. Kadang-kadang
dapat ditemukan juga BTA.
Seperti halnya pemeriksaan mikrobiologi, kendalanya adalah kesulitan
mendapatkan spesimen yang representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling
sering diperiksa adalah limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar
gambaran histopatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini
mempunyai perancu, yaitu infeksi M. atipik dan limfadenitis BCG yang secara
histopatologis sulir dibedakan dengan TB. Pada kenyataannya, seringkali KGB kolli
ini sering diambil dengan cara biopsi jarum halus. Sebenarnya, spesimen yang
diambil dengan menggunakan jarum halus kurang representatif karena jaringan yang
terambil hanya berupa sel, sehingga lebih mendekati pemeriksaan sitologi yang sulit
untuk dibuat kesimpulan pasti.
1.8 Penegakan diagnosis
Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak terutama dengan
pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji tuberkulin, dan
gambaran sugestif pada foto, toraks. Meskipun demikian, sumber penularan/kontak
tidak selalu dapat teridentifikasi, sehingga analisis yang seksama terhadap semua data
klinis sangat diperlukan. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB pada pemeriksaan apusan langsung (direct smear), dan/atau biakan yang
merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard), atau gambaran PA TB. Hanya
saja, diagnosis pasti pada anak sulit didapatkan karena jumlah kuman yang sedikit
24

pada TB anak (paucibacillary), dan lokasi kuman di daerah parenkim yang jauh dari
bronkus, sehingga hanya 10-15% pasien TB anak yang hasil pemeriksaan
mikrobiologiknya positif/ditemukan kuman TB. Diagnosis TB tidak dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis saja, atau pemeriksaan penunjang
tunggal misalnya hanya dari pemeriksaan radiologis. Oleh karena itu, analisis kritis
perlu dilakukan terhadap sebanyak mungkin fakta untuk menegakkan diagnosis.
Kesulitan menegakkan diagnosis TB pada anak menyebabkan banyak usaha
membuat pedoman diagnosis dengan sistem skoring dan alur diagnostik, misalnya
pedoman yang dibuat oleh WHO, Stegen dan Jones, dan UKK Respirologi PP IDAI.
WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) membuat kriteria untuk membuat
diagnosis TB pada anak (gambar dibawah).

Kriteria WHO ini telah dievaluasi secara prospektif oleh Houwart dkk, dengan
hasil baik. Penilaian pada 258 anak dengan "mungkin tuberkulosis" sesuai kriteria
WHO maka setelah diikuti lebih lanjut 109 (42%) menjadi "pasti tuberkulosis"
dengan biakan positif, 86 (33%) diagnosisnya tetap "mungkin tuberkulosis",
sedangkan 63 (24%) bukan tuberkulosis. Diantara 109 anak dengan biakan positif, 11
anak foto rontgen parunya normal.
Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI sudah pernah membuat alur
diagnosis TB anak yang dimuat dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB
yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI). Dalam alur diagnosis
25

tersebut, terdapat 10 butir kriteria diagnosis TB anak. Bila terpenuhi tiga atau lebih,
anak sudah dapat didiagnosis TB. Setelah dievaluasi pelaksanaannya di lapangan, alur
diagnosis tersebut sangat berpotensi menyebabkan terjadinya overdiagnosis TB pada
anak.
Untuk mengatasi hal tersebut, IDAI bekerjasama dengan Depkes RI dan
didukung WHO, membentuk kelompok kerja TB anak (Pokja TB Anak). Salah satu
tugas Pokja ini adalah mengembangkan sistem skoring yang barn untuk meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas diagnosis TB pada anak. Sistem skoring yang telah
disusun tersebut diuji coba melalui tiga tahapan penelitian. Penelitian pertama berupa
penerapan sistem skoring terhadap sekitar 200 pasien TB anak dengan biakan positif
(confirmed TB). Penelitian kedua adalah penerapan sistem skoring terhadap pasien
TB anak di RS yang menjalani prosedur diagnostik lengkap termasuk pemeriksaan
mikrobiologik. Dari kedua tahapan penelitian tersebut didapatkan sistem skoring
dengan cut off-point seperti yang dimuat di dalam buku ini. Penelitian tahap ketiga
adalah penerapan sistem skoring di puskesmas untuk melihat kelayakan dan
kemampulaksanaan petugas kesehatan di lapangan. Revisi sistem skoring diagnosis
TB anak dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

26

*Gambaran sugestif TB, berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat;
konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak
dihitung dalam skor karena diperlakukan secara khusus.

Mengingat.pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka sebaiknya disediakan
tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.

Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (<7 hari) harus dievaluasi dengan sistem
skoring TB Anak, BCG bukan merupakan alas diagnostik.

