Anda di halaman 1dari 10

TUGAS STRATEGY TO GROW

1. Semua pengusaha besar dan sukses pasti berawal dari kecil. Carilah tokoh entrepreneur
sukses dari Indonesia yang sukses dan bermula dari usaha yang kecil. Bisa dicari lewat
google, youtube atau lainnya, seperti buku biografi pengusaha sukses. Anda juga dapat
memilih pengusaha lain yang Anda kenal telah berhasil sukses melipatkan usahanya.
Setelah itu, cobalah analisis apa kunci keberhasilannya, inspirasi apa yang Anda peroleh
serta apa strateginya dalam mengembangkan usahanya.
2. Salah satu keberhasilan pembelajaran adalah dengan melakukan refleksi. Buatlah tulisan
refleksi Tulisan refleksi adalah sebuah esai tentang pembelajaran apa yang telah Anda
dapatkan dalam minggu ini, bagaimana perasaan Anda atau apa saja yang bisa Anda
bagikan.

GKL (Grup Kawan Lama) Perusahaan Perdagangan


Perkakas di Indonesia
Dari satu toko kecil di
kawasan Glodok warisan sang ayah,
Kuncoro Wibowo dan adik-adiknya
berhasil membangunnya menjadi
kerajaan bisnis perkakas terkemuka
di Asia Tenggara. Bagaimana usaha
ini bisa meraksasa?
Alex Widjaja, pemilik toko
di Kawasan Glodok, mengaku tak
pernah membayangkan kalau salah
satu keluarga pemilik toko alat
pertukangan yang telah lama
menjadi tetangganya bisa sukses
memiliki
perusahaan
besar.
Pasalnya, dulu toko milik Wong Jin (almarhum), tetangga dan temannya itu, tak lebih
istimewa dari toko-toko lain di sana, termasuk toko Alex sendiri. Yang ia tahu, putra-putra
Wong Jin memang rajin dan mau bersusah payah membantu ayahnya berdagang di toko.
"Mereka anak-anak muda pekerja keras," tutur Alex yang tahun ini genap berusia 62 tahun.
Alex mengaku ikut gembira dan takjub mengetahui putra-putra sobatnya itu kini telah
berhasil membangun bisnis berskala besar dengan bendera Grup Kawan Lama (GKL).
Ketakjubannya makin bertambah setelah diberitahukan bahwa gerai Ace Hardware dan Index
yang mulai bertebaran di Jabotabek, ternyata juga milik keluarga kawan lamanya itu.

