Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

Hospital acquired pneumonia

Disusun Oleh :
Yuni Mayasari
1102009308

Preceptor :
Dr. Hj. . Shelvi Febianti . Sp. PD
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN PENYAKIT DALAM RSU DR SLAMET GARUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 20 JULI-25 SEPTEMBER 2015
Daftar Isi

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR2
PENDAHULUAN .....................................................................................................................3
DEFINISI ...................................................................................................................................4
ETIOLOGI .................................................................................................................................4
INSIDEN4
PATOGENESIS .........................................................................................................................5
FAKTOR PREDISPOSISI ATAU FAKTOR RISIKO PNEUMONIA NOSOKOMIAL ....6-8
DIAGNOSIS ...............................................................................................................................8
TERAPI ANTIBIOTIK ..............................................................................................................9
LAMA TERAPI .........................................................................................................................11
RESPONS TERAPI ...................................................................................................................11
PROGNOSIS ..............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................18

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan kemampuan kepada penyusun
sehingga Referat yang berjudul Hospital acquired pneumonia ini dapat diselesaikan.
Case report ini disusun untuk memenuhi kewajiban dalam proses kepaniteraan klinik Dalam di RSU
Dr.Slamet Kabupaten Garut, Jawa Barat serta tentunya menjadi bahan pembelajaran bagi penyusun. Dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1

dr. Hj. . Shelvi Febianti . Sp. PD selaku konsulen pembimbing.

Ayahanda dan ibunda serta kakak

Rekan-rekan kepaniteraan di Interna RSU dr.Slamet, Garut

Para Bidan dan Staf Karyawan di lingkungan Interna RSU Dr. Slamet, Garut

Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSU Dr.Slamet, Garut.

Penulis menyadari bahwa case report ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun dan bermanfaat sangatlah penulis harapkan.
Akhir kata penulis mengharapkan Referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, khususnya
bagi para dokter muda yang memerlukan bahan informasi dalam menjalani pendidikan.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Garut, Agustus-2015

Penulis

PENDAHULUAN
Infeksi masih merupakan ancaman bagi dunia, tidak hanya bagi negara-negara miskin atau berkembang
tetapi juga bagi negara-negara maju. Infeksi dapat terjadi dimana saja, termasuk di rumah sakit. Infeksi yang
didapat di rumah sakit disebut dengan infeksi nosokomial. Pneumonia merupakan infeksi nosokomial yang
sering terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit, khususnya di ICU. Angka kejadiannya tergantung
umur. Tidak ada predileksi ras maupun jenis kelamin. Kematian akibat pneumonia nosokomial pada pasien
dengan ventilator mencapai 30-50% dengan angka atribut kematiannya berkisar 10-50%.1
Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh WHO menunjukkan angka kejadian infeksi nosokomial sebesar
8,7% di 55 rumah sakit dari 14 negara di Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik. Dengan angka
kejadian tertinggi pada daerah Timur tengah (11,8%) serta Asia Tenggara (10,0%) lalu diikuti oleh Asia
Pasifik (9,0%) dan Eropa (7,7%).2
Pneumonia nosokomial terjadi 5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih
tinggi 6-20x pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada pneumonia
nosokomial 20-50%. Angka kematian ini meningkat pada pneumonia yang disebabkan P.aeruginosa atau
yang mengalami bakteremia sekunder. Angka kematian pasien pada pneumonia yang dirawat di istalansi
perawatan intensif (IPI) meningkat 3-10 kali dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2-3 kali dibandingkan pasien tanpa pneumonia,
hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa lama
perawatan bertambah rata-rata 7-9 hari.2
Pneumonia nosokomial di Amerika Serikat menduduki peringkat pertama yang menyebabkan kematian
pasien di ruang rawat ICU dengan insidensi sebesar 37%-54% dan angka kematian sebesar 50% - 75
%.2 Pneumonia beresiko tinggi terjadi terutama pada pasien yang menggunakan ventilator, tindakan
trakeostomi, intubasi, pemasangan NGT, dan terapi inhalasi. Pneumonia nosokomial merupakan penyebab
kematian yang paling fatal dan paling sering di ICU. Resiko kematian pun meningkat hingga dua kali pada
pasien yang diintubasi, dengan rerata kejadian 9%-27%. Berdasarkan studi epidemiologis, Pneumonia
terkait ventilator merupakan 60 % dari seluruh kejadian infeksi nosokomial, dan di Amerika sendiri
menempati peringkat pertama.
Angka kejadian pneumonia nosokomial di Jepang adalah 5 10 per 1000 kasus yang dirawat. Lebih kurang
10% pasien yang dirawat di IPI akan berkembang menjadi pneumonia dan angka kejadian pneumonia
nosokomial pada pasien yang menggunakan alat bantu napas meningkat sebesar 20 30%. Angka kejadian
dan angka kematian pada umumnya lebih tinggi di rumah sakit yang besar dibandingkan dengan rumah sakit
yang kecil.2 Diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian
akibat pneumonia nosokomial sehingga dalam tulisan ini akan memuat tentang cara pendiagnosisan dan
penatalaksanaan infeksi pneumonia nosokomial

