Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

MANAJEMEN ANESTESI PADA EPILEPSI

DISUSUN OLEH :
Umchudloh, S. Ked.
08.700.307

PEMBIMBING :
dr. Bambang Soekotjo, M.Sc, Sp.An.

BAGIAN ANESTESIOLOGI
SMF ILMU BEDAH
RSUD DR. MOH SALEH KOTA PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2014
LEMBAR PENGESAHAN
1

Referat Kepaniteraan klinik Bagian Anestesiologi SMF Ilmu Bedah RSUD dr. Moh. Saleh Kota
Probolinggo Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dengan judul
Manajemen Anestesi pada Epilepsi
Telah disetujui dan disahkan pada :

HARI : ___________________
TANGGAL PENGESAHAN : ____________

MENGETAHUI :

(dr. Bambang Soekotjo, M.Sc, Sp.An.)

KATA PENGANTAR
2

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, referat dengan judul Manajemen Anestesi pada Epilepsi dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Referat ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti kepanitraan klinik di Bagian
Anestesiologi, SMF Ilmu Bedah RSUD Dr. Moh Saleh Probolinggo. Dalam penyusunan referat
ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr. Bambang Soekotjo, M.Sc, Sp.An. selaku pembimbing penyusunan referat.
2. Teman-teman sejawat terutama teman-teman satu kelompok.
3. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah referat ini.
Pepatah mangatakan Tak Ada Gading Yang Tak Retak, begitu pula dengan referat ini,
penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan berbagai kritik dan saran yang konstruktif bagi referat ini. Semoga referat ini
dapat berguna sebagaimana mestinya.

Probolinggo, Februari 2014

Penulis

DAFTAR ISI
3

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Tujuan Umum .. 1
1.3 Tujuan Khusus .. 2
1.4 Manfaat . 2
1.5 Rumusan Masalah . 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

......................... 3

2.1 Definisi . 3
2.2 Klasifikasi .. 3
2.3 Etiologi .. 4
2.4 Patofisiologi .. 4
2.5 Farmakologi Dasar Obat Anti Epilepsi 6
2.6 Pemilihan Agen Anestesi dan Pemeliharaan Anestesi . 7
2.7 Manajemen Perioperatif Penderita Epilepsi . 8
2.8 Manajemen Cairan Intra Operatif 10
2.9 Manajemen Postoperatif Penderita Epilepsi. 11
2.10 Status Epileptikus . 12
2.11 Toksisitas Anestesi pada Kejang 14
BAB III. KESIMPULAN. 17
DAFTAR PUSTAKA...... 18
BAB I
PENDAHULUAN
4

1.1 Latar Belakang


Kejang dapat didefinisikan sebagai manifestasi klinis kelainan dari neuron, yang disertai
dengan perubahan kesadaran, motorik, sensorik atau otonom. Kejang adalah episode aktivitas
listrik otak yang abnormal. Diperkirakan 2 % dari semua orang akan mengalami kejang selama
hidup mereka. Namun, seorang yang mengalami kejang tidak berulang tidak dapat dianggap
sebagai epilepsi. Kejang mungkin primer ( idiopatik ) atau lebih sering sekunder untuk kondisi
lain. Kejang sekunder dapat disebabkan oleh prenatal, perinatal, atau kejadian pasca-persalinan.1
Epilepsi memiliki prevalensi 1:200 pada orang dewasa dan sekitar dua kali lipat lebih
sering pada anak-anak. Dengan insiden tertinggi pada mereka yang berusia lebih dari 70 tahun.
Epilepsi terjadi pada 40-70 per 100.000 penduduk. Epilepsi disebabkan oleh keluarnya cairan
abnormal dari neuron di otak. Epilepsi primer memiliki kecenderungan genetik dengan risiko
1,5-3 % dari genetik ayah dan resiko 3-9 % dari genetik ibu. Obat anestesi dapat memodulasi
aktivitas kejang dan berinteraksi dengan obat antiepilepsi. Epilepsi sering mengalami masalah
medis secara bersamaan. Epilepsi berhubungan dengan anestesi untuk beberapa alasan, misalnya
pengobatan dan interaksi obat, kejang pasca operasi, dan manajemen perawatan intensif status
epileptikus.1
Insiden epilepsi bervariasi (40-70 per 100.000, >100 per 100.000 di negara berkembang).
Prevalensi epilepsy adalah 1,5-57 per 1000 (rata-rata 10,3 per 1000). Insiden lebih besar pada
laki-laki dan kelompok sosial ekonomi rendah.2