Boleh jadi, bukan hanya Alex yang cukup terkejut dengan perkembangan bisnis GKL,
tapi juga sejumlah pedagang Glodok yang tokonya berdekatan dengan toko milik Wong Jin.
Maklum, puluhan tahun lalu, bisnis keluarga ini bisa dibilang tak ada apa-apanya.
Bayangkan. Tahun 1960-an, toko kecil yang berdagang perkakas teknik ini tak berbeda dari
toko-toko sejenis lainnya di Glodok. Ukurannya hanya sekitar 3 x 3 meter, dan tampilan
ruangannya sederhana, bahkan terkesan kusam dan gelap. Di toko itulah Wong Jin yang
warga Tionghoa, selain mencari nafkah juga mengajarkan kepada anak-anaknya -- terutama
anak lelaki tertuanya, Kuncoro Wibowo -- tentang bagaimana berdagang dan melayani
pembeli, serta bagaimana bekerja keras dan belajar. Toko kecil itu sendiri sudah dibuka Wong
Jin sejak tahun 1950.
Roda kehidupan memang berputar. Terbukti di tangan generasi kedua -- Kuncoro
Wibowo dan adik-adiknya -- GKL menjelma menjadi perusahaan besar yang menguasai
bisnis perdagangan perkakas di Indonesia. Produk yang dipasarkan tak kurang dari 20
kategori dan meliputi lebih dari 60 ribu item. Sekitar 90% produk yang dijual GKL ini
merupakan produk impor yang diproduksi perusahaan perkakas besar dunia.
Keistimewaan GKL terutama karena mampu keluar dari kerumunan para pemain di
bisnis distribusi produk perkakas dengan menunjukkan kelasnya sendiri. Bukan rahasia lagi,
hampir semua pemain distribusi perkakas teknik di Indonesia adalah perusahaan kelas toko
alias UKM yang banyak terdapat di bilangan Kota (Jakarta). Sulit menyebutkan bisnis
mereka sebagai bisnis korporasi. GKL-lah yang paling sukses melewati kerumunan itu. Di
Asia Tenggara, kalau Anda bandingkan dengan perusahaan distributor dan showroom
perkakas lain, kamilah yang terbesar dan paling lengkap," ujar seorang eksekutif Kawan
Lama. Tampaknya klaim sang eksekutif GKL itu tak berlebihan. Berbeda jauh dari para
kompetitornya yang hampir semua masih menempati toko atau ruko, GKL sudah punya
banyak gerai, showroom, dan kantor pusat sendiri yang cukup mentereng.
Di gedung yang dijadikan markas besarnya itu GKL membuka showroom untuk
displai produk seluas 2.000 m2. Showroom dilengkapi dengan sistem katalog yang
terkomputerisasi sehingga sangat memudahkan visualisasi produk ke calon pembeli.
Kehadiran perangkat canggih itu juga memungkinkan simulasi dan testing produk bagi calon
pembeli yang ingin menjajal produk. Showroom ini dikelola salah satu anak usaha GKL yang
paling tua, yakni PT Kawan Lama Sejahtera, yang kini diperkuat sekitar 1.200 karyawan.
Yang tak kalah menarik, jumlah produk yang dipasarkan (termasuk yang diageni)
GKL sekitar 130 merek. Hebatnya, GKL hanya mau mengageni merek-merek perkakas tiga
besar (the big three) dunia. Malah, untuk mengageni merek yang punya pasar besar, GKL
mendirikan perusahaan tersendiri (dedicated). Misalnya ada PT Indo Kompressigma untuk
mengelola penjualan produk kompresor udara paling top di dunia dari Jerman bermerek
Kaeser. Lalu, PT Miller Weldindo memasarkan mesin las asal Amerika Serikat bermerek
Miller. Ada pula PT Kawan Lama Multiweldindo, pemegang lisensi pemasaran mesin las
merek Saf (Prancis). Sementara PT Global Tools Indonesia memasarkan berbagai tool
bermerek Facom (Prancis).
Ada lagi salah satu merek yang diageni GKL dan sekarang tengah naik daun, yakni
Sensormatic. Produk untuk keamanan ini berbentuk scanner yang banyak dipakai kalangan
pengelola gedung (hotel, mal, dan lainnya), khususnya untuk melakukan scanning terhadap
kemungkinan pengunjung yang membawa bahan peledak. GKL memasarkan produk ini di