PNEUMONIA

Definisi Pneumonia
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).Pneumoniayang disebabkan oleh Mycobacteriumtuberculosis
tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia,
radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis (PDPI, 2003)
Etiologi Pneumonia
Pneumonia disebabkan oleh bakteri, virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus)
dan protozoa.
Tabel 1. Mikroorganisme penyebab terjadinya pneumonia
Grup
Bakteri

Penyebab
Streptokokus pneumonia

Tipe pneumonia
Pneumoni bacterial

Streptokokus piogenesis
Stafilokokus aureus
Klebsiela pneumonia
Eserikia koli
Yersinia pestis
Actinomisetes

Legionnaires bacillus
Aktinomisetes Israeli

Legionnaires disease
Aktinomisetes pulmonal

Fungi

Nokardia asteroids
Kokidioides imitis

Nokardia pulmonal
Kokidioidomikosis

Histoplasma kapsulatum

Histoplasmosis

Blastomises dermatitidis

Blastomikosis

Aspergilus

Aspergilosis

Fikomisetes
Koksiela burneti
Chlamydia trachomatis
Mikoplasma pneumonia
Influenza virus, adeno

Mukormikosis
Q Fever
Chlamydial Pneumonia
Pneumonia mikoplasmal
Pneumonia virus

Riketsia
Klamidia
Mikoplasma
Virus

Virus respiratory
Protozoa

Syncytial
Pneumositis karini

Pneumonia pneumosistis
(pneumonia plasma sel)

Tabel 2.Penyebab tersering pneumonia yang didapat di masyarakat dan nosokomial.


LOKASI SUMBER
Masyarakat

PENYEBAB
Streptococus pneumonia
5

Mycoplasma pneumoniae
Haemophilus influenza
Lengionella pneumophila
Chlamydia pneumoniae
Anaerob oral (aspirasi)
Adenovirus
Escherichia Coli
Rumah Sakit

Klebsiella pneumoniae
Pseudomonas aeruginosa
Staphylococcus aureus

Klasifikasi Pneumonia
1. Berdasarkan klinis dan epideologis :
a.Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b.Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia)
c.Pneumonia aspirasi
d.Pneumonia pada penderita Immunocompromised
2. Berdasarkan etiologi
a.Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi
menyerang seseorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada
penderita pasca infeksi influenza.
b.Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c.Pneumonia virus
d.Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya
tahan tubuh lemah (immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a.Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang
terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus
misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan
b.Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru.Dapat disebabkan oleh
bakteria maupun virus.Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
c.Pneumonia interstisial (Sumber : Alsagaff dan Mukty, 2010.)
Patogenesis

Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikrorganisme di paru.keadaan ini disebabkan oleh
adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan
penyakit. Resiko terjadinya infeksi pada paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk
mencapai dan merusak permukaan saluran nafas : Inokulasi langsung, penyebaran melalui pembuluh darah,
inhalasi bahan aerosol, kolonisasi pada permukaan mukosa. Terbanyak adalah kolonisasi.Predisposisi :
influenza, alkoholisme, gizi kurang. Komorbid : diabetes melitus, gagal ginjal, gangguan imunitas, PPOK.
Patologi Anatomi
Basil yang masuk bersama secret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa
edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi
permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi.Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli
dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut
kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada
daerah parasitik terset, yaitu zona luar (alveoli yang terisi dengan bakteri dan cairan edema), zona permulaan
konsolidasi (terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah), zona konsolidasi yang luas (daerah
tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak), dan zona resolusi (daerah tempat
terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit, dan alveolar makrofage). Terdapat 4 stadium
anatomi dari pneumonia, yaitu :
a)

