Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN JOURNAL READING

Antifungal therapy in the treatment of chronic rhinosinusitis: A metaanalysis


I.

Pencarian Bukti Ilmiah


Bukti ilmiah dicari melalui situs ncbi.nlm.nih.gov/m.pubmed dengan kata
kunci sinusitis therapy
II.

Pemilihan Artikel
Dipilih artikel dengan judul Antifungal therapy in the treatment of chronic

rhinosinusitis: A meta-analysis dari Am J Rhinol Allergy 26, 141147, 2012; doi:


10.2500/ajra.2012.26.3710

diunduh

dari

halaman

http://ptjournal.apta.org/content/90/5/663 pada tanggal 30 Mei 2014.


III.

Resume Jurnal

III.1.

Latar Belakang dan Tujuan.

Rhinosinusitis kronik adalah suatu kondisi inflamasi yang terjadi pada hidung
dan sinus yang memiliki manifestasi klinis berupa hidung tersumbat, obstruksi,
kongesti, atau keluarnya discharge selama minimal 12 minggu dan disertai dengan
adanya gambaran abnormalitas endoskopi (polip, sekret mukopurulen, dan atau
pembengkakan mukosa) dan atau gambaran CT-Scan yang abnormal. Saat ini
telah banyak ditemukan gangguan-gangguan pada sinus yang disebabkan oleh
jamur dan menjadi penyebab terbanyak pada CRS (Chronic Rhinosinusitis), tetapi
kolonisasi jamur juga dapat ditemukan pada pasien normal. Sejak saat itu, timbul
kontroversi dan perbedaan hasil penelitian yang kontras mengenai penggunaan
anti jamur topikal dan sistemik dalam manajemen terapi CRS. Mengingat jamur
berpotensi cukup besar sebagai mediator penyebab CRS dan besarnya jumlah
populasi Eropa dan USA yang menderita CRS (>60 juta penduduk) maka sangat
penting untuk mengetahui dan melaporkan manfaat dan efek samping dalam
1

penggunaan anti jamur sebagai terapi CRS.

III.2. Metode.
III.3.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah randomized

placebo controlled trials (RCTs) dimana setiap sampel penelitan yang digunakan
telah dianggap memenuhi kriteria inklusi yang dimaksud. Peserta penelitian ini
adalah dewasa dan anak-anak yang didiagnosis menderita CRS (definisi CRS
diambil menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps
Criteria atau oleh American Academy of Otolaringology Head and Neck Surgery)
dan pasien yang puas dengan kriteria Bent-Kuhn. Diagnosis ditemukannya fungus
berdasarkan dari hasil pemeriksaan histologi dan atau kultur, sementara di luar
dari pemeriksaan tersebut tidak dimasukkan ke dalam kriteria inklusi.
III.4.
Intervensi yang digunakan dalam penelitian kali ini meliputi
penggunaan anti jamur topikal (douching, nebulisasi, atomisasi, inhalasi, irigasi,
spray, drops atau serbuk) dan sistemik (diberikan secara oral atau IV).
III.5.

Outcome pengukuran ini meliputi :

1. Outcome primer : bertambahnya gejala yang timbul.


2. Outcome sekunder : Efek berbahaya yang timbul dari terapi dan outcome
pengganti (skor endoskopi dan skor radiografi).
III.6.

Pengumpulan data dan analisis data menggunakan sistem

pencarian elektronik untuk RCTs dengan tanpa mempertimbangkan


bahasa, tahun publikasi, atau pembatasan status publikasi dari berbagai
sumber seperti the Cochrane Ear, nose, abd throat Disorders Group Trial
Register, dan sumber lainnya. Kemudian seluruh data tersebut di
kumpulkan kemudian peneliti artikel penelitian tersebut dihubungi untuk
dilakukan konfirmasi terkait review, metode penelitian yang digunakan,
dan kriteria inklusi yang digunakan oleh peneliti tersebut. Data-data yang
digunakan dan dikonfirmasi meliputi : jumlah sampel, usia peserta
penelitian, karakteristik penelitian, metode pengacakan yang digunakan,
metode blinding, kriteria ekslusi, kriteria diagnosis, durasi terapi, outcome
yang didapat, durasi kesakitan, keparahan penyakit, efek samping/efek
yang tidak diharapkan, dan pengobatan lain yang digunakan.
III.7.
III.8. .
III.9. Hasil.