1.2 Tujuan Umum


1. Untuk memaparkan perkembangan terkini mengenai pertimbangan-pertimbangan dan prosedur
anastesi pada pasien dengan epilepsi
1.3 Tujuan Khusus
1. Untuk memenuhi tugas dokter muda dalam pemenuhan kredit kepanitraan klinik.
1.4 Manfaat
5

1. Menambah pengetahuan baik bagi penulis maupun bagi para pembaca terkait anastesi pada pasien
dengan hipertensi.
1.5 Rumusan Masalah
1. Apa definisi epilepsi?
2. Bagaimana klasifikasi epilepsi?
3. Bagaimana patofisiologi epilepsi?
4. Bagaimana farmakologi dasar obat-obat anti epilepsi?
5. Bagaimana manajemen perioperatif penderita epilepsi?
6. Bagaimana pertimbangan anastesi pada penderita epilepsi?
7. Bagaimana pertimbangan premedikasi anastesi pada penderita epilepsi?
8. Bagaimana pemeliharaan anastesi penderita epilepsi?
9. Bagaimana manajemen intraoperatif penderita epilepsi?
10. Bagaimana manajemen postoperative penderita epilepsi?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi(3)

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan
(seizure) yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan pada neuronneuron secara paroksismal yang disebabkan oleh beberapa etiologi.3
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) merupakan manifestasi klinik dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan
oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).4
2.2 Klasifikasi Epilepsi
Serangan epilepsi diklasifikasikan sebagai parsial, umum, pseudo-atau non-epilepsi. Hal
ini didasarkan pada manifestasi klinis kejang dan gambaran elektroensefalografik (EEG).
Partial seizures
Simple
Complex
Partial
onset

with

generalization
Generalised seizures
Inhibitory
Absence
Atonic
Excitatory
Myoclonic
Clonic
Tonic
Pseudoseizures
Nonepileptic seizures
Table 1 : Klasifikasi kejang epilepsy 2
2.3 Etiologi 4
Hanya seperempat sampai sepertiga dari kasus epilepsi disebabkan oleh penyebab
spesifik. Diantaranya :
7

1. Genetik : sindrom epilepsi, epilepsi mioklonik remaja, epilepsi rolandic jinak.


2. Trauma : faktor risiko epilepsi pasca-trauma adalah adanya riwayat kejang, patah tulang
tengkorak, depresi atau terjadi perdarahan intrakranial.
3. Tumor : epilepsi lebih sering terjadi dengan tumor yang tumbuh lambat.
4. Infeksi : Infeksi adalah penyebab 3-5% dari kejang. Epilepsi biasanya disertai dengan
infeksi bakteri, jamur, TB meningitis dan ensefalitis virus.
5. Degenerasi serebral : penyakit Alzheimer dan demensia multi- infark.
6. Penyakit serebrovaskular : Sekitar 6-15 % adalah stroke. Hal ini lebih berpotensi pada
infark serebral ataupun pendarahan otak.
7. Multiple sclerosis : 2 % kasus.
8. Alkohol : menurunkan ambang kejang. Kejang dapat terjadi dengan minum minuman
keras.
9. Gangguan metabolisme : hipokalsemia, hiperkalsemia, hypomagnesaemia, hipoglikemia,
hiponatremia. Penyakit hati dan gagal ginjal juga dapat memicu kejang.

2.4 Patofisiologi Epilepsi


Mekanisme epilepsi berhubungan dengan (i) hilangnya hambatan post-sinaptik dan
hambatan aktifitas -aminobutyric acid (GABA), (ii) hubungan rangsangan sinaptik dengan
peningkatan rangsang asam amino glutamat, dan (iii) adanya neuron pacu jantung dengan arus
kalsium abnormal, semua mengarah pada kelainan neuron. 5
Mekanisme

terjadinya

epilepsi

ditandai

dengan

gangguan

paroksimal

akibat

penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter


eksitatori dan inhibitori

(7)