bawah bendera PT Sensormatic Indonesia. Kami memasarkan produk-produk itu dengan


pola joint venture dengan prinsipal, ujar Kuncoro Wibowo, yang juga CEO GKL.
Selain merek-merek top itu masih ada puluhan merek lain yang diageni GKL.
Pasalnya, GKL memang menyediakan aneka produk mulai dari perkakas pemotongan
(cutting tool), pengeboran (drilling tool), alat-alat pengukuran dan presisi, perkakas
keselamatan kerja, fastening tool, produk kimia (untuk adesif, cat, lubrikasi dan pembersih),
lightening equipment, cleaning service, automotive service & testing equipment, kompresor,
diesel, alarm, dan sebagainya. Pendeknya, barang dagangannya mulai dari obeng kecil hingga
kompresor dan diesel yang besarnya memenuhi ruangan. Keunikan kami adalah one stop
shopping concept. Jadi bila ada industri yang butuh alat-alat perkakas, kami
menyediakannya," kata Kuncoro yang kini mempekerjakan 3 ribu orang di kelompok
usahanya. Untuk memasarkan produk-produknya itu GKL mendirikan 9 cabang di berbagai
kota.
Kuncoro, anak keempat dari 9 bersaudara, sedari kecil memang sudah terbiasa bekerja
keras -- dan masih dilakukannya hingga sekarang. Salah satu alasannya, dia ingin selalu
melakukan sesuatu yang berbeda. I want to be something different, katanya menegaskan.
Saya kalau sudah punya keinginan, harus bisa diperoleh, tambah Kuncoro berterus terang
kepada tim SWA yang mewawancarainya. Pengusaha yang lebih suka tampil dengan
potongan rambut cepak ini menceritakan, ketika masih SD, ia dan adik-adiknya sudah biasa
membantu ayahnya bekerja di toko. Sepulang dari sekolah langsung menuju toko. Adik
perempuannya biasanya berperan sebagai kasir, sedangkan Kuncoro dan dan adik-adik
lelakinya ikut membantu melayani di toko. Saya ingat kalau ke toko, tiap pagi bawa teko
yang sudah diisi teh oleh ibu. Ketika makan siang, ibu mengirimkan rantang nasi yang zaman
dulu masih pakai rantang rotan, kenang kelahiran 1956 yang punya hobi mengoleksi korek
api ini.
Bukan masa kuliah formal bertahun-tahun yang mengasah keterampilan bisnis
Kuncoro, melainkan lebih karena tempaan kerja keras dan otodidak. Ia belajar sambil bekerja
di lapangan, di toko kecil itu. Prinsip saya learning by practicing. Apa yang salah terus
diperbaiki. Dan, secara tidak sadar itu terus bergulir sampai kami bisa mandiri, sampai
dilepas oleh ayah kami, ujar Kuncoro yang memang hanya tamatan SLTA. Meski tak duduk
di bangku kuliah, tak berarti Kuncoro tak suka belajar. Selain belajar dari tempaan
pengalaman selama melayani pelanggan di toko, ia juga banyak mengambil kursus informal
untuk mengasah wawasan bisnisnya. Tak ayal kematangan berbisnisnya pun cepat terbentuk.
Yang membuat GKL cepat melaju bisa dibilang karena kegigihan Kuncoro baik dalam
menangkap peluang pasar, menggandeng prinsipal luar negeri, membimbing adik-adiknya,
hingga membangun organisasi bisnis. Bukan rahasia lagi bagi kalangan karyawan GKL, jiwa
dan semangat kewirausahaan Kuncoro memang terasa kental. Pengusaha yang selalu datang
ke kantor pukul 08.00 dan pulang pukul 21.00 ini dikenal punya kepemimpinan (leadership)
yang kuat, malah bisa dibilang cukup keras. Mungkin semimiliter, kata seorang manajer di
GKL menilai. Contohnya, karyawan yang datang ke kantor telat, namanya akan muncul di
layar monitor. GKL juga menegakkan aturan di kantor karyawan tak boleh baca koran atau
majalah, melainkan hanya boleh bekerja. Sebenarnya bisa dipahami bila Kuncoro
menerapkan gaya ini. Pasalnya, ia memimpin sebuah perusahaan penjualan yang memang
menuntut disiplin tinggi dan kerja keras.