III.10.

Total seluruh artikel hasil penelitian yang diterima dalam penelitian

kali ini berjumlah 374 referensi (324 berasal dari tahun 2009 dan 50 pada Juni
2013) ; 269 referensi diantaranya tidak digunakan pada skrining pertama dan
menyisakan 105 artikel untuk digunakan lebih lanjut pada penelitian kali ini.
Terdapat 6 proses seleksi untuk mendapatkan referensi yang sesuai dengan kriteria
penelitian kali ini. Sehingga didapatkan 6 referensi yang digunakan dalam
penelitian kali ini

(5 referensi menggunakan anti jamur topikal dan 1

referensi menggunakan anti jamur sistemik).


III.11.

Penilaian risiko terjadinya bias menggunakan kriteria dari

Cochrane Collaboration dan Jadad Composite Scale, terutama bagi


penelitian yang memiliki sedikit informasi terkait randomisasi dan
karakteristik lainnya, maka konfirmasi dari pemilik sangat dibutuhkan.
Penelitian dengan poin 2 tergolong studi yang memiliki nilai kualitas
rendah, sedangkan penelitian dengan poin minimal 3 dikategorikan
sebagai studi dengan kualitas yang baik (4 penelitian memiliki total nilai 5,
1 penelitian memiliki total nilai 4, dan 1 penelitian memiliki total nilai 3).
Jumlah referensi yang digunakan adalah 6 buah dan semuanya termasuk
dalam penelitian double-blinded.
III.12.
III.13. Kesimpulan
1. Anti jamur topikal vs placebo
III.14.

Kesimpulan dari penelitian ini menggunakan 5 hasil penelitian

yang telah dipilih sebelumnya.


a. Symptoms Score. Sampel yang digunakan berjumlah 101 pasien dengan
pemberian amphotericin grup B topikal dan 105 pasien dengan plasebo.
Hasilnya menunjukan bahwa SMD= 0.35 {0.07,062}; p= 0.01, dimana
hasilnya menunjukkan representatif homogenitas diterima dengan statistik
I sebesar 45% (X =3.64, df = 2, p= 0.16).
b. Disease-Specific Quality-of-Life-Score. Sampel yang digunakan berjumlah
143 pasien dengan terapi anti jamur dan 151 pasien dengan plasebo.
Hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan manfaat terapi secara spesifik
antara penggunaan plasebo vs terapi anti jamur (SMD= 0.18 {-0.05,0.42},

p = 0.12 ), statistik I 10% dengan homogenitas baik (X=4.46; df =4 ;p=


0.35).
c. Nasal Endoscopy Score. Sampel yang digunakan 101 pasien dengan terapi
anti jamur dan 103 pasien dengan plasebo. Hasilnya menunjukkan tidak
ada perbedaan manfaat secara signifikan antara plasebo vs anti jamur
dengan (SMD= -0.00 {-0.26,0,26}, p= 0.98), dengan nilai statistik I 62%
dengan substansi heterogenitas (X= 7.93; df= 3; p= 0.05).
d. Radiographic score. Sampel yang digunakan totalnya adalah 53 pasien
dengan anti jamur dan 62 pasien dengan plasebo. Hasilnya menunjukkan
tidak ada perbedaan manfaat yang signfikan antara terapi anti jamur
dengan plasebo (SMD= 0.02 [-0.36, 0.41]; p= 0.9, dengan nilai statistik
88% dan substansi heterogenitas (X=17.03; df =2, p=0.0002).
2. Anti jamur sistemik vs plasebo.
III.15. Total referensi yang digunakan adalah berjumlah 1 buah referensi dengan
alokasi total pasien 23 pasien untuk pasien dengan terapi antijamur dan 26
pasien dengan terapi plasebo.
a. Symptoms Score. Hasilnya menunjukan bahwa tidak ada perbedaan
manfaat yang signifikan antara pemakaian terbinafine dengan plasebo
(SMD= -0.07 [-0.64, 0.51}; p= 0.82)
b. Radiographic. Hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan
antara terbinafine vs plasebo (SMD= -0.14[-19.22, 18.94]; p=0.99)
c. Adverse effect. Tidak ada perbedaan manfaat signifikan antara terbinafine
vs plasebo dengan [risk ratio, 3.36 ; 95% CI, 0.86-13.0; p=0.08)
III.16. Diskusi
III.17. Penggunaan terapi anti jamur vs plasebo pada CRS mengundang
kontroversi. Di satu sisi koloni jamur pada mukosa sinus nasal menyebabkan
aktivasi dan sensitasi sistem imunitas pasien, sehingga dengan penggunaan
terapi antijamur dapat berpotensi mengurangi aktivitas inflamasi pada rongga
hidung. Tetapi, tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan manfaat dari
pemakaian anti jamur topikal. Manfaat pemakaian anti jamur topikal hanya
terbukti pada 1 dari 5 penelitian yang dilakukan dan itu hanya pada gambaran
radiografi dan endoskopi tetapi tidak pada gejala CRS itu sendiri.
III.18. Sementara itu, pada pemakaian antijamur sistemik tidak ditemukan
manfaat yang signifikan baik untuk skor gejala maupun radiografi,