. Defisiensi neurotransmiter inhibitori seperti Gamma Amino Butyric

Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti glutamat menyebabkan


aktivitas neuron tidak normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu,
glutamat, aspartat, asetil kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin,
peptida, sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron)
yaitu, dopamin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga diakibatkan oleh
abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATPase yang berkaitan
dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan membran neuron (8).
Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu pembukaan
kanal Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+, sehingga ion-ion Na+
8

dan Ca2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan perbedaan polaritas pada
membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam
penerusan potensial aksi sepanjang sel syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan
glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan
memicu aktivitas sel-sel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara
memblokade atau menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5 Methylosoxazole- 4propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA (N-methil D-aspartat). Interaksi antara
glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na + dan Ca2+ yang pada akhirnya
dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun felbamat (antagonis NMDA) dan
topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan dengan reseptor glutamat, sehingga
glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Efek dari kerja kedua obat ini adalah
menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang teraktivasi 8.
Patofisiologi epilepsi meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang menyebabkan
instabilitas pada sel-sel syaraf tersebut.
2.5 Farmakologi Dasar Obat-Obat Anti Epilepsi (OAE) (4,5)
Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik
pasien.
1. Tipe serangan
Tipe serangan

First-line

Parsial simple & Karbamazepine


kompleks dengan
atau
tanpa Fenitoin
general sekunder
Fenobarbital
Okskarbazepin

Second-line/

Third line/

add on
Asam valproat

add on
Tiagabin

Levetiracetam

Vigabatrin

Zonisamid

Felbamat

Pregabalin

Pirimidon

Lamotrigin
Topiramat
9

Tonik klonik

Gabapentin
Asam valproat

Lamotrigin

Topiramat

Karbamazepine

Okskarbazepin

Levetiracetam

Fenitoin

Zonisamid

Fenobarbital
Asam valproat

Topiramat

Pirimidon
Lamotrigin

Levetiracetam

Clobazam

Zonisamid

Clonazepam

Absence (tipikal Asam valproat


dan atipikal)
Lamotrigin

Etosuksimid

Fenobarbital
Levetiracetam

Atonik

Lamotrigin

Mioklonik

Asam valproat

Zonisamid
Felbamat

Topiramat
Tonik

Asam valproat

Clonazepam

Fenitoin

Clobazam

Fenobarbital
Epilepsy absence Asam valproat
juvenile
Etosuksimid
Epilepsy
mioklonik
juvenile

Clonazepam

Asam valproat

Clonazepam

Fenobarbital

Etosuksimid

2. karakteristik pasien
Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus dipertimbangkan
secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : efek buruk obat, dosis yang tepat,
harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu
namun jika ada kontra indikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya
penggantian obat dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada wanita, khususnya wanita yang
masih dalam usia subur.5
10

2.6 Pemilihan Anestesi Agent dan Pemeliharaan Anestesi 5


a. Pertimbangan anestesi
Pertimbangan anestesi dalam penatalaksanaan pasien dengan epilepsi meliputi : (i)
kemampuan anestesi untuk memodulasi atau mempotensiasi aktivitas kejang, (ii) interaksi obat
bius dengan obat anti-epilepsi, (iii) perawatan perioperatif pasien dengan epilepsi, dan (iv) terkait
kondisi medis. 5
b. Pro-convulsant dan anti-convulsant sifat anestesi
Banyak anestesi telah dilaporkan menghasilkan pola kejang pada EEG terkait dengan
jenis kejang. Perencanaan anestesi pada pasien dengan epilepsi membutuhkan pengetahuan
tentang kondisi tertentu dan dosis di mana beberapa anestesi dapat menyebabkan kejang. Banyak
agen anestesi bersifat pro-convulsant, anti-convulsant atau keduanya (Tabel 2).
Table 2 : Pro-convulsant and anti-convulsant properties of anaesthetic agents 5
Anaesthetic
Nitrous oxide
Halothane
Enflurane
Isoflurane
Sevoflurane
Desflurane
Thiopental
Methohexital
Etomidate
Benzodiazepines
Ketamine
Propofol
Opioids

Pro-convulsant
+
+
+++
++
++

++
+++
+++
++
++
+++

Anti-convulsant

++
+
+++

+++
+++
+++
+++
+
++

c. Interaksi obat anti - epilepsi dan obat bius


Obat anti-epilepsi dapat menghasilkan berbagai efek samping termasuk penurunan
belajar, sedasi, induksi enzim atau inhibisi. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan dalam
farmakokinetika obat yang mungkin penting dalam anestesi. 5
11