Diagnosis kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor >6 (skor maksimal 13).

Jika ditemukan gambaran milier, kavitas, atau efusi pleura pada foto toraks,
dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk, dan penurunan
kesadaran, serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus dirawat inap di
Sistem skoring dikembangkan terutama untuk penegakan diagnosis TB anak
pada sarana kesehatan dengan fasilitas yang terbatas. Untuk mendiagnosis TB di
sarana yang memadai, sistem skoring hanya digunakan sebagai uji Lapis. Setelah itu
dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti bilas lambung (BTA dan
kultur M. tuberculosis), patologi anatomik, pungsi pleura, pungsi lumbal, CT-scan,
funduskopi, serta pemeriksaan radiologis untuk tulang dan sendi.

27

28

1.9 Penatalaksanaan
Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan
antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit
penyerta. Selain itu, penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila
ditemukan sumber infeksi juga harus mendapatkan pengobatan. Upaya perbaikan
kesehatan lingkungan juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan pengobatan.
p

emberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada

masyarakat atau kepada orang tua pasien mengenai pentingnya menelan obat secara
teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, pengawasan terhadap jadwal pemberian
obat, keyakinan bahwa obat diminum, dan sebagainya.
1.9.1 Medikamentosa
1.9.1.1 Obat TB yang digunakan
Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),
pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid
merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan
streptomisin. Obat TB lain (second line) adalah para-aminosalicylic acid (PAS),
cydoserin

terizidone,

ethionamide,

prothionamide,

ofloxacin,

levofloxacin,

moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin. amikacin, dan capreomycin,


yang digunakan jika terjadi MDR.
Isoniazid
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5
15 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam
bentuk sirup 100 mg/5 ml. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga
tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan
CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam.
Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Terdapat dua kelompok pasien
berdasarkan kemampuannya melakukan asetilasi, yaitu asetilator cepat dan asetilator
lambat. Asetilasi cepat lebih wring terjadi pada orang Afrika-Amerika dan Asia
29

daripada orang kulit putih. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada
orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/kgBB yang lebih tinggi daripada
dewasa. Isoniazid terdapat pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat
menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak
membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis
perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa
dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien
anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah
yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa
penghentian obat. Tiga hingga sepuluh persen pasien akan mengalami peningkatan
kadar transaminase darah yang cukup tinggi, tetapi hepatotoksisitas yang bermakna
secara klinis sangat jarang terjadi. Hal tersebut lebih mungkin terjadi pada remaja atau
anak dengan TB yang berat. Idealnya, perlu pemantauan kadar transaminase pada 2
bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan
laboratorium tidak rutin ilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis.
Hepatotoksisitas akan meningkat apabila isoniazid diberikan bersama dengan
rifampisin dan pirazinamid. Penggunaan isoniazid bersama dengan fenobarbital atau
fenitoin juga dapat meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksik. pemberian isoniazid
tidak dilanjutkan bila kadar transaminase serum naik lebih dari lima kali harga
normal, atau tiga kali disertai ikterik dan/atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual,
muntah, dan nyeri perut.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan, Jan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh
oleh isoniazid. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada
saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2
jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20
mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian per
hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak melebihi 15
mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Seperti halnya isoniazid,
rifampisin didistribusikan secara lugs ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS.
30

Distribusi rifampisin ke dalam CSS lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang
mengalami peradangan daripada keadaan normal. Ekskresi rifampisin terutama terjadi
melalui traktus biker. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan di ginjal dan urin.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada isoniazid. Efek yang
kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat,
sputum, dan air mata, menjadi warna orange kemerahan. Selain itu, efek samping
rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (muntah dan mual), dan hepatotoksisitas
(ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase
serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersama isoniazid, terjadi
peningkatan risiko hepatotoksisitas, yang dapat diperkecil dengan cara menurunkan
dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10 mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat
menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi
tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin,
siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol, kortikosteroid, dan sodium warfarin.
Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg,
sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran BB.
Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi
sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat timbul
malabsorpsi.
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam,
dan diresorbsi baik pada saluran cerna. pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis
15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45
pg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena
pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam, yang timbul akibat jumlah
kuman masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira
10% orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa
artralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis
hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas,
anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak.

31

Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat
digerus dan diberikan bersama dengan makanan.
Etambutol
Dahulu Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya
pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid,
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis
tunggal. Kadar serum puncak 5 pg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam
bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan
anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta
warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang
belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa
pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari tidak ditemukan kejadian
neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pascapengobatan.
Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan TB anak, etambutol
dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol
dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika
obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
Streptomisin
Streptomisin

bersifat

bakterisid

dan

bakteriostatik

terhadap

kuman

ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh
kuman intraselular. Saat ini, streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB,
tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan
MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40
mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari, dan kadar puncak 40-50 pg/ml dalam waktu 12 jam.

