Anda di halaman 1dari 45

Ilustrasi: Kisah Laki-Laki Dan Keledai

Suatu ketika seorang laki-laki beserta anaknya membawa seekor keledai ke pasar. Di tengah
jalan, beberapa orang melihat mereka dan menyengir, "Lihatlah orang-orang dungu itu. Mengapa
mereka tidak naik ke atas keledai itu?"
Laki-laki itu mendengar perkataan tersebut. Ia lalu meminta anaknya naik ke atas keledai.
Seorang perempuan tua melihat mereka, "Sudah terbalik dunia ini! Sungguh anak tak tahu diri!
Ia tenang-tenang di atas keledai sedangkan ayahnya yang tua dibiarkan berjalan."
Kali ini anak itu turun dari punggung keledai dan ayahnya yang naik. Beberapa saat kemudian
mereka berpapasan dengan seorang gadis muda. "Mengapa kalian berdua tidak menaiki keledai
itu bersama-sama?"
Mereka menuruti nasehat gadis muda itu. Tidak lama kemudian sekelompok orang lewat.
"Binatang malang...., ia menanggung beban dua orang gemuk tak berguna. Kadang-kadang orang
memang bisa sangat kejam!"
Sampai di sini, ayah dan anak itu sudah muak. Mereka memutuskan untuk memanggul keledai
itu. Melihat kejadian itu, orang-orang tertawa terpingkal-pingkal, "Lihat, manusia keledai
memanggul keledai!" sorak mereka.
Jika anda berusaha menyenangkan semua orang, bisa jadi anda tak akan dapat menyenangkan
siapa pun. (Anonim)

Ilustrasi: Mensyukuri Hidup


Gambaran ini tercermin pada kisah seorang laki-laki paruh baya yang bermimpi mendapat
warisan senilai 1 juta dollar AS.
Suatu pagi, karena merasa terlambat bangun, ia segera pergi ke kamar mandi. Ternyata air PAM
tidak mengucur. Ketika akan memasak air untuk membuat sarapan dan kopi, kompornya tidak
bisa dipakai lantaran kehabisan gas. Saat akan mengambil koran pagi di teras rumah, kosong.
Koran tidak diantar.
Setelah berpakaian rapi, ia mencegat taksi di depan rumah untuk berangkat ke kantor. Tidak ada
satu pun taksi yang muncul. "Aneh!" pikirnya. Mengapa kota menjadi senyap? Pria tersebut
bertanya kepada seseorang yang tampak berjalan tergesa-gesa dari ujung jalan. "Apa yang
terjadi?"
Dengan nafas terengah yang ditanya berteriak, "Anda belum mendengar? Hari ini semua warga
kota mendapat warisan masing-masing 1 juta dollar AS. Jadi, tak ada lagi orang yang mau

bekerja."
"Hah!" si penanya terlonjak kaget. Seketika, ia terbangun dari tidurnya. Diam sejenak, oh
ternyata semua ini hanya mimpi. Ia pun segera ke kamar mandi. Syukurlah, air PAM mengucur
deras. Segar! Setelah itu, ia memanggang roti dan membuat kopi untuk sarapan. Enak! Apalagi
sambil baca koran baru. Tak berapa lama ia keluar rumah, taksi langganannya sudah siap
menunggu. Sesampai di kantor, ia menjadi lebih bersemangat dalam bekerja.
Apa yang bisa membuat rutinitas hidup ini menyenangkan? Jawabannya, ketika kita bisa
bersyukur atas semua yang kita miliki! (Kcm)

Ilustrasi: Berkat atau Kutuk


Pernah ada seorang tua yang hidup di desa kecil. Meskipun ia miskin, semua orang cemburu
kepadanya karena ia memiliki kuda putih cantik. Bahkan raja menginginkan hartanya itu. Kuda
seperti itu belum pernah di lihat begitu kemegahannya, keagungannya dan kekuatannya.
Orang menawarkan harga amat tinggi untuk kuda jantan itu, tetapi orang tua itu selalu menolak,
"Kuda ini bukan kuda bagi saya," ia akan mengatakan. "Ia adalah seperti seseorang. Bagaimana
kita dapat menjual seseorang. Ia adalah sahabat bukan milik. Bagaimana kita dapat menjual
seorang sahabat." Orang itu miskin dan godaan besar. Tetapi ia tetap tidak menjual kuda itu.
Suatu pagi ia menemukan bahwa kuda itu tidak ada di kandangnya. Seluruh desa datang
menemuinya. "Orang tua bodoh," mereka mengejek dia, "sudah kami katakan bahwa seseorang
akan mencuri kudamu. Kami sudah peringatkan bahwa kamu akan di rampok. Anda begitu
miskin. Mana mungkin anda dapat melindungi binatang yang begitu berharga? Sebaiknya anda
sudah menjualnya. Anda boleh minta harga apa saja. Harga setinggi apapun akan di bayar juga.
Sekarang kuda itu hilang dan anda dikutuk oleh kemalangan."
Orang tua itu menjawab, "Jangan bicara terlalu cepat. Katakan saja bahwa kuda itu tidak berada
di kandangnya. Itu saja yang kita tahu; selebihnya adalah penilaian. Apakah saya di kutuk atau
tidak, bagaimana Anda dapat ketahui itu? Bagaimana Anda dapat menghakimi?"
Orang protes, "Jangan menggambarkan kita sebagai orang bodoh! Mungkin kita bukan ahli
filsafat, tetapi filsafat hebat tidak di perlukan. Fakta sederhana bahwa kudamu hilang adalah
kutukan."
Orang tua itu berbicara lagi, "Yang saya tahu hanyalah bahwa kandang itu kosong dan kuda itu
pergi. Selebihnya saya tidak tahu. Apakah itu kutukan atau berkat, saya tidak dapat katakan.
Yang dapat kita lihat hanyalah sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan terjadi nanti?"
Orang-orang desa tertawa. Menurut mereka orang itu gila. Mereka memang selalu menganggap
dia orang tolol; kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan hidup dari uang yang diterimanya.
Sebaliknya, ia seorang tukang potong kayu miskin, orang tua yang memotong kayu bakar dan

menariknya keluar hutan lalu menjualnya. Uang yang ia terima hanya cukup untuk membeli
makanan, tidak lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang ia sudah membuktikan bahwa ia
betul-betul tolol.
Sesudah lima belas hari, kuda itu kembali. Ia tidak di curi, ia lari ke dalam hutan. Ia tidak hanya
kembali, ia juga membawa sekitar selusin kuda liar bersamanya. Sekali lagi penduduk desa
berkumpul di sekeliling tukang potong kayu itu dan mengatakan, "Orang tua, kamu benar dan
kami salah. Yang kami anggap kutukan sebenarnya berkat. Maafkan kami."
Jawab orang itu, "Sekali lagi kalian bertindak gegabah. Katakan saja bahwa kuda itu sudah balik.
Katakan saja bahwa selusin kuda balik bersama dia, tetapi jangan menilai. Bagaimana kalian
tahu bahwa ini adalah berkat? Anda hanya melihat sepotong saja. Kecuali kalau kalian sudah
mengetahui seluruh cerita, bagaimana anda dapat menilai? Kalian hanya membaca satu halaman
dari sebuah buku. Dapatkah kalian menilai seluruh buku? Kalian hanya membaca satu kata dari
sebuah ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh ungkapan? Hidup ini begitu luas,
namun Anda menilai seluruh hidup berdasarkan satu halaman atau satu kata. Yang anda tahu
hanyalah sepotong! Jangan katakan itu adalah berkat. Tidak ada yang tahu. Saya sudah puas
dengan apa yang saya tahu. Saya tidak terganggu karena apa yang saya tidak tahu."
"Barangkali orang tua itu benar," mereka berkata satu kepada yang lain. Jadi mereka tidak
banyak berkata-kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu ia salah. Mereka tahu itu adalah berkat.
Dua belas kuda liar pulang bersama satu kuda. Dengan kerja sedikit, binatang itu dapat
dijinakkan dan dilatih, kemudian dijual untuk banyak uang.
Orang tua itu mempunyai seorang anak laki-laki. Anak muda itu mulai menjinakkan kuda-kuda
liar itu. Setelah beberapa hari, ia terjatuh dari salah satu kuda dan kedua kakinya patah. Sekali
lagi orang desa berkumpul sekitar orang tua itu dan menilai.
"Kamu benar," kata mereka, "Kamu sudah buktikan bahwa kamu benar. Selusin kuda itu bukan
berkat. Mereka adalah kutukan. Satu-satunya puteramu patah kedua kakinya dan sekarang dalam
usia tuamu kamu tidak ada siapa-siapa untuk membantumu. Sekarang kamu lebih miskin lagi."
Orand tua itu berbicara lagi, "Ya, kalian kesetanan dengan pikiran untuk menilai, menghakimi.
Jangan keterlaluan. Katakan saja bahwa anak saya patah kaki. Siapa tahu itu berkat atau
kutukan? Tidak ada yang tahu. Kita hanya mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang
sepotong-sepotong."
Maka terjadilah 2 minggu kemudian negeri itu berperang dengan negeri tetangga. Semua anak
muda di desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya anak si orang tua tidak diminta karena ia
sedang terluka. Sekali lagi orang berkumpul sekitar orang tua itu sambil menangis dan berteriak
karena anak-anak mereka sudah dipanggil untuk bertempur. Sedikit sekali kemungkinan mereka
akan kembali. Musuh sangat kuat dan perang itu akan dimenangkan musuh. Mereka mungkin
tidak akan melihat anak-anak mereka kembali.
"Kamu benar, orang tua," mereka menangis, "Tuhan tahu kamu benar. Ini membuktikannya.
Kecelakaan anakmu merupakan berkat. Kakinya patah, tetapi paling tidak ia ada bersamamu.

Anak-anak kami pergi untuk selama-lamanya".


Orang tua itu berbicara lagi, "Tidak mungkin untuk berbicara dengan kalian. Kalian selalu
menarik kesimpulan. Tidak ada yang tahu. Katakan hanya ini: anak-anak kalian harus pergi
berperang, dan anak saya tidak. Tidak ada yang tahu apakah itu berkat atau kutukan. Tidak ada
yang cukup bijaksana untuk mengetahui. Hanya Allah yang tahu."
****
Orang tua itu benar. Kita hanya tahu sepotong dari seluruh kejadian. Kecelakaan-kecelakaan dan
kengerian hidup ini hanya merupakan satu halaman dari buku besar. Kita jangan terlalu cepat
menarik kesimpulan. Kita harus simpan dulu penilaian kita dari badai-badai kehidupan sampai
kita ketahui seluruh cerita.
Saya tidak tahu dari mana si tukang kayu belajar menjaga kesabarannya. Mungkin dari tukang
kayu lain di Galelia. Sebab tukang kayu itulah yang paling baik mengungkapkannya:
"Janganlah kamu kuatir akan hari esok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri."
Ia adalah yang paling tahu. Ia menulis cerita kita. Dan Ia sudah menulis bab yang terakhir. (In
The Eye of The Storm - Max Lucado)

Ilustrasi: Selalu Ada Jalan Keluar


Dua ekor katak tak sengaja terjatuh ke dalam sebuah tong yang penuh dengan krim. Mereka
berenang ke sana ke mari dengan panik dan berusaha melompat keluar dari tong itu.
Akhirnya, ada seekor katak yang kelelahan dan menyerah. Dia mengeluh, "Tidak ada gunanya
berenang ke sana ke mari!" Dia mengayunkan kakinya untuk terakhir kalinya, lalu tenggelam
dalam keputusasaan. Dia gagal.
Tinggal sang katak yang lainnya. Dia benar-benar berbeda. Dia tidak mau menyerah. Selalu ada
jalan keluar, pikirnya. Dia terus berenang, mempertahankan hidupnya.
Dan suatu kejutan baginya. Krim itu perlahan tapi pasti mulai berubah. Ya, berubah mengeras
dan menjadi mentega. Akhirnya, dia mendapat pijakan yang kuat dan melompat keluar dari tong
itu.
Ah, jika saja Anda tidak menyerah dan terus berusaha, Anda pasti bisa menendang masalah itu
keluar dari kehidupan Anda. (Anonim)

