PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi
yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat
merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera
setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering
diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan
merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan.
Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital besar, umumnya akan dilahirkan
sebagai bayi berat lahir rendah (BBLR), bahkan sering pula sebagai bayi kecil
untuk masa kehamilannya (KMK). Bayi berat lahir rendah dengan kelainan
kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya.
Untuk menegakkan diagnosa kelainan kongenital pada janin, diperlukan
pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik, selain itu, dikenal pula adanya
diagnosis pre atau ante natal kelainan kongenital dengan beberapa cara
pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air
ketuban (amniotomi) dan darah janin, bahkan menurut perkembangan ilmu
mutakhir mengenai imunulogi antara ibu dan janin, untuk menegakkan diagnosa
kelainan kongenital sejak janin masih di dalam kandungan, kini dapat dilakukan
dengan pemeriksaan melalui darah ibu, hal ini karena disinyalir bahwa rangkain
DNA penyusun janin kini telah dapat beredar sampai ke darah perifer ibu,
sehimgga dapat digunakan sebagai salah satru marker untuk melakukan
pemeriksaan dan menegakkan diagnose keadaan janin, termasuk mengenai
kelainan Kongenital.
Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui.
Pertumbuhan embryonal dan fetal dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor
genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan. Banyak kelainan
kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor
lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial,
hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya.
1
Salah satu kelainan kongenital yang sering terjadi adalah meningokel atau
dikenal dengan Spina Bifida. Spina Bifida adalah suatu celah pada tulang
belakang (vertebra) yang terjadi karena satu atau beberapa bagian dari tulang
belakang (vertebra) gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh. Gangguan
fungsi tuba neural terjadi sekitar minggu ke tiga setelah konsepsi. Biasanya
terletak di garis tengah. Meningokel biasanya terdapat di daerah servikal atau
daerah torakal sebelah atas. Kantong hanya berisi selaput otak, sedangkan korda
tetap dalam korda spinalis (dalam durameter tidak terdapat saraf). Angka
kejadiannya adalah 3 di antara 1000 kelahiran.
1.2. Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Embriologi dan agar mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami mengenai kelainan kongenital pada janin secara
umum dan mengenai spina bifida secara khusus yang merupakan kelainan
kongenital akibat gangguan embriogenesis janin.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai kelainan kongenital pada
janin.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan definisi, etiologi, epidemiologi, gejala
klinis, patofisiologi, pemeriksaan fisik pada, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan, diagnosis, komplikasi, dan prognosis spina bifida.
3. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah/ makalah di bidang
ilmu kesehatan reproduksi khususnya yang berkaitan dengan
embriologi reproduksi.
BAB 2
2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital atau kelainan bawaan adalah kelainan yang sudah
ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik.
Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat
pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa saat setelah kelahiran bayi.
Selain itu, pengertian lain tentang kelainan sejak lahir adalah defek lahir, yang
dapat berwujud dalam bentuk berbagai gangguan tumbuh-kembang bayi baru
lahir, yang mencakup aspek fisis, intelektual dan kepribadian.
2.2 Embriogenesis
Embriogenesis adalah proses pembentukan organ dari tahap embrio
sampai menjadi organ yang dapat berfungsi. Embriogenesis normal merupakan
proses yang sangat kompleks. Perkembangan pranatal terdiri dari 3 tahap yaitu:
2.2.1. Tahap
implantasi
(implantation
stage),
dimulai
pada
saat
atau
ketidaksempurnaan
dalam
proses
embriogenesis
dapat
menyebabkan terjadinya malformasi pada jaringan atau organ. Sifat dari kelainan
yang timbul tergantung pada jaringan yang terkena, penyimpangan, mekanisme
perkembangan, dan waktu pada saat terjadinya. Penyimpangan pada tahap
implantasi
dapat
merusak
embrio
dan
menyebabkan
abortus
spontan.
Diperkirakan 15% dari seluruh konsepsi akan berakhir pada periode ini.