2.7. Manajemen Perioperatif Penderita Epilepsi 6


Pasien epilepsi umumnya hadir untuk persiapan operasi khususnya operasi bedah saraf.
Prinsip manajemen anestesi perioperatif perlu disiapkan, selain itu juga persyaratan khusus
seperti electrocorticography ( ECoG ) dan dokter ahli bedah saraf.
a. Manajemen pra operasi
Penilaian pra operasi harus dilakukan dengan fokus pada epilepsi dan masalah medis
lainnya. Hal ini sangat penting pada neonatus dan bayi, yang berada pada risiko morbiditas
perioperatif lebih tinggi. Epilepsi dapat berhubungan dengan trauma lahir, hipoksia perinatal,
atau penyakit lain (misalnya tuberous sclerosis, craniosynostosis, atau microcephaly). Tuberous
sclerosis adalah penyakit hamartomatous, dengan lesi kulit dan intrakranial, yang mengarah ke
epilepsi. Pada craniosynostosis dan malformasi kraniofasial lainnya, penilaian rinci jalan napas
sangat penting untuk mengetahui tingkat kesulitan intubasi. Pada semua pasien, riwayat epilepsi,
etiologi, jenis dan pola kejang, frekuensi kejang, terapi antiepilepsi, dan komplikasi OAE perlu
diketahui. Uji laboratorium harus dilakukan untuk mengetahui efek samping dari OAE (Tabel 1).
Pasien dengan terapi sodium valproate, carbamazepine, dan ethosuximide harus selalu diperiksa
fungsi hati, jumlah trombosit, dan indeks koagulasi. Dalam epilepsi, tingkat plasma OAE harus
diukur dan dioptimalkan sebelum operasi. Pasien dengan tuberous sclerosis dan murmur jantung
harus memiliki echocardiogram pra operasi dan elektrokardiogram. [ 6 ]
OAE harus dilanjutkan saat tindakan operasi dilakukan dan harus dimulai kembali
secepat mungkin setelah operasi. Untungnya, sebagian besar memiliki waktu paruh panjang,
sehingga adanya kemunduran dalam pemberian obat bukan menjadi masalah. Rencana
pengobatan antiepilepsi perioperatif harus disepakati dengan ahli saraf, karena banyak OAE yang
tidak tersedia dalam bentuk parenteral. Pemasangan tabung nasogastrik dapat dipertimbangkan
dalam hal ini.6
Hiperventilasi menurunkan ambang kejang, sehingga kecemasan anak-anak dapat diatasi
dengan pemberian premedikasi sedatif. Namun, kita harus mempertimbangkan adanya interaksi
dengan OAE. Obat-obat yang bekerja sebagai induksi pada enzim dapat meningkatkan dosis,
sedangkan fenobarbital dan benzodiazepin dapat meningkatkan efek obat penenang.6
12

b. Manajemen intraoperatif
Induksi Anestesi
Ketika merencanakan induksi anestesi, harus mempertimbangkan kondisi umum anak,
kondisi medis, dan riwayat keluarga. Meskipun sevoflurane dapat menyebabkan perubahan
epileptiform EEG, induksi inhalasi dengan sevofluran dan nitrous oxide dalam oksigen masih
merupakan teknik yang tepat pada anak epilepsi. Anak-anak dengan tindakan intravena dapat
dipilih induksi dengan propofol (3-4 mg kg -1) atau thiopental (5-8 mg kg -1). Propofol dalam
dosis kecil juga menyebabkan perubahan epileptogenik di EEG, tetapi dalam dosis anestesi dapat
menekan aktivitas EEG.6
c. Blok neuromuskular dan Kontrol Ventilasi

Induksi enzim yang disebabkan oleh OAE dapat menyebabkan resistensi terhadap nondepolarizing neuromuscular blockers (NMBs), peningkatan dosis serta frekuensi. Penggunaan
stimulator saraf perifer untuk memantau efek NMBs sangat dianjurkan. Jika induksi diperlukan
untuk mengamankan jalan napas setelah kejang berkepanjangan atau status epileptikus, maka
succinylcholine harus dihindari karena dapat menyebabkan peningkatan mendadak pada serum
kalium. Dalam situasi ini, rocuronium dapat digunakan. Laudanosine, metabolit dari atracurium,
juga memiliki potensi. Dosis besar epileptogenik dan infus atracurium berkepanjangan harus
dihindari. Hiperventilasi dapat mengurangi ambang kejang dan normocapnoea harus menjadi
tujuan selama mengontrol ventilasi.6
2.8 Manajemen Cairan Intraoperatif 7