Stadium kongesti, terdiri dari proliferasi cepat dari bakteri dengan peningkatan vaskularisasi

dan eksudasi yang serius, sehingga lobus yang terkena akan berat, merah penuh dengan cairan. Rongga
alveolar mengandung cairan edema yang berprotein, netrofil yang menyebar dan banyak bakteri. Susunan
alveolar masih tampak.
b)
Stadium hepatisasi merah terjadi oleh karena rongga udara dipenuhi dengan eksudat
fibrinosupuratif yang berakibat konsolidasi kongestif yang menyerupai hepar pada jaringan paru. Benangbenang fibrin dapat mengalir dari suatu alveolus melalui pori-pori yang berdekatan.
c)
Stadium hepatisasi kelabu (konsulidasi) melibatkan desintegrasi progresif dari leukosit dan
eritrosit bersamaan dengan penumpukan terus-menerus dari fibrin diantara alveoli.
d)
Stadium akhir yaitu resolusi, mengikuti kasus-kasus tanpa komplikasi. Eksudat yang
mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang diserap kembali atau
dibersihkan dengan batuk. Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah sampai pulih
mencapai keadaan normal.
Manifestasi Klinis
Secara umum manifestasi klinis pneumonia dapat dibagi menjadi :

a) Manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas berupa demam, sakit kepala, gelisah, malaise, nafsu makan
kurang, keluhan gastrointestinal.
b) Gejala umum saluran pernafasan bawah berupa batuk, takypneu, akspektorasi sputum, napas cuping hidung,
sesak nafas, merintih, dan sianosis. Penderita pneumonia akan lebih suka berbaring pada sisi yang sakit
dengan lutut tertekuk karena nyeri.
c) Tanda pneumonia berupa retraksi, perkusi pekak, fremitus melemah, suara nafas melemah, dan ronki.
d) Tanda efusi pleura atau empiema berupa gerak ekskursi dada tertinggal di daerah efusi, perkusi pekak,
fremitus melemah, suara napas melemah, suara napas tubuler tepat diatas batas cairan, friction rub, nyeri
dada karena iritasi pleura (nyeri berkurang bila efusi bertambah dan berubah menjadi nyeri tumpul), kaku
kuduk/meningismus (iritasi meningen tanpa inflamasi) bila terdapat iritasi pleura lobus atas, nyeri abdomen
(kadang terjadi bila iritasi mengenai diafragma pada pneumonia lobus kanan bawah).
Penegakan Diagnosis
Diagnosis klinis pneumonia bergantung kepada penemuan kelainan fisis atau bukti radiologis yang
menunjukkan konsolidasi.Klasifikasi diagnosis klinis pada masa kini dilengkapi faktor patogenesis yang
berperan (lingkungan, pejamu).Diagnosis dan terapi pneumonia dapat ditegakkan berdasarkan kepada
riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik yang diteliti dan pemeriksaan penunjang.
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi
40 C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri
dada.
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian
yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada
auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah
halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis.
Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan
" airbroncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak
dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis

etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan
meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
Pneumonia Lobaris
Terjadi pada seluruh atau satu bagian besar dari lobus paru. Pada foto thorax PA tampak infiltrate di
parenkime paru perifer yang semiopak, homogeny tipis seperti awan, berbatas tegas, bagian perifer
lebih opak dibanding bagian sentral. Konsolidasi parenkime paru tanpa melibatkan jalan udara,
mengakibatkan timbulnya air bronchogram.Tampak pelebaran dinding bronchiolus.Tidak ada volume
loss pada pneumonia tipe ini.

Pneumonia Lobaris pada lobus kanan bawah (RLL) posisi PA Lateral


Bronchopneumonia
Gambaran radiologis bronchopneumonia : mempunyai bentuk difuse bilateral dengan peningkatan
corakan bronchovaskuler dan infiltrate kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan
bercak ini sering terlihat pada lobus bawah. Tampak infiltrate peribronchial yang semi opak dan
inhomogen di daerah hilus yang menyebabkan batas jantung menghilang (silhoute sign). Tampak juga
air bronchogram, dapat terjadi nekrosis dan kavitas pada parenkime paru. Pada keadaan yang lebih
lanjut dimana semakin banyak alveolus yang telibat maka gambaran opak menjadi terlihat homogen.

(1)

(2)

Bronchopneumonia kanan (1) Bronchopneumonia bilateral PA (2)

Infiltrate interstitial, ditandai dengan peningkatan corakan bronchovaskuler, peribronchial

cuffing, dan hiperaerasi.