Bila proliferasi sel tidak adekuat dapat mengakibatkan terjadinya
defisiensi struktur, dapat berkisar dari tidak terdapatnya ekstremitas sampai
ukuran daun telinga yang kecil. Abnormal atau tidak sempurnanya diferensiasi sel
menjadi jaringan yang matang mungkin akan menyebabkan lesi hamartoma lokal
seperti hemangioma atau kelainan yang lebih luas dari suatu organ. Kelainan
induksi sel dapat menyebabkan beberapa kelainan seperti atresia bilier, sedangkan
penyimpangan imigrasi sel dapat menyebabkan kelainan seperti pigmentasi kulit.
Proses kematian sel yang tidak adekuat dapat menyebabkan kelainan, antara
lain sindaktili dan atresia ani. Fungsi jaringan yang tidak sempurna akan
menyebabkan celah bibir dan langit-langit. Beberapa zat teratogen dapat
mengganggu perkembangan, tetapi efeknya sangat dipengaruhi oleh waktu pada
saat aktivitas teratogen berlangsung selama tahap embrio.
2.4 Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologi dan patogenesis, kelainan kongenital dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
2.4.1 Malformasi
Malformasi adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh kegagalan atau
ketidaksempurnaan dari satu atau lebih proses embriogenesis. Perkembangan awal
dari suatu jaringan atau organ tersebut berhenti, melambat atau menyimpang
sehingga menyebabkan terjadinya suatu kelainan struktur yang menetap. Beberapa
contoh malformasi misalnya bibir sumbing dengan atau tanpa celah langit-langit,
defek penutupan tuba neural, stenosis pylorus, spina bifida, dan defek sekat
jantung.
Malformasi dapat digolongkan menjadi malformasi mayor dan minor.
Malformasi mayor adalah suatu kelainan yang apabila tidak dikoreksi akan
menyebabkan gangguan fungsi tubuh serta mengurangi angka harapan hidup.
Sedangkan malformasi minor tidak akan menyebabkan problem kesehatan yang
serius dan mungkin hanya berpengaruh pada segi kosmetik. Malformasi pada
otak, jantung, ginjal, ekstrimitas, saluran cerna termasuk malformasi mayor,
sedangkan kelainan daun telinga, lipatan pada kelopak mata, kelainan pada jari,
lekukan pada kulit (dimple), ekstra putting susu adalah contoh dari malformasi
minor.
2.4.2 Deformasi
Deformasi didefinisikan sebagai bentuk, kondisi, atau posisi abnormal
bagian tubuh yang disebabkan oleh gaya mekanik sesudah pembentukan normal
terjadi, misalnya kaki bengkok atau mikrognatia (mandibula yang kecil). Tekanan
ini dapat disebabkan oleh keterbatasan ruang dalam uterus ataupun faktor ibu
yang lain seperti primigravida, panggul sempit, abnormalitas uterus seperti uterus
bikornus, kehamilan kembar.
2.4.3 Disrupsi
Disrupsi adalah defek morfologik satu bagian tubuh atau lebih yang
disebabkan oleh gangguan pada proses perkembangan yang mulanya normal. Ini
biasanya terjadi sesudah embriogenesis. Berbeda dengan deformasi yang hanya
disebabkan oleh tekanan mekanik, disrupsi dapat disebabkan oleh iskemia,
5
(vertebral
anomalies,
anal
atresia,
cardiac
malformation,
dengan diagnosis ini tidak mempunyai keseluruhan anomali tersebut, tetapi lebih
sering mempunyai variasi dari kelainan di atas.
c. Sekuensial (Sequences)
Sekuensial adalah suatu pola dari kelainan multiple dimana kelainan
utamanya diketahui. Sebagai contoh, pada Potter Sequence kelainan utamanya
adalah aplasia ginjal. Tidak adanya produksi urin mengakibatkan jumlah cairan
amnion setelah kehamilan pertengahan akan berkurang dan menyebabkan tekanan
intrauterine dan akan menimbulkan deformitas seperti tungkai bengkok dan
kontraktur pada sendi serta menekan wajah (Potter Facies). Oligoamnion juga
berefek pada pematangan paru sehingga pematangan paru terhambat. Oleh sebab
itu bayi baru lahir dengan Potter Sequence biasanya lebih banyak meninggal
karena distress respirasi dibandingkan karena gagal ginjal.
d. Kompleks (Complexes)
Istilah ini menggambarkan adanya pengaruh berbahaya yang mengenai
bagian utama dari suatu regio perkembangan embrio, yang mengakibatkan
kelainan pada berbagai struktur berdekatan yang mungkin sangat berbeda asal
embriologinya tetapi mempunyai letak yang sama pada titik tertentu saat
perkembangan embrio. Beberapa kompleks disebabkan oleh kelainan vaskuler.