Sebelum menyuruh anak buahnya bekerja keras, Kuncoro sendiri sudah


menjalankannya. Ketika berusia 17 tahun ayahnya sudah biasa melepas Kuncoro dan adiknya
untuk menggulirkan usaha dagang keluarga sendiri. Misalnya untuk urusan pembelian,
pengepakan dan pengiriman barang. Malahan di usia 17 tahun itu Kuncoro sudah pergi ke
luar negeri sendiri guna mencari produk-produk perkakas yang potensial diageni. Saya
sudah sering pergi cari produk ke Singapura, Hong Kong dan Jepang. Ketika itu Cina belum
terbuka, kata Kuncoro seraya menjelaskan rata-rata para prinsipal yang mereknya diageni
dari awal sampai sekarang, masih bertahan bermitra dengan GKL. Di tahun 1980-an itu,
Kuncoro rajin mengembangkan hubungan dengan para prinsipal termasuk mengunjungi
pameran di mancanegara -- dan mulai mengageni produk-produk luar negeri. Saya melihat
kesempatan dan timing, waktu itu barang-barang bermerek dan berkualitas mulai bergerak di
sini seiring dengan berkembangnya industri, seperti asembling mobil, ungkap pria yang
mengaku tiga bulan dalam setahun waktunya dihabiskan di luar negeri itu.
Kuncoro melihat perusahaannya bisa berkembang jauh lebih pesat dibanding para
pesaing yang sekarang masih jualan di ruko-ruko, karena perbedaan cara berpikir dan adanya
keinginan untuk maju. Saya percaya dengan orang (people) dan selalu mengadaptasi
teknologi baru, Kuncoro mengungkapkan kiatnya. Ia memberi contoh perbedaan dalam
mengembangkan bisnis. Jika mereka memperoleh Rp 100, yang Rp 50 disimpan untuk
properti atau investasi lain. Kalau kami tidak. Duit itu terus diputar sehingga seperti snow
ball, ungkapnya lagi. Selain itu, lanjut Kuncoro, pihaknya tergolong perusahaan lokal
pertama yang berinisiatif mencari pasar. Ketika penjual lain lebih banyak menunggu pembeli
datang ke toko, pihaknya memilih jemput bola. "Kami termasuk yang paling awal yang bisa
melakukan penjualan dengan approach ke pabrikan," katanya bangga.
Dengan prinsip-prinsip itulah GKL terus berkembang. Bila awalnya hanya sebuah
toko berukuran 3 x 3 meter di Glodok, di akhir tahun 1970 bisa pindah ke ruko yang lebih
baik. Lalu, tahun 1985 bisa menambah gerai menjadi tiga ruko. Dan akhirnya, tahun 1997
bisa membangun gedung sendiri. Kini, boleh dibilang GKL dikelompokkan sebagai korporasi
besar. Hanya saja, bagi kebanyakan orang awam, nama Kawan Lama memang tak sepopuler
pemain di industri fast moving & consumer goods semisal Coca-Cola, Unilever, Grup Wings,
Sosro, Ultrajaya, dan lainnya. Padahal, skala bisnisnya boleh dipertandingkan dengan mereka
itu. Kurangnya popularitas ini karena memang bidang bisnis GKL yang lebih banyak
menyasar ke pelanggan perusahaan, bukan pasar massal (mass market).
Di bidang pemasaran, GKL sukses melakukan berbagai transformasi. Di antaranya,
berhasil mentransformasi dari sekadar penjual atau agen berbagai produk milik perusahaan
lain menjadi perusahaan yang punya merek sendiri. Hal ini terlihat dari keberadaan merek
Krisbow yang tak lain merupakan merek yang murni dimiliki dan dikembangkan oleh GKL.
Didukung jaringan penjualan GKL yang kuat, kini Krisbow sangat sukses dan merupakan
merek lokal terbesar di bisnis perkakas.
Di pasar kompresor misalnya, Krisbow mampu bersaing dekat dengan Kaeser yang
merupakan market leader dunia. Merek Krisbow sendiri kini tak hanya dipakai untuk produk
kompresor, tapi sudah diekstensi untuk 22 kategori produk yang meliputi lebih dari 4.500
item. Tak heran, kontribusi penjualan Krisbow terhadap GKL mencapai sekitar 10%.
Langkah GKL meluncurkan merek sendiri ini merupakan terobosan (breakthrough) bagi