dikarenakan hanya 1 referensi jurnal yang termasuk dalam kriteria inklusi


sehingga heterogenitas tidak tercapai.
III.19.
III.20. Kesimpulan
III.21.
Berdasarkan meta analisis yang telah digunakan, penulis tidak
menganjurkan pemberian jenis anti jamur baik topikal maupun sistemik pada
manajemen terapi rutin yang ddigunakan untuk CRS dan hanya digunakan
untuk kasus-kasus di instansi dan situasi yang spesifik dan jelas menunjukkan
manfaat.
III.22.

III.23. Level of Evidence


III.24. Level 1A karena merupakan meta-analysis dengan randomized control
trial.
III.25. Level
III.27. Level
1A

III.26. Criteria
III.28. Systematic review or meta-analysis of high-quality
randomized controlled trials
III.29. Appropriately designed randomized controlled
trial with adequate power to answer the question

III.30. Level 1b

passed by the investigators


III.31. Nonrandomized clinical trial or cohort study with

III.32. Level 2

indisputable results
III.33. Randomized controlled trial or systematic overview

that does not meet Level 1 criteria


III.34. Level 3
III.35. Nonrandomized clinical trial or cohort study
III.36. Level 4
III.37. Other
III.38.
III.39. Level of Recommendation
III.40. Level A karena Level of evidence pada level 1
III.41.
III.43.
III.45.
III.47.
III.49.

Grade
Grade A
Grade B
Grade C
Grade D

III.42.
III.44.
III.46.
III.48.
III.50.

Criteria
The best evidence was at Level 1
The best evidence was at Level 2
The best evidence was at Level 3
The best evidence was at Level 4 or

consensus
III.51.

III.52.

III.53.

Critical Appraisal

III.54. 1. VALIDITAS
III.55. A. Apakah distribusi pasien III.56. III.57. Pencarian referensi yang
terhadap

terapi

perlakuan

ya

dilakukan secara random ?

digunakan dilakukan secara


random

dengan

sistem

elektronik

tanpa

mempertimbangkan
yang

bahasa

digunakan,

tahun

publikasi, atau pengurangan


waktu

publikasi,

sehingga

didapatkan 374 referensi (324


dari Desember 2009, dan 50
III.58. B. Apakah antara subyek III.59.
penelitian dan peneliti blind

Ya

pencarian pada Juni 2010).


III.60. Seluruh referensi yang
digunakan pada penelitian kali ini

terhadap terapi / perlakukan

(6 referensi jurnal) menggunakan

yang akan diberikan ?

metode

double blinded dan

penelitian

kali

ini

juga

menggunakan double-blinded.
III.61. C.

Apakah semua subyek III.62. III.63. Dari total 389 referensi

yang ikut serta dalam penelitian

Tida

diperhitungkan dalam hasil /

kesimpulan

pengamatannya

(Apakah

yang didapatkan, hanya 6


referensi

yang

memenuhi

kriteria inklusi dan dianalisis.

cukup

lengkap?)
III.64. D. Apakah pengamatan yang III.65. III.66. Penelitian ini hanya mengambil
dilakukan cukup panjang ?

Cant
tell

dan menganalisis jurnal referensi


penelitian yang

telah dilakukan

sebelumnya.

III.69.
III.67. E. Apakah subyek dianalisis pada III.68.
kelompok dimana subyek tersebut
dikelompokkan dalam randomisasi ?

Cant
tell

III.70.
III.72. Seberapa besar
efek terapi dan
seberapa tepat
estimasi efek terapi?
III.73.