Infiltrate alveolar, merupakan konsolidasi paru-paru dengan air bronchogram

Bronchopneumonia, ditandai dengan gambaran difuse merata pada kedua paru, berupa
bercak-bercak infiltrate yang dapat meluas hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan
corakan peribronchial
Round Pneumonia
Pneumonia ini sering terlihat pada infeksi dimasa kanak-kanak dan dapat menyerupai suatu massa
dalam paru. Petunjuk pola ini adalah adanya air bronchogram didalam bayangan opak.Round
pneumonia terjadi karena infeksi mudah menyebar melalui foramen interalveolar.

Pneumonia Interstitial

10

Pneumonia interstitial ditandai dengan pola linear atau retikuler pada parenkime paru.Pada tahap
akhir, dijumpai penebalan jaringan interstitial sebagai densitas noduler yang kecil. Infiltrate interstitial,
ditandai dengan peningkatan corakan bronchovaskuler, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
Atypical Pneumonia

Tempat terjadinya infeksi terutama di interstitium, karena itu disebut interstitial pneumonia.Infiltrasi
sel dan edema yang terjadi menyebabkan semakin jauhnya jarak alveoli dengan pembuluh darah
kapiler paru sehingga peetukaran udara atau oksigen terhambat, akibatnya pasien merasa sesak
nafas.Didalam alveoli hampir tidak berisi cairan, karena itu pasien tidak batuk berdahak. Kuman
penyebab terutama yang hidup didalam sel seperti virus : Chlamydia pneumonia, mycoplasma
pneumonia, serta coxiella burnetti & chlamydia trachomatis (jarang). Gejala klinis utama adalah sesak
nafas dan batuk tidak berdahak.Juga tidak terjadi demam, kenaikan suhu badan hanya minimal.
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari10.000/ul kadangkadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
11

serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik

Hospital acquired pneumonia


DEFINISI
Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di
rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit.
Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah
pemasangan intubasi endotrakeal.
ETIOLOGI
Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti. Pneumonia
nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance (MDR)
misalnya
S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR
12

misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan
Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial
yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi.
Angka kejadian sebenarnya dari pneumonia nosokomial di Indonesia tidak diketahui disebabkan
antara lain data nasional tidak ada dan data yang ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit swasta
dan pemerintah serta angkanya sangat bervariasi. Data dari RS Persahabatan dan RS Dr. Soetomo
(lihat Lampiran I) hanya menunjukkan pola kuman yang ditemukan di ruang rawat intensif. Data ini
belum dapat dikatakan sebagai infeksi nosokomial karena waktu diagnosis dibuat tidak dilakukan foto
toraks pada saat pasien masuk ruang rawat intensif.
Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil dari dahak, darah, cara
invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi aspirasi transtorakal dan biopsi aspirasi
transtrakea.
PATOGENESIS
Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan pneumonia komuniti.
Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian bawah. Ada empat rute masuknya
mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu :
1.
Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus neurologis dan usia
lanjut
2.
Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien
3.
Hematogenik
4.
Penyebaran langsung
Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko mengalami
pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran
napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat
menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu
(endogen) dan faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di
saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen penyebab pneumonia nosokomial ialah
bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus yang merupakan flora normal sebanyak < 5%.
Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena bakteri-bakteri tersebut merupakan titik awal yang
penting untuk terjadi pneumonia.

Faktor risiko
endogen
Pasien:
Umur > 60
tahun
Penyakit yang
mendasari
Faktor
kebiasaan
hidup

Kolonisasi
orofaring
Kondisi akut

Kolonisasi
Lambung

Faktor risiko
eksogen

Aspirasi

Inhalasi

Bakteremia

Translokasi

Mekanisme
pertahanan paru

13

(seluler, humo Intervensi

Pembedahan
Prosedur
invasif
Obat-obatan

ral)

Trakeobronkitis
Pneumonia

Kontrol infeksi
Kolonisasi
silang
Desinfeksi
alat tidak
adekuat
Kontaminasi
air & cairan

Gambar 1. Skema patogenesis pneumonia nosokomial


FAKTOR PREDISPOSISI ATAU FAKTOR RISIKO PNEUMONIA
NOSOKOMIAL
Faktor risiko pada pneumonia sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian:
1.
Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh
Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme, azotemia), perawatan
di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur, perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi,
umur lanjut, pengobatan steroid, pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok
hemoragik, infeksi berat di luar paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta bronkiektasis
2.