Ini harus sesuai prosedur pembedahan yang dilakukan. Pemberian Glukosa dan Ringer
Laktat harus dihindari pada pasien dengan penyakit ginjal, karena dapat memperburuk asidosis
metabolik yang sudah ada. Sebaliknya, larutan garam normal harus digunakan pada pasien,
dengan pengawasan status asam-basa yang ketat. Namun, hipoglikemia adalah risiko pada bayi
kecil, prematur, sehingga kelompok ini perlu pemantauan glukosa darah dan terapi pemberian
glukosa.7
Kejang dalam Anestesi
13

Kejang dapat terjadi pada anestesi umum, tetapi sangat sulit untuk mendiagnosa,
terutama jika NMB telah digunakan. Kejang karena anestesi umum dapat berupa non-kejang atau
kejang yang tersembunyi. Diagnosis didasarkan pada tanda-tanda halus dan non-spesifik,
termasuk peningkatan tiba-tiba end-tidal karbon dioksida, takikardia, hipertensi, peningkatan
tonus otot (jika blok neuromuscular tidak digunakan), dilatasi pupil, dan peningkatan konsumsi
oksigen. Jika kejang terjadi selama bedah saraf, edema otak dengan ekstrusi isi intrakranial dapat
terjadi. Diagnosis definitif membutuhkan pemeriksaan EEG. Jika dicurigai, kejang harus segera
dikelola oleh anestesi yang dalam dengan agen antikonvulsan seperti propofol, thiopental,
benzodiazepin, pemberian oksigen 100%, dan koreksi faktor-faktor pencetus reversibel termasuk
hipoksia, hiperkarbia, hypocapnoea, hiponatremia, dan hipoglikemia.7
2.9. Manajemen Pasca Operasi 6,7
Sangat penting untuk segera memulai kembali pengobatan antiepilepsi pada periode
pasca operasi. Kadar plasma dari OAE harus diperiksa jika ada keterlambatan dalam memulai
kembali pengobatan atau jika kejang perioperatif terjadi. Kejang lebih sering terjadi pada periode
pasca operasi. Hal ini mungkin dipicu oleh penggunaan agen anestesi proconvulsant, hipoksia,
hypercapnoea, gangguan elektrolit (hiponatremia, hipokalsemia dan hipomagnesemia),
hipoglikemia, uremia, tingkat subterapeutik dari OAE, atau toksisitas anestesi lokal. Pengobatan
harus cepat dengan oksigen 100%, penghentian kejang dengan antikonvulsan yang cepat dan
short-acting seperti thiopental atau benzodiazepin. Koreksi faktor-faktor pencetus dan
pemeriksaan kadar plasma dari OAE juga diperlukan.6
Kejang pseudo-epilepsi pascaoperasi
Gemetar dan menggigil pascaoperasi umum sering dikaitkan dengan agen anestesi
volatile. Mereka mungkin keliru menganggap sebagai serangan epilepsi tetapi ini jarang terjadi
setelah operasi dan biasanya disebabkan oleh peristiwa metabolik atau neurologis. Beberapa obat
anestesi dapat menyebabkan gerakan distonik atau kegiatan epileptiform, namun kejang akibat
obat jarang terjadi. Kejang pasca operasi lebih umum terjadi setelah bedah saraf.7
Kejang Pseudo-epilepsi tampaknya relatif umum terjadi pada periode pasca operasi. Ini
adalah kejang yang menyerupai kejang tonik-klonic tetapi tidak berhubungan dengan muatan
listrik abnormal di otak. Pseudo-kejang cenderung berhubungan dengan riwayat kejang dan atau
14

penyakit psikosomatik. Mereka memiliki karakteristik yaitu lebih lama dari 90 s dan berkaitan
dengan gerakan anggota badan asynchronous, gerakan kepala side-to-side, mata (termasuk
resistensi terhadap membuka mata) dan pemeliharaan refleks papiler ditutup. Tidak ada sianosis
tapi mungkin ada inkontinensia atau lidah tergigit. Konsentrasi prolaktin plasma cenderung naik
setelah serangan epilepsi dan normal setelah pseudo-kejang. Namun, diagnosis pseudo-kejang
tetap dipertimbangkan.5 6
2.10.