Ilustrasi: Kupu-kupu
Suatu ketika, terdapat seorang pemuda di tepian telaga. Ia tampak termenung. Tatapan matanya
kosong, menatap hamparan air di depannya. Seluruh penjuru mata angin telah di lewatinya,
namun tak ada satupun titik yang membuatnya puas. Kekosongan makin senyap, sampai ada
suara yang menyapanya. Ada orang lain disana.
"Sedang apa kau disini anak muda?" tanya seseorang. Rupanya ada seorang kakek tua. "Apa
yang kau risaukan..?"
Anak muda itu menoleh ke samping, "Aku lelah Pak Tua. Telah berkilo-kilo jarak yang
kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak juga kutemukan rasa itu dalam diriku. Aku
telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam
diriku. Kemanakah aku harus mencarinya? Bilakah kutemukan rasa itu?"
Kakek Tua duduk semakin dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian. Di pandangnya wajah
lelah di depannya. Lalu, ia mulai bicara, "di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin
jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku." Mereka berpandangan.
"Ya ... tangkaplah seekor kupu-kupu buatku dengan tanganmu," sang Kakek mengulang
kalimatnya lagi.
Perlahan pemuda itu bangkit. Langkahnya menuju satu arah, taman. Tak berapa lama,
dijumpainya taman itu. Taman yang yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga yang
bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang berterbangan di sana. Sang kakek, melihat dari
kejauhan, memperhatikan tingkah yang diperbuat pemuda yang sedang gelisah itu.
Anak muda itu mulai bergerak. Dengan mengendap-endap, ditujunya sebuah sasaran. Perlahan.
Namun, Hap! sasaran itu luput. Di kejarnya kupu-kupu itu ke arah lain. Ia tak mau kehilangan
buruan. Namun lagi-lagi. Hap!. Ia gagal. Ia mulai berlari tak beraturan. Diterjangnya sana-sini.
Ditabraknya rerumputan dan tanaman untuk mendapatkan kupu-kupu itu. Diterobosnya semak
dan perdu di sana. Gerakannya semakin liar.
Adegan itu terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat ditangkap. Sang
pemuda mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak naik-turun dengan cepat.
Sampai akhirnya ada teriakan, "Hentikan dulu anak muda. Istirahatlah." Tampak sang Kakek
yang berjalan perlahan. Tapi lihatlah, ada sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan di sisi
kanan-kiri kakek itu. Mereka terbang berkeliling, sesekali hinggap di tubuh tua itu.
"Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang? Menabrak-nabrak tak tentu
arah, menerobos tanpa peduli apa yang kau rusak?" Sang Kakek menatap pemuda itu. "Nak,
mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kau terjang, semakin ia akan
menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi dari dirimu."
"Namun, tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Karena kebahagiaan itu bukan benda yang
dapat kau genggam, atau sesuatu yang dapat kau simpan. Carilah kebahagiaan itu dalam hatimu.
Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari kemana-mana. Bahkan, tanpa kau sadari

kebahagiaan itu sering datang sendiri."


Kakek Tua itu mengangkat tangannya. Hap, tiba-tiba, tampak seekor kupu-kupu yang hinggap di
ujung jari. Terlihat kepak-kepak sayap kupu-kupu itu, memancarkan keindahan ciptaan Tuhan.
Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan
yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu
menyelaminya.
****
Mencari kebahagiaan adalah layaknya menangkap kupu-kupu. Sulit, bagi mereka yang terlalu
bernafsu, namun mudah, bagi mereka yang tahu apa yang mereka cari. Kita mungkin dapat
mencarinya dengan menerjang sana-sini, menabrak sana-sini, atau menerobos sana-sini untuk
mendapatkannya. Kita dapat saja mengejarnya dengan berlari kencang, ke seluruh penjuru arah.
Kita pun dapat meraihnya dengan bernafsu, seperti menangkap buruan yang dapat kita santap
setelah mendapatkannya.
Namun kita belajar. Kita belajar bahwa kebahagiaan tak bisa di dapat dengan cara-cara seperti
itu. Kita belajar bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang dapat di genggam atau benda yang dapat
disimpan. Bahagia adalah udara, dan kebahagiaan adalah aroma dari udara itu.
Kita belajar bahwa bahagia itu memang ada dalam hati. Semakin kita mengejarnya, semakin pula
kebahagiaan itu akan pergi dari kita. Semakin kita berusaha meraihnya, semakin pula
kebahagiaan itu akan menjauh.
Cobalah temukan kebahagiaan itu dalam hatimu. Biarkanlah rasa itu menetap, dan abadi dalam
hati kita. Temukanlah kebahagiaan itu dalam setiap langkah yang kita lakukan. Dalam bekerja,
dalam belajar, dalam menjalani hidup kita. Dalam sedih, dalam gembira, dalam sunyi dan dalam
riuh.
Temukanlah bahagia itu, dengan perlahan, dalam tenang, dalam ketulusan hati kita.
Saya percaya, bahagia itu ada dimana-mana. Rasa itu ada di sekitar kita. Bahkan mungkin,
bahagia itu "hinggap" di hati kita, namun kita tak pernah memperdulikannya. Mungkin juga,
bahagia itu berterbangan di sekeliling kita, namun kita terlalu acuh untuk menikmatinya."
(Anonim)

Ilustrasi: Tak Sesulit Yang Dibayangkan


Di sebuah ladang terdapat sebongkah batu yang amat besar. Dan seorang petani tua selama
bertahun-tahun membajak tanah yang ada di sekeliling batu besar itu. Sudah cukup banyak mata
bajak yang pecah gara-gara membajak di sekitar batu itu. Padi-padi yang ditanam di sekitar batu
itu pun tumbuh tidak baik.

Hari ini mata bajaknya pecah lagi. Ia lalu memikirkan bahwa semua kesulitan yang dialaminya
disebabkan oleh batu besar ini. Lalu ia memutuskan untuk melakukan sesuatu pada batu itu.
Lalu ia mengambil linggis dan mulai menggali lubang di bawah batu. Betapa terkejutnya ia
ketika mengetahui bahwa batu itu hanya setebal sekitar beberapa inchi saja. Sebenarnya batu itu
bisa dengan mudah dipecahkan dengan palu biasa. Kemudian ia lalu menghancurkan batu itu
sambil tersenyum gembira. Ia teringat bahwa semua kesulitan yang di alaminya selama bertahuntahun oleh batu itu ternyata bisa diatasinya dengan mudah dan cepat.
Kita sering ditakuti oleh bayangan seolah permasalahan yang kita hadapi tampak besar, padahal
ketika kita mau melakukan sesuatu, persoalan itu mudah sekali diatasi.
Maka, atasi persoalan anda sekarang. Karena belum tentu sebesar yang anda takutkan, dan belum
tentu sesulit yang anda bayangkan. (Anonim)
Ilustrasi: Kisah Seekor Belalang
Seekor belalang telah lama terkurung dalam sebuah kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari
kotak yang mengurungnya tersebut. Dengan gembira ia melompat-lompat menikmati
kebebasannya. Di perjalanan dia bertemu dengan seekor belalang lain. Namun dia keheranan
mengapa belalang itu bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.
Dengan penasaran ia menghampiri belalang itu, dan bertanya, "Mengapa kau bisa melompat
lebih tinggi dan lebih jauh, padahal kita tidak jauh berbeda dari usia ataupun bentuk tubuh ?".
Belalang itu pun menjawabnya dengan pertanyaan, "Di manakah kau selama ini tinggal? Karena
semua belalang yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan".
Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang membuat lompatannya
tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.
Renungan:
Kadang-kadang kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah juga mengalami hal yang sama dengan
belalang. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan yang beruntun, perkataan
teman atau pendapat tetangga, seolah membuat kita terkurung dalam kotak semu yang
membatasi semua kelebihan kita. Lebih sering kita mempercayai mentah-mentah apapun yang
mereka voniskan kepada kita tanpa pernah berpikir benarkah Anda separah itu? Bahkan lebih
buruk lagi, kita lebih memilih mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri.
Tidakkah Anda pernah mempertanyakan kepada nurani bahwa Anda bisa "melompat lebih tinggi
dan lebih jauh" kalau Anda mau menyingkirkan "kotak" itu? Tidakkah Anda ingin membebaskan
diri agar Anda bisa mencapai sesuatu yang selama ini Anda anggap diluar batas kemampuan
Anda?
Beruntung sebagai manusia kita dibekali Tuhan kemampuan untuk berjuang, tidak hanya

menyerah begitu saja pada apa yang kita alami. Karena itu teman, teruslah berusaha mencapai
apapun yang Anda ingin capai. Sakit memang, lelah memang, tapi bila Anda sudah sampai di
puncak, semua pengorbanan itu pasti akan terbayar.
Kehidupan Anda akan lebih baik kalau hidup dengan cara hidup pilihan Anda. Bukan cara hidup
seperti yang mereka pilihkan untuk Anda. (Anonim)

ILUSTRASI: PANAH
Sally, seorang gadis muda, mengemukakan pengalamannya di sebuah sekolah seminari ... sebuah
pelajaran dari Dr. Smith, yang terkenal dengan kerumitannya.
Suatu hari Sally masuk ke kelas dan segera menyadari bahwa akan ada sesuatu yang
menyenangkan hari itu. Di dinding ada satu papan sasaran yang besar, di meja terletak banyak
anak panah.
Dr. Smith meminta setiap murid untuk membuat gambar orang yang tidak mereka sukai atau
orang yang telah melukai hati mereka; kemudian mereka akan diperbolehkan melempar anak
panah pada gambar tersebut.
Seorang gadis, teman Sally, menggambar wajah gadis lain yang telah merebut pacarnya. Yang
lain manggambar wajah adiknya. Sally menggambar wajah teman lamanya dengan sangat detail
sampai dia tidak lupa menambahkan jerawatnya. Dia sangat puas setelah melihat semuanya
lengkap.
Seluruh isi kelas kemudian berbaris dan mulai melemparkan anak panah, diiringi suara tawa
riang. Beberapa di antara mereka melempar anak panah begitu kuatnya sampai merobek sasaran.
Sally menunggu gilirannya ... kemudian dia kecewa, karena waktu sudah habis.
Dr. Smith meminta semua murid untuk duduk kembali di kursi masing-masing. Sambil duduk,
Sally memikirkan rasa kecewanya karena belum memiliki kesempatan untuk melempar.
Dr. Smith mulai melepas sasaran dari dinding. Di balik sasaran terdapat gambar wajah Yesus ...
Suasana kelas menjadi hening ... semua murid menatap gambar Yesus yang telah hancur; seluruh
wajahNya berlubang dan sobek bahkan matanya tertembus.
Dr. Smith hanya berkata ... "Apa yang kamu lakukan untuk saudaraKu yang paling hina, kamu
melakukannya untukKu". (Matius 25:40).
Tidak ada lagi kata-kata, semua mata berkaca-kaca menatap wajah Yesus ... (Anonim)

ILUSTRASI: EMAS DAN PERMATA


Beberapa waktu yang lalu, di Mesir hidup seorang sufi tersohor bernama Zun-Nun. Seorang
pemuda mendatanginya dan bertanya, "Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti anda
mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian
sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk banyak tujuan
lain."
Sang sufi hanya tersenyum; ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, "Sobat
muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah
cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping
emas?"
Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, "Satu keping emas? Saya tidak
yakin cincin ini bisa dijual seharga itu."
"Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil."
Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang
sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani
membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja,
pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan
Zun-Nun dan melapor, "Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak."
Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, "Sekarang pergilah kamu ke toko emas di
belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka
harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian."
Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut
wajah yang lain. Ia kemudian melapor, "Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai
sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas.
Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di
pasar."
Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, "Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat
muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya "para pedagang sayur, ikan dan daging
di pasar" yang menilai demikian. Namun tidak bagi "pedagang emas". Emas dan permata yang
ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman
jiwa.
Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses wahai sobat mudaku. Kita tak
bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali
yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas."
(Anonim)