Faktor eksogen adalah :


a.
Pembedahan :
Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis pembedahan, yaitu
torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi abdomen bawah (5%).
b.

Penggunaan antibiotik :
Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang aktif terhadap
Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh,
pemberian antibiotik golongan penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan
saluran pencernaan. Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di
orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif.
Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan
meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring.

c.

Peralatan terapi pernapasan


Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa dan bakteri
gram negatif lainnya sering terjadi.
Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi enteral
Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung karena asam lambung
dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang tertelan. Pemberian antasid /
penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri
gram negatif aerobik di lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0.
Lingkungan rumah sakit

Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur

Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur, seperti alat
bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll

Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi


43

d.

e.

Pneumonia Nosokomial di Indonesia

Pneumonia Nosokomial di Indonesia

14

Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004)

Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir


Dirawat di rumah sakit 5 hari
Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit tersebut
Penyakit immunosupresi dan atau pemberian imunoterapi

DIAGNOSIS
Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta), diagnosis pneumonia
nosokomial adalah sebagai berikut :
1.
Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan menyingkirkan semua
infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit
2.
Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :

Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif


o

Ditambah 2 diantara kriteria berikut: - suhu tubuh > 38 C


- sekret purulen
- leukositosis
Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS
1.
Dirawat di ruang rawat intensif
2.
Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 > 35 % untuk
mempertahankan saturasi O2 > 90 %
3.
Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau kaviti dari infiltrat paru
4.
Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan atau disfungsi organ
yaitu :

Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)

Memerlukan vasopresor > 4 jam

Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam

Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis


Pemeriksaan yang diperlukan adalah :
1.

Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau aspirasi sekret dari
selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasiliti memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan
biakan kuman secara semikuantitatif atau kuantitatif dan dianggap bermakna jika ditemukan
6
5
6
10 colony-forming units/ml dari sputum, 10 10 colony-forming units/ml dari aspirasi
4
5
endotrracheal tube, 10 10 colony-forming units/ml dari bronchoalveolar lavage (BAL) ,
3
2
10 colony-forming units/ml dari sikatan bronkus dan paling sedikit 10 colony-forming
units/ml dari vena kateter sentral . Dua set kultur darah aerobik dan anaerobik dari tempat yang
berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak 7 ml. Kultur darah dapat mengisolasi bakteri patogen
pada > 20% pasien. Jika hasil kultur darah (+) maka sangat penting untuk menyingkirkan infeksi
di tempat lain. Pada semua pasien pneumonia nosokomial harus dilakukan pemeriksaan kultur
darah.
Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila
ditemukan sel PMN > 25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10 / lpk.
5
Pneumonia Nosokomial di Indonesia

15

2.
3.

Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit


Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka dilakukan
pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan bronkoskopi dengan
cara bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda terlindung dan bronchoalveolar lavage
(BAL). Tindakan lain adalah aspirasi transtorakal.
Suspek HAP, VAP

Kultur: diambil dari saluran napas bawah


(kuantitatif) dan pemeriksaan
mikroskopis)
Mulai terapi antibiotik secara empirik
sesuai algoritma dan data mikrobiologi
lokal kecuali hasil pemeriksaan
mikroskopis negatif dan klinis
pneumonia yang tidak terlalu
mendukung
Hari ke-2 & 3 : pemeriksaan kultur dan
nilai respons klinis (suhu, leukosit,
fototoraks, oksigenasi, sputum,
perubahan hemodinamik dan fungsi
organ)
Tidak

Kultur (-)

Perbaikan klinis pada jam ke-48 72 Ya

Kultur (+)

Cari:
Patogen lain
Diagnosis lain
Infeksi lain
Komplikasi
Sesuaikan terapi antibiotik
Cari: komplikasi
- patogen lain
- diagnosis lain
- Infeksi di tempat lain

Kultur (+)

Kultur (-)
Pertimbangkan
penghentian
antibiotik

Penurunan antibiotik jika


mungkin
Obati selama 7 8 hari dan
dievaluasi ulang

Gambar 2. Ringkasan penatalaksanaan pasien HAP/VAP

TERAPIPneumonia
ANTIBIOTIK
Nosokomial di Indonesia

6
16

Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :


1.
Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus mampu
mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai penyebab, perhitungkan
pola resistensi setempat
2.
Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan cara
pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal. Pemberian terapi emperis
harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi
saluran cerna yang baik.
3.
Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil kultur yang
berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.
4.
Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman MDR
5.
Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk
6.
Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik apabila respons
klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik berdasarkan data mikrobial dan
uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang
memuaskan.
Tabel 1. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP
pada pasien tanpa faktor risiko patogen MDR, onset dini dan
semua derajat penyakit (mengacu ATS / IDSA 2004)
Patogen potensial
Streptocoocus pneumoniae
Haemophilus influenzae
Metisilin-sensitif
Staphylocoocus aureus
Antibiotik sensitif basil Gram
negatif enterik
- Escherichia coli
- Klebsiella pneumoniae
- Enterobacter spp
- Proteus spp
- Serratia marcescens

Antibiotik yang direkomendasikan


Betalaktam + antibetalaktamase
(Amoksisilin klavulanat)
atau
Sefalosporin G3 nonpseudomonal
(Seftriakson, sefotaksim)
atau
Kuinolon respirasi (Levofloksasin,
Moksifloksasin)

Tabel 2. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP
untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut
atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu ATS /
IDSA 2004)
Patogen potensial

Terapi Antibiotik kombinasi

Pneumonia Nosokomial di Indonesia

7
17

Patogen MDR tanpa atau


dengan patogen pada Tabel 1
Pseudomonas aeruginosa
Klebsiella pneumoniae
(ESBL)
Acinetobacter sp

Methicillin resisten
Staphylococcus aureus
(MRSA)

Sefalosporin antipseudomonal
(Sefepim, seftasidim, sefpirom)
atau
Karbapenem antipseudomonal
(Meropenem, imipenem)
atau
-laktam / penghambat
laktamase
(Piperasilin tasobaktam)
ditambah
Fluorokuinolon antipseudomonal
(Siprofloksasin atau levofloksasin)
atau
Aminoglikosida
(Amikasin, gentamisin atau
tobramisin)
ditambah
Linesolid atau vankomisin atau
teikoplanin

Tabel 3. Dosis antibiotik intravena awal secara empirik


untuk HAP dan VAP pada pasien dengan onset lanjut
atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu pada
ATS/IDSA 2004)
Antibiotik
Sefalosporin antipseudomonal
Sefepim
Seftasidim
Sefpirom
Karbapenem
Meropenem
Imipenem
laktam / penghambat laktamase
Piperasilin-tasobaktam

Dosis
1-2 gr setiap 8 12 jam
2 gr setiap 8 jam
1 gr setiap 8 jam
1 gr setiap 8 jam
500 mg setiap 6 jam / 1 gr setiap 8
jam
4,5 gr setiap 6 jam

Aminoglikosida
Gentamisin
Tobramisin
Amikasin
Kuinolon antipseudomonal
Levofloksasin
Pneumonia Nosokomial di Indonesia

Siprofloksasin

8
18

7 mg/kg BB/hr
7 mg/kg BB/hr
20 mg/kg BB/hr

750 mg setiap hari


400 mg setiap 8 jam

Vankomisin

15 mg/kg BB/12 jam

Linesolid
Teikoplanin

600 mg setiap 12 jam


400 mg / hari

Suspek HAP, VAP


(semua derajat)

Onset lanjut ( 5 hari) atau


terdapat faktor risiko untuk MDR

Tidak

Antibiotik spektrum terbatas


(Tabel 1)

Ya

Antibiotik spektrum luas


untuk patogen MDR
(Tabel 2)

Gambar 3. Skema terapi empirik untuk HAP

LAMA TERAPI
Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya bukan
P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka
lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan
Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 21 hari.