Status Epileptikus 5,6


Status epileptikus didefinisikan sebagai aktivitas kejang terus menerus dengan durasi

minimal 30 menit atau aktivitas kejang intermiten durasi minimal 30 menit selama kesadaran
tidak kembali. Status epileptikus dapat diklasifikasikan sebagai kejang umum atau parsial dan
kejang baik atau non -kejang.
Status epileptikus didiagnosa secara klinis dan ditandai dengan kejang tonik-klonik,
hilangnya kesadaran, inkontinensia urin dan lidah menggigit. Diagnosis banding meliputi
tersentak mioklonik, kerasnya septik, dystonia dan pseudostatus epileptikus. Status epileptikus
merupakan keadaan darurat medis yang harus ditangani dengan cepat dan agresif mungkin untuk
mencegah kerusakan saraf.6
Manajemen terdiri dari perhatian ABC dan intervensi farmakologis. Manajemen jalan
nafas harus dilakukan untuk mencegah aspirasi isi lambung. Obat neuromuscular blocking
(NMB) diperlukan untuk mengamankan jalan nafas. Jika dibutuhkan, pemantauan EEG secara
terus menerus digunakan untuk pemantauan aktivitas kejang.

15

Fg. 1 Penatalaksanaan darurat serangan Status Epileptikus6..


Manajemen lainnya mencakup pemantauan elektrokardiografi, tekanan arteri dan
oksimetri nadi, serta resusitasi cairan untuk menjaga tekanan arteri pada tingkat normal dan
memastikan tekanan perfusi serebral yang memadai. Darah harus diambil untuk hitung darah
lengkap, urea dan elektrolit, glukosa, gas arteri, fungsi hati, toksikologi dan konsentrasi obat jika
pasien sedang dalam terapi anti-epilepsi. Hipoglikemia harus ditangani dengan 50% 50 ml
glukosa. Komplikasi status epileptikus atau obat yang digunakan untuk mengobati itu tercantum
dalam Tabel 3. Kematian adalah ~ 25% .7,8
Table 3 Komplikasi Status Epileptikus.5
Central nervous system
Cerebral hypoxia
Cerebral oedema
Cerebral haemorrhage
Cerebral venous thrombosis
16

Cardiovascular system
Myocardial infarction
Hyper/hypotension
Arrhythmias
Cardiac arrest
Cardiogenic shock
Respiratory system
Apnoea
Respiratory failure
Pneumonia
Pulmonary oedema
Metabolic
Hyponatraemia
Hypoglycaemia
Hyperkalaemia
Metabolic acidosis
Acute tubular necrosis
Acute hepatic necrosis
Acute pancreatitis
Miscellaneous
Disseminated
intravascular
coagulopathy
Rhabdomyolysis
Fractures
2.11.Toksisitas Anestesi pada Kejang (8)
Toksisitas anestesi lokal dapat terjadi pada kejang tonik-klonik, dan jika hal ini diduga
akan terjadi maka harus dikelola sebagai berikut : [ 8 ]
i. Hentikan suntikan anestesi lokal dan segera panggil bantuan.
ii. ABC : menjaga jalan nafas, dan jika perlu amankan dengan tabung trakea. Berikan oksigen
100% dan pastikan cukup ventilasi. Konfirmasi atau buat jalur intravena.
iii. Kontrol kejang : beri benzodiazepine, thiopental, atau propofol dalam dosis kecil.
iv. Manajemen serangan jantung terkait dengan suntikan anestesi local.
17

v. Mulai resusitasi jantung paru. Perlu diingat bahwa resusitasi yang lama mungkin diperlukan
namun dapat menyebabkan aritmia jantung.
vi . Pertimbangkan pengobatan dengan emulsi lipid :
1. Berikan injeksi i.v. bolus Intralipid 20% 1,5 ml kg

-1

min

dengan infus 0,25 ml kg

-1

min -1.
2. Ulangi injeksi bolus dua kali pada interval 5 menit jika sirkulasi yang cukup belum
didapatkan.
3. Jika sirkulasi yang cukup masih belum didapatkan setelah 5 menit, tingkatkan menjadi
0,5 ml kg -1 min -1.
4. Lanjutkan infus sampai sirkulasi stabil dan kondisi mulai pulih.
vii. Pertimbangkan penggunaan cardiopulmonary bypass jika tersedia.

First line

Second line

Third line

Karbamazepine

Zonisamid

Tiagabin

Dosis : 400 mg 2 kali sehari


Fenitoin

Dosis : 100 mg 2 kali sehari

Dosis : 4 mg 1-2 kali sehari

Pregabalin

Vigabatrin

Dosis : 50-100 mg 3x sehari

Dosis : 50 mg/kg/hari

Fenobarbital

Levetiracetam

Felbamat

Dosis : 1-3 mg/kg/hari

Dosis : 500-1000 mg 2x sehari

Dosis : 1200 mg 3-4 x sehari

Okskarbazepin

Clonazepam

Dosis : 300 mg 2 kali sehari

Dosis : 20-70 mg/kg/hari

Pirimidon
Dosis : 100-125 mg 3x sehari

Lamotrigin

Clobazam

Dosis : 5 mg/kg/hari

18

Dosis : 25-50 mg/hari

Dosis : 20-30 mg sehari

Topiramat
Dosis : 25-50 mg 2 kali sehari
Gabapentin
Dosis : 300 mg 3 kali sehari
Asam valproat
Dosis : 10-15 mg/kg/hari
Etosuksimid
Dosis : 500 mg/hari
Tabel : Daftar Obat Anti Epilepsi beserta dosis 9

BAB III
KESIMPULAN
Epilepsi adalah suatu penyakit yang ditandai dengan kecenderungan untuk mengalami
kejang berulang. 2% dari penduduk dewasa pernah mengalami kejang. Sepertiga dari kelompok
tersebut mengalami epilepsi. Adapun jenis-jenis Epilepsi antara lain kejang parsial simplek,
kejang Jacksonian, Kejang parsial (psikomotor) kompleks , Kejang konvulsif (kejang tonikklonik, grand mal).
Pada epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga terdapat
kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak
yang abnormal. Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau akibat
dari adanya kelainan pada jaringan otak.Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir
atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa
perkembangan anak.

19

Obat anestesi dapat memodulasi aktivitas kejang dan berinteraksi dengan obat
antiepilepsi. Epilepsi berhubungan dengan anestesi untuk beberapa alasan, misalnya pengobatan
dan interaksi obat, kejang pasca operasi, dan manajemen perawatan intensif status epileptikus.
Agen anestesi dengan potensi epileptogenik (misalnya ketamin dan alfentanil), dan
dengan metabolit epileptogenik (misalnya meperidine), harus dihindari. Banyak agen anestesi
yang dilaporkan menyebabkan kejang, sekaligus memiliki efek antikonvulsan. Pemberian adalah
tergantung dosis, dosis rendah biasanya proconvulsant, sedangkan dosis yang lebih tinggi adalah
antikonvulsan.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Woda RP, Reeves A. Drugs for psychiatric disorders and epilepsy. In: Bovill JG, Howie
MB, eds. Clinical Pharmacology for Anaesthetists. London: WB Saunders, 1999; 11014
2. British National FormularyBNF 48. London: British Medical Association and the
Royal Pharmaceutical Society of Great Britain, 2004
3. Cheng MA, Tempelhoff R. Anaesthesia and epilepsy. Curr Opin Anaesthesiol 1999; 12:
5238
4. Reuber M, Enright SM, Goulding PJ. Postoperative pseudostatus: not everything that
shakes is epilepsy. Anaesthesia 2000; 55: 748
5. Ng L, Chambers N. Postoperative pseudoepileptic seizures in a known epileptic:
complications in recovery. Br J Anaesth 2003; 91: 598600
6. Chapman MG, Smith M, Hirsch NP. Status epilepticus. Anaesthesia 2001; 56: 64859
7. Treiman DM. Convulsive status epilepticus. Curr Treat Options Neurol 1999; 1: 35969
8. Multiple Choice Questions Contin Educ Anaesth Crit Care Pain (August 2005) 5 (4):
140-141 doi:10.1093/bjaceaccp/mki037
9. Gidal, B.E., and Garnett, W.R., 2005, Epilepsy, in Pharmacotherapy: A Phathophisiology
Approach, Dipiro, J.T., et al (eds) McGraw Hill, New York, 1023-1048.

21

Anda mungkin juga menyukai