ILUSTRASI: DUA KOTAK


Ada di tanganku dua buah kotak yang telah Tuhan berikan padaku untuk dijaga. Kata-Nya,
"Masukkan semua penderitaanmu ke dalam kotak yang berwarna hitam. Dan masukkan semua
kebahagiaanmu ke dalam kotak yang berwarna emas."
Aku melakukan apa yang Tuhan katakan. Setiap kali mengalami kesedihan maka aku letakkan ia
ke dalam kotak hitam. Sebaliknya ketika bergembira maka aku letakkan kegembiraanku dalam
kotak berwarna emas.
Tapi anehnya, semakin hari kotak berwarna emas semakin bertambah berat. Sedangkan kotak
berwarna hitam tetap saja ringan seperti semula. Dengan penuh rasa penasaran, aku membuka
kotak berwarna hitam. Kini aku tahu jawabannya. Aku melihat ada lubang besar di dasar kotak
berwarna hitam itu, sehingga semua penderitaan yang aku masukkan ke sana selalu jatuh keluar.
Aku tunjukkan lubang itu pada Tuhan dan bertanya, "Kemanakah perginya semua
penderitaanku?"
Tuhan tersenyum hangat padaku. "AnakKu, semua penderitaanmu berada padaKu." Aku
bertanya kembali, "Tuhan, mengapa Engkau memberikan dua buah kotak, kotak emas dan kotak
hitam yang berlubang?"
"AnakKu, kotak emas Kuberikan agar kau senantiasa menghitung rahmat yang Aku berikan
padamu, sedangkan kotak hitam Kuberikan agar kau melupakan penderitaanmu." Ingat-ingatlah
semua kebahagiaanmu agar kau senantiasa merasakan kebahagiaan. Campakkan penderitaanmu
agar kau melupakannya. (Anonim)

ILUSTRASI: PELAJARAN DARI SEORANG GELANDANGAN


Hari itu, hari Minggu yang dingin di musim gugur. Pelataran parkir menuju gereja sudah hampir
penuh. Ketika aku keluar dari mobilku, aku melihat bahwa teman-temanku sesama anggota
gereja saling berbisik-bisik sementara mereka berjalan menuju gereja.
Ketika aku hampir sampai, aku melihat seorang pria terbaring di dinding di luar gereja. Dia
tergeletak sedemikian rupa seakan-akan dia sedang tidur. Dia mengenakan sebuah mantel
panjang yang robek-robek dan sebuah topi di kepalanya, jatuh ke bawah menutupi wajahnya. Dia
memakai sepatu yang kelihatannya sudah berumur 30 tahun, terlalu kecil untuk kakinya, dengan
lubang di sana sini, jarinya menyembul keluar.
Kelihatannya pria ini seorang gelandangan yang tidak memiliki rumah (tuna wisma), dan sedang
tertidur, sehingga aku terus berjalan ke pintu gereja.
Kami berkumpul selama beberapa menit, dan seseorang menyampaikan tentang pria yang
terbaring di luar. Orang-orang mentertawakan dan berbisik-bisik membicarakan masalah ini

tetapi tidak ada yang mau mengajak pria itu untuk masuk ke dalam, termasuk aku.
Beberapa lama kemudian kebaktian dimulai. Kami semua menunggu Pendeta yang akan maju ke
depan dan menyampaikan Firman Tuhan, ketika pintu gereja terbuka.
Muncullah pria tunawisma itu berjalan di lorong gereja dengan kepala tertunduk.
Semua orang menarik nafas dan berbisik-bisik dan terkejut.
Pria itu terus berjalan dan akhirnya sampai di panggung, dia membuka topi dan mantelnya.
Hatiku terguncang.
Di sana berdiri pendeta kami ... dialah "gelandangan" itu.
Tidak ada seorangpun yang berbicara.
Pendeta mengambil Alkitabnya dan meletakkannya di mimbar.
"Jemaat, saya kira tidak perlu bagi saya untuk mengatakan apa yang akan saya khotbahkan hari
ini. Jika kamu terus menghakimi dan menilai orang, kamu tidak akan punya waktu untuk
mengasihi mereka." (Anonim)

ILUSTRASI: DI BELAKANG LAYAR


Lima orang bersaudara hidup dengan tentram di sebuah kaki gunung. Orang tua mereka yang
sudah meninggal, mewariskan 1.5 ha sawah dan ladang untuk diolah. Sawah dan ladang itu
terletak agak jauh dari rumah sehingga mereka harus berangkat bekerja di sawah pada pagi hari.
Atas kesepakatan bersama, si sulung memerintahkan kepada si bungsu untuk tinggal di rumah
selama mereka bekerja di sawah. Si bungsu menyetujui dan menyambut gembira keputusan
tersebut. Setiap kali kakak-kakaknya pulang dari bekerja, mereka pasti sudah menemukan rumah
mereka yang sudah bersih, rapi, dan terasa nyaman. Di atas meja makan sudah tersedia makanan
dan minuman untuk mereka semua, tempat tidur rapi semuanya, dan pakaian-pakaian kotor
sudah dicuci dan digosok semuanya.
Tetapi rupanya salah seorang kakak berpkiran jelek dan curiga terhadap si bungsu. "Si bungsu
curang, dia tidak mau ikut kesawah dan hanya mau bermalas-malasan saja di rumah," pikir
seorang kakaknya.
Setelah berhasil mempengaruhi saudara-saudaranya yang lain, diputuskanlah bahwa mereka
semua harus berangkat ke sawah termasuk si bungsu. Ketika kembali ke rumah mereka
menemukan rumah yang berantakan, tidak terurus, meja makan kosong. Mereka menyadari
bahwa adik bungsu mereka yang selama ini dianggap tidak berguna, kini baru terasa bahwa dia
memiliki peranan penting.

Jangan pernah meremehkan orang-orang yang bekerja di belakang layar, yang tidak begitu
menonjol pekerjaannya. Lihatlah siapa saja di rumah anda yang kelihatannya paling "tidak
berguna", mungkin itu adalah orangtuamu yang sudah tua, kakek, nenek yang kelihatannya
hanya duduk-duduk sepanjang hari, pembantu yang pekerjaannya kelihatan tidak terlalu
berharga, petugas kebersihan di gereja, pendoa yang tidak pernah kelihatan tampil di depan atau
siapapun yang pernah anda remehkan. Belajar untuk melihat sisi baik kehadiran mereka dan
bagaimana mereka kalau tidak ada di rumah atau di gereja anda.
Tanpa sadar kita sering berkata dengan sombongnya, "Biarkan saja dia pergi, biarkan dia keluar!
Toh di rumah ini dia tidak berguna?" atau "Untuk apa ditahan-tahan, masih banyak orang yang
bisa mengerjakan apa yang dia kerjakan." Suatu saat kita akan merasakan bahwa kita telah
kehilangan orang-orang terbaik yang pernah ada di rumah atau di gereja kita.
Semua kita telah diperlengkapi dengan keahliaan masing-masing yang berbeda dengan maksud
agar bisa saling bekerjasama, saling melengkapi dan saling menolong. Walaupun ada sebagian
orang yang tidak terlalu menonjol dalam keahlian tertentu tapi belajarlah untuk menghargai
manfaat dari kehadiran mereka dan kemampuan yang dipercayakan kepada mereka.
Doa: Ya Tuhan aku bersyukur untuk orang-orang yang Tuhan tempatkan di sekelilingku. Berilah
aku hati yang bisa menghargai keberadaan mereka dan tidak meremehkan meskipun
kelihatannya apa yang mereka lakukan bernilai kecil. Ajarilah aku untuk selalu dapat
bekerjasama dengan orang lain. Dalam nama Yesus aku memohon, Amin. (Anonim)

ILUSTRASI: BUAH DELIMA YANG MANIS


Walaupun bijinya sangat manis, tapi mereka terpisah dalam ruang kecil dibatasi kulit tipis kuning
yang sangat pahit rasanya. Jika Anda mencoba menggigit buah delima, Anda akan merasakan
pahitnya. Namun bila dimakan satu persatu bijinya, memang sangat enak.
Ini persis dengan kehidupan. Anda tidak dapat mengalami keseluruh kehidupan satu hari
sekaligus Anda tidak dapat sembuh dari kehilangan orang yang anda sayangi dalam satu malam.
Kehilangan adalah suatu proses ... hanya sambil belajar mengalami hidup Anda lagi, sehari demi
sehari ... maka Anda mengatasi kehilangan itu dan mulai membangun kehidupan baru.
Kenyataan sederhana bahwa Anda tidak dapat mengalami kehidupan Anda dalam satu
bongkahan. Tapi sehari demi sehari ... Ini berarti ketekunan dan kesabaran untuk membangun
jenis kehidupan yang Anda inginkan.
Jika Anda mengalami suatu masalah hari ini, janganlah berusaha untuk menyelesaikannya dalam
satu gumpalan. Coba penyelesaian hari ini ... pada hari ini saja dan Anda sudah jauh lebih maju
menuju pemecahan masalah Anda.

Jika Anda melihat ke depan kepada semua masalah Anda ... maka hidup bisa kelihatan besar dan
luar biasa beratnya. Tapi Anda tidak usah harus menanggung masalah-masalah kehidupan itu
semua. Anda cuma harus menanggung dan mengatasi masalah Anda dalam satu hari ini. Hidup
sepanjang mil bisa menjadi kesengsaraan namun hidup setiap inci adalah suatu yang mudah !!
Anda tidak perlu memecahkan masalah kehidupan Anda ... yang Anda perlukan adalah
menghadapi dan mengatasi masalah hari ini. (Anonim)

ILUSTRASI: GARAM DAN TELAGA


Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda
yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu,
memang tampak seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya
mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya
untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan.
"Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya ...", ujar Pak tua itu.
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah ke samping. Pak Tua itu, sedikit
tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat
tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke
tepi telaga yang tenang itu.
Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong
kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga
itu. "Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah." Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak
Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?".
"Segar", sahut tamunya.
"Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi.
"Tidak", jawab si anak muda.
Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk
berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. "Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan,
adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah
sama, dan memang akan tetap sama.
"Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.
Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan
tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup,
hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya.

Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu."


Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. "Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah
tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu
seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya
menjadi kesegaran dan kebahagiaan."
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak
itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain, yang sering datang
padanya membawa keresahan jiwa. (Anonim)
SEBUAH KURSI KOSONG
Seorang gadis mengundang pastor Paroki untuk datang ke rumahnya mendoakan ayahnya yang
sedang sakit. Pada waktu pastor datang, ia mendapati seorang bapak tua yang sedang berbaring
lemah di tempat tidur, dan sebuah kursi kosong di depannya.
"Tentu anda telah menanti saya", kata si Pastor.
"Tidak, siapakah anda?", tanya bapak itu.
Pastorpun memperkenalkan diri dan berkata, "Saya melihat kursi kosong ini, saya kira Bapak
sudah tahu kalau saya akan datang."
"Oo, kursi itu," kata si Bapak, "Maukah anda menutup pintu kamar itu?"
Sambil bertanya-tanya dalam hati, Pastorpun menutup pintu kamar.
"Saya mempunyai sebuah rahasia, tidak ada seorangpun yang mengetahuinya, bahkan putri
tunggal sayapun tidak tahu," kata si Bapak. "Seumur hidupku saya tidak pernah tahu bagaimana
caranya berdoa. Di gereja saya pernah mendengarkan kotbah Pastor tentang bagaimana caranya
berdoa, tapi semuanya itu berlalu begitu saja dari kepala saya. Semua cara sudah saya coba, tapi
selalu gagal," lanjut si Bapak.
"Sampai pada suatu hari, tepatnya 4 tahun yang lalu, seorang sahabat karib saya mengajari suatu
cara yang amat sederhana untuk dapat bercakap-cakap dengan Yesus. Dia mengajari saya begini:
duduklah di kursi, letakkan sebuah kursi kosong di depanmu, lalu bayangkan Yesus duduk di atas
kursi tersebut. Ini bukan hantuNya lho, karena Ia telah berjanji "akan senantiasa besertamu",
kemudian berbicaralah biasa seperti halnya kamu sedang bercakap-cakap dengan saya saat ini."
"Sayapun mencoba cara yang diberikan teman saya itu, dan sayapun dapat menikmatinya. Setiap
hari saya melakukannya sampai beberapa jam. Semuanya itu saya lakukan secara sembunyisembunyi, agar putri saya tidak menganggap saya gila kalau melihat saya bercakap-cakap
dengan kursi kosong."
Si Pastor sangat tersentuh akan cerita Bapak itu, dan memberi dorongan agar si Bapak tetap

melanjutkan kebiasaan berdoa tersebut. Setelah berdoa bersama, Pastorpun pulang.


