Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa
dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular,
sistem saraf, dan sistem saluran cerna.5 Awalnya, timbul hipertiroidisme
yang merupakan kumpulan gejala akibat peningkatan kadar hormon tiroid
yang beredar dengan atau tanpa kelainan fungsi kelenjar tiroid. Ketika
jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan gejala yang lebih
berat, yaitu tirotoksikosis.1 Krisis tiroid merupakan keadaan dimana
terjadi dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis tersebut.6 Tipikalnya
terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terobati atau tidak
tuntas terobati yang dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau
trauma.1
B. Etiologi
Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter
multinodular toksik, nodul toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas
deQuevain, karsinoma tiroid folikular metastatik, dan tumor penghasil
TSH. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis tiroid adalah
penyakit Graves (goiter difus toksik).7 Meskipun tidak biasa terjadi, krisis
tiroid juga dapat merupakan komplikasi dari operasi tiroid. Kondisi ini
diakibatkan oleh manipulasi kelenjar tiroid selama operasi pada pasien
hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah
operasi. Operasi umumnya hanya direkomendasikan ketika pasien
mengalami penyakit Graves dan strategi terapi lain telah gagal atau ketika
dicurigai adanya kanker tiroid. Krisis tiroid berpotensi pada kasus-kasus
seperti ini dapat menyebabkan kematian.8

Krisis tiroid juga dikaitkan dengan hipokalsemia berat. Seorang


kasus wanita berusia 30 tahun dengan krisis tiroid dan gangguan fungsi
ginjal menunjukkan adanya hipokalsemia. Hipokalsemia pada kasus
tersebut telah ada saat kreatinin serumnya masih normal. Kadar serum
normal fragmen ujung asam amino hormon paratiroid dalam keadaan
hipokalsemia pada kasus tersebut menunjukkan adanya gangguan fungsi
paratiroid. Karena kadar serum magnesiumnya normal dan tidak memiliki
riwayat operasi tiroid ataupun terapi radio-iodium, hipoparatiroidisme
yang terjadi dianggap idiopatik. Kasus ini adalah kasus ketujuh yang
disebutkan di literatur

tentang

penyakit

Grave

yang

disertai

hipoparatiroidisme idiopatik.9
Krisis tiroid dilaporkan pula terjadi pada pasien nefritis interstisial.
Kasus seorang pria berusia 54 tahun yang telah diterapi dengan tiamazol
(5 mg/hari) menunjukkan kadar hormon tiroid yang meningkat tajam
setelah dilakukan eksodontia. Meskipun dosis tiamazol yang diresepkan
dinaikkan setelah eksodontia pada hari keempat, pria ini mengalami krisis
tiroid pada hari ke-52 pasca eksodontia. Temuan laboratoris juga
menunjukkan disfungsi ginjal (kreatinin 1,8 mg/dL pada hari ke 37 pasca
eksodontia). Kadar hormon tiroid kembali dalam batas normal setelah
tiroidektomi subtotal. Namun, kadar serum kreatinin masih tetap tinggi.
Pria ini kemudian didiagnosis dengan nefritis interstisial berdasarkan hasil
biopsi ginjal dan diterapi dengan prednisolon 30 mg/hari. Kasus ini
mewakilit kejadian krisis tiroid yang terjadi meskipun tiamazol
ditingkatkan dosisnya setelah eksodontia. Tampak bahwa nefritis
interstisial sebagaimana pula eksodontia merupakan faktor yang dapat
meningkatkan fungsi tiroid. Setelah buruknya respon terhadap obat antitiroid, penting untuk mencegah krisis tiroid dengan menentukan faktorfaktor ini dan pengobatan yang sesuai.10
C. Patofisiologi
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing

hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk


menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah
yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar
ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi
terutama

oleh

hati

dan

ginjal

menjadi

bentuk

aktifnya,

yaitu

triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang


bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat
pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak
terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini
mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah
yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.1
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya
tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang
diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase,
simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang
merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar
tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH
dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon
tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas
imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon
tiroid

dan

TBG

yang

diperantarai

oleh

3,55-cyclic

adenosine

monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga merangsang


uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.3
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam
merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang
melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari
tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid
yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid
(dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon
tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon
ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan

kematian.2 Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan


reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan
reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun
norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.7
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami,
teori berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis
tiroid dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada
pasien dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon
tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah
hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid
dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya,
peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor betaadrenergik sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis krisis
tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan
obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga
menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi
urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa betablockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.2
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai
akibat patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat
yang dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan
mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon
dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama
palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi
radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk
perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip
katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik
langsung dari hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan
katekolamin.2
D. Gambaran klinis

Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau


gejala-gejala seperti iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan
kurang dengan berat badan sangat turun, keringat berlebih dan intoleransi
suhu, serta prestasi sekolah yang menurun akibat penurunan rentang
perhatian. Riwayat penyakit sekarang yang umum dikeluhkan oleh pasien
adalah demam, berkeringat banyak, penurunan nafsu makan dan
kehilangan berat badan. Keluhan saluran cerna yang sering diutarakan oleh
pasien adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, dan jaundice. Sedangkan
keluhan neurologik mencakup gejala-gejala ansietas (paling banyak pada
remaja tua), perubahan perilaku, kejang dan koma.2
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur
konsisten melebihi 38,5oC. Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia
hingga melebihi 41oC dan keringat berlebih. Tanda-tanda kardiovaskular
yang ditemukan antara lain hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar
atau hipotensi pada fase berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi
tidak bersesuaian dengan demam. Tanda-tanda gagal jantung antara lain
aritmia (paling banyak supraventrikular, seperti fibrilasi atrium, tetapi
takikardi

ventrikular

juga

dapat

terjadi).

Sedangkan

tanda-tanda

neurologik mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan tanda


piramidal transien, tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis
mencakup tanda orbital dan goiter.2
Selain kasus tipikal seperti digambarkan di atas, ada satu laporan
kasus seorang pasien dengan gambaran klinis yang atipik (normotermi dan
normotensif) yang disertai oleh sindroma disfungsi organ yang multipel,
seperti asidosis laktat dan disfungsi hati, dimana keduanya merupakan
komplikasi yang sangat jarang terjadi. Kasus ini dimana keduanya
merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi. Kasus ini menunjukkan
bahwa kedua sistem organ ini terlibat dalam krisis tiroid dan penting untuk
mengenali gambaran atipik ini pada kasus-kasus krisis tiroid yang
dihadapi.12

E. Gambaran laboratoris
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada
gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid,
terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan
laboratorium atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya
akan ditemukan konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat
hanya jika pasien belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan
mungkin tidak akan didapat dengan cepat dan biasanya tidak membantu
untuk penanganan segera. Temuan biasanya mencakup peningkatan kadar
T3, T4 dan bentuk bebasnya, peningkatan uptake resin T3, penurunan
kadar TSH, dan peningkatan uptake iodium 24 jam.2
Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan
tetapi hal ini jarang terjadi. Tes fungsi hati umumnya menunjukkan
kelainan yang tidak spesifik, seperti peningkatan kadar serum untuk
SGOT, SGPT, LDH, kreatinin kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada
analisis gas darah, pengukuran kadar gas darah maupun elektrolit dan
urinalisis dilakukan untuk menilai dan memonitor penanganan jangka
pendek.2
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan krisis tiroid perlu proses dalam beberapa langkah.
Idealnya, terapi yang diberikan harus menghambat sintesis, sekresi, dan
aksi perifer hormon tiroid. Penanganan suportif yang agresif dilakukan
kemudian

untuk

menstabilkan

homeostasis

dan

membalikkan

dekompensasi multi organ. Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk


mengidentifikasi dan mengatasi faktor pencetusnya yang kemudian diikuti
oleh pengobatan definitif untuk mencegah kekambuhan. Krisis tiroid
merupakan krisis fulminan yang memerlukan perawatan intensif dan
pengawasan terus-menerus.4
1. Penatalaksanaan: menghambat sintesis hormon tiroid
Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU) dan methimazole

(MMI) digunakan untuk menghambat sintesis hormon tiroid. Dosis


yang diberikan adalah 200mg/4jam. PTU juga menghambat konversi
T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer dan lebih disukai daripada MMI
yang diebrikan dengan dosis 60mg/6jam pada kasus-kasus krisis tiroid.
Sedangkan MMI merupakan agen farmakoogik yang umum digunakan
pada keadaan hipertiroidisme. Keduanya menghambat inkorporasi
iodium ke TBG dalam waktu satu jam setelah diminum. Riwayat
hepatotoksisitas atau agranulositosis dari terapi tioamida sebelumnya
merupakan kontraindikasi kedua obat tersebut.4 PTU diindikasikan
untun hipertiroidisme yang disebabkab oleh penyakit Graves. Laporan
penelitian yang mendukungnya menunjukkan adanya peningkatan
risiko terjadinya toksisitas hati atas penggunaan PTU dibandingkan
dengan metimazol. Kerusakan hati serius telah ditemukan pada
penggunaan metimazol pada lima kasus (tiga diantaranya meninggal).
PTU sekarang dipertimbangkan sebagai terapi obat lini kedua kecuali
pada pasien yang alergi atau intoleran terhadap metimazol atau untuk
wanita dengan kehamilan trimester pertama. Penggunaan metimazol
selama kehamilan dilaporkan menyebabkan embriopati, termasuk
aplasia kutis, meskipun merupakan kasus yang jarang ditemui.4
Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala dan
tanda kerusakan hati, terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi
dimulai. Untuk suspek kerusakan hati, hentikan bertahap terapi PTU
dan uji kembali hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan
perawatan suportif. PTU tidak boleh digunakan pada pasien anak
kecuali pasien alergi atau intoleran terhadap metimazol dan tidak ada
lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan edukasi pada pasien agar
menghubungi dokter jika terjadi gejala-gejala berikut: kelelahan,
kelemahan, nyeri perut, hilang nafsu makan, gatal, atau menguningnya
mata maupun kulit pasien.4
2. Penatalaksanaan: menghambat sekresi hormon tiroid
Setelah terapi anti-tiroid dimulai, hormon yang telah dilepaskan dapat