32

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak
dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik
pada jaringan dan cairan pleura, dan dieksresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya
saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika
anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial
VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga
berdengung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal sangat jarang terjadi. Streptomisin
dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada
wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan
menderita tuli berat.
Prinsip dasar OAT adalah harus dapat menembus berbagai jaringan termasuk
selaput otak. Farmakokinetik OAT pada anak berbeda dengan orang dewasa. Toleransi
anak terhadap dosis obat per kgBB lebih tinggi. Saat ini terdapat beberapa perbedaan
dosis OAT di dalam kepustakaan. Oleh karena itu, UKK respirologi PP IDAI telah
menyepakati pedoman dosis OAT dengan mempertimbangkan toleransi anak terhadap
dosis, dan tidak hanya sekedar ekstrapolasi dosis untuk pasien dewasa. Secara
ringkas, dosis dan efek samping OAT dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

1.9.1.2 Paduan obat TB

33

Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama)
dan sisanya sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga
macam obat pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan dua macam
obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian paduan obat ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraselular
dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman
juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps.
Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan
dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi
ketidakteraturan menelan obat yang lebih Bering terjadi jika obat tidak ditelan setiap
hari. Saar ini paduan obat yang bake untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah
paduan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid. Pada fase . intensif diberikan
rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid, sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan
rifampisin dan isoniazid.
Pada keadaan TB berat, baik TB pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB
milier, meningitis TB, TB sistem skeletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan
minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau
streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan.
Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis
TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan
dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan
tappering off selama 1 2 minggu. Paduan OAT ini dapat dilihat pada Gambar
dibawah ini.

1.9.1.3 Fixed Dose Combination (FDC)

34

Salah satu masalah dalam terapi TB adalah keteraturan (adherence) pasien


dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak.
Untuk mengatasi hal tersebut, dibuat suatu sediaan obat kombinasi dengan dosis yang
telah ditentukan, yaitu FDC atau Kombinasi Dosis Tetap (KDT).
Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah sebagai berikut.

Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep.

Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien.

Memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan pengobatan standar

dengan tepat.

Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses pengadaan,

penyimpanan, dan distribusi obat pada setup tingkat pengelola program


pemberantasan TB).

Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monoterapi) sehingga

mengurangi resistensi terhadap obat TB.

Mengurangi

kemungkinan

kegagalan

pengobatan

dan

terjadinya

kekambuhan.

Mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat sehingga

dapat mengurangi beban kerja.

Mempermudah penentuan dosis berdasarkan BB.

Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat rumusan mengenai


FDG pada anak seperti pada Tabel dibawah ini.

35

1.9.1.4 Evaluasi hasil pengobatan


Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan untuk menilai perkembangan hasil
terapi memantau timbulnya efek samping obat. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan
setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak
sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED.
Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya
kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan
BB yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan
lain-lain. Apabila respons pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.
Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak
terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih
lanjut mengapa tidak ada perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis,
mistreatment, atau resisters terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana
kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan
respirologi anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis,
ketepatan dosis OAT, keteraturan menelan obat, kemungkinan adanya penyakit
36

penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6 12 bulan dan


terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto toraks ulang pada akhir
pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu
subpopulasi persister M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam
tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya relaps. Pengobatan
lebih dari 6 bulan pada TB paru tanpa komplikasi menunjukkan angka relaps yang
tidak berbeda bermakna dengan pengobatan 6 bulan.
1.9.1.5 Evaluasi efek samping pengobatan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan berbagai
efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan
rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta
demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak
melebihi 10 mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari
dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum GlutamicOxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase
(SGPT) hingga >5 kali tanpa gejala, atau >3 kali batas atas normal (40 U/l) disertai
dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan
SGOT/SGPT dengan nilai berapa pun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea,
dan muntah.
Pada anak dengan penyakit yang tidak berat dan dosis obat yang diberikan
tidak melebihi anjuran, pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan secara rutin.
pada keadaan ini, hanya diperlukan penapisan (screening) fungsi hati sebelum
pemberian terapi serta pemantauan terhadap gejala klinis hepatotoksisitas.
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang
terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan
perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase
yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa
penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan lebih dari >5 kali tanpa gejala, atau >3
kali batas atas normal disertai dengan gejala memerlukan penghentian rifampisin
37

sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi, mengingat pentingnya


rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini
cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, disimpulkan bahwa paduan pengobatan
dengan isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis
yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.
Apabila peningkatan enzim transaminase >5 kali tanpa gejala, atau >3 kali
batas atas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian
kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. Obat
antituberkulosis diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Terapi
berikutnya dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis
yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan
laboratorium dengan cermat. Hepatoksisitas dapat timbul kembali pada pemberian
terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-dose) dan
pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.
1.9.1.6 Putus obat
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama >2
minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis
saat pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan, dan berapa
lama obat telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.
1.9.1.7 Multi-drug Resistance (MDR)
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena kultur sputum dan uji kepekaan
obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan
tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terns meningkat.
Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data
mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila
pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5%, sedangkan dengan
pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi directly observed
treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja. Daftar
OAT lini kedua untuk MDR-TB dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.

38

1.9.2 Nonmedikamentosa
1.9.2.1 Pendekatan DOTS
Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan (adherens)
menelan obat. Pasien TB biasanya telah menunjukkan perbaikan beberapa minggu
setelah pengobatan, sehingga merasa telah sembuh dan tidak melanjutkan pengobatan.
Nilai sosial dan budaya serta pengertian yang kurang mengenai TB dari pasien serta
keluarganya tidak menunjang keteraturan pasien untuk menelan obat.
Keteraturan pasien dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan
dosis yang ditentukan dalam paduan pengobatan. Keteraturan menelan obat ini
menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi.
Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan
pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly
observed treatment shortcourse adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh
WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di
39

Indonesia sejak tahun 1995. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat


memberikan angka kesembuhan yang tinggi.
Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen,
yaitu sebagai berikut.
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
3. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung

oleh pengawas menelan obat (PMO).


4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan

evaluasi program penanggulangan TB.


Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung, yaitu mengharuskan adanya seseorang yang
bertanggung jawab mengawasi pasien menelan obat, disebut sebagai PMO. Setiap
pasien baru yang ditemukan harus selalu didampingi seorang PMO. Syarat untuk
menjadi PMO adalah sebagai berikut: dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, serta harus disegani dan dihormati oleh pasien;
tempat tinggalnya dekat dengan pasien; bersedia membantu pasien dengan sukarela;
bersedia dilatih atau mendapatkan penyuluhan.
Orang yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan, keluarga pasien,
kader, pasien yang sudah sembuh, tokoh masyarakat, serta guru sekolah atau petugas
unit kesehatan sekolah yang sudah dilatih strategi DOTS. Tugas PMO adalah
mengawasi pasien agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan,
memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur, mengingatkan pasien
untuk periksa sputum ulang (pasien dewasa), serta memberikan penyuluhan kepada
anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB untuk segera
memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan.

40

Saat ini pemerintah telah menyediakan paket OAT (kombipak) untuk anak,
yang dapat diperoleh secara gratis. Obat antituberkulosis dalam bentuk KDT (FDC)
untuk anak sedang dalam tahap persiapan pengadaan.
1.9.2.2 Lacak sumber penularan dan case finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah
orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut.
Pelacakan sumber infeksi sentripetal dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis
dan BTA sputum. Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan
sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan
cara uji tuberkulin.
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya
atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan
sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.
1.9.2.3 Aspek edukasi dan sosial ekonomi
Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosioekonomi. Karena pengobatan
TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama,
maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi
yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanga
penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan
mencapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar
mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar
TB pada anak tidak menular kepada orang di sekitarnya. Aktifitas fisik pasien TB
anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.
1.9.2.4 Pencegahan
Imunisasi BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar
0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot
deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak
41

menganggu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia >3
bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang
mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian
vaksin, jarak pemberian vaksin, dan intensitas pemaparan infeksi.
Kemoprofilaksis
Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan
kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah
berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan
isoniazid dengan dosis 5 10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis
ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA
sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Obat diberikan selama
6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang.
jika tetap negatif, profilaksis dilanjutkan hingga 6 bulan. jika terjadi konversi
tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Pada akhir bulan keenam
pemberian profilaksis, dilakukan lagi uji tuberkulin, jika tetap negatif profilaksis
dihentikan, jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien.
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi
belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis
normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang
termasuk dalam kelompok risiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu
anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan
imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis,
mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja,
dan infeksi TB barn (konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan).
Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan.

DAFTAR PUSTAKA
42

Depkes RI. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke-3. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia. 2010
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Jakarta: Ikatan Dokter
anak Indonesia. 2010
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar Respirologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter
anak Indonesia. 2010

43

Anda mungkin juga menyukai