Anda di halaman 1dari 13

HIV (human immunodeficiency virus) virus yang menginfeksi sistem kekbalan

tubuh, HIV masuk dalam family retroviridae berbentuk sferis dan menganding inti
bentuk kerucut yang padat dikelilingi selubung lipid yang berasal dari membran sel
penjamu.dalam tubuh ODHA (orang dengan HIV/AIDS), virus bergabung dengan
DNA pasien, sehingga sekali pasien terinfeksi HIV maka seumur hidupnya akan
terinfeksi HIV, 50% pasien masuk tahap AIDS sesudah 10 tahun terinfeksi,
perjalanan HIV tersebut menunjukkan bahwa penyakit ini brsifat kronis sesuai
dengan kerusakan system kekebalan tubuh secara bertahap.
Patogenesis HIV pertama virus masuk melalui kontak seksual, inokulasi
parenteral, dan perjalanan virus dari ibu yang terinfeksi kepada bayinya, pada kontak
seksual masuknya virus di permudah oleh penyakit menular seksual lainya.
penularan parenteral dikategorikan dalam 3 kelompok yaitu penyalah gunaan obat
intravena, penderita hemofilia yang menerima konsentrat faktor VIII atai IX dan
resipien acak transfusi darah. HIV pada anak-anak teruatama terjadi karena
penularan dari ibu ke bayi secara vertical yaitu in utero, intrapartum dan ingesti.
keaadaan imunosupresi berat diakibatkan infeksi dan hilangnya sel T CD4+ serta
gangguan pada sel T helper, mula-mula selubung gp120 HIV berikatan pada molekul
CD4, ikatan ini membuka suatu lokasi pengenalan baru untuk gp120, kemudian
gp41 akan mengalami perubahan konfromasional yang memudahkan vusi sel-virus.
infeksi HIV ditandai oleh hilangnya CD4+ secara terus menerus dan kahirnya
terkuras
dari
darah
perifer.
Pada sistem saraf makrofag dan selketurunan monosit merupakan jenis sel
terbanyak dalam otak terinfeksi HIV. sebagian peneliti berpendapat defisit neurologis
disebabkan oleh produk virus dan faktor terlarut seperti sitokin TNF yang dihasilkan
makrofag. juga nitrit oksid yang telah diinduksi dalam neuron olehh gp4.
Diagnosis HIV dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang. dari anamnesis dan pemeriksaan fisik biasanya di
temukan pada fase akut ditemukan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia,
demam, ruam, dan meningitis aseptik, pada fse akut ini terjadi sekitar 3-17 minggu
setelah pajanan, biasanya setelah viremia mereda sel T CD4+ akan kembali normal,
namun berkurangnya virus dalam plasma bukan berarti berakhirnya reolikasi virus,
replikasi akan terus berjalan didalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan. pada fase
kronis pasien tidak menunjukkan limfadenopati persisten tetapi banyak penderita
yangg mengalami infeksi oportunistik seperti sariawan dan herpes zoster. Fase krisis
ditandai dengan viremia yang nyata gejala khasnya pasien akan mengalami demam
selama lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare.
pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah tes rapid HIV antibody,
kemudian untuk mengkonfirmasi hasilnya bisa dilakukan tes ELISA, dapat juga

dilakuukan deteksi lain dengan biakan virus, mengukur antigen p24, dan pengukuran
DNA, RNA HIV dengan PCR(pollymerase chain reaction)
Tatalaksa HIV yaitu secara suportif penderita diberikan supan nutrisi yang baik
serta multivitamin, psikososiaal dan dukungan agama, serta istirahat yang cukup.
pengobatan asimptomatik dapat diberikan antipiretik, antiinflamasi, obat diare, dll.
pengobatan antiretroviral bertujuan untuk menekan replikasi virus dengan obat ani
retroviral (ARV) kombinasi yang diberikan yaitu indinavir, retrovir, dan lamifudin,
berdasarkan WHO pemberian antiretroviral yaitu:
1.
2.
3.

Zidovudin (AZT) dosis 500-600mg sehari


Lamivudin (3CT) dosis 150mg dua kali
Neviropin dosis 200mg sehari
Dalam SKDI HIV AIDS tanpa komplikasi masuk dalam kategori 4A yaitu lulusan
dokter diharapkan dapat melakukan tatalaksana secara tuntas.

Dengue Shock Syndrome


a. Definisi
Dengue shock syndrome (DSS) merupakan demam berdarah dengue yang ditandai
dengan kegagalan sirkulasi termasuk tekanan nadi yang rendah (<=20 mmHg) dan
tanda-tanda syok lainnya. (7) Demam berdarah dengue yang disertai syok ini dapat
terjadi tiba-tiba, biasanya setelah demam turun, yaitu antara hari ke-3 dan ke-7 sakit.
b. Epidemiologi
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematianpaling banyak
dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruhdunia, dilaporkan angka
kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematian berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat
ini DBD telah ditemukan di seluruhpropinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya
kejadian luar biasa.
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembabanudara.
Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes
akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhuudara
dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinyapenyakit
agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virusdengue
terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapatpada
sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

c. Patogenesis
Virus Dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi
pertama kali mungkin memberi gejala sebagai demam dengue. Reaksi
tubuh memberikan reaksi yang berbeda ketika seseorang mendapat
infeksi yang berulang dengan serotipe Virus Dengue yang berbeda. Hal ini
merupakan dasar teori yang disebut the secondary heterologous infection
atau the sequential infection hypothesis. Infeksi virus yang berulang atau
re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi,
sehingga

menimbulkan

kompleks

antigen-antibodi

antibodi) dengan konsentrasi tinggi (4).


Terdapatnya kompleks virus-antibodi
mengakibatkan hal sebagai berikut :

di

dalam

(kompleks

virus-

sirkulasi

darah

1. Kompleks virus-antibodi mengaktivasi sistem komplemen, yang berakibat


dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a. C5a menyebabkan meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah dan meyebabkan plasma keluar
melalui dinding tersebut (plasma leakege), suatu keadaan yang berperan
pada terjadinya syok. Telah terbukti bahwa pada DSS, kadar C3a dan C5a
menurun masing-masing sebanyak 33% dan 89%

(4).

Meningginya nilai

hematokrit pada kasus syok diduga akibat kebocoran plasma melaui


kapiler yang rusak ke daerah ekstravaskular seperti rongga pleura,
peritonium atau perikardium (2).
2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami
metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis ini
akan

dimusnahkan

oleh

sistem

retikuloendotelial

dengan

akibat

trombositopenia hebat dan perdarahan. Pada keadaan terjadinya agregasi,


trombosit akan melepaskan amin vasoaktif yang bersifat meninggikan
permeabilitas

kapiler

dan

melepaskan

trombosit

faktor

yang

(4)

merangsang koagulasi intravaskular


3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat terjadinya
pembekuan intravaskular yang luas (DIC). Dalam proses aktivasi ini,
plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan
anafilatoksin

dan

pengahancuran

fibrin

menjadi

fibrin

degradation

product. Di samping itu aktivasi ini juga merangsang sistem kinin yang
berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding kapiler.

d. Diagnosa
- Syok ditandai dengan nadi yang cepat dan lemah sampai tidak teraba, tekanan
nadi yang menurun, kulit dingin dan lembab.

(1)

Pasien seringkali mengeluh

nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Nyeri perut hebat seringkali
-

mendahului perdarahan gastrointestinal.


Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan

trombositopenia

dan

hemokonsentrasi. Jumlah trombosit <>3 ditemukan diantara hari sakit ke-3


sampai ke-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya
kebocoran plasma, terjadi juga pada kasus derajat ringan walaupun tidak
sehebat dalam keadaan syok. Hasil laboratorium yang lain biasanya ditemukan
hipoproteinemia, hiponatremi, kadar transminase serum dan urea nitrogen
-

darah meningkat.
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ke-3 terlihat peningkatan
limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke-8. Limfosit ini disebut

sebagai limfosit plasma biru (LPB). Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat
hapus tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai
puncaknya pada hari ke-6 demam. LPB merupakan campuran antara limfositB dan limfosit-T.
e. Tatalaksana
Syok

merupakan

keadaan

kegawatan.

Cairan

pengganti

adalah

pengobatan utama, yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume


plasma. Pasien anak cepat sekali mengalami syok dan sembuh segera dalam 48
jam setelah diobati.

Penggantian Volume Plasma Segera

Seperti diketahui cairan tubuh dibagi menjadi 3 kompartemen utama yaitu, 2/3
bagian cairan intraselular, 1/3 bagian cairan ekstraselular. Cairan ekstraselular
ini dibagi lagi menjadi cairan intrtravaskular (25%) dan interstitial (75%). (10)
Cairan resusitasi yang diberikan adalah cairan kristaloid dan koloid.
Cairan kristaloid isotonik efektif mengisi ruang interstitial, mudah disediakan,
tidak mahal dan tidak meninbulkan reaksi alergi. Namun hanya seperempat
bagian bolus yang tetap berada di dalam intravaskular, sehingga diperlukan
lebih banyak volume dan berisiko terjadi oedem jaringan terutama paru. Contoh
larutan ini adalah ringer laktat, ringer asetat dan NaCl 0,9%.
Cairan koloid berada lebih lama di ruang intravaskular, mampu
mempertahankan tekanan onkotik, namun lebih mahal, dapat menyebabkan
reaksi sensitivitas dan komplikasi lain. Contoh cairan koloid adalah albumin,
dextran dan gelatin.
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat 10-20 ml/kgbb,
tetesan secepatnya. Apabila syok belum teratasi dalam 30 menit, tetesan
dinaikkan

lagi

menjadi

20

ml/kgbb

disamping

pemberian

koloid

10-20

ml/kgbb/jam, tidak melebihi 30 ml/kgbb/jam. Apabila setelah pemberian kedua


cairan tresebut syok belum teratasi sedangkan kadar Ht menurun didiga terjadi
perdarahan maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Setelah keadaan
klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar
Ht.

Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume

Pemberian cairan tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik


dan kadar Ht turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kgbb/jam
dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi
selama 24-48 jam. Cairan intravena dapat dihentikan apabila Ht telah turun,
jumlah urin 1 ml/kgbb/jam atau lebih merupakan keadaan sirkulasi membaik.

Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit

Hiponatremi dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DSS, maka


pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa.

Pemberian Oksigen

Terapi oksigen harus selalu diberika pada semua pasien syok.


Dianjurkan pemberian oksigen dengan menggunakan masker, tetapi harus
diingat bahwa anak sering menjadi gelisah apabila dipasang masker oksigen.

Transfusi Darah

Pemeriksaan golongan darah dan cross-matching harus dilakukan pada


setiap pasien syok, terutama pad asyok yang berkepanjangan (prolonged shock).
Transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Penurunan ematokrit tanpa parbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan
yang mencukupi merupakan tanda perdarahan. Pemberian darah segar adalah
untuk meningkat konsentrasi sel darah merah. Plasma segar atau suspensi
trombosit berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan perdarahan
masif. Pemeriksaan hematologi seperti PT, PTT dan FDP berguna untuk
mementukan berat-ringannya DIC.

Pemantauan

Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
pemantauan adalah :
Nadi, tekanan darah, respirasi dan temperatur harus dicatat setiap 15-30

menit atau lebih sering sampai syok teratasi.


Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai klinis pasien stabil.

Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan mengenai jenis


cairan, jumlah dan tetesan, untuk mementukan apakah cairan sudah

mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis (normal diuresis 2-3 ml/kgbb/jam).

Rawat di PICU

Anak dengan DSS sebaiknya dirawat di PICU untuk memantau dan


mengantisipasi perubahan sirkulasi dan metabolik serta memberiakn tindakan
suportif.

f. Prognosis
Syok yang terjadi pada saat demam mempunyai prognosis yang buruk. Namun
dengan penanganan yang tepat pasien dapat pulang dalam keadaan yang baik.

DD/DBD

GRADE

Demam
Dengue

TANDA DAN GEJALA

LABORATORIUM

Demam
disertai
2
keadaan
berikut :
Nyeri kepala
Mialgia
Rash
Atralgia
Manifestasi perdarahan tanpa
adanya plasma leakage
Demam
disertai
manifestasi
perdarahan (torniquet +) ada
plasma leakage

Trombositopenia
(
<
150.000
sel/mm3 )
Peningkatan
Hematokrit
( 5 10 % )

DBD

DBD

II

Grade I
spontan

DBD (DSS)

III

Grade I atau II ditambah adanya


kegagalan sirkulasi :
- pulsasi nadi yang lemah,
- hipotensi,
- perbedaan sistole dan diastole
yang sempit

ditambah

perdarahan

Trombositopenia
(
<
100.000
sel/mm3 )
Hematokrit
Meningkat . 20%
Trombositopenia
(
<
100.000
sel/mm3 )
Hematokrit
Meningkat
Trombositopenia
(
<
100.000
sel/mm3 )
Hematokrit
Meningkat

DBD (DSS)

IV

Grade III ditambah dengan syok


berat serta nadi dan tekanan
darah yang tidak terukur

Trombositopenia
(
<
100.000
3
sel/mm )
Hematokrit
Meningkat

Tinea Barbe
a. Definisi

Adalah bentuk infeksi jamur dermatofita pada dacrah dagu/jenggot 'ang


menyerang kulit dan folikel rambut.

b. Penyebab
Biasanya oleh golongan Trichophyton dan Microsporum
c . Faktor Resiko
- Umur
: Selalu pada orang dewasa, tak pernah padaanak-anak
- Jenis kelamin : Biasanya pada pria dewasa.
- Ras
: Dapat mengenai bangsa apa saja, tapi lebih seringpada kulit
putih Bangsa/ras
- Daerah
: Daerah tropis dengan kelembaban tinggi
- Kebersihan
: Banyak padaorang-orangdengan higiene kurang baik
- Lingkungan
: Lingkungan kotor merupakan faktor yang mempermudah
infeksi

d. Perjalanan penyakit(termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan)


- Penderita biasanya mengeluh gatal dan pedih pada daerah yang terkena, disertai
bintik-bintik kemerahan yang terkadang bernanah.
- Lokalisasi :
Biasanya pada daerah dagu/jenggot, tapi dapat menyebar ke wajah dan
leher.

Efloresensi/sifat :

Pada folikel berupa kemerahan, edema, kadang-kadang ada pustula.


Pada batang dan folikel rambut terkadang tampak organisme, tetapi jarang pada lesi
yang lebih dalam. Pada keadaan kronik terlihat nanah, sel raksasa dan infiltrasi sel-sel
radang kronik.

Rambut daerah yang terkena menjadi rapuh sifatnya dan tidak mengkilat,
tampak reaksi radang

e. Diagnosa
1. Kerokan kulit atau rambut jenggot yang terkena (terputus-putus, tidak
mengkilap) dengan larutan KOH 10-20%, dilihat langsung di bawah mikroskop
untuk mencari hifa atau infeksi endotriks/ eksotriks.
2. Biakan pada media agar Sabouraud.
3. Sinar Wood: fluoresensi kehijauan.

f. Penatalaksanaan
Umum

Khusus

Rambut daerah jenggot dicukur bersih.


Jaga kebersihan umum.
Sistemik : griseovulfin 0,5-1gram/hari selama 2-4 minggu
Itrakonazol 100 mg/hari selama 2 minggu
Ketokonazol 200 mg/hari selama 3 minggu
Topikal : Kompres
sol.
kaliumpermanganas 1:4.000 atau sol.
asam asetat 0,025%, 2-3 kali sehari G antifungi sol. tinactin
G epilasi rambut yang terinfeksi G antibiotik bila ada
infeksi sekunder.

g. Prognosa

Umumnya baik.

h. Pencegahan
Dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan tubuh terutama di daerah dagu.
Sebaiknya jenggot dicukur bersih. jaga juga kebersihan lingkungan disekitar untuk
menghindari penyebaran jamur penyebab tinea barbae.

Gambar : Tinea Barbe

Tinea Fasialis
a. Definisi

Tinea fasialis adalah suatu infeksi dermatofita superfisialis yang mengenai


daerah wajah. Pada wanita dan anak-anak, infeksi dapat terjadi pada semua
daerah wajah, termasuk pada daerah bibir bagian atas dan dagu, sedangkan
pada pria keadaan seperti ini disebut sebagai tinea barbae.

b. Etiologi
Penyebab

tersering

Tinea

Fasialis

adalah

Trichophyton

rubrum

dan

Trichophyton mentagrophytes.

c. Gambaran Klinis
- Penderita mengeluh gatal yang kadang-kadang meningkat waktu berkeringat.
- Kelainan yang dilihat dari Tinea fasialis dalam klinik merupakan lesi bulat atau
lonjong , berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel
dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang yang sering disebut dengan
sentral healing, sementara yang di tepi lebih aktif. Kadang-kadang terlihat erosi dan
krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak bercak terpisah
satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan
pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan
tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang
dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali. Pada tinea
fasialis yang menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan
ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela
paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et
corporis. Bentuk kronik yang disebabkan oleh T. rubrum kadang-kadang terlihat
bersama-sama dengan tinea unguinum.
d. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis, hasil pemeriksaan sediaan
langsung yang positif dan biakan. Kadang kadang diperlukan pemeriksaan
dengan lampu Wood, yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan gelombang
3650

Ao.

Pemeriksaan

sediaan

langsung

dengan

KOH

10-20%

memperlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang atau spora jamur


(Ernawati, K. 1988). Pemeriksaan biakan jamur diperlukan untuk identifikasi
spesies jamur. Pemeriksaan sedian langsung bahan klinis dermatofitosis
mudah dilakukan dan memberi hasil cukup baik ( 90%) untuk menyokong

pembuatan diagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis. Biakan memberikan


hasil lebih lengkap, akan tetapi lebih sulit dikerjakan dan lebih mahal. Hasil
biakan diperoleh dalam waktu lebih lama dan sensitivitasnya kurang ( 60%)
bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan langsung

e. Diagnosis Banding
Tidak sukar untuk menentukan diagnosis tinea fasialis pada umumnya,
namun ada beberapa penyakit kulit yang gambarannya mirip, misalnya :
1. Dermatitis seboroika Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain dapat
menyerupai

tinea

fasialis,

biasanya

dapat

terlihat

pada

tempat-tempat

predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit, misalnya


belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya.
2. Pitiriasis rosea Gambaran makula eritematosa dengan tepi sedikit meninggi,
ada papula, skuama. Diameter panjang lesi menuruti garis kulit.
3. Neurodermatitis sirkumskripta Makula eritematosa berbatas tegas terutama
daerah tengkuk, lipatan lutut dan lipatan siku.
f. Pengobatan
a. Pengobatan topikal
- Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk salep
: tolnaftat, tolsiklat, haloprogin, siklopiroksolamin.
- Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep (salep 2-4,
salep 3-10)
- Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1% dll.
b. Pengobatan sistemik
1. Griseofulvin Griseofulvin 500-1000 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anakanak 15-20 mg/kgBB sehari dosis tunggal selama 2-6 minggu. Lama pemberian
griseofulvin pada tinea fasialis adalah 3-4 minggu, diberikan bila lesi luas atau
bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan. Pada kasus yang resisten
terhadap griseofulvin dapat diberikan derivat azol seperti itrakonazol, flukonazol
dll.
2. Golongan Azol - itrakonazol 2x100 mg/hr selama 2 minggu - ketokonazol
200mg/hr selama 10-14 hari.
3. Antibiotika Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi sekunder.
4. Antihistamin Antihistamin diberikan untuk mencegah rasa gatal

g. Pencegahan
Faktor-faktor yang perlu dihindari atau dihilangkan untuk mencegah terjadi tinea
fasialis antara lain : Mengurangi kelembaban dari tubuh penderita dengan
menghindari pakaian yang panas (karet, nylon), memperbaiki ventilasi rumah
dan menghindari berkeringat yang berlebihan. Menghindari sumber penularan
yaitu

binatang,

kuda,

sapi,

kucing,

anjing,

atau

kontak

penderita

lain.

Menghilangkan fokal infeksi ditempat lain misalnya di kuku atau di kaki.


Meningkatkan hygiene dan memperbaiki makanan. Faktor-faktor predisposisi lain
seperti diabetes mellitus, kelainan endokrin yang lain, leukemia, harus dikontrol.

h. Prognosis
Prognosis pada umumnya baik.

Anda mungkin juga menyukai