Dua hari kemudian, si gadis memberitahu Pastor kalau ayahnya telah meninggal tadi siang.
"Apakah ia meninggal dengan damai?" tanya si Pastor.
"Ya, waktu saya pamit untuk membeli beberapa keperluan ke toko siang itu, ayah memanggil
saya dan mengatakan bahwa ia sangat mencintai saya, lalu mencium kedua pipi saya. Satu jam
kemudian, pada waktu saya pulang dari berbelanja, saya mendapati ayah sudah meninggal."
"Tapi ada suatu kejadian yang aneh waktu ayah meninggal. Ia meninggal dalam posisi duduk di
atas tempat tidur dengan kepala tersandar pada kursi kosong yang ada di sebelah tempat tidur.
Bagaimana pendapat Pastor?"
Sambil mengusap air matanya, Pastor pun berkata, "Saya berharap kita semua kelak dapat
meninggal dengan cara itu." (Anonim)

BERKORBAN ITU INDAH


Musim hujan sudah berlangsung selama dua bulan sehingga di mana-mana pepohonan tampak
menjadi hijau. Seekor ulat menyeruak di antara daun-daun hijau yang bergoyang-goyang diterpa
angin.
"Apa kabar daun hijau!!!" katanya.
Tersentak daun hijau menoleh ke arah suara yang datang. "Oo, kamu ulat. Badanmu kelihatan
kecil dan kurus, mengapa?" tanya daun hijau.
"Aku hampir tidak mendapatkan dedaunan untuk makananku. Bisakah engkau membantuku
sobat?" kata ulat kecil.
"Tentu ... tentu ... mendekatlah ke mari."
Daun hijau berpikir, jika aku memberikan sedikit dari tubuhku ini untuk makanan si ulat, aku
akan tetap hijau, hanya saja aku akan kelihatan belobang-lobang, tapi tak apalah.
Perlahan-lahan ulat menggerakkan tubuhnya menuju daun hijau. Setelah makan dengan kenyang,
ulat berterima kasih kepada daun hijau yang telah merelakan bagian tubuhnya menjadi makanan
si ulat. Ketika ulat mengucapkan terima kasih kepada sahabat yang penuh kasih dan pengorbanan
itu, ada rasa puas di dalam diri daun hijau. Sekalipun tubuhnya kini berlobang di sana sini,
namun ia bahagia bisa melakukan bagi ulat kecil yang lapar.
Tidak lama berselang ketika musim panas datang, daun hijau menjadi kering dan berubah warna.
Akhirnya ia jatuh ke tanah, disapu orang dan dibakar.

Apa yang terlalu berarti di dalam hidup kita sehingga kita enggan berkorban sedikit saja bagi
sesama? Toh akhirnya semua yang ada akan binasa. Daun hijau yang baik mewakili orang-orang
yang masih mempunyai "hati" bagi sesamanya. Yang tidak menutup mata ketika melihat
sesamanya dalam kesulitan. Yang tidak membelakangi dan seolah-olah tidak mendengar ketika
sesamanya berteriak minta tolong. Ia rela melakukan sesuatu untuk kepentingan orang lain dan
sejenak mengabaikan kepentingan diri sendiri. Merelakan kesenangan dan kepentingan diri
sendiri bagi sesama memang tidak mudah, tetapi indah.
Ketika berkorban, diri kita sendiri menjadi seperti daun yang berlobang, namun itu sebenarnya
tidak mempengaruhi hidup kita. Kita akan tetap hijau, Allah akan tetap memberkati dan
memelihara kita.
Bagi "daun hijau", berkorban merupakan satu hal yang mengesankan dan terasa indah serta
memuaskan. Dia bahagia melihat sesamanya bisa tersenyum karena pengorbanan yang ia
lakukan. Ia juga melakukannya karena menyadari bahwa ia tidak akan selamanya tinggal sebagai
daun hijau. Suatu hari ia akan kering dan jatuh.
Demikianlah hidup kita, hidup ini hanya sementara kemudian kita akan mati. Itu sebabnya isilah
hidup ini dengan perbuatan-perbuatan baik: kasih, pengorbanan, pengertian, kesetiaan, kesabaran
dan kerendahan hati.
Jadikanlah berkorban itu sebagai sesuatu yang menyenangkan dan membawa sukacita tersendiri
bagi anda. Dalam banyak hal kita bisa berkorban. Mendahulukan kepentingan sesama,
melakukan sesuatu bagi mereka, memberikan apa yang kita punyai dan masih banyak lagi
pengorbanan yang bisa dilakukan. Jangan lupa bahwa kita pernah menerima pengorbanan yang
tiada taranya dari Yesus hingga kita bisa diselamatkan seperti sekarang ini. Amin. (Anonim)

BERDOALAH SAMPAI SESUATU TERJADI


Seorang laki-laki sedang tidur di pondoknya ketika kamarnya tiba-tiba menjadi terang, dan
nampaklah Sang Juru Selamat. Tuhan berkata padanya bahwa ada pekerjaan yang harus
dilakukan laki-laki itu, dan menunjukkan padanya sebuah batu besar di depan pondoknya. Tuhan
menjelaskan bahwa laki-laki itu harus mendorong batu itu dengan seluruh kekuatannya.
Hal ini dikerjakan laki-laki itu setiap hari. Bertahun-tahun ia bekerja sejak matahari terbit sampai
terbenam, pundaknya menjadi kaku menahan dingin, ia kelelahan karena mendorong dengan
seluruh kemampuannya. Setiap malam laki-laki itu kembali ke kamarnya dengan sedih dan
cemas, merasa bahwa sepanjang harinya kosong dan tersia-sia.
Ketika laki-laki itu mulai putus asa, si Iblis pun mulai mengambil bagian untuk mengacaukan
pikirannya. "Sekian lama kau telah mendorong batu itu tetapi batu itu tidak bergeming. Apa kau
ingin bunuh diri? Kau tidak akan pernah bisa memindahkannya."

Lalu, ditunjukkannya pada laki-laki bahwa tugas itu sangat tidak masuk akal dan salah. Pikiran
tersebut kemudian membuat laki-laki itu putus asa dan patah semangat. "Mengapa aku harus
bunuh diri seperti ini?" pikirnya. "Aku akan menyisihkan waktuku, dengan sedikit usaha, dan itu
akan cukup baik."
Dan itulah yang direncanakan, sampai suatu hari diputuskannya untuk berdoa dan membawa
pikiran yang mengganggu itu kepada Tuhan. "Tuhan," katanya "Aku telah bekerja keras sekian
lama dan melayaniMu, dengan segenap kekuatannku melakukan apa yang Kau inginkan. Tetapi
sampai sekarang aku tidak dapat menggerakkan batu itu setengah milimeterpun. Mengapa?
Mengapa aku gagal?'
Tuhan mendengarnya dengan penuh perhatian,"Sahabatku, ketika aku memintamu untuk
melayaniKu dan kau menyanggupi, Aku berkata kepadamu, tugasmu utuk mendorong batu itu
dengan seluruh kekuatanmu, seperti yang telah kau lakukan. Tidak sekalipun Aku mengatakan
bahwa kau mesti menggesernya. Tugasmu hanyalah mendorong. Dan kini kau datang padaKu
dengan tenaga terkuras, berpikir bahwa kau telah gagal. tetapi apakah benar? Lihatlah dirimu.
Lenganmu kuat dan berotot, punggungmu tegap dan coklat, tanganmu keras karena tekanan
terus-menerus, dan kakimu menjadi gempal dan kuat. Sebaliknya kau telah bertumbuh banyak
dan kini kemampuanmu melebihi sebelumnya. Meski kau belum menggeser batu itu. Tetapi
panggilanmu adalah menurut dan mendorong dan belajar untuk setia dan percaya akan
hikmatKu. Ini yang kau telah selesaikan. Aku, sahabatku, sekarang akan memindahkan batu itu."
Terkadang, ketika kita mendengar suara Tuhan, kita cenderung menggunakan pikiran kita untuk
menganalisa keinginanNya, sesungguhnya apa yang Tuhan inginkan adalah hal-hal yang sangat
sederhana agar menuruti dan setia kepadaNya ... Dengan kata lain, berlatih menggeser gununggunung, tetapi kita tahu bahwa Tuhan selalu ada dan Dialah yang dapat memindahkannya.
Ketika segalah sesuatu kelihatan keliru ... lakukan P.U.S.H (push = dorong)
Ketika pekerjaanmu mulai menurun ... lakukan P.U.S.H (push = dorong)
Ketika orang-orang tidak berlaku seperti yang semestinya mereka lakukan ... lakukan P.U.S.H
(push = dorong)
Ketika uangmu seperti "lenyap" dan tagihan-tagihan mulai harus dibayar ... lakukan P.U.S.H
(push = dorong)
P.U.S.H - Pray Until Something Happens!! (Berdoalah sampai sesuatu terjadi). (Anonim)

POHON TUA
Suatu ketika di sebuah padang, terdapat sebatang pohon rindang. Dahannya rimbun oleh
dedaunan. Batangnya tinggi menjulang. Akarnya, tampak menonjol keluar, menembus tanah
hingga dalam. Pohon itu tampak gagah dibandingkan dengan pohon-pohon lain di sekitarnya.
Pohon itu pun menjadi tempat hidup bagi beberapa burung di sana. Mereka membuat sarang, dan
bergantung hidup pada batang-batangnya. Burung-burung itu membuat lubang, dan mengerami

telur-telur mereka di dalam pohon yang besar itu. Pohon itu pun merasa senang karena ia
mendapatkan teman saat mengisi hari-harinya yang panjang.
Orang-orang bersyukur atas keberadaan pohon tersebut. Mereka kerap singgah dan berteduh
pada kerindangan pohon itu. Orang-orang itu sering duduk dan membuka bekal makan di bawah
naungan dahan-dahannya yang rindang. "Pohon yang sangat berguna," begitu ujar mereka setiap
selesai berteduh. Lagi-lagi, sang pohon bangga mendengar perkataan tadi.
Waktu terus berjalan. Sang pohon pun mulai sakit-sakitan. Daun-daunnya rontok, rantingrantingnya pun mulai berjatuhan. Tubuhnya, kini mulai kurus dan pucat. Tak ada lagi kegagahan
yang dulu dimilikinya. Burung-burung pun mulai enggan bersarang di sana. Orang yang lewat,
tak lagi mau mampir dan singgah untuk berteduh.
Sang pohon pun bersedih. "Ya Tuhan, mengapa begitu berat ujian yang Kau berikan padaku?
Aku butuh teman. Tak ada lagi yang mau mendekatiku. Mengapa Kau ambil semua kemuliaan
yang pernah aku miliki?" begitu ratap sang pohon, hingga terdengar ke seluruh hutan. "Mengapa
tak Kau tumbangkan saja tubuhku, agar aku tak perlu merasakan siksaan ini?" Sang pohon terus
menangis, membasahi tubuhnya yang kering.
Musim telah berganti, namun keadaannya belum berubah. Sang pohon tetap kesepian dalam
kesendiriannya. Batangnya tampak semakin kering. Ratap dan tangis terus terdengar setiap
malam, mengisi malam-malam hening yang panjang. Hingga pada saat pagi menjelang.
"Cittt ... cericirit ... cittt" Ah suara apa itu? Ternyata, ada seekor anak burung yang baru menetas.
Sang pohon terhenyak dalam lamunannya. "Cittt ... cericirit ... cittt, suara itu makin keras
melengking. Ada lagi anak burung yang baru lahir. Lama kemudian, riuhlah pohon itu atas
kelahiran burung-burung baru. Satu ... dua ... tiga ... dan empat anak burung lahir ke dunia. "Ah,
doaku di jawab-Nya," begitu seru sang pohon.
Keesokan harinya, beterbanganlah banyak burung ke arah pohon itu. Mereka, akan membuat
sarang-sarang baru. Ternyata, batang kayu yang kering, mengundang burung jenis tertentu
tertarik untuk bersarang di sana. Burung-burung itu merasa lebih hangat berada di dalam batang
yang kering daripada sebelumnya. Jumlahnya pun lebih banyak dan lebih beragam. "Ah, kini
hariku makin cerah bersama burung-burung ini", gumam sang pohon dengan berbinar.
Sang pohon pun kembali bergembira. Dan ketika dilihatnya ke bawah, hatinya kembali
membuncah. Ada sebatang tunas baru yang muncul di dekat akarnya. Sang tunas tersenyum. Ah,
rupanya, air mata sang pohon tua itu, membuahkan bibit baru yang akan melanjutkan
pengabdiannya pada alam.
***
Teman, begitulah. Adakah hikmah yang dapat kita petik? Allah memang selalu punya rencanarencana rahasia buat kita. Allah, dengan kuasa yang Maha Tinggi dan Maha Mulia, akan selalu
memberikan jawaban-jawaban buat kita. Walaupun kadang penyelesaiannya tak selalu mudah di
tebak, namun, yakinlah, Allah Maha Tahu yang terbaik buat kita.