Penyimpangan pembentukan pembuluh darah pada saat embriogenesis awal, dapat
menyebabkan kelainan pembentukan struktur yang diperdarahi oleh pembuluh
darah tersebut. Sebagai contoh, absennya sebuah arteri secara total dapat
menyebabkan tidak terbentuknya sebagian atau seluruh tungkai yang sedang
berkembang.
Penyimpangan
arteri
pada
masa
embrio
mungkin
akan
mengakibatkan hipoplasia dari tulang dan otot yang diperdarahinya. Contoh dari
kompleks, termasuk hemifacial microsomia, sacral agenesis, sirenomelia, Poland
Anomaly, dan Moebius Syndrome.
e. Sindrom
Kelainan kongenital dapat timbul secara tunggal (single), atau dalam
kombinasi tertentu. Bila kombinasi tertentu dari berbagai kelainan ini terjadi
berulang-ulang dalam pola yang tetap, pola ini disebut dengan sindrom. Istilah
syndrome berasal dari bahasa Yunani yang berarti berjalan bersama. Pada
pengertian yang lebih sempit, sindrom bukanlah suatu diagnosis, tetapi hanya
7
sebuah label yang tepat. Apabila penyebab dari suatu sindrom diketahui,
sebaiknya dinyatakan dengan nama yang lebih pasti, seperti Hurler syndrome
menjadi Mucopolysaccharidosis type I. Sindrom biasanya dikenal setelah
laporan oleh beberapa penulis tentang berbagai kasus yang mempunyai banyak
persamaan. Sampai tahun 1992 dikenal lebih dari 1.000 sindrom dan hampir 100
diantaranya merupakan kelainan kongenital kromosom. Sedangkan 50% kelainan
kongenital multipel belum dapat digolongkan ke dalam sindrom tertentu.
2.5.2 Menurut berat dan ringannya
Kelainan kongenital dibedakan menjadi:
a. Kelainan mayor
Kelainan mayor adalah kelainan yang memerlukan tindakan medis segera demi
mempertahankan kelangsungan hidup penderitanya.
b. Kelainan minor
Kelainan minor adalah kelainan yang tidak memerlukan tindakan medis.
2.5.3 Menurut kemungkinan hidup bayi
Kelainan kongenital dibedakan menjadi:
a. Kelainan kongenital yang tidak mungkin hidup, misalnya anensefalus.
b. Kelainan kongenital yang mungkin hidup, misalnya sindrom down, spina
bifida, meningomielokel, fokomelia, hidrosefalus, labiopalastokisis, kelainan
jantung bawaan, penyempitan saluran cerna, dan atresia ani.
2.5.4 menurut bentuk atau morfologi
Kelainan kongenital dibedakan menjadi:
a. Gangguan pertumbuhan atau pembentukan organ tubuh, dimana tidak
terbentuknya organ atau sebagian organ saja yang terbentuk, seperti
anensefalus, atau terbentuk tapi ukurannya lebih kecil dari normal, seperti
mikrosefali.
b. Gangguan penyatuan/fusi jaringan tubuh, seperti labiopalatoskisis, spina bifida
c. Gangguan migrasi alat, misalnya malrotasi usus, testis tidak turun.
d. Gangguan invaginasi suatu jaringan, misalnya pada atresia ani atau vagina
e. Gangguan terbentuknya saluran-saluran, misalnya hipospadia, atresia esofagus
setelah bayi lahir, atau terlihat sebagai ukuran kepala normal tetapi tumbuh cepat
sekali pada bulan pertama setelah lahir. Peninggian tekanan intrakranial
menyebabkan iritabilitas, muntah, kehilangan nafsu makan, gangguan melirik ke
atas, gangguan pergerakan bola mata, hipertonia ekstrimitas bawah, dan
hiperefleksia. Etiologi hidrosefalus kongenital dapat bersifat heterogen. Pada
dasarnya meliputi produksi cairan serebrospinal di pleksus korioidalis yang
berlebih, gangguan absorpsi di vilus araknoidalis, dan obsruksi pada sirkulasi
cairan serebrospinal.