RESPONS
TERAPI
Pneumonia
Nosokomial di Indonesia

Pneumonia Nosokomial di Indonesia

9
10
19

Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi. Respons klinis
terlihat setelah 48 72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik
dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata.
Setelah ada hasil kultur darah atau bahan saluran napas bawah maka pemberian antibiotik empirik
mungkin memerlukan modifikasi. Apabila hasil pengobatan telah memuaskan maka penggantian
antibiotik tidak akan mengubah mortaliti tetapi bermanfaat bagi strategi de-eskalasi. Bila hasil
pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak diperlukan sesuai hasil kultur dan kepekaan
kuman. Respons klinis berhubungan dengan faktor pasien (seperti usia dan komorbid), faktor kuman
(seperti pola resisten, virulensi dan keadaan lain).
Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah sebelum dan sesudah terapi
dapat dipakai untuk menilai resolusi secara mikrobiologis. Hasil mikrobiologis dapat berupa: eradikasi
bakterial, superinfeksi, infeksi berulang atau infeksi persisten.
Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan klinis yang
diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan antibiotik. Pada pasien yang
memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto
toraks memburuk maka kondisi klinis pasien perlu diwaspadai.
Penyebab Perburukan
Ada beberapa penyebab perburukan atau gagal terapi, termasuk diantaranya kasus-kasus yang
diobati bukan pneumonia, atau tidak memperhitungkan faktor tertentu pejamu, bakteri atau antibiotik,
Beberapa penyakit noninfeksi seperti gagal jantung, emboli paru dengan infark, kontusio paru ,
pneumonia aspirasi akibat bahan kimia diterapi sebagai HAP.
Faktor pejamu yang menghambat perbaikan klinis adalah pemakaian alat bantu mekanis yang
lama, gagal napas, keadaan gawat, usia di atas 60 tahun, infiltrat paru bilateral, pemakaian antibiotik
sebelumnya dan pneumonia sebelumnya. Faktor bakteri yang mempengaruhi hasil terapi adalah jenis
bakteri, resistensi kuman sebelum dan selama terapi terutama P.aeruginosa yang diobati dengan
antibiotik tunggal. Hasil buruk dihubungkan biasanya dengan basil gram negatif, flora polimikroba atau
bakteri yang telah resisten dengan antibiotik. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh patogen lain
seperti M.tuberculosis, jamur dan virus atau patogen yang sangat jarang sehingga tidak diperhitungkan
pada pemberian antibiotik.
Penyebab lain kegagalan terapi adalah komplikasi pneumonia seperti abses paru dan empiema.
Pada beberapa pasien HAP mungkin terdapat sumber infeksi lain yang bersamaan seperti sinusitis,
infeksi karena kateter pembuluh darah, enterokolitis dan infeksi saluran kemih. Demam dan infiltrat
dapat menetap karena berbagai hal seperti demam akibat obat, sepsis dengan gagal organ multipel.
Penilaian kasus tidak respons

Organisme yang salah


Patogen resisten obat
(bakteri,
mikobakterium,

virus, jamur)
Pengobatan
antibiotik yang tidak
adekuat
20

Salah diagnosis
Gagal jantung
Emboli paru

ARDS
Perdarahan
Neoplasma

Komplikasi
Empiema atau abses
paru
Kolitis
Enfeksi occult
Demam

Gambar 4. Berbagai kemungkinan penyebab tidak terjadi perbaikan


klinis setelah pengobatan antibiotik
Evaluasi Kasus Tidak Respons
Pada kasus-kasus yang cepat terjadi perburukan atau tidak respons terapi awal perlu dilakukan
evaluasi yang agresif mulai dengan mencari diagnosis banding dan melakukan pengulangan
pemeriksaan kultur dari bahan saluran napas dengan aspirasi endotatrakeal atau dengan tindakan
bronkoskopi. Jika hasil kultur terlihat resisten atau terdapat kuman yang jarang ditemukan maka
dilakukan modifikasi terapi. Jika dari kultur tidak terdapat resistensi maka perlu dipikirkan proses
noninfeksi. Pemeriksaan lain adalah foto toraks (lateral dekubitus) USG dan CT scan dan pemeriksaan
imaging lain bila curiga ada infeksi di luar paru seperti sinusitis. Juga perlu dipikirkan terdapat emboli
paru dengan infark.

Pencegahan Pneumonia Nosokomial


1.

Pencegahan pada orofaring dan koloni di lambung

Hindari pemakaian antibiotik yang tidak tepat karena dapat menyebabkan berkembangnya
koloni abnormal di orofaring, hal ini akan memudahkan terjadi multi drug resistant (MDR)

Pemilihan dekontaminan saluran cerna secara selektif termasuk antibiotik parenteral dan
topikal menurut beberapa penelitian sangat efektif untuk menurunkan infeksi pneumonia
nosokomial, tetapi hal ini masih kontroversi. Mungkin efektif untuk sekelompok pasien
misalnya pasien umur muda yang mengalami trauma, penerima donor organ tetapi hal ini
masih membutuhkan survailans mikrobiologi

Pemakaian sukralfat disamping penyekat H2 direkomendasikan karena sangat melindungi


tukak lambung tanpa mengganggu pH. Penyekat H2 dapat meningkatkan risiko pneumonia
nosokomial tetapi hal ini masih merupakan perdebatan.

Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan gerakan duodenum misalnya metoklopramid


dan sisaprid, dapat pula menurunkan bilirubin dan kolonisasi bakteri di lambung.
11
12
Pneumonia Nosokomial di Indonesia

Pneumonia Nosokomial di Indonesia

21

Anjuran untuk berhenti merokok


Meningkatkan program vaksinasi S.pneumoniae dan influenza

2.

Pencegahan aspirasi saluran napas bawah


O

Letakkan pasien pada posisi kepala lebih ( 30-45 ) tinggi untuk mencegah aspirasi isi
lambung

Gunakan selang saluran napas yang ada suction subglotis

Gunakan selang lambung yang kecil untuk menurunkan kejadian refluks gastro esofagal

Hindari intubasi ulang untuk mencegah peningkatan bakteri yang masuk ke dalam saluran
napas bawah

Pertimbangkan pemberian makanan secara kontinyu dengan jumlah sedikit melalui selang
makanan ke usus halus

3.

Pencegahan inokulasi eksogen

Prosedur pencucian tangan harus dijalankan sesuai prosedur yang benar, untuk
menghindari infeksi silang

Penatalaksanaan yang baik dalam pemakaian alat-alat yang digunakan pasien misalnya
alat-alat bantu napas, pipa makanan dll

Disinfeksi adekuat pada waktu pencucian bronkoskop serat lentur

Pasien dengan bakteri MDR harus diisolasi

Alat-alat yang digunakan untuk pasien harus diganti secara berkala misalnya selang
makanan , jarum infus dll

4.

Mengoptimalkan pertahanan tubuh pasien

Drainase sekret saluran napas dengan cara fisioterapi

Penggunaan tempat tidur yang dapat diubah-ubah posisinya

Mobilisasi sedini mungkin

22

PROGNOSIS
Prognosis akan lebih buruk jika dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini, yaitu
1.
Umur > 60 tahun
2.
Koma waktu masuk
3.
Perawatan di IPI
4.
Syok
5.
Pemakaian alat bantu napas yang lama
6.
Pada foto toraks terlihat gambaran abnormal bilateral
7.
Kreatinin serum > 1,5 mg/dl
8.
Penyakit yang mendasarinya berat
9.
Pengobatan awal yang tidak tepat
10. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten (P.aeruginosa, S.malthophilia, Acinetobacter
spp.
atau MRSA)
11. Infeksi onset lanjut dengan risiko kuman yang sangat virulen
12. Gagal multiorgan
13. Penggunaan obat penyekat H2 yang dapat meningkatkan pH pada pencegahan perdarahan
usus

DAFTAR PUSTAKA

Pneumonia Nosokomial di Indonesia

13

1.
American Thoracic Society. Guidelines for management of adults with communityacquired
pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, and prevention.
Am J
Respir Crit.Care Med 2001; 163: 1730-54
2.
American Thoracic Society. Hospital-acquired pneumonia in adults : Diagnosis, assessm
ent of
severity, initial antimicrobial therapy and preventive strategies. Am J Respir Crit Care Med
1995;
153 : 1711-25
3.
American Thoracic Society. Official Consensus Statement (1995): Hospital Acquired
Pneumonia
in adults : Diagnosis, assesment of severity, initial antimicrobial therapy and pre
ventive
strategies. Am J Respir Crit Care Med. 153 : 1711-25.
4.
Bartlett JG (2001) : Hospital acquired pneumonia, in Management of Respiratory
Tract
rd
Infections. Ed Bartlett JG, Lippincott Williams & Wilkins, 3 , pp 71-8.
5.
Berezin EB. Treatment and prevention of nosocomial pneumonia. Chest 1995; 108: 1S-16S
6.
Craven De, Steger KA. Epidemiology of nosocomial pneumonia new perspectives on
an old
disease. Chest 1995; 108 : 1S-16S
7.
Cunha BA 2001. Nosocomial Pneumonia : Diagnostic and therapeutic consideration
s. The
Medical Clinics of North America 2001: 79 114.
8.
Dal Nogare AR (1996) : Nosocomial Pneumonia Outside The Intensive Care Uni
t. In :
Respiratory Infections. Ed : Niederman MS, Sarosi GA, Glassroth J. WB Saunders. pp. 139
46.
9.
Fein A, Grossman R, Ost D, Farber B, Cassiere H (1999) : Diagnosis and Manage
ment of
st
Pneumonia and Other Respiratory Infections. 1 edit. Professional Communication Inc. p
p 13350.
10. Fiel S. Guidelines and critical pathways for severe Hospital-acquired Pneumonia. Chest
2001;
119 : 412S-8S.

Anda mungkin juga menyukai