pemain lokal. Pasalnya, di bisnis ini hampir 100% pemain lokal sebatas berperan sebagai
agen atau distributor. Jadi, belum muncul kesadaran membangun merek sendiri.
Terobosan tak hanya dilakukan dalam bentuk pengembangan merek sendiri, tapi juga
dalam strategi menjual dan melayani klien. KLS misalnya, tak lagi mengandalkan pendekatan
penjualan konvensional, tetapi telah mengimplementasi pendekatan konsultasi. Jadi,
berangkatnya bukan kami punya barang dan silakan Anda beli, tapi lebih memberi solusi di
antara kebutuhan pelanggan dan kemampuan pembelian. Sebab itu, tim sales kami selalu
menanyakan ke calon pelanggan apa kebutuhannya dan berapa banyak dana yang dimiliki.
Dari situ tim sales membantu memberikan solusi terbaik, papar Tony Sartono, Direktur
Pemasaran KLS.
Sebagai perusahaan pemasar perkakas, kini GKL juga mulai bertransformasi dari
yang sebelumnya hanya fokus di bisnis B2B alias menyasar segmen korporat yang besar (big
account), ke perusahaan yang juga gencar menggarap pasar ritel-massal. Hal ini bisa
dibuktikan dari makin intensifnya GKL mengembangkan gerai ritel perkakasnya: mulai dari
Ace Hardware, Index, Toko Krisbow Perkakas, Krisbow Tools Center, hingga Dunia Teknik.
Perkembangan jumlah gerai ritel yang menjadi andalan GKL untuk membidik pasar
massal ini cukup bagus. Sebut saja Ace Hardware. Sebagaimana dijelaskan Rudy Hartono,
Presdir PT Ace Hardware Indonesia, sejak diluncurkan 1995 pertumbuhan penjualan Ace
Hardware minimal 25% per tahun. Jumlah gerai Ace Hardware pun terus bertambah.
Sekarang mencapai 16 gerai, tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. Ace Hardware
menyediakan lebih dari 50 ribu jenis produk, terdiri dari 12 kategori (disebut departemen),
mulai dari cat dan perlengkapannya, perkakas rumah, aksesori otomotif, lampu, perlengkapan
mandi, kunci pintu, engsel dan handel pintu, perlengkapan rumah tangga, peralatan dan bahan
berkebun, perlengkapan kemah dan barbeku, perlengkapan Natal dan hari-hari besar, hadiah,
hingga furnitur.
Selain Ace Hardware, GKL juga mengembangkan Index Furnishing sejak 2004.
Paulus Ong, Direktur Operasional PT Home Center Indonesia pengelola Index
menjelaskan pihaknya kini terus gencar mengembangkan supermarket perabot rumah tangga
(home furnishing) itu. Setidaknya GKL sudah punya tiga gerai, yakni di Puri Indah, Mal
Artha Gading dan Mal Metropolitan Bekasi. Rencananya, sampai semester pertama 2006,
akan buka dua gerai Index di Makassar dan Bandung.
Index merupakan waralaba furnitur dari Thailand, bukan asli merek ritel milik GKL.
Sebenarnya, semula Kuncoro sempat akan membangun merek sendiri dengan pemasoknya
para pengusaha furnitur lokal, tapi kalangan pengusaha lokal itu tak mau dengan alasan takut
desain produknya malah dijiplak. Tak heran, Kuncoro kemudian memilih Index yang sudah
sukses di Thailand. Alasan lainnya, konsep Index hampir sama dengan ritel Ace Hardware,
hanya saja Index lebih mengarah ke produk perabot rumah tangga (home furnishing).
Keberadaan Ace Hardware dan Index menjadi bukti bahwa GKL telah mulai
mentransformasi pemasarannya dari yang semula didominasi pola pemasaran B2B -- yang
sangat mengandalkan manajemen big account -- menjadi model pemasaran B2C alias ritel.
Yang lebih menarik, ternyata kehadiran dua jenis gerai GKL itu secara tak langsung telah
mengedukasi konsumen perkakas di perkotaan bahwa berbelanja perabot dan perkakas tak
harus berdesak-desakan atau kepanasan, melainkan bisa dilakukan di sebuah toko besar
dengan suasana yang nyaman.