11
12
13
setiap pemberian minum terlihat bayi menjadi sesak napas, batuk, muntah, dan
biru.
14
15
besar daripada perempuan (40%). Lebih dari 90% dari semua bayi dengan
kelainan kongenital serius dilahirkan di negara-negara berkembang.6 Dari survei
perinatal, hampir semua negara maju memiliki angka kematian perinatal sebesar
lebih dari 1% dan sekitar 25% dari jumlah ini meninggal sebagai akibat langsung
dari suatu malformasi berat.
2.8.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Kelainan Kongenital
Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui.
Pertumbuhan embrional dan fetal dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor
genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan. Beberapa faktor
yang diduga dapat memengaruhi terjadinya kelainan kongenital antara lain:
a. Kelainan Genetik dan Kromosom.
Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh
atas kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang
mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang
bersangkutan sebagai unsur dominan (dominant traits) atau kadang-kadang
sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya
kelainan kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkahlangkah selanjutnya.
Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran, maka telah
dapat diperiksa kemungkinan adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal
serta telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa contoh
kelainan kromosom autosomal trisomi 21 sebagai sindrom Down (mongolisme),
kelainan pada kromosom kelamin sebagai sindroma Turner.
b. Mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat
menyebabkan kelainan bentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ
tersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan
mempermudah terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas
organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki seperti talipes varus, talipes valgus,
talipes equinus dan talipes equinovarus (club foot).
18
c. Infeksi.
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang
terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan.
Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan
gangguan dalam pertumbuhan suatu organ tubuh. Infeksi pada trimester pertama
di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan
kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus ialah :
c.1. Infeksi oleh virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita
infeksi Rubella pada trimester pertama dapat menderita kelainan kongenital
pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai tuli dan
ditemukannya kelainan jantung bawaan.
c.2. Infeksi virus sitomegalovirus (bulan ketiga atau keempat), kelainan-kelainan
kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada
sistem saraf pusat seperti hidrosefalus, retardasi mental, mikrosefalus, atau
mikroftalmia pada 5-10%.
c.3. Infeksi virus toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang mungkin
dijumpai ialah hidrosefalus, retardasi mental, korioretinitis, mikrosefalus, atau
mikroftalmia. Ibu yang menderita infeksi toksoplasmosis berisiko 12% pada
usia kehamilan 6-17 minggu dan 60% pada usia kehamilan 17-18 minggu.
c.4. Infeksi virus herpes genitalis pada ibu hamil, jika ditularkan kepada bayinya
sebelum atau selama proses persalinan berlangsung, bisa menyebabkan
kerusakan otak, cerebral palsy, gangguan penglihatan atau pendengaran serta
kematian bayi.
c.5. Sindroma varicella kongenital disebabkan oleh cacar air dan bisa
menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada otot dan tulang, kelainan
bentuk dan kelumpuhan pada anggota gerak, kepala yang berukuran lebih
kecil dari normal, kebutaan, kejang dan keterbelakangan mental.
d. Obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester
pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan
kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dapat
menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan
19
21
f.1.1. Partus prematurus, adalah persalinan dari hasil konsepsi pada kehamilan
28-36 minggu, janin dapat hidup tetapi prematur. Berat janin antara
1.000-2.500 gram.
f.1.2. Partus matures atau aterm (cukup bulan), adalah partus pada kehamilan
37-40 minggu, janin matur, berat badan di atas 2.500 gram.
f.1.3. Partus postmaturus (serotinus) adalah persalinan yang terjadi 2 minggu
atau lebih dari waktu partus cukup bulan.
Penelitian Prabawa (1998) menunjukkan bahwa sekitar 26,5% bayi kelainan
kongenital lahir pada umur kehamilan < 36 minggu (kurang bulan).
f.2. Riwayat Kehamilan Terdahulu
Riwayat kehamilan yang berhubungan dengan risiko adalah persalinan
prematur, perdarahan, abortus, lahir mati, preeklampsia, eklampsia, dan lainlain.45 Dengan memperoleh informasi yang lengkap tentang riwayat
kehamilan ibu pada masa lalu diharapkan risiko kehamilan yang dapat
memperberat keadaan ibu dan janin dapat diatasi dengan pengawasan
obstetrik yang baik.
f.3. Riwayat Komplikasi
Risiko terjadinya kelainan kongenital terjadi pada bayi dengan ibu penderita
diabetes melitus adalah 6% sampai 12%, yang empat kali lebih sering
daripada bayi dengan ibu yang bukan penderita diabetes melitus. Keturunan
dari ibu dengan insulin-dependent diabetes mellitus mempunyai risiko 5-15%
untuk menderita kelainan kongenital terutama PJB, defek tabung saraf
(neural tube defect) dan agenesis sacral. Penyakit ibu lain yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital adalah epilepsi. Risiko
meningkat sekitar 6% untuk timbulnya celah bibir dan PJB dari ibu penderita
epilepsi.
g. Faktor Hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian
kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu
penderita
diabetes
mellitus
kemungkinan
untuk
mengalami
gangguan
22
h. Faktor Radiasi
Radiasi pada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat
menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup
besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi pada gen
yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang
dilahirkannya.
i. Faktor Gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan
dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikanpenyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi
yang dilahirkan oleh ibu yang kurang gizi lebih tinggi bila dibandingkan dengan
bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya
defisiensi protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat
menaikkan kejadian & kelainan kongenital.
j. Faktor-faktor Lain
Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor
janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor
penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat
menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenital tidak
diketahui.
2.9. Pencegahan
2.9.1. Pencegahan Primer
Upaya pencegahan primer dilakukan untuk mencegah ibu hamil agar tidak
mengalami kelahiran bayi dengan kelainan kongenital, yaitu dengan :
a. Tidak melahirkan pada usia ibu risiko tinggi, seperti usia lebih dari 35 tahun
agar tidak berisiko melahirkan bayi dengan kelainan kongenital.
b. Mengonsumsi asam folat yang cukup bila akan hamil.
Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus dikoreksi terlebih dahulu
sebelum wanita tersebut hamil, karena kelainan seperti spina bifida terjadi
sangat dini. Maka kepada wanita yang hamil agar rajin memeriksakan
kehamilannya pada trimester pertama dan dianjurkan kepada wanita yang
23
kelainan
kehamilan/pertumbuhan
janin,
kehamilan
ganda,
24
yang memerlukan tindakan bedah adalah hernia, celah bibir dan langit-langit,
atresia ani, spina bifida, hidrosefalus, dan lainnya. Pada kasus hidrosefalus,
tindakan non bedah yang dilakukan adalah dengan pemberian obat-obatan yang
dapat mengurangi produksi cairan serebrospinal. Penanganan PJB dapat dilakukan
dengan tindakan bedah atau obat-obatan, bergantung pada jenis, berat, dan derajat
kelainan.
2.9.3. Pencegahan Tersier
Upaya pencegahan tersier dilakukan untuk mengurangi komplikasi penting
pada pengobatan dan rehabilitasi, membuat penderita cocok dengan situasi yang
tak dapat disembuhkan. Pada kejadian kelainan kongenital pencegahan tersier
bergantung pada jenis kelainan. Misalnya pada penderita sindrom down, pada saat
bayi baru lahir apabila diketahui adanya kelemahan otot, bisa dilakukan latihan
otot
yang
akan
membantu
mempercepat
kemajuan
pertumbuhan
dan
perkembangan anak. Bayi ini nantinya bisa dilatih dan dididik menjadi manusia
yang mandiri untuk bisa melakukan semua keperluan pribadinya.
Banyak orang tua yang syok dan bingung pada saat mengetahui bayinya
lahir dengan kelainan. Memiliki bayi yang baru lahir dengan kelainan adalah
masa-masa yang sangat sulit bagi para orang tua. Selain stres, orang tua harus
menyesuaikan dirinya dengan cara-cara khusus. Untuk membantu orang tua
mengatasi masalah tersebut, maka diperlukan suatu tim tenaga kesehatan yang
dapat mengevaluasi dan melakukan penatalaksanaan rencana perawatan bayi dan
anak sesuai dengan kelainannya.
2.10 Spina Bifida
2.10.1 Pengertian Spina Bifida
Spina Bifida atau Meningokel adalah suatu celah pada tulang belakang
(vertebra) yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal
menutup atau gagal terbentuk secara sempurna dan utuh, keadaan ini biasanya
terjadi pada minggu ke empat embrio. Spina bifida ini merupakan akibat dari
gagal menutupnya columna vertebralis pada masa perkembangan fetus. Defek ini
berhubungan dengan herniasi jaringan (penonjolan) dan gangguan fungsi tuba
neural akibat penonjolan dari pembungkus medulla spinalis melalui spina bifida
26
dan terlihat sebagai benjolan pada permukaan. Pembengkakan kistis ini ditutupi
oleh kulit yang sangat tipis. Pada kasus tertentu kelainan ini dapat dikoreksi
dengan pembedahan. Pembedahan terdiri dari insisi meningokel dan penutupan
dura meter. Kemudian kulit diatas cacat ditutup. Hidrosefalus kemungkinan
merupakan komplikasi yang memerlukan drainase. (Prinsip Keperawatan
Pediatric, Rosa M. sachrin. Hal-283). Gangguan fusi tuba neural pada spina bifida
dapat terjadi mulai minggu ketiga setelah konsepsi, sedangkan penyebabnya
belum diketahui dengan jelas.
27
Spina bifida okulta Defek terdapat pada arkus vertebrata tanpa herniasi
jaringan.
b.
c.
d.
Mielomeningosistokel
Kantung
terdiri
dari
leptomeningen,
cairan
28
dari korda spinalis dan meningens menyebabkan kerusakan pada korda spinalis
dan akar saraf, sehingga terjadi penurunan atau gangguan fungsi pada bagian
tubuh yang dipersarafi oleh saraf tersebut atau di bagian bawahnya. Gejalanya
tergantung kepada letak anatomis dari spina bifida. Kebanyakan terjadi di
punggung bagian bawah, yaitu daerah lumbal atau sakral, karena penutupan
vertebra di bagian ini terjadi paling akhir Resiko melahirkan anak dengan spina
bifida berhubungan erat dengan kekurangan asam folat, terutama yang terjadi
pada awal kehamilan.
1. Kekurangan Asam Folat
Kekurangan asam folat pada saat kehamilan satu gugus yangberperan dalam
pembentukan DNA pada proses erithropoesis, yaitu pembentukan sel darah
merah atau eritrosit (butir-butir darah merah) dan perkembangan sistem saraf.
2. Rendahnya kadar vitamin maternal
Rendahnya vitamin maternal yang dikonsumsi, akan mengurangi jumlah
vitamin yang dibutuhkan dalam pembentukan embrio, terutama dalam masa
awal kehamilan, sehingga nutrisi yang dibutuhkan dalam membentuk tulang
pada bayi menjadi lambat dan kurang sempurna.
Penyebab spesifik dari meningokel atau spina bifida belum diketahui.
Banyak faktor seperti keturunan dan lingkungan diduga terlibat dalam terjadinya
defek ini. Tuba neural umumnya lengkap empat minggu setelah konsepsi. Hal-hal
berikut ini telah ditetapkan sebagai faktor penyebab; kadar vitamin maternal
rendah, termasuk asam folat: mengonsumsi klomifen dan asam valfroat: dan
hipertermia selama kehamilan. Diperkirakan hampir 50% defek tuba neural dapat
dicegah jika wanita bersangkutan meminum vitamin-vitamin prakonsepsi,
termasuk asam folat. (buku saku keperawatan pediatric e/3 [Cecila L. Betz &
Linda A. Sowden.2002] hal-468).
Kelainan konginetal SSP yang paling sering dan penting ialah defek
tabung neural yang terjadi pada 3-4 per 100.000 lahir hidup. Bermacam-macam
penyebab yang berat menentukan morbiditas dan mortalitas, tetapi banyak dari
abnormalitas ini mempunyai makna klinis yang kecil dan hanya dapat dideteksi
pada kehidupan lanjut yang ditemukan secara kebetulan. (Patologi Umum Dan
Sistematik Vol 2, J.C.E. Underwood. 1999. hal-885).
2.10.3 Patofisiologi Spina Bifida
29
penutupan
yang
menyebabkan
penonjolan
medula
spinalis
dan
30
karena
efek
pengering
dari
panas
yang
dipancarkan.
otot-otot
adductor,
mempererat
kecenderungan
subluksasi.
Penurunan harga diri menjadi ciri khas pada anak dan remaja yang menderita
keadaan ini. Remaja merasa khawatir akan kemampuan seksualnya, penguasaan
social, hubungan kelompok remaja sebaya, dan kematangan serta daya tariknya.
Beratnya ketidakmampuan tersebut lebih berhubungan dengan persepsi diri
32
2.
33
tersebut robek dan kelainan ini adalah masalah kosmetik sehingga harus
dioperasi.
3.
Mielomeningokel : jenis spina bifida yang paling berat, dimana sebagian dari
medula spinalis turun ke dalam meningokel.
Gejalanya berupa Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai
bawah pada bayi baru lahir. Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya.
Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki. Penurunan sensasi.
Inkontinensia urin maupun inkontinensia tinja. Korda spinalis yang terkena rentan
terhadap infeksi (meningitis).
Akibat spina bifida, terjadi sejumlah disfungsi tertentu pada rangka, kulit
dan saluran genitourinari akibat spina bifida, tetapi tergantung pada bagian
medulla spinalis yang terkena. Pada meningokel dapat ditemukan:
a. Kantong herniasi CSS yang dapat dilihat pada daerah lumbosakral
b. Hidrosefalus.
2.10.5 Pemeriksaan diagnostik
Deteksi Prenatal dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa spina bifida.
Terdapat kemungkinan untuk menentukan adanya beberapa NTD terbuka selama
masa prenatal. Pemindaian ultrasuara pada uterus dan peningkatan konsentrasi
alfafetoprotein (AFP), suatu gamma, globulin yang spesifik pada fetus, dalam
cairan amnion mengindikasikan adanya arensefali atau Mielomeningokel. Waktu
yang tepat untuk melakukan pemeriksaan diagnostic ini adalah pada usia gestasi
16 dan 18 minggu, sebelum konsentrasi AFP yang normalnya menurun, dan pada
saat yang tepat untuk melakukan aborsi terapeutik. Pengambilan sampel virus
koronik (chorionic villus sampling, CVS) juga merupakan pemeriksaan untuk
diagnostik
NTD
pada
masa
prenatal.
Prosedur
diagnostic
di
atas
direkomendasikan untuk semua ibu yang telah melahirkan anak dengan gangguan
ini dan dan pemeriksaan ditawarkan bagi semua wanita hamil. Selain itu, rencana
kelahiran dengan sesar dapat menurunkan disfungsi motorik. (buku ajar
keperawatan pediatrik, Donna L. Wong. Hal-1425).
Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan berikut:
1.
2.
USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pda korda spinalis
maupun vertebra
34
3.
pengobatan
Perbaikan
mielomeningokel,
dan
kadang-kadang
2.
mengobati hidrosefalus, kelainan ginjal dan kandung kemih serta kelainan bentuk
35
fisik yang sering menyertai spina bifida. Terapi fisik dilakukan agar pergerakan
sendi tetap terjaga dan untuk memperkuat fungsi otot. Untuk mengobati atau
mencegah meningitis, infeksi saluran kemih dan infeksi lainnya, diberikan
antibiotik. Untuk membantu memperlancar aliran air kemih bisa dilakukan
penekanan lembut diatas kandung kemih. Diet kaya serat dan program pelatihan
buang air besar bisa membantu memperbaiki sistem pencernaan.
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam masa organogenesis atau
pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur.
Kelainan kongenital dapat menyebabkan terjadinya abortus, lahir mati atau
kematian segera setelah lahir. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital
besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah (BBLR), bahkan
sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya (KMK).
36
3.2 SARAN
Dari beberapa pemaparan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini terkait
dengan masalah Spina Bifida, penulis dapat menyarankan beberpa hal terhadap
pembaca, yaitu:
1.
2.
Lakukan deteksi dini sejak masa kehamilan untuk mengetahui keadaan janin
yang dikandung, agar ibu hamil dapat mempersiapkan diri menghadapi segala
37
4.
38