III.71. Importance
III.74. Berdasarkan
kesimpulan

yang

telah

disampaikan, didapatkan bahwa :


III.75. Tidak ada perbedaan manfaat yang signifikan
pada penggunaan terapi anti jamur baik berupa terapi
topikal maupun sistemik jika dibandingkan dengan
plasebo.
III.76. 1.Anti jamur topikal vs Plasebo
a. Symptoms Score SMD= 0.35 {0.07,062}; p= 0.01,
dimana

hasilnya

menunjukkan

representatif

homogenitas diterima dengan statistik I sebesar 45%


(X =3.64, df = 2, p= 0.16).
III.77. b.Disease-Specific Quality-of-Life-Score tidak
ada perbedaan

manfaat terapi secara spesifik

(SMD= 0.18 {-0.05,0.42}, p = 0.12 ), statistik I


10% dengan homogenitas baik (X=4.46; df =4
;p= 0.35).
III.78. c.Nasal Endoscopy Score, tidak ada perbedaan
manfaat secara signifikan antara plasebo vs anti
jamur dengan (SMD= -0.00 {-0.26,0,26}, p=
0.98), dengan nilai statistik I 62% dengan
substansi heterogenitas (X= 7.93; df= 3; p= 0.05).
III.79. d.Radiographic score, Hasilnya menunjukkan
tidak ada perbedaan manfaat yang signfikan antara
terapi anti jamur dengan plasebo (SMD= 0.02 [0.36, 0.41]; p= 0.9, dengan nilai statistik 88% dan

substansi

heterogenitas

(X=17.03;

df

=2,

p=0.0002).
III.80. 2. Anti jamur sistemik vs plasebo.
III.81. a. Symptoms Score. Hasilnya menunjukan
bahwa

tidak

ada

perbedaan

manfaat

yang

signifikan antara pemakaian terbinafine dengan


plasebo (SMD= -0.07 {-0.64, 0.51}; p= 0.82)
III.82. b.Radiographic. Hasilnya menunjukkan tidak
ada perbedaan signifikan antara terbinafine vs
plasebo (SMD= -0.14[-19.22, 18.94]; p=0.99)
III.83. c.Adverse effect. Tidak ada perbedaan manfaat
signifikan antara terbinafine vs plasebo dengan
[risk ratio, 3.36 ; 95% CI, 0.86-13.0; p=0.08
III.84.
III.86. Apakah

pasien

kita

III.85. Applicable
III.87. Tidak III.88. Kesimpulan hasil studi

terlalu

berbeda

dengan

ini menunjukkan bahwa

pasien

dalam

studi

pemakaian anti jamur pada

sehingga hasil studi tidak

kasus rhinosinusitis kronis

dapat diterapkan?

baik

topikal

maupun

sistemik tidak memberikan


manfaat secara signifikan.
Hal ini dapat kita terapkan
pada pasien-pasien yang
juga

menderita

rhinosinusitis
dimana

sebaiknya

kronis,
tidak

diberikan obat-obat anti


jamur baik topikal maupun
sistemik dalam manajemen
III.89. Apakah mungkin kita
lakukan perlakuan (terapi)

III.90. Ya

terapi sehari-hari.
III.91. Keputusan untuk tidak
memberikan

terapi

10

tersebut

dalam

konteks

kita?

antijamur

baik

maupun

topikal

sistemik

pasien-pasien

pada
dengan

rhonosinusitis kronik dapat


diterapkan

di

keputusan
III.92. Apa
kerugian

manfaat
yang

dan III.93.

dalam

manajemen

terapi sehari-hari.
III.94. Pemberian terapi anti

mungkin

jamur baik lokal maupun

dapat diperoleh pasien kita,

sistemik tidak memberikan

bila terapi ini diterapkan?

efek terhadap pengurangan


gejala rhinosinusitis secara
signifikan. Sehingga jika
kita

tetap

terapi

memberikan

tersebut,

bisa

menjadi pengobatan yang


tidak

rasional

(useless).

pada

dasarnya,

Karena
kolonisasi

jamur

pada

nasal juga ditemukan pada


orang

normal

menderita
sehingga
maka

(tidak

rhinosinusitis),
jika

tidak

diberikan
menutup

kemungkinan justru akan


menimbulkan
effect
tersebut.
III.95.
III.96.

dari

adverse
pengobatan

Anda mungkin juga menyukai