dihambat dengan sejumlah besar dosis iodium yang menurunkan


uptake iodium di kelenjar tiroid. Cairan lugol atau cairan jenuh kalium
iodida dengan pemberian 10 tetes/8 jam dapat digunakan untuk tujuan
ini. Terapi iodium harus diberikan setelah sekitar satu jam setelah
pemberian PTU atau MMI. Perlu diketahui bahwa iodium yang
digunakan secara tunggal akan membantu meningkatkan cadangan
hormon tiroid dan dapat semakin meningkatkan status tirotoksik.
Bahan kontras yang teiodinasi untuk keperluan radiografi, yaitu
natrium ipodat, dapat diberikan untuk keperluan iodium dan untuk
menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer. Kalium
iodida dapat menurunkan aliran darah ke kelenjar tiroid dan hanya
digunakan sebelum operasi pada tirotoksikosis.4 Pasien yang intoleran
terhadap iodium dapat diobati dengan litium yang juga mengganggu
pelepasan hormon tiroid. Pasien yang tidak dapat menggunakan PTU
atau MMI juga dapat diobati dengan litium karena penggunaan iodium
tunggal dapat diperdebatkan. Litium menghambat pelepasan hormon
tiroid melalui pemberiannya. Plasmaferesis, pertukaran plasma,
transfusi tukar dengan dialisis peritoneal, dan perfusi plasma charcoal
adalah teknik lain yang digunakan untuk menghilangkan hormon yang
berlebih di sirkulasi darah. Namun, sekarang teknik-teknik ini hanya
digunakan pada pasien yang tidak merespon terhadap penanganan lini
awal. Preparat intravena natrium iodida (diberikan 1 g dengan infus
pelan per 8-12 jam) telah ditarik dari pasaran.4
3. Penatalaksanaan: menghambat aksi perifer hormon tiroid
Propranolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer hormon
tiroid.

Propranolol

menghambat

reseptor

beta-adrenergik

dan

mencegah konversi T4 menjadi T3. Dosis yang diberikan adalah


1mg/menit sampai beberapa mg hingga efek yang diinginkan tercapai
atau 2-4mg/4jam secara intravena atau 60-80mg/4jam secara oral atau
melalui nasogastric tube (NGT). Obat ini menimbulkan perubahan
dramatis pada manifestasi klinis dan efektif dalam mengurangi gejala.

Namun, propranolol menghasilkan respon klinis yang diinginkan pada


krisis tiroid hanya pada dosis yang besar. Pemberian secara intravena
memerlukan pengawasan berkesinambungan terhadap irama jantung
pasien.4
Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi ultra-cepat yang
berhasil digunakan pada krisis tiroid. Agen-agen beta-blocker nonselektif, seperti propranolol maupun esmolol, tidak dapat digunakan
pada pasien dengan gagal jantung kongestif, bronkospasme, atau
riwayat asma. Untuk kasus-kasus ini, dapat digunakan obat-obat
seperti guanetidin atau reserpin. Pengobatan dengan reserpin berhasil
pada kasus- kasus krisis tiroid yang resisten terhadap dosis besar
propranolol. Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat digunakan
pada dalam keadaan kolaps kardiovaskular atau syok.4
4. Penatalaksanaan: efek samping
Efek samping PTU yang pernah dilaporkan adalah perdarahan atau
gusi mudah berdarah, kerusakan hati (anoreksia, pruritus, nyeri perut
kanan atas, peningkatan kadar transaminase hingga tiga kali nilai
normal), infeksi (terjadi akibat agranulositosis), pruritus hingga
dermatitis eksfoliatif, vaskulitis maupun ulkus oral vaskulitik, dan
pioderma gangrenosum. Meskipun termasuk rekomendasi D, beberapa
pendapat ahli masih merekomendasikan bahwa obat ini harus tetap
dipertimbangkan sebagai lini pertama terapi penyakit Graves selama
kehamilan. Risiko kerusakan hati serius, seperti gagal hati dan
kematian, telah dilaporkan pada dewasa dan anak, terutama selama
enam bulan pertama terapi.3
Agranulositosis adalah efek samping yang jarang terjadi pada
penggunaan obat anti- tiroid dan merupakan etiologi atas infeksi yang
didapat