Dahulu, kalangan mapan perkotaan tak suka berbelanja sendiri untuk urusan perkakas
dan lebih memilih mendelegasikan ke para pembantu atau tukang. Namun sekarang tak
mengherankan, banyak para majikan (terutama dari kalangan muda) yang tak sungkan lagi
berbelanja perabot atau perkakas sendiri. Kalangan ibu rumah tangga, misalnya, kini justru
lebih suka datang sendiri ke Ace Hardware untuk membeli perkakas pemotong dahan, mesin
pembersih lantai, peranti pengecatan, dan lain-lain. Boleh dibilang, GKL berhasil ikut
membangun gaya hidup yang berhubungan dengan perkakas. Lihat saja, sekarang muncul
hobi baru seperti berkebun ataupun ngebengkel.
Sebenarnya, selain Ace Hardware dan Index, GKL juga mengembangkan jenis gerai
lain, yakni Krisbow Perkakas (KP) dan Krisbow Tools Center (KTC). Dua jenis gerai ini
mulai diluncurkan 2003. Hanya saja, ragam produk yang dipajang memang tak selengkap di
Ace Hardware karena memang fokus dengan merek Krisbow. Ruangannya pun tak seluas dan
selengkap Ace Hardware. Namun, soal jaringannya jangan diremehkan, sudah ada 17 gerai
(16 KP dan satu KTC). Lokasi gerai ini tersebar di Jakarta, Surabaya dan Bandung. Seorang
eksekutif di GKL menyebutkan, tahun 2006 GKL punya target membuka 20 gerai baru (baik
KP maupun KTC), dan tahun 2007 ditargetkan menambah 50 gerai baru. Perbedaan KP dan
KTC sendiri terletak pada luas bangunan dan fokus usahanya. KP berkonsep lebih
independen dengan varian produk yang lebih banyak dibanding KTC.
Pada Ace Hardware dan Index, GKL ingin mengembangkan sendiri dan tidak
berencana mewaralabakan atau menggandeng investor lain. Sementara dalam membesarkan
KP dan KTC, GKL malah membuka peluang kerja sama dengan investor yang berminat. Dari
sejumlah KP dan KTC yang sudah berjalan, sebagian besar dimiliki oleh mitra investor.
Cerdiknya, GKL tak mau asal cari mitra. Persyaratan yang ditetapkan untuk menjadi mitra
pemilik KP dan KTC antara lain: memiliki lokasi strategis dengan luas bangunan minimal
150 m2; serta memiliki dana Rp 800 juta-1 miliar untuk KP, dan Rp 300-400 juta untuk KTC.
Sisi lain yang menarik dari GKL adalah strateginya untuk fokus. Lihat saja, meski
GKL punya banyak anak usaha, semuanya masih masuk dalam kompetensi intinya, yakni
penjualan perkakas. Hanya Index yang sedikit melebar, yakni penjualan furnitur. Memang
produknya beda, tapi nature of business-nya masih sama, kilah Kuncoro. Bahkan, GKL juga
memilih fokus di distribusi saja, tidak di manufakturing.
Pilihan strategi ini rupanya tak diputuskan tanpa alasan. Tahun 1994 manajemen GKL
melakukan benchmarking ke luar negeri untuk memutuskan apakah mau menggarap
manufakturing atau distribusi/penjualan saja. Ternyata dari studi banding ke luar negeri
Kuncoro mendapatkan jawaban bahwa model bisnis distribusi perkakas pun bisa survive dan
membesar, sehingga akhirnya memutuskan fokus di distribusi saja. Itulah mengapa, meski
punya merek sendiri (Krisbow), proses manufakturingnya dilakukan lewat outsourcing (toll
manufacturing)
Yang pasti, kini hampir semua perusahaan besar di Indonesia menjadi pelanggan GKL
untuk pengadaan perkakas. Sekadar menyebut klien-klien besarnya: Garuda Indonesia,
Panarub Industry, perusahaan-perusahaan semen, perusahaan alat-alat berat, keramik, suku
cadang, perusahaan asembling otomotif (Astra International, Indomobil, dan Kramayuda Tiga
Berlian), pabrik elektronik, perusahaan pertambangan (PT Bukit Asam, PT Tambang Timah,
KPC, Freeport Indonesia, Adaro, Aneka Tambang, Newmont, Gulf Resources) plus sederet
perusahaan lainnya. Sebuah sumber juga menyebutkan, ketika Toyota Astra Motor hendak