Saat dititipkan-Nya cobaan buat kita, maka di saat lain, diberikan-Nya kita karunia yang
berlimpah. Ujian yang sandingkan-Nya, bukanlah harga mati. Bukanlah suatu hal yang tak dapat
disiasati. Saat Allah memberikan cobaan pada sang Pohon, maka, sesungguhnya Allah, sedang
MENUNDA memberikan kemuliaan-Nya. Allah tidak memilih untuk menumbangkannya, sebab,
Dia menyimpan sejumlah rahasia. Allah, sedang menguji kesabaran yang dimiliki.
Teman, yakinlah, apapun cobaan yang kita hadapi, adalah bagian dari rangkaian kemuliaan yang
sedang dipersiapkan-Nya buat kita. Jangan putus asa, jangan lemah hati. Allah, selalu bersama
orang-orang yang sabar. (Anonim)

TEMPAYAN RETAK
Seorang tukang air memiliki dua tempayan besar, masing-masing bergantung pada kedua
ujung sebuah pikulan, yang dibawa menyilang pada bahunya. Satu dari tempayan itu retak,
sedangkan tempayan yang satunya lagi tidak. Jika tempayan yang tidak retak itu selalu dapat
membawa air penuh setelah perjalanan panjang dari mata air ke rumah majikannya, tempayan
itu hanya dapat membawa air setengah penuh. selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari, si
tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya.
Tentu saja si tempayan yang tidak retak merasa bangga akan prestasinya, karena dapat
menunaikan tugasnya dengan sempurna. Namun si tempayan retak yang malang itu merasa
malu sekali akan ketidaksempurnaannya dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan
setengah dari porsi yang seharusnya dapat diberikannya.
Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan retak itu berkata kepada si
tukang air, "Saya sunggh malu pada diri saya sendiri, dan saya ingin mohon maaf kepadamu."
"Kenapa?" tanya si tukang air, "Kenapa kamu merasa malu?"
"Saya hanya mampu, selama dua tahun ini, membawa setengah porsi air dari yang seharusnya
dapat saya bawa karena adanya retakan pada sisi saya telah membuat air yang saya bawa
bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita. Karena cacatku itu, saya telah membuatmu
rugi." Kata tempayan itu.
Si tukang air merasa kasihan pada si tempayan retak, dan dalam belas kasihannya, ia berkata,
"Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga
indah di sepanjang jalan."
Benar, ketika mereka naik ke bukit, si tempayan retak memperhatikan dan baru menyadari
bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan dan itu membuatnya sedikit terhibur.
Namun pada akhir perjalanan, ia kembali sedih karena separuh air yang dibawanya telah

bocor, dan kembali tempayan retak itu meminta maaf pada si tukang air atas kegagalannya.
Si tukang air berkata kepada tempayan itu, "Apakah kamu memperhatikan adanya bungabunga di sepanjang jalan di sisimu tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan
yang lain yang tidak retak itu? Itu karena aku selalu menyadari akan cacatmu dan aku
memanfaatkannya. Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu, dan
setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, kamu mengairi benih-benih itu. Selama dua
tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghias meja majikan kita.
Tanpa kamu sebagaimana kamu ada, majikan kita tak akan dapat menghias rumahnya seindah
sekarang."
Setiap dari kita memiliki cacat dan kekurangan kita sendiri. Kita semua adalah tempayan
retak. Namun jika kita mau, Tuhan akan menggunakan kekurangan kita untuk menghias-Nya.
Di mata Tuhan yang bijaksana, tak ada yang terbuang percuma. Jangan takut akan
kekuranganmu. Kenalilah kelemahanmu dan kamu pun dapat menjadi sarana keindahan
Tuhan. Ketahuilah, di dalam kelemahan kita, kita menemukan kekuatan kita.

JEJAK KAKI
Semalam aku bermimpi sedang berjalan menyisir pantai bersama Tuhan,
Di cakrawala terbentang adegan kehidupanku,
Pada setiap adegan aku melihat dua pasang jejak kaki dipasir.
Sepasang jejak kakiku dan yang sepasang lagi jejak kaki Tuhan.
Setelah adegan terakhir dari kehidupanku, terhampar di hadapanku
Aku menoleh kebelakang melihat jejak kaki dipasir.
Aku memperhatikan bahwa berkali-kali sepanjang jalan hidupku ,
Terutama pada saat saat paling gawat dan mencekam, hanya terdapat sepasang jejak kaki saja.
Hal ini membuat aku benar benar sangat kecewa, maka aku bertanya kepada Tuhan,
"Tuhan dimanakah Engkau ?
Engkau mengatakan bila aku memutuskan untuk mengikuti Engkau,
Engkau akan berjalan bersama aku sepanjang jalan hidupku.
Namun aku memperhatikan bahwa pada saat saat paling gawat dan beban berat menimpa
hidupku,
hanya ada sepasang jejak kaki saja.
Dan aku tidak mengerti mengapa pada waktu aku sangat membutuhkan Engkau, justru Engkau
meninggalkan aku."

Tuhan menjawab,
"Anak-Ku, engkau sangat berharga di mata-Ku, Aku sangat mengasihi engkau dan Aku tidak
akan meninggalkan engkau.
Pada waktu engkau dalam bahaya dan dalam penderitaan engkau hanya melihat sepasang jejak
kaki saja,
karena pada waktu itu Aku menggendong engkau."
Sampai masa tuamu,Yesus Tuhan tetap Dia, dan sampai masa putih rambutmu,Yesus
menggendong kamu. (Yesaya 46:4)

MENDENGARKAN SUARA TUHAN


Ada seorang anak muda yang bersahabat akrab dengan seorang pengkhotbah tua. Suatu hari,
anak muda ini kehilangan pekerjaannya dan tidak tahu lagi harus berbuat apa. Akhirnya, dia
memutuskan untuk mencari si pengkhotbah tua itu.
Ketika berada di ruang belajar si pengkhotbah, si pemuda ini berteriak-teriak tentang problem
hidupnya. Akhirnya dengan kalap dia mengepal-ngepalkan tinjunya, sambil berteriak, "Saya
memohon Tuhan agar menolong saya. Tapi hai pengkhotbah, mengapa Dia tidak menjawab
saya?"
Si pengkhotbah tua itu pergi ke ruang lain dan duduk di sana. Lalu dia berbicara sesuatu dan
menanti jawaban si pemuda. Tentu saja si pemuda itu tidak mendengarkan dengan jelas, sehingga
dia ikut-ikutan pindah ruangan.
"Apa sih katamu?" tanya si pemuda penasaran. Si pengkhotbah itu mengulangi kata-katanya
dengan perlahan sekali, seperti sedang bergumam sendiri. Tetapi si pemuda belum menangkap
bisikan si pengkhotbah. Dia terus mendekati si pengkhotbah tua ini dan duduk di bangku
sebelahnya.
Si pemuda itu lagi-lagi bertanya, "Apa katamu? maaf, saya tadi belum mendengarnya."
Dengan lembut, si pengkhotbah memegang pundak si pemuda, "Saudaraku, Allah kadangkadang berbisik, jadi kita perlu lebih dekat menghampiriNya, agar dapat mendengar Dia dengan
lebih jelas lagi." Si pemuda itu tertegun dan akhirnya dia mengerti.
Kita seringkali menginginkan jawaban Tuhan bak petir yang menggelegar di udara dan sekaligus
meneriakkan jawaban dariNya. Tetapi Allah sering diam, kadang Dia bicara dengan lembut,
bahkan berbisik. Hanya dengan satu alasan: agar Anda mau menghampiri takhta kemuliaanNya
dan lebih dekat kepadaNya. Setelah Anda berada di dekatNya, Anda baru bisa mendengar
jawaban Tuhan dengan jelas.

Indah sekali untuk mengetahui bahwa kita melakukan sesuatu yang tepat, pada waktu yang tepat,
di tempat yang tepat, dengan cara yang tepat dan bersama orang-orang yang tepat. Itulah yang
terjadi apabila kita dipimpin oleh Roh Kudus. (Billy Joe Daugherty, Led By The Spirit)

LEBIH DARI SEKEDAR PERPULUHAN


Pada hari ulang tahunnya yang kesepuluh, seorang anak laki-laki yang begitu perasa menerima
sepuluh dolar perak yang berkilauan dari pamannya yang bijaksana. Anak itu sangat
menghargainya. Dia segera duduk di lantai dan meletakkan uang logam tersebut di hadapannya.
Orangtuanya bersama pamannya itu menonton dia. Kemudian dia mulai merencanakan
bagaimana menggunakan uang tersebut. Dia memisahkan dolar pertama sambil berkata, "Yang
satu ini buat Tuhan Yesus." Dia lalu melanjutkan hitungannya untuk memutuskan apa yang akan
dilakukannya dengan dolar yang kedua dan selanjutnya sampai pada dolar terakhir.
"Yang ini buat Tuhan Yesus." katanya sambil memisahkan dolar keduanya. Melihat yang
dilakukan anak kecil itu, ibunya menyela, "Ibu pikir kamu telah memberikan dolar yang pertama
untuk Tuhan Yesus, terus kenapa kamu memberikan lagi dolarmu yang kedua untuk Tuhan Yesus
juga?"
"Ya," dia menyahut, "dolar yang pertama memang milikNya, tetapi yang kedua ini adalah hadiah
bagi-Nya dari saya." (Dr. Stephen Olford/The Grace of Giving, Encounter Ministries)

SEMUT
Kita tahu bahwa Semut adalah binatang yang sangat kecil. Tetapi tahukah Anda bahwa mereka
mempunyai filosofi yang sangat sederhana namun sangat hebat? Semut mempunyai empat
filosofi yang luar biasa. Yaitu:
Pertama, semut tidak pernah menyerah.
Bila anda menghalang-halangi dan berusaha menghentikan langkah mereka, mereka selalu akan
mencari jalan lain. Mereka akan memanjat ke atas, menerobos ke bawah atau mengelilinginya.
Mereka terus mencari jalan keluar. Tidak sekali-kali menyerah untuk menemukan jalan menuju
tujuannya.
Kedua, semut menganggap semua musim panas sebagai musim dingin.
Ini adalah cara pandang yang penting. Semut-semut mengumpulkan makanan musim dingin
mereka di pertengahan musim panas. Sebuah kisah kuno mengajarkan, "Jangan mendirikan
rumahmu di atas pasir di musim panas."
Ketiga, semut menganggap semua musim dingin sebagai musim panas.
Ini juga penting. Selama musim dingin, semut mengingatkan dirinya sendiri, "Musim dingin

takkan berlangsung selamanya. Segera kita akan melalui masa sulit ini." Maka ketika hari
pertama musim semi tiba, semut-semut keluar dari sarangnya. Dan bila cuaca kembali dingin,
mereka masuk lagi ke dalam liangnya. Lalu, ketika hari pertama musim panas tiba, mereka
segera keluar dari sarangnya. Mereka tak dapat menunggu untuk keluar dari sarang mereka.
Keempat, seberapa banyak semut akan mengumpulkan makanan mereka di musim panas untuk
persiapan musim dingin mereka? Semampu mereka! Filosofi yang luar biasa, filosofi "semampu
mereka".
"Semut, Bangsa yang tidak kuat, tetapi yang menyediakan makanannya di musim panas."
( Amsal 30:25 )

JADIKAN AKU SEPOTONG UBI


Apa yang terjadi jika sepotong ubi dan sebutir telur dimasukkan ke dalam air mendidih? Apakah
kedua benda itu keluar dari panci panas dalam keadaan yang sama dengan keadaan sebelum
direbus? Air mendidih mengubah ubi dan telur itu. Namun perubahan yang terjadi pada kedua
benda itu sangat bertolak belakang. Setelah direbus, telur menjadi keras. Sebaliknya, ubi menjadi
lembut. Kedua benda itu berada dalam panci yang sama dan air mendidih yang sama, namun
reaksi mereka berbeda. Telur akan muncul dalam keadaan keras, sedangkan ubi akan muncul
dalam keadaan lembut.
Dalam hidup ini, ada masa dimana kita harus masuk ke dalam panci yang berisi air mendidih,
yaitu musibah dan penderitaan. Dalam suatu musibah, kita merasakan betapa sakit dan nyeri
direbus dalam air mendidih. Musibah dan penderitaan bisa terasa sangat kejam dan menyakitkan
bagaikan menusuk tulang, hati, dan sumsum. Apalagi ketika musibah demi musibah datang
menimpa bagaikan tak ada habisnya. Kita seperti terhempas lemas. Kita menunduk dan menarik
nafas panjang, kita bertanya lirih: 'Oh, Tuhan, mengapa ini harus terjadi?' Namun kenyataan
adalah kenyataan. Musibah itu sudah atau sedang terjadi. Jadi yang lebih mendesak bukanlah
persoalan mengapa musibah ini terjadi, melainkan bagaimana menghadapinya, bagaimana bisa
melewati dan mengatasi musibah ini.
Bagaimana bisa survive dalam dan dari musibah ini. Jika musibah dan penderitaan merupakan
ibarat direbus dalam panci, soalnya adalah bagaimana kita akan keluar dari panci itu. Apakah
kita akan keluar sebagai telur atau ubi? Ada orang yang keluar dari musibah dalam keadaan yang
sangat tertekan. Mukanya selalu suram. Ia menyendiri. Hidupnya menjadi pahit dan getir.
Sikapnya terhadap orang lain menjadi kaku. Ia menjadi keras. Ia ibarat telur yang setelah keluar
dari air mendidih menjadi keras. Sebaliknya, ada orang yang setelah keluar dari musibah justru
menjadi bijak dan matang. Ia merasa damai dengan dirinya. Sikapnya hangat dan ramah. Ia
tersenyum dan menyapa. Ia menjadi lembut.
Ia ibarat ubi yang setelah digodok justru menjadi lembut. Dampak itu bisa begitu berbeda, sebab
pandangan dan ketahanan orang terhadap penderitaan dan musibah berbeda-beda. Pengarang
surat Yakobus menulis: '.... turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi....

sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah
mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan
Tuhan baginya, karena Tuhan Maha Penyayang dan penuh kasih'. (Yakobus 5:10-11).
Paulus mengalimatkan kaitan ini secara lebih terinci: 'Kita malah bermegah juga dalam
kesengsaraan kita, karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan
ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan' (Roma 5:3-4).
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Penderitaan dan musibah tidak dapat
dihindarkan. Itu adalah bagian dari hidup.
Hidup adalah ibarat roda, sebentar di atas, sebentar di bawah. Hidup ini ada enaknya dan ada
tidak enaknya, yaitu masuk dalam panci dan direbus dalam air mendidih. Soalnya, apakah kita
akan keluar dari panci panas itu sebagai telur rebus yang keras ataukah sebagai ubi yang lembut?
Apakah kita akan keluar dari sebuah musibah sebagai orang yang kaku dan keras atau
sebaliknya, sebagai orang yang berhati lembut ? Agaknya, dalam suatu musibah, kita boleh
belajar berbisik: 'Tuhan, biarlah saya menjadi seperti ubi... seperti sepotong ubi rebus yang
lembut, hangat, dan manis'.

SEBUAH KEBEBASAN
Suatu ketika, ada seorang guru yang meminta murid-muridnya untuk membawa satu kantung
plastik bening ke sekolah. Lalu, ia meminta setiap anak untuk memasukkan beberapa kentang di
dalamnya. Setiap anak, diminta untuk memasukkan sebuah kentang, untuk setiap orang yang tak
mau mereka maafkan.
Mereka diminta untuk menuliskan nama orang itu, dan mencantumkan tanggal di dalamnya. Ada
beberapa anak yang memiliki kantung yang ringan, walau banyak juga yang memiliki plastik
kelebihan beban. Mereka diminta untuk membawa kantung bening itu siang dan malam. Kemana
saja, harus mereka bawa, selama satu minggu penuh.
Kantung itu, harus ada di sisi mereka kala tidur, di letakkan di meja saat belajar, dan ditenteng
saat berjalan. Lama-kelamaan kondisi kentang itu makin tak menentu. Banyak dari kentang itu
yang membusuk dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Hampir semua anak mengeluh dengan
pekerjaan ini.
Akhirnya, waktu satu minggu itu selesai. Dan semua anak, agaknya banyak yang memilih untuk
membuangnya daripada menyimpannya terus menerus.
Teman, pekerjaan ini, setidaknya, memberikan hikmah spiritual yang besar sekali buat anakanak. Suka-duka saat membawa-bawa kantung yang berat, akan menjelaskan pada mereka,
bahwa, membawa beban itu, sesungguhnya sangat tidak menyenangkan.
Memaafkan, sebenarnya, adalah pekerjaan yang lebih mudah, daripada membawa semua beban
itu kemana saja kita melangkah. Ini adalah sebuah perumpamaan yang baik tentang harga yang

harus kita bayar untuk sebuah kepahitan yang kita simpan, dan dendam yang kita genggam terus
menerus. Getir, berat, dan meruapkan aroma yang tak sedap, bisa jadi, itulah nilai yang akan kita
dapatkan saat memendam amarah dan kebencian.
Sering kita berpikir, memaafkan adalah hadiah bagi orang yang kita beri maaf. Namun, kita
harus kembali belajar, bahwa, pemberian itu, adalah juga hadiah buat diri kita sendiri. Hadiah,
untuk sebuah kebebasan.
Kebebasan dari rasa tertekan, rasa dendam, rasa amarah, dan kedegilan hati.

TEMBIKAR YANG INDAH


Sepasang suami-istri pergi belanja di sebuah toko suvenir. Setelah beberapa waktu melihat-lihat,
mata mereka tertuju kepada sebuah tembikar yang indah. "Lihat tembikar itu," kata si istri
kepada suaminya. "Kau benar, inilah tembikar terindah yang pernah aku lihat," ujar si suami.
Saat mereka mendekati tembikar itu, tiba-tiba tembikar yang dimaksud berbicara, "Terima kasih
untuk perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik."
Sebelum menjadi sebuah tembikar yang dikagumi, aku hanyalah seonggok tanah liat yang tidak
berguna. Namun suatu hari ada seorang penjunan dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah
roda berputar. Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing.
'Stop! Stop!' Aku berteriak, tetapi orang itu berkata "belum!" lalu ia mulai menyodok dan
meninjuku berulang-ulang. 'Stop! Stop!' teriakku lagi. Tapi orang ini masih saja meninjuku,
tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian.
'Panas! Panas!' Teriakku dengan keras. 'Stop! Cukup!' Teriakku lagi. Tapi orang ini berkata
"belum!"
Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin. Aku pikir,
selesailah penderitaanku. Oh ternyata belum. Setelah dingin aku diberikan kepada seorang
wanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku. Asapnya begitu memualkan. 'Stop! Stop!' Aku
berteriak. Wanita itu berkata "belum !" Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia
memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya! Tolong! Hentikan
penyiksaan ini! Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi orang ini tidak peduli
dengan teriakanku. Ia terus membakarku.
Setelah puas "menyiksaku" kini aku dibiarkan dingin. Setelah benar-benar dingin seorang wanita
cantik mengangkatku dan menempatkan aku dekat kaca. Aku melihat diriku. Aku terkejut sekali.
Aku hampir tidak percaya, karena dihadapanku berdiri sebuah tembikar yang begitu cantik.
Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku.
Saudara, seperti inilah Allah membentuk kita. Pada saat Ia membentuk kita, tidaklah
menyenangkan, sakit, penuh penderitaan, dan banyak air mata. Tetapi inilah satu-satunya cara
bagi Allah untuk mengubah kita supaya menjadi cantik dan memancarkan kemuliaan Allah.

Yak 1:2-4 "Saudara-saudaraKu, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke
dalam berbagai pencobaan, sebab kamu tahu bahwa ujian terhadap imanmu menghasilkan
ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya kamu menjadi
sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun."
Apabila anda sedang menghadapi ujian hidup, jangan kecil hati, karena Allah sedang membentuk
anda. Bentukan-bentukan ini memang menyakitkan tetapi setelah semua proses itu selesai. Anda
akan melihat betapa cantiknya Allah membentuk anda.

NALURI SEEKOR ANGSA


Musim gugur akan datang, ketika Anda melihat sekawanan angsa terbang ke arah selatan untuk
menyambut datangnya musim dingin, terbang dalam formasi 'V'. Mungkin Anda berpikir tentang
apa yang telah ditemukan oleh ilmu pengetahuan mengenai mengapa lawanan angsa itu terbang
dengan cara seperti itu. Sewaktu seekor angsa mengepakkan sayap-sayapnya, maka itu akan
membuat angsa-angsa lainnya mengikutinya. Dengan terbang dalam formasi 'V', keseluruhan
kawanan angsa itu bisa menambah paling tidak 71 persen jarak terbang dibandingkan bila setiap
angsa terbang sendiri-sendiri.
Orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama dan rasa kebersamaan bisa sampai di tujuan
dengan lebih cepat dan lebih mudah, karena mereka melakukan hal itu dengan dukungan dari
yang lain.
Apabila seekor angsa jauh dari formasi, tiba-tiba merasa ada yang menariknya dan tak
mempunyai keinginan lagi untuk menempuhnya sendiri - dan dengan begitu segera kembali ke
formasi itu karena disemangati oleh angsa yang ada di depannya.
Kalau kita memiliki naluri seperti apa yang dimiliki oleh seekor angsa, kita akan tetap tinggal di
dalam formasi bersama dengan orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama dengan kita.
Ketika pemimpin kawanan angsa itu lelah, angsa itu akan berputar ke belakang dan seekor angsa
lainnya akan mengambil alih pimpinan.
Masuk akal untuk secara bergiliran melakukan pekerjaan yang berat, bagi manusia maupun bagi
kawanan angsa yang terbang ke selatan.
Angsa-angsa itu akan memberi tanda dari belakang untuk memberi semangat angsa-angsa
lainnya yang ada di depan untuk mempertahankan kecepatan mereka.
Pesan apa yang kita sampaikan apabila kita memberi tanda (semangat) dari belakang?
Akhirnya -dan ini amat penting- ketika seekor angsa sakit atau terlkukan karena tembakan, atau
jatuh dari formasi, dua ekor angsa lainnya ikut melepaskan dari formasi itu bersama angsa tadi

dan mengikutinya turun untuk memberikan bantuan dan perlindungan. Keduanya akan tetap
bersama dengan angsa yang jatuh tadi sampai angsa tersebut mampu terbang kembali atau mati,
dan baru keduanya meneruskan perjalanan mereka sendiri atau bergabung dengan formasi
lainnya untuk mengejar kelompoknya tadi.
Kalau kita mempunyai naluri seekor angsa, kita akan saling memberikan semangat seperti itu.

JIKA TUHAN MENJATUHKAN BATU


Seorang pekerja pada proyek bangunan memanjat ke atas tembok yang sangat tinggi. Pada suatu
saat ia harus menyampaikan pesan penting kepada teman kerjanya yang ada di bawahnya.
Pekerja itu berteriak-teriak tetapi temannya tdk bisa mendengarnya karena suara bising dari
mesin-mesin dan orang-orang yang bekerja, sehingga usahanya sia-sia saja.
Oleh karena itu untuk menarik perhatian orang yang ada dibawahnya, ia mencoba melemparkan
uang logam di depan temannya. Temannya berhenti bekerja, mengambil uang itu lalu bekerja
kembali. Pekerja itu mencoba lagi, tetapi usahanya yang keduapun memperoleh hasil yang sama.
Tiba-tiba ia mendapat ide. Ia mengambil batu kecil lalu melemparkannya ke arah orang itu. Batu
itu tepat mengenai kepala temannya, dan karena merasa sakit temannya menengadah ke atas.
Sekarang pekerja itu dapat menjatuhkan catatan yang berisi pesannya.
Tuhan kadang-kadang menggunakan pengalaman-pengalaman yang menyakitkan untuk
membuat kita menengadah kepada-Nya. Seringkali Tuhan memberi berkat, tetapi itu tidak cukup
untuk membuat kita menengadah kepada-Nya. Karena itu memang lebih tepat jika Tuhan
menjatuhkan "batu" kepada kita.

Berpikir Sederhana
Terpetik sebuah kisah, seorang pemburu berangkat ke hutan dengan membawa busur dan
tombak. Dalam hatinya dia berkhayal mau membawa hasil buruan yang paling besar, yaitu
seekor rusa. Cara berburunya pun tidak pakai anjing pelacak atau jaring penyerat, tetapi
menunggu di balik sebatang pohon yang memang sering dilalui oleh binatang-binatang buruan.
Tidak lama ia menunggu, seekor kelelawar besar kesiangan terbang hinggap di atas pohon kecil
tepat di depan si pemburu. Dengan ayunan parang atau pukulan gangang tombaknya, kelelawar
itu pasti bisa diperolehnya. Tetapi si pemburu berpikir, "untuk ada merepotkan diri dengan
seekor kelelawar? Apakah artinya dia dibanding dengan seekor rusa besar yang saya incar?"
Tidak lama berselang, seekor kancil lewat. Kancil itu sempat berhenti di depannya bahkan
menjilat-jilat ujung tombaknya tetapi ia berpikir, "Ah, hanya seekor kancil, nanti malah tidak ada
yang makan, sia-sia." Agak lama pemburu menunggu. Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki

binatang mendekat, pemburupun mulai siaga penuh,tetapi ternyata, ah... kijang.