dari

komunitas

dan

mengancam

jiwa

pasien

yang

menggunakan obat-obat ini. Manifestasi klinis yang sering muncul


adalah demam (92%) dan sakit tenggorokan (85%). Diagnosis klinis
awal biasanya adalah faringitis akut (46%), tonsilitis akut (38%),

pneumonia (15%) dan infeksi saluran kencing (8%). Kultur darah


positif

untuk

Staphylococcus

Pseudomonas
aureus,

aeruginosa,

Capnocytophaga

Escherichia
species.

coli,

Kematian

disebabkan oleh infeksi yang tidak terkendali, krisis tiroid dan gagal
organ luas dengan aktifitas anti-pseudomonas harus diberikan pada
pasien dengan agranulositosis yang disebabkan oleh obat anti-tiroid
yang menampilkan manifestasi klinis infeksi yang berat.14
G. Komplikasi
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara
lain

hipoparatiroidisme,

kerusakan

nervus

laringeus

rekurens,

hipotiroidisme pada tiroidektomi subtotal atau terapi RAI, gangguan visual


atai diplopia akibat oftalmopati berat, miksedema pretibial yang
terlokalisir, gagal jantung dengan curah jantung yang tinggi, pengurangan
massa otot dan kelemahan otot proksimal.1 Hipoglikemia dan asidosis
laktat adalah komplikasi krisis tiroid yang jarang terjadi. Sebuah kasus
seorang wanita Jepang berusia 50 tahun yang mengalami henti jantung
satu jam setelah masuk rumah sakit dilakukan pemeriksaan sampel darah
sebelumnya. Hal yang mengejutkan adalah kadar plasma glukosa
mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat meningkat hingga 6,238 mM.
Dengan demikian, jika krisis tiroid yang atipik menunjukkan keadaan
normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat, perlu dipertimbangkan untuk
menegakkan diagnosis krisis tiroid lebih dini karena kondisi ini
memerlukan

penanganan

kegawatdaruratan.

Penting

pula

untuk

menerapkan prinsip-prinsip standar dalam penanganan kasus krisis tiroid


yang atipik.15
H. Prognosis
Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka
kematian keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 1020% tetapi terdapat laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%,

10

tergantung faktor pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya krisis


tiroid. Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat,
prognosis biasanya akan baik.1

I. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis
yang ketat setelah diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien
tirotoksik hanya setelah dilakukan blokade hormon tiroid dan/atau betaadrenergik. Krisis tiroid setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme terjadi
akibat:
1) penghentian obat anti-tiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum

pemberian RAI dan ditahan hingga 5-7 hari setelahnya)


2) pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dari folikel yang rusak; dan 3)

efek dari RAI itu sendiri. Karena kadar hormon tiroid seringkali lebih
tinggi sebelum terapi RAI daripada setelahnya, banyak para ahli
endokrinologi meyakini bahwa penghentian obat anti-tiroid merupakan
penyebab utama krisis tiroid. Satu pilihannya adalah menghentikan
obat anti-tiroid (termasuk metimazol) hanya 3 hari sebelum dilakukan
terapi RAI dan memulai kembali obat dalam 3 hari setelahnya.
Pemberian kembali obat anti-tiroid yang lebih dini setelah terapi RAI
dapat menurunkan efikasi terapi sehingga memerlukan dosis kedua.
Perlu pula dipertimbangkan pemeriksaan fungsi tiroid sebelum
prosedur operatif dilakukan pada pasien yang berisiko mengalami
hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan sindroma McCuneAlbright).2
J. Kesimpulan
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa
dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular,
sistem saraf, dan sistem saluran cerna. Etiologi yang paling banyak
menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik).
11

Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam


merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat.
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada
gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid,
terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan
laboratorium atas tirotoksikosis. Penatalaksanaan krisis tiroid harus
menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan
suportif yang agresif dilakukan kemudian untuk menstabilkan homeostasis
dan membalikkan dekompensasi multi organ. Angka kematian keseluruhan
akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-75%. Namun, dengan
diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya
baik.

12

Anda mungkin juga menyukai