melakukan setting pabrik untuk memproduksi dan meluncurkan Innova dua tahun lalu,
sebagian perkakas manufakturnya juga dipasok GKL. Disebutkan Kuncoro, pelanggannya
hampir ada di semua sektor yang berbasis manufakturing. Kami tak punya single customer
yang mengontribusi lebih dari 3% sales kami, Kuncoro berterus terang. Jumlah pelanggan
GKL diperkirakan lebih dari 10 ribu. Selama ini orientasi pemasaran GKL hampir 70%-80%
ke kalangan end user, bukan pedagang.
Mengenai kinerja anak-anak usaha GKL, Kuncoro mengaku optimistis. Selama ini
tiga anak usaha yang pertumbuhannya paling pesat adalah KLS, Ace Hardware dan Index.
Hanya saja belakangan ini perkembangan bisnis ritel (Ace Hardware, Index, Toko Krisbow)
grup ini lebih cepat. Adapun kalau dilihat kontribusinya, 50% diperkirakan masih dari KLS.
Sayang Kuncoro tak bersedia menyebutkan berapa omset grup usahanya saat ini. Namun,
kalau mengacu pada perhitungan Pusat Data Bisnis Indonesia, setidaknya omset grup ini di
kisaran Rp 1 triliun.
Darmadi Durianto, pengamat pemasaran, melihat langkah GKL bertransisi dari B2B
ke B2C dengan mengembangkan jaringan ritel merupakan upaya mendekatkan diri ke
kalangan konsumen akhir. Mereka melakukan strategi forward integrated, tuturnya.
Darmadi menilai kalau langkah itu dikelola dengan baik, akan memperkuat posisinya di
pasar. Selain itu pasti semakin memperkuat bargaining power di hadapan pemasok. Langkah
ini juga menguntungkan karena semakin memungkinkan memperoleh margin lebih besar.
Darmadi memberikan catatan, yang harus diperhitungkan adalah penentuan lokasi. Kalau
mereka bisa memilih lokasi yang baik dan pas, saya pikir peluangnya bagus, ia menegaskan.
Dalam kaitannya dengan brand building, Darmadi menyarankan GKL untuk terus
konsisten membangun awareness, meningkatkan kualitas layanan, membuat program
loyalitas dan terus-menerus membangun citra. Kalau berhenti, mereka cuma sekadar buka
kemudian jual, buka kemudian jual, saya pikir lama-kelamaan juga akan jatuh, tandasnya.
Catatan kritisnya, ia melihat GKL masih kurang dalam melakukan emotional bonding ke
konsumen. Artinya, Brand building belum mereka lakukan secara optimal.
Pengamat pemasaran lainnya, Kafi Kurnia dari Peka Consulting, melihat sukses GKL
sebenarnya lebih karena hoki saja. Kebetulan ia masuk ke bisnis yang belum dilirik orang,
tandas Kafi, yang melihat di Indonesia pemain di kategori ini memang sangat kurang dan
cenderung masih tertutup. Penyebab awalnya, menurut Kafi, para pebisnis tidak melihat
bidang ini sebagai mainstream.
Kafi berpendapat, bila ada pengusaha yang ingin menyaingi GKL saat ini, sudah
tergolong telat. Alasannya, jaringan GKL sudah begitu luas. Toh, bukan berarti dapat
disimpulkan kalau GKL sudah sukses. Itu belum tentu! Seperti Ace Hardware, kita hanya
bisa melihat ekspansi gerainya di mana-mana dengan areanya yang cukup luas. Tapi apakah
penjualannya bagus atau tidak, sejauh ini kita tidak dapat menyimpulkan bahwa Ace
Hardware sukses di pasar. Belum ada benchmark bagi Ace Hardware hingga saat ini, Kafi
menyimpulkan. Implikasinya, lanjut Kafi, meski harga barangnya mahal dan servisnya tak
bagus pun, orang tetap akan mengunjungi karena tak ada alternatif lain. Ace Hardware kini
menari sendirian, ujarnya.
Kalau begitu, akankah mereka sukses? Kafi tak bisa memastikan, sebab di bisnis ritel
perkakas ini belum ada benchmark, tak seperti ritel umum. Kendati demikian, Kafi mengakui,
GKL dengan Ace Hardwarenya tetap merupakan fenomena. Sebab, dulunya tak ada tapi

langsung bisa melebarkan sayap ke mana-mana. Tapi kita tidak dapat memprediksi seberapa
lama mereka bisa bertahan karena mereka tidak punya pesaing, kata Kafi.
Apa pun penilaian orang, Kuncoro sendiri tetap melihat prospek bisnisnya cukup
cerah. Namun ke depan ia sudah berpikir untuk menyerahkan kepemimpinan pengelolaan
bisnisnya kepada orang lain (profesional). Saya mulai tired. Saya cukup capek dan sudah
waktunya menikmati hidup yang pendek ini. Saya harus sudah menyiapkan generasi baru,
ujar Kuncoro jujur. Ia berhitung, mungkin saja pengalamannya tidak lagi aplikatif di masa
mendatang. Ini seperti ombak, yang belakang sudah menggulung ke depan, katanya
bertamsil.
Dalam benak Kuncoro sekarang ini, ia hanya ingin memastikan perusahaannya tetap
eksis di pasar meski ia bukan leader-nya lagi. One day, mungkin kami akan IPO sehingga
kepemilikannya tak hanya dipegang keluarga. Kalau kita melihat sejarah, bukankah sebuah
empire tidak bisa (bertahan) lebih dari tiga keturunan, Kuncoro menjelaskan. Soal IPO, ia
menilai sebenarnya bisa dilakukan kapan pun karena secara internal sudah siap. Demikian
juga secara administratif. Tapi sejauh ini kami belum butuh dana dari luar untuk
pengembangan bisnis. Biarkan jalan apa adanya dulu, katanya. Sikap prudent seperti ini
agaknya merupakan kelebihan bisnis GKL lainnya.