Ia pun membiarkannya berlalu. Lama sudah ia menunggu, tetapi tidak ada rusa yang lewat,
sehingga ia tertidur. Baru setelah hari sudah sore, rusa yang ditunggu lewat. Rusa itu sempat
berhenti di depan pemburu, tetapi ia sedang tertidur. Ketika rusa itu hampir menginjaknya, ia
kaget. Spontan ia berteriak, "Rusa!!!" sehingga rusanya pun kaget dan lari terbirit-birit sebelum
sang pemburu menombaknya. Alhasil ia pulang tanpa membawa apa-apa.
Banyak orang yang mempunyai idealisme terlalu besar untuk memperoleh sesuatu yang
diinginkannya. Ia berpikir yang tinggi-tinggi dan bicaranya pun terkadang sulit dipakhami.
Tawaran dan kesempatajn-kesempatan kecil dilewati begitu saja, tanpa pernah berpikir bahwa
mungkin di dalamnya ia memperoleh sesuatu yang berharga.
Tidak jarang orang-orang seperti itu menelan pil pahit karena akhirnya tidak mendapatkan apaapa. Demikian juga dengan seseorang yang bergumul dengan pasangan hidup yang
mengharapkan seorang gadis cantik atau perjaka tampan yang baik, pintar dan sempurna lahir
dan batin, harus puas dengan tidak menemukan siapa-siapa.
Berpikir sederhana, bukan berarti tanpa pertimbangan logika yang sehat. Kita tentunya perlu
mempunyai harapan dan idelaisme supaya tidak asal tabrak. Tetapi hendaknya kita ingat bahwa
seringkali Tuhan mengajar anak-Nya dengan perkara-perkara kecil terlebih dahulu sebelum
mempercayakan perkara besar dan lagipula tidak ada sesuatu di dunia yang perfect yang
memenuhi semua idealisme kita. Berpikirlah sederhana. (Martianus Zega)

TUKANG KAYU DAN RUMAHNYA


Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi
real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena
tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia
merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian
bersama istri dan keluarganya.
Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon
pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya. Tukang kayu
mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa
terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan.
Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan
sekedarnya. Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik.
Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.
Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah
kunci rumah pada si tukang kayu. "Ini adalah rumahmu," katanya, "hadiah dari kami." Betapa
terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa

ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya


dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus
hasil karyanya sendiri.
Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun
kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang
mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak
memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita
lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri.
Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh
berbeda.
Renungkan bahwa kita adalah si tukang kayu. Renungkan rumah yang sedang kita bangun.
Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita
selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja
dalam seumur hidup. Biarpun kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas
untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan. Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi. Hidup
kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini. (adapted from "The Builder",
Unknown)

MAMA, AKU CINTA KAMU...


Keempat orang anak saling berebutan mengatakan "saya yang paling cinta mama". Diantara
mereka yang sulung berkata aku yang paling besar dan yang mencintai mama paling lama. Anak
kedua yang perempuan berkata, "aku paling cinta mama karena di dalam keluarga aku anak
perempuan satu-satunya." Anak ketiga berkata, "mama, aku sangat cinta kepadamu. Jika ada
binatang buas yang akan mencelakai mama pasti aku akan membunuhnya."
Anak bungsu berkata, "aku cinta mama, tetapi tidak tahu bagaimana mengutarakannya." Setelah
demikian ia membuka kedua belah tangannya dan merangkul ibunya. Si ibu dengan wajah
berseri-seri berkata kepada anak-anaknya, "mama senang mendengar kalian mencintai mama."
Tiba-tiba mereka mendengar ketukan pintu, setelah dibuka baru diketahui bahwa pak pos sedang
mengantarkan surat untuk ibu. Ibu dengan segera membuka lalu membacanya. Tidak berapa
lama lagi ia berkata, "surat ini penting sekali dan harus segera dibalas. Siapa diantara kalian yang
mau membantu mama mengantar ke kantor pos?"
Si sulung melihat keluar jendela, di luar masih hujan rintik-rintik dan ia masih harus
mengerjakan PR-nya. Lalu ia berpikir mengapa harus sekarang surat itu dikirim? Besok sambil
sekolah mampir ke kantor pos, bukankah itu lebih baik?
Anak kedua berpikir, aku anak perempuan dan tentu mama tidak akan menyuruh aku pergi. Anak
ketiga melihat keluar, hari sudah hampir gelap dan hujan mulai turun dengan deras. Ia merasa
malas untuk pergi.

Setelah ibu selesai menulis surat, ia melihat mereka masing-masing sibuk dengan pekerjaannya.
Hanya si bungsu yang bersiap-siap memakai jas hujan untuk mengantarkan surat.
Si ibu menyerahkan surat kepadanya dan berkata, "di luar hujan lebat dan gelap, apakah Engkau
tidak takut nak?" "Mama, saya tidak takut karena saya cinta padamu!" jawab si bungsu.
Siapakah di antara anak-anak itu yang sungguh-sungguh mencintai ibunya?
"Jikalau barang seseorang mengasihi Aku, ia akan menuruti perkataanKu, maka BapaKu itu akan
mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan akan diam bersama-sama dengan dia." (Yoh
14:23)

DOA SIAPAKAH YANG LEBIH BERKUASA?


Karena badai, sebuah kapal tenggelam di lautan luas. Yang selamat hanyalah dua laki-laki yang
berhasil berenang ke sebuah pulau terpencil. Di sana mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat,
kecuali berdoa. Namun untuk mengetahui doa siapa yang lebih manjur, mereka memutuskan
membagi pulau tersebut menjadi dua bagian. Kemudian mereka pun berpisah untuk menempati
daerah masing-masing.
Pertama mereka berdoa untuk makanan. Paginya, orang pertama mendapati sebuah pohon
dengan buah-buahnya yang bergelantungan. Sementara orang yang kedua tidak menemukan apaapa.
Seminggu berlalu.
Orang pertama merasa kesepian sehingga ia berdoa memohon seorang istri. Tanpa diduga,
keesokan harinya ada kapal karam. Hanya seorang wanita yang berhasil selamat dan sampai ke
bagian pulau yang ditempati orang pertama. Segera setelah itu, si orang pertama berdoa minta
rumah, pakaian dan lebih banyak lagi makanan. Dan, ajaib! Segalanya terkabul dengan segera.
Ironisnya,tetap tidak terjadi apa-apa bagi orang kedua.
Akhirnya, orang pertama berdoa meminta sebuah kapal agar ia dan istrinya bisa meninggalkan
pulau tersebut. Lagi, esok harinya ia menemukan sebuah kapal terdampar di bagian pulau yang
ditempatinya. Buru-buru ia dan istrinya naik ke kapal hendak meninggalkan orang kedua. Ia
merasa bahwa orang kedua tidak layak menerima berkat Allah karena tidak satu pun doanya
dikabulkan Allah.
Ketika si orang pertama hendak meninggalkan pulau, tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dari
surga: "Mengapa kamu hendak meninggalkan temanmu sendirian di pulau?"
"Berkat ini hanya untukku," jawabnya. "Semua doanya tidak ada yang terkabul. Berarti ia

memang tak pantas menerima apa-apa."


"Kamu salah," suara itu menjawab. "Ia telah berdoa untuk satu hal dan Aku hanya mengabulkan
doanya. Jika bukan karena dia, kamu tidak akan menerima semua berkat ini."
"Katakan," serunya pada suara itu, "Apa yang ia doakan sehingga aku harus mempedulikannya."
"Ia memohon kepada-Ku agar semua doamu dikabulkan."

HATI YANG TERINDAH


Pada suatu hari, seorang pemuda berdiri di tengah kota dan menyatakan bahwa dialah pemilik
hati yang terindah yang ada di kota itu. Banyak orang kemudian berkumpul dan mereka semua
mengagumi hati pemuda itu, karena memang benar-benar sempurna. Tidak ada satu cacat atau
goresan sedikitpun di hati pemuda itu. Pemuda itu sangat bangga dan mulai menyombongkan
hatinya yang indah.
Tiba-tiba, seorang lelaki tua menyeruak dari kerumunan, tampil ke depan dan berkata, "Mengapa
hatimu masih belum seindah hatiku?" Kerumunan orang-orang dan pemuda itu melihat pada hati
pak tua itu. Hati pak tua itu berdegup dengan kuatnya, namun penuh dengan bekas luka, di mana
ada bekas potongan hati yang diambil dan ada potongan yang lain ditempatkan di situ; namun
tidak benar-benar pas dan ada sisi-sisi potongan yang tidak rata. Bahkan, ada bagian-bagian yang
berlubang karena dicungkil dan tidak ditutup kembali. Orang-orang itu tercengang dan berpikir,
bagaimana mungkin pak tua itu mengatakan bahwa hatinya lebih indah ?
Pemuda itu melihat kepada pak tua itu, memperhatikan hati yang dimilikinya dan tertawa. "Anda
pasti bercanda, pak tua", katanya, "bandingkan hatimu dengan hatiku, hatiku sangatlah
sempurna, sedangkan hatimu tak lebih dari kumpulan bekas luka dan cabikan".
"Ya", kata pak tua itu, "hatimu kelihatan sangat sempurna meski demikian aku tak akan menukar
hatiku dengan hatimu. Lihatlah, setiap bekas luka ini adalah tanda dari orang-orang yang
kepadanya kuberikan kasihku, aku menyobek sebagian dari hatiku untuk kuberikan kepada
mereka, dan seringkali mereka juga memberikan sesobek hati mereka untuk menutup kembali
sobekan yang kuberikan. Namun karena setiap sobekan itu tidaklah sama, ada bagian-bagian
yang kasar, yang sangat aku hargai, karena itu mengingatkanku akan cinta kasih yang telah
bersama-sama kami bagikan.
Adakalanya, aku memberikan potongan hatiku begitu saja dan orang yang kuberi itu tidak
membalas dengan memberikan potongan hatinya. Hal itulah yang meninggalkan lubang-lubang
sobekan -- memberikan cinta kasih adalah suatu kesempatan. Meskipun bekas cabikan itu
menyakitkan, mereka tetap terbuka, hal itu mengingatkanku akan cinta kasihku pada orang-orang
itu, dan aku berharap, suatu ketika nanti mereka akan kembali dan mengisi lubang-lubang itu.
Sekarang, tahukah engkau keindahan hati yang sesungguhnya itu?"

Pemuda itu berdiri membisu dan airmata mulai mengalir di pipinya. Dia berjalan ke arah pak tua
itu, menggapai hatinya yang begitu muda dan indah, dan merobeknya sepotong. Pemuda itu
memberikan robekan hatinya kepada pak tua dengan tangan-tangan yang gemetar. Pak tua itu
menerima pemberian itu, menaruhnya di hatinya dan kemudian mengambil sesobek dari hatinya
yang sudah amat tua dan penuh luka, kemudian menempatkannya untuk menutup luka di hati
pemuda itu. Sobekan itu pas, tetapi tidak sempurna, karena ada sisi-sisi yang tidak sama rata.
Pemuda itu melihat ke dalam hatinya, yang tidak lagi sempurna tetapi kini lebih indah dari
sebelumnya, karena cinta kasih dari pak tua itu telah mengalir kedalamnya. Mereka berdua
kemudian berpelukan dan berjalan beriringan. (Anonim)

PENDERITAAN
Seorang anak perempuan mengeluh pada sang ayah tentang kehidupannya yang sangat berat. Ia
tak tahu lagi apa yang harus dilakukan dan bermaksud untuk menyerah. Ia merasa capai untuk
terus berjuang dan berjuang. Bila satu persoalan telah teratasi, maka persoalan yang lain muncul.
Lalu, ayahnya yang seorang koki membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci dengan air
kemudian menaruh ketiganya di atas api. Segera air dalam panci-panci itu mendidih. Pada panci
pertama dimasukkannya beberapa wortel. Ke dalam panci kedua dimasukkannya beberapa butir
telur. Dan, pada panci terakhir dimasukkannya biji-biji kopi. Lalu dibiarkannya ketiga panci itu
beberapa saat tanpa berkata sepatah kata.
Sang anak perempuan mengatupkan mulutnya dan menunggu dengan tidak sabar. Ia keheranan
melihat apa yang dikerjakan ayahnya. Setelah sekitar dua puluh menit, ayahnya mematikan
kompor. Diambilnya wortel-wortel dan diletakkannya dalam mangkok. Diambilnya pula telurtelur dan ditaruhnya di dalam mangkok. Kemudian dituangkannya juga kopi ke dalam cangkir.
Segera sesudah itu ia berbalik kepada putrinya, dan bertanya: "Sayangku, apa yang kaulihat?"
"Wortel, telur, dan kopi," jawab anaknya.
Sang ayah membawa anaknya mendekat dan memintanya meraba wortel. Ia melakukannya dan
mendapati wortel-wortel itu terasa lembut. Kemudian sang ayah meminta anaknya mengambil
telur dan memecahkannya. Setelah mengupas kulitnya si anak mendapatkan telur matang yang
keras. Yang terakhir sang ayah meminta anaknya menghirup kopi. Ia tersenyum saat mencium
aroma kopi yang harum. Dengan rendah hati ia bertanya "Apa artinya, bapa?"
Sang ayah menjelaskan bahwa setiap benda telah merasakan penderitaan yang sama, yakni air
yang mendidih, tetapi reaksi masing-masing berbeda. Wortel yang kuat, keras, dan tegar, ternyata
setelah dimasak dalam air mendidih menjadi lembut dan lemah. Telur yang rapuh, hanya
memiliki kulit luar tipis yang melindungi cairan di dalamnya. Namun setelah dimasak dalam air
mendidih, cairan yang di dalam itu menjadi keras. Sedangkan biji-biji kopi sangat unik. Setelah
dimasak dalam air mendidih, kopi itu mengubah air tawar menjadi enak.

