Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna
dan gangguan kesadaran. Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama
Tipes atau thypus (Zulkoni, 2010). Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella
typhosa dan hanya didapatkan pada manusia. Penularan penyakit ini hampir selalu
terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan pola makan
yang tidak sehat (Rampengan, 2007).
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai
negara

sedang

berkembang.

Data

World

Health

Organization

(2010),

memperkirakan angka insidensi di seluruh dunia terdapat sekitar 17 juta per tahun
dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini. WHO memperkirakan 70%
kematian terjadi di Asia (Widoyono, 2011). Diperkirakan angka kejadian dari
150/100.000 per tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000 per tahun di Asia
(Sumarmo, dkk, 2002).
Di Indonesia angka kejadian kasus Demam Tifoid diperkirakan rata-rata
900.000 kasus pertahun dengan lebih dari 20.000 kematian (WHO, 2010).
Penyakit ini tersebar di seluruh wilayah dengan insidensi yang tidak berbeda jauh
antar daerah. Serangan penyakit lebih bersifat sporadis bukan epidemik. Dalam
suatu daerah terjadi kasus yang berpencar-pencar dan tidak mengelompok. Sangat
jarang ditemukan kasus pada satu keluarga pada saat bersamaan (Widoyono,
2011). Secara umum insiden demam tifoid dilaporkan 75% didapatkan pada umur

kurang dari 30 tahun. Pada anak-anak biasanya diatas 1 tahun dan terbanyak di
atas 5 tahun (Depkes RI, 2010).
Dalam Profil Kesehatan Kota Samarinda tahun 2013 Demam Tifoid
termasuk dalam kejadian luar biasa (KLB) dengan attack rate sebesar 0,37% yang
menyerang 4 kecamatan yakni kecamatan Samarinda Ulu, Kecamatan Samarinda
Hilir, Kecamatan Samarinda Utara dan Kecamatan Sungai Kunjang dengan
jumlah penderita 51 jiwa. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah penderita
Demam Tifoid sebesar 150 jiwa yang menyerang 3 kecamatan dan jumlah 3 desa
dengan attack rate sebesar 2,69%. Tahun 2013 kasus KLB demam Tifoid kembali
terjadi dengan attack rate sebesar 1,36% yang menyerang 1 kecamatan dan jumlah
penderita 26 jiwa. Laporan hasil riset kesehatan dasar (Riskesda) Provinsi
Kalimantan Timur tahun 2012 menjelaskan bahwa tifoid terutama ditemukan pada
kelompok umur usia sekolah dan lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada
perempuan. Sedangkan berdasarkan pengeluaran perkapita, tifoid cenderung lebih
tinggi pada rumah tangga dengan tingkat pengeluaran perkapita rendah.
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda menunjukkan
bahwa kasus Demam Tifoid selalu terjadi setiap bulannya dan merupakan
penyakit yang sering terjadi dalam jumlah yang Besar. Rekapitulasi bulanan data
kesakitan Demam Tifoid tingkat Puskesmas yang ada di Samarinda kasus Demam
Tifoid mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu pada tahun 2011 sebesar
2141 kasus, kemudian mengalami peningkatan kasus pada tahun 2012 yaitu
sebanyak 5091 kasus, dan pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebanyak
6578 kasus. Sedangkan pada tahun 2014 sedikit mengalami penurunan yaitu

sebanyak 5030 penderita. Angka kasus Demam Tifoid tertinggi di Kota Samarinda
tahun 2014 berada di Puskesmas Remaja. Angka kasus Demam Tifoid di
Puskesmas Remaja tercatat selalu tinggi dan masuk dalam 10 besar penyakit
terbanyak di Puskesmas Remaja dengan urutan ke dua setelah ISPA. Pada tahun
2012 angka kasusnya ditemukan sebesar 673 penderita, kemudian mengalami
peningkatan pada tahun 2013 sebesar 788 penderita, dan tahun 2014 kasusnya
ditemukan sebesar 546 penderita.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Artanti (2012) di
Puskesmas Kedungmundu Semarang menunjukkan bahwa ada hubungan antara,
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, kebiasaan jajan dan sanitasi
lingkungan, kebiasaan mencuci bahan makanan mentah yang akan dimakan
langsung dengan kejadian demam tifoid. Mencuci tangan sebelum makan dan
melakukan aktifitas lainnya sangatlah perlu diperhatikan agar terhindar dari tifus,
makanan yang langsung dimakan seperti buah tanpa dicuci sangatlah tidak baik,
dikarenakan buah atau sayuran bisa saja menggunakan pupuk dari kotoran
sehingga salmonella thypi akan masih tertinggal, maka perlu dilakukan pencucian
sebelum di olah atau dimakan. Masyarakat diharapkan dapat menjaga kebersihan
lingkungan dan meningkatkan kebiasaan hidup bersih dalam kehidupan seharihari dengan membersihkan sanitasi rumah agar terhindar dari debu dan bakteri
untuk mencegah penularan demam tifoid.
Kejadian Demam Tifoid tahun 2014 di Puskesmas Remaja termasuk dalam
sepuluh besar penyakit dengan urutan ke-2 setelah ISPA dan prosentase usia yang
menderita tifus, pola makan yang tidak sehat dalam hal ini kebiasaan jajan yang

kurang baik dan kebiasaan mencuci tangan yang tidak tepat pada penderita
demam tifoid masih kurang diperhatikan.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian
mengenai Hubungan antara mencuci tangan, kebiasaan jajan dan sanitasi
lingkungan dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Remaja
Samarinda Tahun 2015.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut :
Adakah hubungan antara mencuci tangan, kebiasaan jajan dan sanitasi
lingkungan dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Remaja
Samarinda Tahun 2015?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara mencuci tangan, kebiasaan jajan dan sanitasi lingkungan
dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Remaja
Samarinda Tahun 2015.

2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui adanya hubungan antara mencuci tangan dengan
kejadian Demam Tifoid di wilayah kerja Puskesmas Remaja
Samarinda Tahun 2015.
2. Untuk mengetahui adanya hubungan antara kebiasaan jajan dengan
kejadian Demam Tifoid di wilayah kerja Puskesmas Remaja
Samarinda Tahun 2015.
3. Untuk mengetahui adanya hubungan antara sanitasi lingkungan dengan
kejadian Demam Tifoid di wilayah kerja Puskesmas Remaja
Samarinda Tahun 2015.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskemas Remaja Samarinda
Sebagai sarana pemberian informasi bagi Puskesmas Remaja tentang hal
yang berhubungan dengan kejadian Demam Tifoid sehingga dapat
dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan dan penanggulangan
Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Remaja Samarinda.
2. Bagi Masyarakat
Sebagai sarana pemberian informasi tentang selalu menjaga sanitasi
lingkungan, pola makan yang sehat yang mempengaruhi kejadian Demam
Tifoid sehingga masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan kasus
Demam Tifoid di wilayah kerja Puskesmas Remaja Samarinda.

3. Bagi Peneliti

Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama


kuliah di bidang epidemiologi dalam bentuk penelitian ilmiah mengenai
hubungan antara mencuci tangan, kebiasaan jajan dan sanitasi lingkungan
dengan kejadian demam tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Remaja
Samarinda Tahun 2015.

E. Kaslian Penelitian

1. Putra 2012, dengan judul Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan

Ibu

Tentang Demam Tifoid Terhadap Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Dasar


Penelitian ini adalah penelitian korelasi. Hasil penelitian ini menunjukan
ada hubungan antara Demam tifoid dengan kebiasaan jajan diluar. Persamaan
dengan penelitian ini adalah variabel bebasnya. Perbedaan nya dengan
penelitian ini yaitu variabel terikatnya, jenis dan rancangan penelitian waktu
dan tempat melakukan penelitian.

Anda mungkin juga menyukai