Analisis Kunci Keberhasilan:


Dari cerita di atas kita dapat menganalisis kunci keberhasilan Kuncoro Wibowo dalam
membangun Industri perkakas terbesar di Indonesia yaitu:
1. Memiliki Semangat dan Etos kerja yang tinggi
Seorang wirausaha yang berhasil adalah seorang wirausaha yang selalu memiliki semangat
yang tinggi untuk mengembangkan usahanya. wirausaha harus mampu mengembangkan
sikap:
-percaya diri
-berani mengambil resiko
-memiliki ketekunan
-memiliki kepribadian yang mantap
2. Inovatif
adalah proses mengubah peluang menjadi gagasan/ ide yang dapat dijual. Dasar Inovasi
yaitu:
-berorientasi pada tindakan untuk beriovatif
-membuat produk yang mudah dipahami dan dapat dilaksanakan
-menentukan tujuan dalam berinovatif
-mengadakan uji coba dan merevisinya
-belajarlah dari pengalaman
-menghargai karyawan yang mempunyai gagasan inovatif
-mengikuti jadwal yang sudah ditentukan
-mempunyai keyakinan yang tinggi untuk berhasil

3. Kreatif
Kreatif adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru/ produk baru, /melihat
hubungan baru antar unsur, data, dan variable yang sudah ada sebelumnya. Seorang
Wirausaha perlu melakukan kretivitas karena:
1.keberhasilan dalam persaingan bisa diperoleh dengan mengembangkan daya kreatif
2.kreativitas adalah sumber berharga dan harus dipelihara serta jangan disia-siakan
3.tantangan baru selalu muncul dan harus dg kreativitas baru
4.kreativitas adalah gagasan yg tidak diramalkan datang dan perginya mempunyai
keunikan yang tinggi
4. Motivasi
berasal dari kata motif : suatu rasa yang menggerakkan seseorang untuk berbuat atau
melakukan sesuatu hal. Motivasi terdiri dari:
a.Motivasi Aktif /dinamis/: suatu usaha dalam menggerakkan dan mengarahkan daya kerja
secara produktif agar mencapai tujuan yang ditetapkan
b.Motivasi Pasif /statis/: kebutuhan untuk merangsang agar dapat mengarahkan potensi
serta daya kerja manusia kearah yang diinginkan

Inspirasi apa yang Anda peroleh serta apa strateginya dalam


mengembangkan usahanya
Menyingkap perjalanan bisnis GKL memang amat menarik dan menginspirasi. Sebab,
yang terurai kemudian adalah cerita kewirausahaan (entrepreneurship) yang penuh teladan.
Boleh dibilang, di dalamnya banyak pelajaran tentang sebuah perjuangan bisnis, kerja
keras, kedisplinan, semangat terus belajar. Kenyataannya, unsur-unsur inilah yang bisa
membalikkan nasib dari nobody menjadi somebody yang terpandang. Itulah yang terjadi pada
GKL, terutama setelah Kuncoro dan adik-adiknya menerima tongkat estafet pengelolaan toko
yang didirikan sang ayah.

2. Refleksi Pribadi
Berdasarkan Cerita diatas saya dapat belajar menjadi pribadi yang :
a. Pribadi yang berprestasi
seorang entrepreneurship harus bisa memotivasi orang lain untuk berprestasi.
b. Pribadi yang disiplin
kedisiplinan menjadi hal yang penting yang harus diterapkan agar target yang diinginkan
tercapai.
c. Pribadi yang mandiri
seseorang entrepreneurship harus dapat membiasakan karyawan
menyelesaikan pekerjaannya sendiri , kemandirian ini dapat mengasah kreativitas di dalam

diri.
d. Pribadi yang mampu memanfaatkan waktu
seorang entrepreneurship yang baik harus mampu memanfaatkan waktu dengan baik
sehingga waktu yang digunakan dalam bekerja tidak sia-sia.
e. Pribadi yang kreatif
seorang entrepreneurship harus dapat mengembangkan ide yang dimilikinya. Seorang
entrepreneurship juga harus mendengarkan ide-ide yang disampaikan orang lain.
f. Pribadi yang berani mengambil resiko
seorang entrepreneurship harus berani mengambil resiko tetapi harus melihat terlebih
dahulu apa saja resiko yang mungkin ter#adi dan dapat memberikan umpan balik yang
sesuai.
g. Pribadi yang terus belajar
seorang entrepreneurship harus ma uterus belajar dan mau mengajak orang lain untuk
terus belajar.
h. Pribadi yang pantang menyerah
Dan diharapkan dengan pribadi ini kita dapat mencontoh keberhasilan Kuncoro Wibowo
dalam merubah toko kecil menjadi industri perdagangan perkakas terbesar di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai