Anda di halaman 1dari 30

PAPER

TANATOLOGI

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU FORENSIK RUMAH SAKIT


HAJI MINA MEDAN

Disusun Oleh :
Fionna Masitah Pohan (1008260019)
Farida Hanum Siregar (1008260006)
Mawaddah

(1008260029)

Titi Amaliyah Hasibuan (1008260055)


Pembimbing :
dr. Guntur Bumi Nasution.,Sp.F

RUMAH SAKIT HAJI MINA MEDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang karena rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul TANATOLOGI sebagai
salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Forensik di Rumah Sakit Umum Haji Mina Medan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Guntur
Bumi Nasution.,Sp.F sebagai pembimbing yang telah memberi masukan dan saran dalam
menyelesaikan paper ini serta semua staff pengajar di Bagian Ilmu Forensik di Rumah Sakit
Umum Haji Mina Medan, dan teman-teman di kepaniteraan klinik senior.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa refarat ini memiliki banyak kekurangan, maka
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan
dimasa mendatang. Harapan penulis semoga paper ini dapat memberikan manfaat dan
menambah pengetahuan kita semua.

Medan, 24 Agustus 2015

DAFTAR ISI
Kata Pengantar----------------------------------------------------------------------------------------i
Daftar Isi ----------------------------------------------------------------------------------------------ii
1

BAB 1 PENDAHULUAN -------------------------------------------------------------------------1


1.1 Latar Belakang----------------------------------------------------------------------------1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ------------------------------------------------------------------2


2.1 Tanatologi ---------------------------------------------------------------------------------2
2.2 Jenis Kematian----------------------------------------------------------------------------2
2.3 Manfaat Tanatologi ----------------------------------------------------------------------3
2.4 Perubahan Postmortem-------------------------------------------------------------------4
2.5 Perubahan Fase Awal---------------------------------------------------------------------4
2.6 Perubahan Fase Lanjut ------------------------------------------------------------------6
2.6.1 Penurunan Suhu Tubuh --------------------------------------------------------------6
2.6.2 Lebam Mayat -------------------------------------------------------------------------9
2.6.3 Kaku Mayat--------------------------------------------------------------------------12
2.6.4 Pembusukan--------------------------------------------------------------------------18
2.6.5 Adipocere-----------------------------------------------------------------------------24
2.6.6 Mumifikasi --------------------------------------------------------------------------26

DAFTAR PUSTAKA -----------------------------------------------------------------------------28

BAB 1
PENDAHULUAN
Tanatologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perubahan-perubahan pada
tubuh seseorang yang telah meninggal. Perubahan perubahan yang terjadi setelah kematian
dibedakan menjadi dua yaitu perubahan yang terjadi secara cepat (early) dan perubahan yang
terjadi secara lambat (late).1,2
Ilmu tanatologi merupakan ilmu yang paling dasar dan paling penting dalam ilmu
kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah (visum et repertum).
Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menentukan apakah seseorang benar
benar sudah meningal atau belum, menetapkan waktu kematian, sebab kematian, cara
kematian, dan mengangkat atau mengambil organ untuk kepentingan donor atau transplantasi
dan untuk membedakan perubahan-perubahan yang terjadi post mortal dengan kelainankelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup, serta untuk mengetahui saat waktu
kematian.1,2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanatologi
Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang beerhubungan dengan kematian) dan logos
(ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang mempelajari hal-hal
yang berkaitan dengan kematian yaitu definisi atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada
tubuh setelah terjadi kematian dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut.3,4
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi sirkulasi dan
respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya perkembangan teknologi ada alat
menggantikan fungsi sirkulasi dan respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian
berkembang menjadi kematian batang otak. Brain death is death. Mati adalah kematian
batang otak.3
Ada tiga manfaat tanatologi ini, antara lain untuk dapat menetapkan hidup atau matinya
korban, memperkirakan lama kematian korban, dan menentukan wajar atau tidak wajarnya
kematian korban.3
Menetapkan apakah korban masih hidup atau telah mati dapat kita ketahui dari masih
adanya tanda kehidupan dan tanda-tanda kematian. Tanda kehidupan dapat kita nilai dari
masih aktifnya siklus oksigen yang berlangsung dalam tubuh korban. Sebaliknya tidak
aktifnya siklus oksigen menjadi tanda kematian.3

2.2 Jenis Kematian


Agar suatu kehidupan seseorang dapat berlangsung, terdapat tiga sistem yang
mempengaruhinya. Ketiga sistem utama tersebut antara lain sistem persarafan, sistem
kardiovaskuler dan sistem pernapasan. Ketiga sistem itu sangat mempengaruhi satu sama
lainnya, ketika terjadi gangguan pada satu sistem, maka sistem-sistem yang lainnya juga akan
ikut berpengaruh.3
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi sirkulasi dan
respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya perkembangan teknologi ada alat
yang bisa menggantikan fungsi sirkulasi dan respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi
kematian berkembang menjadi kematian batang otak. Brain death is death. Mati adalah
kematian batang otak.3
Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis (mati
klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak (mati batang otak). 3
2

Mati somatis (mati klinis) ialah suatu keadaan dimana oleh karena sesuatu sebab
terjadi gangguan pada ketiga sistem utama tersebut yang bersifat menetap. Pada kejadian
mati somatis ini secara klinis tidak ditemukan adanya refleks, elektro ensefalografi (EEG)
mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan
suara napas tidak terdengar saat auskultasi. 3
Mati suri (apparent death) ialah suatu keadaan yang mirip dengan kematian somatis,
akan tetapi gangguan yang terdapat pada ketiga sistem bersifat sementara. Kasus seperti ini
sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan. 3
Mati seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan tubuh yang
timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau
jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ tidak
bersamaan.3
Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer otak yang
irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem
pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat. 3
Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi kerusakan
seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk batang otak dan serebelum.
Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara
keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan. 3
2.3 Manfaat Tanatologi
Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menetapkan :1
a. Waktu kematian
b. Sebab kematian pasti
Contoh : keracunan CO akan terdapat kulit merah terang (terjadi perubahan warna
kulit)
c. Cara kematian (homocide, suicide, accident)
d. Transplantasi (donor organ)
Syarat:
-

Ada izin dari korban/ keluarganya


Sudah meninggal

2.4 Perubahan Post Mortem


Beberapa tanda kematian tidak pasti :
3

1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit.


2. Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
3. kulit pucat
4. tonus otot menghilang dan relaksasi
5. pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian
6. pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat
dihilangkan dengan meneteskan air mata.3
2.5 Perubahan fase awal
1. Terhentinya 3 sistem vital dalam tubuh, yaitu sistem kardiovaskuler, sistem respirasi,
sistem sarap pusat.2,3
Ada 6 cara mendeteksi tidak berfungsinya sistem kardiovaskuler :
a. Denyut nadi berhenti pada palpasi.
b.

Detak jantung berhenti selama 5-10 menit pada auskultasi.

c. Elektro Kardiografi (EKG) mendatar/flat.


d. Tes magnus : tidak adanya tanda sianotik pada ujung jari tangan setelah jari tangan
korban kita ikat.
e. Tes Icard : daerah sekitar tempat penyuntikan larutan Icard subkutan tidak berwarna
kuning kehijauan.
f. Tidak keluarnya darah dengan pulsasi pada insisi arteri radialis.
Ada 5 cara mendeteksi tidak berfungsinya sistem respirasi :
a. Tidak ada gerak napas pada inspeksi dan palpasi.
b. Tidak ada bising napas pada auskultasi.
c. Tidak ada gerakan permukaan air dalam gelas yang kita taruh diatas perut korban pada
tes Winslow.
d. Tidak ada uap air pada cermin yang kita letakkan didepan lubang hidung atau mulut
korban.
e. Tidak ada gerakan bulu burung yang kita letakkan didepan lubang hidung atau mulut
korban.
Ada 5 cara mendeteksi tidak berfungsinya sistem saraf :2,3
a) Areflex
b) Relaksasi
c) Pergerakan tidak ada
4

d) Tonus tidak ada


e) Elektoensefalografi (EEG) mendatar/flat
2. Kulit wajah:
Kulit wajah tampak memucat, ini dikarnakan sirkulasi darah berhenti, akan terjadi
pengendapan darah terutama pembuluh darah besar.3
3. Relaksasi primer :
Relaksasi primer terjadi akibat menghilangnya tonus otot, ini akan tampak jelas terlihat
pada otot yang menyokong organ melawan gravitasi, seperti pada rahang bawah yang tampak
melorot.3
4. Perubahan pada mata :
Perubahan pada mata setelah kematian dapat dipakai sebagai penentuan saat mati.
Perubahan ini meliputi :3,4

hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya yang menyebabkan kornea menjadi tidak
sensitif dan reaksi pupil yang negative, hilangnya reflek cahaya pada kornea ini
disebabkan karena kegagalan kelenjar lakrimal untuk membasahi bola mata.

Kekeruhan pada kornea akan timbul beberapa jam setelah kematian, kekeruhan pada
lapisan dalam kornea ini tidak dapat dihilangkan atau diubah kembali walaupun
digunakan air untuk membasahinya. Bila kelopak mata dalam keadaan terbuka ,
kekeruhan pada kornea secara keseluruhan akan tampak jelas dalam waktu 10-20 jam
setelah kematian.

Penurunan tekanan intra okuler, tekanan intra okuler yang turun ini mudah
menyebabkan kelainan bentuk pupil sehingga pupil kehilangan bentuk sirkuler setelah
mati dan ukurannya pun menjadi tidak sama ,pupil dapat berkontraksi dengan
diameter 2 mm atau berdilatasi sampai 9 mm dengan rata-rata 4-5 mm oleh karena
pupil mempunyai sifat tidak tergantung dengan pupil lainnya maka sering terdapat
perbedaan sampai3 mm. Nicati (1894) telah melakukan pengukuran terhadap tekanan
bola mata posmortem dimana tekanan normal pada bola mata pada waktu hidup
adalah 14g -25g akan tetapi begitu sirkulasi terhenti maka penurunan tekanan bola
mata menjadi sangat rendah (tidaksampai mencapai 12g) dan dalam waktu 30 menit
akan berkurang menjadi 3g yang kemudian menjadi nol setelah 2 jam kematian.
Penurunan tekanan bola mata ini pernah dicoba untuk menentukan perkiraan saat
kematian.

Perubahan warna retina, perubahan yang terjadi pada retina dicoba dihubungkan
dengan perkiraan saat kematian. Dengan berhentinya aliran darah maka pembuluh
darah retina akan mengalami perubahan yang disebut segmentasi atau trucking dan
ini terjadi dalam 15 menit pertama setelah kematian. Pada pemeriksaan dalam 2 jam
pertama setelah kematian, dapat dilihat retina tampak pucat dan daerah sekitar fundus
tampak kuning, demikian pula daerah sekitar makula. Sekitar 6 jam batas fundus
menjadi tidak jelas, dan tampak gambaran segmentasi pada pembuluh darah, dengan
latar belakang yang berwarna kelabu kekuningan. Gambaran ini mencapai seluruh
perifer retina sekitar 7-10 jam. Setelah 12 jam diskus hanya dapat dilihat sebagai titik
yang terlokalisasi dengan sisa-sisa pembuluh darah yang bersegmentasi hingga pada
akhirnya diskus dan pembuluh darah retina menghilang yang ada hanya makula yang
berwarna coklat gelap.

2.6 Perubahan fase lanjut


2.6.1 Penurunan Suhu Tubuh (Algor Mortis / Post Mortem Cooling)
Penurunan suhu mayat atau algor mortis akan terjadi setelah kematian dan berlanjut
sampai tercapai keadaan dimana suhu mayat sama dengan suhu lingkungan. Berdasarkan
penelitian, kurva penurunan suhu mayat akan berbentuk kurva sigmoid, dimana pada jam
jam penurunan suhu akan berlangsung lambat, demikian pula bila suhu tubuh mayat telah
mendekati suhu tubuh lingkungan.3,4
Bila telah dicapai suatu keadaan yang dikenal sebagai temperatur gradient, yaitu suatu
keadaan dimana telah terdapat perbedaan suhu yang bertahap di antara lapisan lapisan yang
menyusun tubuh, maka penyaluran panas dari bagian dalam tubuh ke permukaan dapat
berjalan dengan lancar. 3,4
Kini penentuan suhu rektal kerap kali sangat berguna dalam investigasi kematian yang
mencurigakan, kecuali dimana tampak luar mengindikasikan bahwa tubuh sudah didinginkan
oleh suhu sekitarnya. 3,4
Hal ini juga harus dititikberatkan bahwa kegunaan dari perkiraan temperatur ini
menetap pada iklim dengan suhu dingin dan menengah dimana tubuh kehilangan panasnya
secara lama sebagaimana halnya keseimbangan pada temperatur lingkungan, sedangkan pada
daerah tropis, penurunan suhu tubuh post mortem dapat minimal atau bahkan tidak ada pada
iklim yang sangat panas sekali, mayat mungkin dapat menghangat setelah mati.3
Saat mati, setelah waktu yang tidak lama, tubuh mulai kehilangan panasnya.
Temperatur lazim pada tubuh dewasa sehat adalah antara 98,4 derajat Fahrenheit, atau saat
dipastikan melalui mulut adalah sekitar 99 derajat Fahrenheit, dan pada axilla sekitar 97
6

derajat fahrenheit. Temperatur juga dapat menunjukkan variasi waktu yang berbeda selama
tiap harinya. Temperatur akan lebih rendah pada pagi hari dan akan lebih tinggi pada sore
hari. Latihan akan meningkatkan temperatur tubuh namun ini akan menurun menjadi normal
dalam setengah jam kemudian. 3,4
-

Faktor yang mempengaruhi penurunan suhu mayat :


Temperatur dari tubuh saat mati.
Dalam beberapa kasus, seperti kematian karena asfiksia, emboli lemak dan air, heat
stroke, beberapa infeksi, reaksi obat, perdarahan cerebral, atau saat tubuh ditinggalkan
berada di dekat api atau saat tubuh berada dalam bak mandi hangat, maka temperatur
akan meningkat. Sebaliknya penyakit degenerasi seperti cholera, gagal jantung
kongestif, paparan terhadap suhu dingin, perdarahan banyak, maka temperatur akan
menurun. 3,4

Perbedaan temperatur tubuh dan lingkungan.


Pada daerah dingin, penurunan suhu paling sedikit 1,5 derajat Fahrenheit per jam dan
pada daerah tropis, penurunan suhu paling sedikit 0,75 derajat Fahrenheit per jam.
Selain itu, didalam air, kehilangan suhu melalui konduksi dan konveksi. Pada kasus
udara, kehilangan suhu dapat melalui konduksi (saat bagian dari badan bersentuhan
dengan tanah atau suatu material), konveksi (evaporasi dari cairan tubuh) dan
sebagian radiasi. Pada kasus yang dikubur, penurunan hanya melalui konduksi.
Disamping itu, penguburan pada tanah berbatu kering akan mempertahankan panas
tubuh lebih lama dibanding terkena udara dan tubuh yang dilempar ke timbunan
sampah atau comberan, suhunya akan lebih cepat turun sedikit dibanding dibiarkan di
udara terbuka. Flora normal atau belatung dapat meningkatkan temperatur tubuh. 3,4

Keadaan fisik tubuh serta adanya pakaian atau penutup mayat.


Tebalnya jaringan lemak dan jaringan otot serta ketebalan pakaian yang menutupi
tubuh mayat akan mempengaruhi kecepatan penurunan suhu. 3,4
Konduksi dan konveksi secara signifikan diturunkan oleh adanya pakaian. Pakaian
yang terbuat dari sutera, wol, atau serat sintetik berperan dalam menurunkan suhu.
Pakaian basah akan mempercepat pendinginan karena terdapat uptake panas untuk
evaporasi. 3,4

Ukuran tubuh.
7

Anak anak dan orang dewasa dengan badan kecil akan mengalami pendinginan yang
lebih cepat daripada orang dewasa yang berukuran lebih besar. Jumlah dari lemak
subkutan dan lemak preperitoneal berperan dalam menentukan cepat lambatnya
proses pendinginan. Tubuh seorang yang kurus akan lebih cepat mendingin karena
luas permukaan tubuhnya yang kecil dan kurangnya lemak. 3,4
-

Aliran udara dan kelembapan.


Udara disekitar tubuh bertindak sebagai medium pemindah suhu. Dalam beberapa
kondisi, udara hangat biasanya menyelimuti permukaan tubuh dengan demikian akan
memblok perubahan temperatur. Pergerakan udara pada permukaan tubuh membawa
udara dingin yang mempunyai kontak langsung pada tubuh yang mendorong
hilangnya panas. Udara yang lembab akan mengalirkan panas lebih cepat dibanding
yang kering. 3,4

Post mortem caloricity.


Adalah kondisi dimana terjadi peningkatan temperatur tubuh sesudah mati sebagai
pengganti akibat pendinginan tubuh tersebut. Walaupun proses glikogenolisis post
mortem yang berlangsung pada kebanyakan tubuh sesudah mati, dapat memproduksi
kira kira 140 kalori yang akan meningkatkan suhu tubuh temperatur 2 derajat
celcius. 3,4
Rumus perkiraan saat kematian berdasarkan penurunan suhu mayat pada suhu

lingkungan sebesar 70 derajat Fahrenheit (21 derajat celcius), adalah sebagai berikut :
Saat Kematian = 98,6 o F Suhu Rektal
1,5
Secara umum 1,5 o F / 1 o C per jam, teori lain : 0,8 o F per jam. 1,5 o F / 1 o C per jam 6
jam pertama, 1 o F jam 6 kedua, 0,6 o F per jam 6 jam ketiga, setelah 12 jam mencapai suhu
sama dengan suhu lingkungan (untuk kulit). Sedangkan untuk organ organ dalam : 24 jam
baru bias sama dengan suhu lingkungan. Bila tenggelam / dalam air : 6 jam sudah mencapai
suhu lingkungan. 3,4

2.6.2 Lebam Mayat (Livor Mortis / Post Mortem Hypostasis)

Lebam mayat atau livor mortis adalah salah satu tanda postmortem yang cukup jelas.
Biasanya disebut juga post mortem hypostasis, post mortem lividity, post mortem staining,
sugillations, vibices, dan lain lain. Kata hypostasis itu sendiri mengandung arti kongesti
pasif dari sebuah organ atau bagian tubuh. 4
Lebam terjadi sebagai akibat pengumpulan darah dalam pembuluh pembuluh darah
kecil, kapiler, dan venula, pada bagian tubuh yang terendah. Dengan adanya penghentian dari
sirkulasi darah saat kematian, darah mengikuti hukum gravitasi. Kumpulan darah ini bertahan
sesuai pada area terendah pada tubuh, memberi perubahan warna keunguan atau merah
keunguan terhadap area tersebut. Darah tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang
berasal endotel pembuluh darah.2
Timbulnya livor mortis mulai terlihat dalam 30 menit setelah kematian somatis atau
segera setelah kematian yang timbul sebagai bercak keunguan. Bercak kecil ini akan semakin
bertambah intens dan secara berangsur angsur akan bergabung selama beberapa jam
kedepan untuk membentuk area yang lebih besar dengan perubahan warna merah keunguan.
Kejadian ini akan lengkap dalam 6 -12 jam. Sehingga setelah melewati waktu tersebut, tidak
akan memberikan hilangnya lebam mayat pada penekanan. Sebaliknya, pembentukan livor
mortis ini akan menjadi lambat jika terdapat anemia, kehilangan darah akut, dan lain lain.
Besarnya lebam mayat bergantung pada jumlah dan keenceran dari darah. Darah akan
mengalami koagulasi spontan pada semua kasus sudden death dimana otopsi dilakukan antara
1 jam. Koagulasi spontan ini mungkin akan hilang paling cepat 1,5 jam setelah mati. Tidak
adanya fibrinogen pada darah post mortem akan menyebabkan tidak terjadinya koagulasi
spontan. Fibrinolisin didapatkan dari darah post mortem hanya bertindak pada fibrin, bukan
pada fibrinogen. Fibrinolisin bertindak dengan mengikatkan dirinya pada bekuan yang baru
dibentuk dan kemudian akan lepas menjadi cairan bersama bekuan yang hancur. Fibrinolisin
dibentuk oleh sel endotel dalam pembuluh darah.2
Distribusi lebam mayat bergantung pada posisi mayat setelah kematian. Dengan posisi
berbaring terlentang, maka lebam akan jelas pada bagian posterior bergantung pada areanya
seperti daerah lumbal, posterior abdomen, bagian belakang leher, permukaan ekstensor dari
anggota tubuh atas, dan permukaan fleksor dari anggota tubuh bawah. Area area ini disebut
juga areas of contact flattening. Dalam kasus gantung diri, lebam akan terjadi pada daerah
tungkai bawah, genitalia, bagian distal tangan dan lengan. Jika penggantungan ini lama,
akumulasi dari darah akan membentuk tekanan yang cukup untuk menyebabkan ruptur
kapiler subkutan dan membentuk perdarahan petekiae pada kulit. Dalam kasus tenggelam,
lebam biasa ditemukan pada wajah, bagian atas dada, tangan, lengan bawah, kaki dan tungkai
bawah karena pada saat tubuh mengambang, bagian perut lebih ringan karena akumulasi gas
9

yang cukup banyak kuat dibanding melawan kepala atau bahu yang lebih berat. Ekstremitas
badan akan menggantung secara pasif. Jika tubuh mengalami perubahan posisi karena adanya
perubahan aliran air, maka lebam tidak akan terbentuk.3,4
Lebam mayat lama kelamaan akan terfiksasi oleh karena adanya kaku mayat. Pertama
tama karena ketidakmampuan darah untuk mengalir pada pembuluh darah menyebabkan
darah berada dalam posisi tubuh terendah dalam beberapa jam setelah kematian. Kemudian
saat darah sudah mulai terkumpul pada bagian bagian tubuh, seiring terjadi kaku mayat.
Sehingga hal ini menghambat darah kembali atau melalui pembuluh darahnya karena
terfiksasi akibat adanya kontraksi otot yang menekan pembuluh darah. Selain itu dikarenakan
bertimbunnya sel sel darah dalam jumlah cukupbanyak sehingga sulit berpindah lagi. 3,4
Biasanya lebam mayat berwarna merah keunguan. Warna ini bergantung pada tingkat
oksigenisasi sekitar beberapa saat setelah kematian. Perubahan warna lainnya dapat
mencakup: 3,4
- Cherry pink atau merah bata (cherry red) terdapat pada keracunan oleh
-

carbonmonoksida atau hydrocyanic acid.


Coklat kebiruan atau coklat kehitaman terdapat pada keracunan kalium chlorate,

potassium bichromate atau nitrobenzen, aniline, dan lain lain.


Coklat tua terdapat pada keracunan fosfor.
Tubuh mayat yang sudah didinginkan atau tenggelam maka lebam akan berada
didekat tempat yang bersuhu rendah, akan menunjukkan bercak pink muda

kemungkinan terjadi karena adanya retensi dari oxyhemoglobin pada jaringan.


Keracunan sianida akan memberikan warna lebam merah terang, karena kadar oksi
hemoglobin (HbO2) yang tinggi.

Gambar 1 Lebam Mayat


Perbedaan antara lebam mayat dan memar
Saat pembusukan sudah terjadi, perbedaannya akan semakin sulit karena terjadi
hemolisis darah dan difusi pigmen ke dalam jaringan sekitarnya. Saat pembusukan
berlangsung, lebam akan menjadi gelap, berubah menjadi coklat kemudian hijau sebelum
hilang seiring hancurnya sel darah.3
Lebam Mayat

Memar
10

Lokasi
Permukaan
Batas
Warna

Bagian tubuh terbawah


Tidak menimbul
Tegas
Kebiru biruan atau merah
keunguan,

warna

Dimana saja
Bisa menimbul
Tidak tegas
Diawali dengan merah yang

spesifik lama

kelamaan

berubah

pada kematian karena kasus seiring bertambahnya waktu


keracunan
Distensi kapiler vena
Ekstravasasi darah dari kapiler
Bila ditekan akan memucat
Tidak ada efek penekanan
Akan terlihat darah yang Terlihat
perdarahan
pada

Penyebab
Efek penekanan
Bila dipotong

terjebak

antara

pembuluh jaringan

dengan

adanya

darah, tetesan akan perlahan koagulasi atau darah cair yang

Mikroskopis

lahan

berasal dari pembuluh yang

Unsur

ruptur
ditemukan Unsur darah ditemukan diluar

darah

diantara pembuluh darah dan pembuluh darah dan tampak


Enzimatik

tidak terdapat peradangan


Tidak ada perubahan

Kepentingan medicolegal

Memperkirakan

bukti peradangan
Perubahan level dari enzim

pada daerah yang terlibat


waktu Memperkirakan
cedera,

kematian dan posisi saat mati


senjata yang digunakan
Tabel 1. Perbedaan antara lebam mayat dan luka memar
Lebam pada organ dalam
Karena lebam terjadi pada daerah yang mengandung pembuluh darah, maka akan
berpengaruh pada organ organ dalam yang mengandung pembuluh darah juga.3

Lokasi

Lebam mayat
Kongesti
Hanya pada organ organ Bisa seluruh atau beberapa
tertentu

bagian dari organ tersebut

Penyebab

Distensi pasif kapiler vena

dipengaruhi oleh patologinya


Berdasarkan
patologi

Bengkak dan oedema


Pada penampang potongan

penyakitnya
Tidak ada
Dapat bermakna
Darah mengalir pelan pelan Keluar cairan,

Hollow viscus

dari kapiler yang terdistensi


dengan darah
Lambung atau usus saat Lambung atau
direntangkan
daerah

akan

dengan

tampak direntangkan

perubahan perubahan

tercampur
usus

saat

akan

tampak

warna

yang
11

warna dan tanpa perubahan seragam


warna
Tabel 2. Perbedaan antara lebam mayat dengan proses kongesti pada organ dalam

Aspek Medikolegal Pada Pemeriksaan Lebam Mayat


Kegunaan pemeriksaan lebam mayat : 3,4
Dapat memperkirakan saat kematian.
Dapat memperkirakan posisi kematian.
Tanda pasti kematian seluler (mati yang terjadi adalah mati seluler).
Mengetahui adanya manipulasi (perubahan pada jenazah).
Dapat mengetahui penyebab kematian.

2.6.3 Kaku Mayat (Rigor Mortis / Post Mortem Stiffening)


Disebut juga cadaveric rigidity. Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang
terjadi pada otot yang kadang kadang disertai dengan sedikit pemendekkan serabut otot,
yang terjadi setelah periode pelemasan / relaksasi primer.4
Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortal dan mencapai puncaknya setelah
10 12 jam post mortal, keadaan ini akan menetap selama 24 jam, dan setelah 24 jam kaku
mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot otot
wajah, leher, lengan, dada, perut, dan tungkai. 3,4
Kekakuan pertama ditemukan pada otot otot kecil, bukan karena itu terjadi pertama
kali disana, melainkan karena adanya sendi yang tidak luas, seperti contohnya tulang rahang
yang lebih mudah diimobilisasi. 3,4
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat
seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi.
Energi ini digunakan untuk memecah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka
serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi
tidak terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Faktor faktor
yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktifitas fisik sebelum mati, suhu tubuh
yang tinggi, bentuk tubuh yang kurus dengan otot otot kecil dan suhu lingkungan yang
tinggi. Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak kira
kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot otot kecil) ke arah
dalam (sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal.
Setelah mati klinis 12 jam, kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan
kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai
pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi
teregang, maka saat kaku mayat terbentuk akan terjadi pemendekan otot. 3,4
Proses terjadinya kaku mayat dapat melalui beberapa fase :3
- Fase pertama
12

Sesudah kematian somatik, otot masih dalam bentuk yang normal. Tubuh yang mati
akan mampu menggunakan ATP yang sudah tersedia dan ATP tersebut diresintesa dari
cadangan glikogen. Terbentuknya kaku mayat yang cepat adalah saat dimana
cadangan glikogen dihabiskan oleh latihan yang kuat sebelum mati, seperti mati saat
terjadi serangan epilepsi atau spasme akibat tetanus, tersengat listrik, atau keracunan
strychnine.
- Fase kedua
Saat ATP dalam otot berada dibawah ambang normal, kaku akan dibentuk saat
konsentrasi ATP turun menjadi 85%, dan kaku mayat akan lengkap jika berada
dibawah 15%.
- Fase ketiga
Kekakuan menjadi lengkap dan irreversible.
- Fase keempat
Disebut juga fase resolusi. Saat dimana kekakuan hilang dan otot menjadi lemas.
Salah satu pendapat terjadinya hal ini dikarenakan proses denaturasi dari enzim pada
otot.

Gambar 2 Kaku Mayat


Proses Biokimiawi yang Terjadi Pada Rigor Mortis
Szent Gyorgi (1947) menemukan bahwa substansi kontraktil essensial pada otot
adalah protein actin dan miosin. Energi ini didapat dengan membagi kompleks fosfat dari
ADP menjadi ATP (Erdos, 1943). Gugus fosfat yang bebas akan membentuk reaksi fosforilasi
yang mengubah glikogen menjadi asam laktat. ADP dibentuk kembali dengan meresintesa
ATP dengan tambahan kreatin fosfat.1,3
Sebagai tambahan untuk persediaan energi, ATP bertanggung jawab terhadap
kekenyalan otot. Asam laktat disaring kembali masuk kedalam peredaran darah dan kembali
13

ke hati untuk dikonversikan kembali menjadi glikogen. Semua reaksi ini anaerob dan dapat
berlanjut setelah kematian. 1,3
Resintesis ATP bergantung pada ketersediaan glikogen, dimana akan dikurangi dengan
adanya aktifitas berat sebelum mati. Secara normal, hal ini muncul pada periode awal setelah
kematian dimana tingkat ATP dipertahankan atau bahkan meningkat sebagai hasil dari
pembebasan fosfat oleh proses glikogenolisis.Kekakuan dimulai saat konsentrasi ATP turun
menjadi 85% dari normal, dan kekakuan otot akan maksimal saat kadar turun menjadi
15%.Saat sudah sempurna, kekakuan dipatahkan dengan gerakan memaksa dari anggota
badan atau leher, lalu jika tidak kembali, maka hal ini memudahkan dilakukannya pekerjaan
dalam kamar mayat atau memasukkan ke dalam peti mati. Namun jika kekakuan tetap
terbentuk, maka kekakuan tersebut akan berlanjut pada posisi yang baru sesuai gerakan
terakhir. 1,3
Faktor yang mempengaruhi kecepatan terjadinya rigor mortis
Sebagai suatu proses kimia, kecepatan dan durasi dari kekakuan dipengaruhi oleh
temperatur. Semakin tinggi suhu lingkungan, akan memperlambat proses ini. Mayat yang
terdapat pada daerah dingin / salju tidak akan mengalami kekakuan bahkan sampai 1 minggu
setelah kematian, namun saat mayat tersebut dipindahkan ke tempat yang hangat, maka
dengan cepat akan mengalami kekakuan. Sebaliknya, cuaca panas atau tropis dapat
mempercepat, sehingga kekakuan akan terjadi dalam beberapa jam atau bahkan kurang.
Kekakuan total terbentuk cepat, kemudian akan hilang semenjak hari pertama terjadinya
pembusukan. 1,3
Faktor lainnya adalah aktifitas fisik sebelum mati. Ketersediaan glikogen dan ATP
dalam otot adalah elemen terpenting dalam terbentuknya kekakuan. Kerja otot mempengaruhi
interaksi dari substansi tersebut dan dapat mempercepat onset terjadinya kekakuan. Cadaveric
spasme, merupakan bentuk variasi dari kekakuan yang dipercepat. 1,3
Kondisi rata rata yang sering dialami pada rigor mortis : 1,3
- Jika tubuh mayat terasa hangat dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati tidak
-

sampai 3 jam.
Jika tubuh mayat terasa hangat dan kaku, maka orang itu sudah mati 3 8 jam

lamanya.
Jika tubuh mayat terasa dingin dan kaku, maka orang itu sudah mati 8 36 jam

lamanya.
Jika tubuh mayat terasa dingin dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati lebih dari
36 jam.

Faktor yang mempengaruhi onset dan durasi kaku mayat


14

Temperatur
Nysten (1811) mengatakan bahwa kekakuan bertahan lama di dalam dingin, udara
lembab dibanding udara kering. Hal ini menyebabkan kenapa onset kekakuan berjalan
lambat dan durasinya berjalan lama pada negara dingin atau cuaca dingin sedangkan
onsetnya cepat dan durasi cepat pada cuaca panas. Hal ini dikarenakan perusakan ATP
lebih cepat pada cuaca panas. 1,3

Kondisi fisiologis sebelum mati


Berdasarkan observasi, tubuh seseorang yang kurus atau mati karena penyakit akan
melalui proses yang cepat menuju kekakuan, dimana biasanya dengan durasi yang
cepat. Pada kasus orang yang meninggal karena septicemia, kaku mayat terlihat lebih
dini sejak 3 setengah menit pertama dan hilang pada 15 menit sampai 1 jam, saat
pembusukan dimulai. Pada kematian karena asfiksia, perdarahan hebat, apoplexy,
pneumonia, dan penyakit saraf dengan paralisis otot, maka onset akan lebih lama. 1,3

Kondisi otot sebelum mati


Onset akan berjalan lambat dan durasi berjalan lama pada kasus dimana otot dalam
kondisi sehat sebelum kondisi mati. Onset akan berjalan cepat jika otot berada dalam
kondisi kelelahan. Pada orang yang mati saat lari, kaku akan terbentuk dengan cepat
pada daerah kaki sebelum menuju ke daerah lainnya. 1,3

Pengaruh sistem saraf pusat


Pada saat stres, kaku mayat terjadi karena perubahan kimia yang terjadi pada otot
setelah kematian sebagai bentuk dari aktifitas selular dan enzimatik. 1,3

Umur
Kaku biasanya tidak terjadi pada janin yang tidak lebih dari 7 bulan, tapi masih bisa
ditemukan pada bayi yang cukup bulan. Kaku bisa timbul dan menghilang dengan
sangat dini. 1,3

Aspek Medikolegal Pada Rigor Mortis


Kegunaan pemeriksaan kaku mayat :4
Tanda pasti kematian.
Dapat memperkirakan waktu / saat kematian.
Dapat memperkirakan / melihat adanya tanda tanda manipulasi.
Dapat memperkirakan penyebab (walaupun sulit).
Dapat memperkirakan posisi.

15

Bentuk - Bentuk dari Kekakuan yang Menyerupai Rigor Mortis


a. Heat Stiffening
Protein pada otot akan terkoagulasi pada temperatur diatas 149 derajat Fahrenheit
atau 65 derajat celcius. Paparan panas yang kuat seperti terbakar, terekspos listrik
tegangan tinggi, terendam air panas, kekakuan terbentuk lebih kuat dibanding rigor
mortis biasa. Pada otopsi, otot dapat tampak menciut dan tampak karbonisasi ke
permukaan. Dibawahnya terdapat daerah pink kecoklatan (cooked meat), dan jika
proses tidak berlanjut sampai bagian bawahnya, tampak otot merah normal.
Pugilistic attitude pada tubuh yang terbakar, disebabkan karena besarnya daerah otot
fleksor dibanding otot ekstensor, yang mana terjadi pemaksaan daerah anggota
badan ke dalam posisi fleksi dan tulang belakang ke dalam posisi opisthotonus.Heat
stiffening ini tidak dapat dipatahkan dengan menggerakan ke arah sikap ekstensi
seperti halnya pada rigor mortis, dan akan menetap sampai timbulnya
pembusukan.3,4
b. Cold Stiffening
Penurunan temperatur pada mayat dibawah 3,5 derajat celcius atau 40 derajat
Fahrenheit akan menghasilkan memadatnya lemak subkutan dan otot. Saat tubuh
dibawa untuk dihangatkan, akan timbul true rigor mortis. Pada lingkungan bersuhu
dingin ekstrim, cairan tubuh juga akan membeku termasuk persendian, sehingga bila
sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi. Pada
temperatur yang ekstrim, otot akan mengalami kekakuan yang palsu. Pada udara
yang sangat dingin, saat panas tubuh hilang, otot dapat mengeras karena cairan
tubuh menjadi beku dan memadat, seperti pada daging yang disimpan pada freezer.
Membedakan orang mati karena kedinginan dengan orang yang telah mati sebelum
kedinginan : 3,4

Bila orang mati di kutub -> kematian terjadi karena kedinginan. Dingin
membuat suhu tubuhnya menjadi kaku, belum terjadi rigor mortis / kaku
mayat. Sehingga apabila nanti dihangatkan, tubuh mayat akan lemas dan

kemudian terjadi rigor mortis (kaku mayat).


Bila orang yang mati duluan, kemudian dibuang ditempat yang dingin ->
tubuh mayat yang dibuang akan tetap kaku karena udara dingin, tetapi setelah

dihangatkan tubuh mayat akan tetap lemas. Tidak akan terjadi rigor mortis.
c. Cadaveric Spasm
16

Cadaveric spasm terjadi pada kematian yang disebabkan jika seseorang berada
ditengah aktifitas fisik atau emosi yang kuat, yang kemudian menuntun pada
kekakuan post mortem instan yang sedikit kurang dapat dipahami. Hal ini harus
diawali dengan aktifitas saraf motorik, tetapi beberapa alasan mengatakan terdapat
kegagalan relaksasi normal. Fenomena biasanya terjadi hanya pada 1 daerah otot,
contohnya otot fleksor tangan, dibanding seluruh tubuh. sesungguhnya merupakan
kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi
primer. Penyebabnya adakah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang
bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat
sebelum meninggal.4
Keuntungannya, kebanyakan penyidik dapat mengetahui saat seseorang diduga mati
dibunuh atau bunuh diri saat melihat tangannya yang menggenggam senjata. Jika
menemukan korban yang tenggelam, atau jatuh dari ketinggian, hal ini memiliki
nilai yang memastikan bahwa orang tersebut masih hidup saat dia jatuh, dengan
demikian hal ini membedakan pada korban post mortem yang dibuang.4

Onset

Otot yang terlibat


Intensity
Durasi

Rigor Mortis
Dikarenakan perubahan otot

Cadaveric Spasm
Keadaan lanjut dari kontraksi

sesudah kematian seluler,

otot sesudah mati, dimana otot

didahului dengan primary

dalam kondisi mati seketika

flaccidity
Semua otot dalam tubuh

Otot tertentu, sesuai keadaan

Moderate
12 24 jam

kontraksi saat mati


Sangat kuat
Beberapa jam, sampai
digantikan posisinya oleh

rigor mortis
Rangsangan, ketakutan,

Mekanisme pembentukan

Penurunan ATP dibawah level

kelelahan
Tidak diketahui

Hubungan medikolegal

kritis
Mengetahui waktu kematian

Mengetahui cara kematian,

Faktor predisposisi

bisa karena bunuh diri,


kecelakaan, atau pembunuhan
Tabel 3. Perbedaan antara rigor mortis dengan cadaveric spasm

17

2.6.4 Pembusukan (Decomposition, Putrefaction)


Merupakan tahap akhir pemutusan jaringan tubuh mengakibatkan hancurnya komponen
tubuh organik kompleks menjadi sederhana. Pembusukan merupakan perubahan lebih lanjut
dari mati seluler. Kedua proses ini mengakibatkan dekomposisi seperti di bawah ini :1,3
a. Autolisis.
Merupakan proses melunaknya jaringan bahkan pada keadaan steril yang
diakibatkan oleh kerja enzim digestif yang dikeluarkan sel setelah kematian dan
dapat dihindari dengan membekukan jaringan. Perubahan autolisis awal dapat
diketahui pada organ parenkim dan kelenjar. Pelunakan dan ruptur perut dan ujung
akhir esofagus dapat terjadi karena adanya asam lambung pada bayi baru lahir
setelah kematian. Pada dewasa juga dapat terlihat. 1,3
b. Proses Pembusukan Bakteri.
Merupakan

proses

dominan

pada

proses

pembusukan

dengan

adanya

mikroorganisme, baik aerobik maupun anaerobik. Bakteri pada umumnya terdapat


dalam tubuh, akan memasuki jaringan setelah kematian. Kebanyakan bakteri
terdapat pada usus, terutama Clostridium welchii. Bakteri lainnya dapat ditemukan
pada saluran nafas dan luka terbuka. Pada kasus kematian akibat penyakit infeksi,
pembusukan berlangsung lebih cepat. Karena darah merupakan media yang sangat
baik untuk perkembangan bakteri maka organ yang mendapat banyak suplai darah
dan dekat dengan sumber bakteri akan terdapat lebih banyak bakteri dan mengalami
pembusukan terlebih dahulu. 1,3
Bakteri menghasilkan berbagai macam enzim yang berperan pada karbohidrat,
protein, dan lemak, dan hancurnya jaringan. Salah satu enzim yang paling penting
adalah lecithin yang dihasilkan oleh Clostridium welchii, yang menghidrolisis
lecithin yang terdapat pada seluruh membran sel termasuk sel darah dan berperan
pada pembentukan hemolisis pada darah post mortem. Enzim ini juga berperan
dalam hidrolisis post mortem dan hidrogenasi lemak tubuh. 1,3
Aktifitas pembusukan berlangsung optimal pada suhu antara 70 sampai 100 derajat
Fahrenheit dan berkurang pada suhu dibawah 70 derajat Fahrenheit. Oleh sebab itu,
penyebaran awal pembusukan ditentukan oleh dua faktor yaitu sebab kematian dan
lama waktu saat suhu tubuh berada dibawah 70 derajat Fahrenheit. 1,3
c. Perubahan Warna.

18

Pembusukan diikuti dengan hilangnya kaku mayat, tetapi pada suhu yang sangat
tinggi dan kelembapan tinggi, maka pembusukan terjadi sebelum kaku mayat hilang.
Tanda awal pembusukan adalah tampak adanya warna hijau pada kulit dan dinding
perut depan, biasanya terletak pada sebelah kanan fossa iliaca, dimana daerah
tersebut merupakan daerah colon yang mengandung banyak bakteri dan cairan.
Warna ini terbentuk karena perubahan hemoglobin menjadi sulpmethaemoglobin
karena masuknya H2S dari usus ke jaringan. Warna ini biasanya muncul antara 12
18 jam pada keadaan panas dan 1 2 hari pada keadaan dingin dan lebih tampak
pada kulit cerah. 1,3
Warna hijau ini akan menyebar ke seluruh dinding perut dan alat kelamin luar,
menyebar ke dada, leher, wajah, lengan, dan kaki. Rangkaian ini disebabkan karena
luasnya distribusi cairan atau darah pada berbagai organ tubuh. 1,3
Pada saat yang sama, bakteri yang sebagian besar berasal dari usus, masuk ke
pembuluh darah. Darah didalam pembuluh akan dihemolisis sehingga akan mewarna
pembuluh darah dan jaringan penujang, memberikan gambaran marbled appearence.
Warna ini akan tetap ada sekitar 36 48 jam setelah kematian dan tampak jelas pada
vena superficial perut, bahu dan leher. 1,3
d. Pembentukan Gas Pembusukan.
Pada saat perubahan warna pada perut, tubuh mulai membentuk gas yang terdiri dari
campuran gas tergantung dari waktu kematian dan lingkungan. Gas ini akan
terkumpul pada usus dalam 12 24 jam setelah kematian dan mengakibatkan perut
membengkak. Dari 24 48 jam setelah kematian, gas terkumpul dalam jaringan,
cavitas sehingga tampak mengubah bentuk dan membengkak. Jaringan subkutan
menjadi emphysematous, dada, skrotum, dan penis, menjadi teregang. Mata dapat
keluar dari kantungnya, lidah terjulur diantara gigi dan bibir menjadi bengkak.
Cairan berbusa atau mukus berwarna kemerahan dapat keluar dari mulut dan hidung.
Perut menjadi sangat teregang dan isi perut dapat keluar dari mulut. Sphincter
relaksasi dan urine serta feses dapat keluar. Anus dan uterus prolaps setelah 2 3
hari. 1,3
Gas terkumpul diantara dermis dan epidermis membentuk lepuh. Lepuh tersebuh
dapat mengandung cairan berwarna merah, keluar dari pembuluh darah karena
tekanan dari gas. Biasanya lepuh terbentuk lebih dahulu dibawah permukaan,
dimana jaringan mengandung banyak cairan karena oedema hipostatik. Epidermis
19

menjadi longgar menghasilkan kantong berisi cairan bening atau merah muda
disebut skin slippage yang terlihat pada hari 2 3. 1,3
Antara 3 7 hari setelah kematian, peningkatan tekanan gas pembusukan
dihubungkan dengan perubahan pada jaringan lunak yang akan membuat perut
menjadi lunak. Gigi dapat dicabut dengan mudah atau keropos. Kulit pada tangan
dan kaki dapat menjadi glove and stocking. Rambut dan kuku menjadi longgar dan
mudah dicabut. 1,3
5 10 hari setelah kematian, pembusukan bersifat tetap. Jaringan lunak menjadi
masa semisolid berwarna hitam yang tebal yang dapat dipisahkan dari tulang dan
terlepas. Kartilogi dan ligament menjadi lunak. 1,3
e. Skeletonisasi.
Skeletonisasi berlangsung tergantung faktor intrinsik dan ekstrinsik dan lingkungan
dari mayat tersebut, apakah terdapat di udara, air, atau terkubur. Pada umumnya
tubuh yang terkena udara mengalami skeletonisasi sekitar 2 4 minggu tetapi dapat
berlangsung lebih cepat bila terdapat binatang seperti semut dan lalat, dapat pula
lebih lama bila tubuh terlindungi contohnya terlindung daun dan disimpan dalam
semak. 1,3
Dekomposisi berbeda pada setiap tubuh, lingkungan dan dari bagian tubuh yang satu
dengan yang lain. Terkadang, satu bagian tubuh telah mengalami mumifikasi
sedangkan bagian tubuh lainnya menunjukkan pembusukan. Adanya binatang akan
menghancurkan jaringan luna dalam waktu yang singkat dan dalam waktu 24 jam
akan terjadi skeletonisasi. 1,3
f. Pembusukan Organ Dalam.
Perubahan warna muncul pada jaringan dan organ dalam tubuh walaupun prosesnya
lebih lama dari yang dipermukaan. Jika organ lebih lunak dan banyak vascular maka
akan membusuk lebih cepat. Warna merah kecoklatan pada bagian dalam aorta dan
pembuluh darah lain muncul pada perubahan awal. Adanya hemolisis dan difusi
darah akan mewarnai sekeliling jaringan atau organ dan merubah warna organ
tersebut menjadi hitam. Organ menjadi lunak ,berminyak, empuk dan kemudian
menjadi masa semiliquid. 1,3
Awal
Laring dan trachea
Lambung dan usus

Akhir
Paru paru
Jantung
20

Limpa
Ginjal
Omentum dan mesenterium
Oesofagus dan diafragma
Hati
Kandung kencing
Otak
Pembuluh darah
Uterus gravid
Prostat dan uterus
Tabel 4. Susunan perubahan pembusukan pada organ dalam

Gambar 3. Pembusukan
Keadaan yang mempengaruhi onset dan lama pembusukan : 1,3
a. Faktor Eksogen
1. Temperatur atmosfer.
Temperatur atmosfer lingkungan yang tinggi akan mempercepat pembusukan. Pada
umumnya, proses pembusukan berlangsung optimal pada suhu 70 sampai 100 derajat
Fahrenheit dan bila temperatur dibawah 70 derajat Fahrenheit, proses menjadi lebih
lambat, walaupun enzim yang diproduksi bakteri terus berlangsung. Tubuh yang sudah
mati dapat diawetkan selama waktu tertentu dalam lemari pendingin, salju, dan
sebagainya. Pada beberapa kondisi (khususnya pada bulan musim hujan), warna hijau
ditemukan pada mayat setelah 6 12 jam post mortem. 1,3
2. Adanya udara dan cahaya.
Udara sangat mempengaruhi temperatur dan kelembapan yang mengakibatkan seperti
hal diatas. Secara tidak langsung, lalat dan serangga biasanya menghindari bagian
tubuh yang terekspos sinar, cenderung meletakan telurnya pada kelopak mata, lubang
hidung, dan sebagainya. 1,3
3. Terbenam dalam air.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi proses dekomposisi. Air yang diam atau
mengalir, air laut atau air berpolusi, suhu air, kedalaman air dan lainnya dapat
mempengaruhi

pembusukan.

Pembusukan

berlangsung

lebih

lambat

di

air

21

dibandingkan di udara. Rumus Casper menyatakan bahwa waktu pembusukan di udara


diberi nilai 1, jika di air bernilai 2, dan pada mayat yang terkubur bernilai 8. 1,3
4. Mengapung diatas air.
Biasanya tergantung dari produksi dan akumulasi gas di jaringan dan rongga tubuh.
Gaya gravitasi cadaver lebih besar dari air maka tubuh akan cenderung tenggelam
sampai adanya cukup gas sehingga membuat tubuh mengapung. Maka dari itu,
pembentukan gas akan membantu tubuh untuk naik ke permukaan air. Beberapa faktor
seperti umur, jenis kelamin, pakaian, kondisi tubuh, musim, keadaan air dapat
mempengaruhi waktu mengapung yang berperan dalam proses pembusukan dan
pembentukan gas. 1,3
Dekomposisi dalam air
Dekomposisi pada udara
Wajah dan leher
Perut
Dada
Dada
Bahu
Wajah
Lengan
Tungkai
Perut
Bahu
Tungkai
Lengan
Tabel 5. Perbedaan pembusukan dalam air dan pada udara
5. Terkubur dalam tanah.
Pada umumnya tubuh yang terkubur dalam tanah yang dalam akan membusuk lebih
lama daripada tubuh yang terkubur dalam tanah yang dangkal. Pada tubuh yang
terkubur pada tempat yang basah, daerah rawa, tanah liat, maka pembusukan akan lebih
cepat. Pembusukan akan berlangsung lebih lama jika dikubur di tanah kering, tanah
kuburan pada dataran tinggi, atau kuburan yang dalam. Adanya zat kimia disekitar
tubuh, khususnya lemon, akan memperlambat pembusukan. 1,3
b. Faktor Endogen
1. Sebab kematian.
Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, pembusukan akan berlangsung lebih lama
daripada orang yang meninggal karena sakit. Kematian karena gas gangren, sumbatan
usus, bakteriemia / septikemia, aborsi akan menunjukkan proses pembusukan yang
lebih cepat. Racun yang dapat memperlambat pembusukan yaitu potassium sianida,
barbiturat, fosfor, dhatura, strychnine, dan sebagainya. Pada kasus strychnine, terjadi
kejang yang lama dan berulang, proses pembusukan akan dipercepat, dimana terjadi
kejang dengan sedikit kelelahan otot, pembusukan akan menjadi lebih lama. Keracunan
kronis oleh logam akan memperlambat pembusukan karena memperlambat efek
jaringan. Alkoholik kronik umumnya akan mempercepat pembusukan. 1,3
22

Jika tubuh terurai saat kematian, anggota gerak akan menunjukkan pembusukan yang
lambat, batang tubuh akan membusuk seperti biasa. 1,3
2. Kondisi tubuh.
Kelembapan pada tubuh akan menunjang pembusukan. Cairan pada tubuh manusia kira
kira dua per tiga dari berat badan. Maka dari itu pada tubuh yang mengandung sedikit
cairan seperti rambut, gigi, tulang akan memperlambat pembusukan. Pada kasus
dehidrasi akan memperlambat pembusukan. Tubuh yang sangat kurus akan lebih lambat
membusuk dibandingkan dengan tubuh yang gemuk karena jumlah cairan pada orang
yang kurus lebih sedikit. 1,3
3. Pakaian pada tubuh.
Pada tubuh yang terpapar udara, pakaian dapat mempercepat pembusukan dengan
menjaga suhu tubuh tetap hangat. Pakaian yang ketat dapat memperlambat pembusukan
karena menekan bagian tubuh sehingga darah sedikit yang terkumpul pada daerah yang
tertekan. 1,3
4. Umur dan jenis kelamin.
Tubuh bayi yang baru lahir akan membusuk lebih lambat karena masih steril. Jika bayi
baru lahir tersebut mengalami trauma selama atau setelah lahir atau sudah mendapat
makanan setelah lahir, maka akan membusuk lebih awal. Tubuh anak anak membusuk
lebih cepat daripada orang tua, dimana pada orang tua akan membusuk lebih lama
karena mengandung cairan lebih sedikit. 1,3
Jenis kelamin tidak terlalu berpengaruh. Tubuh wanita memiliki lemak yang lebih
banyak yang akan mempertahankan panas lebih lama, yang akan mempercepat proses
pembusukan. 1,3
2.6.5 Adipocere
Dikenal juga sebagai grave wax atau adiposera. Adiposera berasal dari bahasa latin,
adipo untuk lemak dan cera untuk lilin) berwarna utih kelabu setelah meninggal
dikarenakan dekomposisi lemak yang dikarenakan hidrolisis dan hidrogenasi dan lemak
(sel lemak) yang terkumpul di jaringan subkutan yang menyebabkan terbentuknya
lechitinase, suatu enzim yang dihasilkan oleh Clostridium welchii, yang berpengaruh
terhadap jaringan lemak. Dengan demikian akan terbentuk asam asam lemak bebas
(asam palmitat, stearat, oleat), ph tubuh menjadi rendah dan ini akan menghambat
bakteri untuk pembusukan dengan demikian proses pembusukan oleh bakteri akan
terhenti. Tubuh yang mengalami adiposera akan tampak berwarna putih kelabu,
23

perabaan licin dengan bau yang khas, yaitu campuran bau tanah, keju, amoniak, manis,
tengik, mudah mencair, larut dalam alkohol, panas, eter, dan tidak mudah terbakar, bila
terbakar mengeluarkan nyala kuning dan meleleh pada suhu 200 derajat Fahrenheit. 1,3
Faktor faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah :
-

Kelembapan.
Lemak tubuh.

Sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir.


Proses pertama saponifikasi terlihat pada lemak subkutan yang berada pada dagu, buah
dada, bokong, dan perut, ini dikarenakan karena area tersebut mempunyai lemak lebih
banyak. Namun proses saponifikasi dapat terjadi di semua bagian tubuh yamg terdapat
lemak. Otot menjadi dehidrasi dan menjadi sangat tipis, berwarna keabu abuan. Organ
organ dalam dan paru paru konsistensinya menjadi seperti perkamen. Secara
histologis, makroskopis organ masih dapat dikenali. Walaupun secara mikroskopis sulit
untuk dikenali. 1,3
Walaupun dekomposisi lemak dimulai setelah meninggal, namun seringnya pembentukan
saponifikasi bervariasi dari dua minggu atau dua bulan tergantung faktor faktor yang
mendukung seperti temperatur, pembalseman, kondisi penguburan, dan barang barang
sekitar jenazah. Keuntungan adanya adiposera ini : 1,3
-

Tubuh korban akan mudah dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang sangat

lama sekali sampai ratusan tahun.


Dapat pula untuk mengetahui sebab sebab kematian jangka waktu dekat seperti

kecelakaan, namun dapat juga digunakan untuk waktu yang lama.


Tempat untuk pembuangan tubuh dapat diketahui.
Tanda tanda positif dari kematian dapat diketahui dari kematian sampai beberapa
minggu atau mungkin beberapa bulan.

Lemak tubuh pada waktu meninggal mengandung hanya sekitar 0,5% dari asam lemak
bebas namun sekitar empat minggu setelah kematian dapat meningkat sampai 20% dan
setelah 12 minggu dapat meningkat menjadi 70% bahkan lebih. Pada saat ini adiposera
dapat terlihat dengan jelas berwarna putih keabuan menggantikan jaringan lunak. Pada
awal saponifikasi, dimana belum terlalu jelas terlihat pemeriksaan dapat dengan
menggunakan analisa asam palmitat. 1,3
Adiposera dapat diketemukan bercampur dengan dekomposisi yang lain tergantung dari
letak tubuh dan lingkungan yang bervarias, maka salah satu tubuh dapat menjadi
saponifikasi di bagian tubuh yang lain dapat menjadi mumifikasi atau pembusukan.1
24

Gambar 4. Adipocere
2.6.6 Mumifikasi
Perubahan perubahan yang terjadi pada tubuh akibat dekomposisi dapat dihambat dan
digantikan dengan mumifkasi. Mumifikasi secara harafiah menggambarkan proses
pembentukan mumi, sebuah kata yang diambil dari bahasa Persia mum yang berarti lilin.
Kata ini diambil dari catatan sejarah Yunan kuni yang menggambarkan bangsa Persia, dalam
penghormatan terhadap bangsawannya, mengawetkan mereka dengan lilin. Mayat yang
mengalami mumifikasi akan tampak kering, berwarna coklat, kadang disertai bercak warna
putih, hijau atau hitam, dengan kulit yang tampak tertarik terutama pada tonjolan tulang,
seperti pada pipi, dagu, tepi iga, dan panggul. Organ dalam umumnya mengalami
dekomposisi menjadi jaringan padat berwarna coklat kehitaman. Sekali mayat mengalami
proses mumifikasi, maka kondisinya tidak akan berubah, kecuali bila diserang oleh
serangga.1,3
Mumifikasi adalah proses yang menginhibisi proses pembusukan alami yang memiliki
karakteristik dimana jaringan yang mengalami dehidrasi menjadi kering, berwarna gelap, dan
mengerut. Pengeringan akan menyebabkan tubuh lebih kecil dan ringan. Dilihat dari sudut
forensik, mumifikasi memberikan keuntungan dalam bertahannya bentuk tubuh, terutama
kulit dan beberapa organ dalam, bentuk wajah secara kasar masih dapat diindentifikasi secara
visual. Mumifikasi juga dapat mempreservasi bukti terjadinya jejas yang menunjukkan
kemungkinan sebab kematian. 1,3
Karena sifat dari jaringan tubuh yang termumifikasi cenderung keras dan rapuh, maka
untuk dapat memeriksanya potongan kecil jaringan direndam dalam sodium karbonat atau
campuran alkohol, formalin dan sodium carbonate. Pada proses mumifikasi tubuh yang lebih
lengkap, maka untuk dapat melakukan pemeriksaan dalam, mayat harus direndam dalam
glycerin 15% selama beberapa saat. 1,3
25

Kepentingan forensik yang tak kalah penting pada mumifikasi adalah identifikasi.
Walau terjadi pengerutan namun struktur wajah, rambut, dan beberapa kekhususan pada
tubuh seperti tato dapat bertahan sampai bertahun tahun. Terperliharanya sebagian dari
anatomi dan topografi jenasah pada proses mumifikasi memungkinkan pemeriksaan radiologi
yang lebih teliti. Dengan pemeriksaan radiologi, jejas- jejas yang mungkin terlewatkan dalam
pemeriksaan mayat dan bedah mayat dapat ditunjukkan dengan jelas dan dieksplorasi
kembali lewat pemeriksaan bedah jenasah. Pemeriksaan CT scan pada mumi juga dapat
mengungkapkan jejas pada lokasi yang sulit dijangkau, bahkan dengan pemeriksaan bedah
mayat. 1,3
Proses mumifikasi juga memungkinkan dilakukannya pemeriksaan DNA, baha pada
jenasah yang berusia ratusan atau ribuan tahun. Laposan kulit luar yang miskin akan inti sel
mungkin tidak cukup baik diambil sebagai sampel, namun tulang, akar rambut, organ dalam
dan sisa cairan tubuh yang mengering pada mumi dapat digunakan untuk pemeriksaan DNA.
Yang harus diingat dalam pemanfaatan mumi untuk kepentingan forensik bahwa pada
mumifikasi terjadi pengerutan kulit yang dapat menimbulkan artefak pada kulit yang
menyerupai luka / jejas terutama pada daerah pubis, daerah disekiter leber, dan axilla. 1,3

Gambar 5. Mumifikasi

DAFTAR PUSTAKA
1

Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,


Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: FKUI; 1997.

Apuranto Hariadi, Hoediyanto. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan


Medikolegal. BAgian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universita Airlangga, Surabaya. 2007

26

Idries, Abdul Munim. Saat Kematian dalam Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa
Aksara, Jakarta. 1997

Nasution G.B., Kapita Selekta. Edisi Revisi.

27

Anda mungkin juga menyukai