"Yang mana engkau, anakku?" sang ayah bertanya. "Ketika penderitaan mengetuk pintu
hidupmu, bagaimana reaksimu? Apakah engkau wortel, telur, atau kopi?"
Bagaimana dengan ANDA, sobat?
Apakah Anda seperti sebuah wortel, yang kelihatan keras, tetapi saat berhadapan dengan
kepedihan dan penderitaan menjadi lembek, lemah, dan kehilangan kekuatan?
Apakah Anda seperti telur, yang mulanya berhati penurut? Apakah engkau tadinya berjiwa
lembut, tetapi setelah terjadi kematian, perpecahan, perceraian, atau pemecatan, Anda menjadi
keras dan kepala batu? Kulit luar Anda memang tetap sama, tetapi apakah Anda menjadi pahit,
tegar hati, serta kepala batu?
Atau apakah Anda seperti biji kopi? Kopi mengubah air panas, hal yang membawa kepedihan
itu, bahkan pada saat puncaknya ketika mencapai 100 C. Ketika air menjadi panas, rasanya
justru menjadi lebih enak.
Apabila Anda seperti biji kopi, maka ketika segala hal seolah-olah dalam keadaan yang terburuk
sekalipun Anda dapat menjadi lebih baik dan juga membuat suasana di sekitar Anda menjadi
lebih baik.
Bagaimana cara Anda menghadapi penderitaan? Apakah seperti wortel, telur, atau biji kopi?
(Anonim)

RUMAH SERIBU CERMIN


Dahulu, di sebuah desa kecil yang terpencil, ada sebuah rumah yang dikenal dengan nama
"Rumah Seribu Cermin."
Suatu hari seekor anjing kecil sedang berjalan-jalan di desa itu dan melintasi "Rumah Seribu
Cermin". Ia tertarik pada rumah itu dan memutuskan untuk masuk melihat-lihat apa yang ada di
dalamnya.
Sambil melompat-lompat ceria ia menaiki tangga rumah dan masuk melalui pintu depan. Telinga
terangkat tinggi-tinggi. Ekornya bergerak-gerak secepat mungkin. Betapa terkejutnya ia ketika
masuk ke dalam rumah, ia melihat ada seribu wajah ceria anjing-anjing kecil dengan ekor yang
bergerak-gerak cepat.
Ia tersenyum lebar, dan seribu wajah anjing kecil itu juga membalas dengan senyum lebar,
hangat dan bersahabat. Ketika ia meninggalkan rumah itu, ia berkata pada dirinya sendiri,
"Tempat ini sangat menyenangkan. Suatu saat aku akan kembali mengunjunginya sesering
mungkin."

Sesaat setelah anjing itu pergi, datanglah anjing kecil yang lain. Namun, anjing yang satu ini
tidak seceria anjing yang sebelumnya. Ia juga memasuki rumah itu. Dengan perlahan ia menaiki
tangga rumah dan masuk melalui pintu. Ketika berada di dalam, ia terkejut melihat ada seribu
wajah anjing kecil yang muram dan tidak bersahabat.
Segera saja ia menyalak keras-keras, dan dibalas juga dengan seribu gonggongan yang
menyeramkan. Ia merasa ketakutan dan keluar dari rumah sambil berkata pada dirinya sendiri,
"Tempat ini sungguh menakutkan, aku takkan pernah mau kembali ke sini lagi."
Semua wajah yang ada di dunia ini adalah cermin wajah kita sendiri. Wajah bagaimanakah yang
tampak pada orang-orang yang anda jumpai? (Japanese Folktale)

JANGAN SALAHKAN TUHAN


Pada suatu hari seorang penginjil dan tukang cukur berjalan melalui daerah kumuh di sebuah
kota. Tukang cukur berkata kepada si penginjil:
"Lihat, inilah sebabnya saya tidak dapat percaya ada Tuhan yang penuh kasih. Jika Tuhan itu
baik sebagaimana yang engkau katakan, Ia tidak akan membiarkan semua kemiskinan, penyakit,
dan kekumuhan ini. Ia tidak akan membiarkan orang-orang ini terperangkap ketagihan obat dan
semua kebiasaan yang merusak watak. Tidak, saya tidak dapat percaya ada Tuhan yang
mengijinkan semua ini terjadi."
Penginjil itu diam saja sampai ketika mereka bertemu dengan seseorang yang benar-benar jorok
dan bau. Rambutnya panjang dan janggutnya seperti tak tersentuh pisau cukur cukup lama.
Kata penginjil itu: "Anda tidak bisa menjadi seorang tukang cukur yang baik kalau anda
membiarkan orang seperti dia hidup tanpa rambut dan janggut yang tak terurus".
Merasa tersinggung, tukang cukur itu menjawab: "Mengapa salahkan aku atas keadaan orang
itu? Aku tidak mengubahnya. Ia tidak pernah datang ke tokoku. Saya bisa saja merapikannya dan
membuat ia tampak rupawan!"
Sambil melihat dengan tenang kepada tukang cukur itu, penginjil itu berkata: "Karena itu, jangan
menyalahkan Tuhan karena membiarkan orang hidup dalam kejahatan, karena Ia terus menerus
mengundang mereka untuk datang dan 'dicukur'. Alasan mengapa orang-orang itu menjadi budak
kebiasaan jahat adalah karena mereka menolak Dia yang telah mati untuk menyelamatkan
mereka."
Tukang cukur itu mengerti maksudnya. Apakah anda juga? (Anonim)

KISAH LANTAI PUALAM


Alkisah terdapat sebuah museum yang lantainya terbuat dari batu pualam yang indah. Di tengahtengah ruangan museum itu dipajang sebuah patung pualam pula yang sangat besar. Banyak
orang datang dari seluruh dunia mengagumi keindahan patung pualam itu. Suatu malam, lantai
pualam itu berkata pada patung pualam.
Lantai Pualam: "Wahai patung pualam, hidup ini sungguh tidak adil. Benar-benar tidak adil!
Mengapa orang-orang dari seluruh dunia datang kemari untuk menginjak-injak diriku tetapi
mereka mengagumimu? Benar-benar tidak adil!"
Patung Pualam: "Oh temanku, lantai pualam yang baik. Masih ingatkah kau bahwa kita ini
sesungguhnya berasal dari gunung batu yang sama?"
Lantai Pualam: "Tentu saja, justru itulah mengapa aku semakin merasakan ketidakadilan itu. Kita
berasal dari gunung batu yang sama, tetapi sekarang kita menerima perlakuan yang berbeda.
Benar-benar tidak adil!"
Patung Pualam: "Lalu apakah kau masih ingat ketika suatu hari seorang pemahat datang dan
berusaha memahat dirimu, tetapi kau malah menolak dan merusakkan peralatan pahatnya?"
Lantai Pualam: "Ya, tentu saja aku masih ingat. Aku sangat benci pemahat itu. Bagaimana ia
begitu tega menggunakan pahatnya untuk melukai diriku. Rasanya sakit sekali!"
Patung Pualam: "Kau benar! Pemahat itu tidak bisa mengukir dirimu sama sekali karena kau
menolaknya."
Lantai Pualam: "Lalu?"
Patung Pualam: "Ketika ia memutuskan untuk tidak meneruskan pekerjaannya pada dirimu, lalu
ia berusaha untuk memahat tubuhku. Saat itu aku tahu melalui hasil karyanya aku akan menjadi
sesuatu yang benar-benar berbeda. Aku tidak menolak peralatan pahatnya membentuk tubuhku.
Aku berusaha untuk menahan rasa sakit yang luar biasa."
Lantai Pualam: "Mmmmmm...."
Patung Pualam: "Kawanku, ini adalah harga yang harus kita bayar pada segala sesuatu dalam
hidup ini. Saat kau memutuskan untuk menyerah, kau tak boleh menyalahkan siapa-siapa atas
apa yang terjadi pada dirimu sekarang."
Bagaimana dengan kita? Sudah siapkah untuk 'dipahat'? (Anonim)

MEMIKUL SALIB

Ada 3 orang; A, B, dan C diberi tugas oleh Tuhan untuk memikul salib yang sama besar dan
sangat berat menuju puncak sebuah bukit. Di sana Tuhan berjanji akan menjemput mereka ke
Surga.
Di tengah jalan ketiga orang itu melihat sebuah gergaji, si B mulai berpikir dan menghasut kedua
temannya untuk memotong salib mereka supaya salib itu menjadi ringan. Namun kedua
temannya tidak menuruti usul si B karena mereka taat dan mengasihi Tuhan. Kasih mereka
kepada Tuhan membuat mereka mau dan rela memikul tanggung jawab yang Tuhan sudah
berikan tanpa keluhan.
Singkat cerita si B memotong salibnya, sehingga dengan mudah ia mendahului kedua temannya.
Sampai di puncak bukit, si B melihat sebuah jurang yang teramat lebar memisahkan puncak
bukit itu dengan gerbang Surga. Di seberang jurang terlihat malaikat Tuhan yang sudah menanti
kedatangan mereka.
Dengan bersemangat si B menanyakan jalan mana yang bisa dipakainya untuk sampai ke
gerbang Surga, tapi malaikat Tuhan itu menjawab, "Tuhan sudah sediakan jalan itu".
Si B sangat bingung karena dia sama sekali tidak melihat jalan yang
dimaksud sang malaikat Tuhan.
Beberapa saat kemudian, si A dan C tiba di puncak bukit tersebut. Seperti halnya si B, mereka
bertanya tentang jalan ke seberang pada malaikat Tuhan, mereka mendapatkan jawaban yang
sama, "Tuhan sudah menyediakan jalan itu".
Kemudian Roh Kudus bukakan pikiran mereka berdua dan mereka mengerti sesuatu, ukuran
salib yang berat dan besar itu sudah Tuhan buat tepat sama dengan jarak antara puncak bukit dan
gerbang Surga, itulah jalan yang Tuhan sudah sediakan.
Mereka segera sadar akan hal itu dan bergegas meletakkan salib mereka dan mulai menyeberang.
Si B kebingungan karena salib yang Tuhan beri untuk dia sudah dia potong hingga tidak bisa
berfungsi sebagai jembatan. Namun dipikirnya dia dapat meminjam salib A atau C untuk
menyeberang. Tapi sungguh kasihan, begitu A dan C selesai menyeberang dengan salib mereka,
salib itu tiba-tiba menghilang. Itu berarti si B tidak dapat menyeberang ke pintu Surga...
Dari ilustrasi ini, ditunjukkan bahwa seringkali kita menganggap Tuhan begitu kejam
mengijinkan "salib" itu ada dalam hidup kita, kita juga sering mengeluh karena sepertinya
pemrosesan (yang pahit) itu tidak kunjung selesai.
Akibatnya kita terlalu sering mencari jalan keluar sendiri dan tidak mau taat pada
Tuhan,sehingga memotong salib yang seharusnya kita pikul. Namun, justru "salib" itulah yang
akan menolong kita mengerti akan kasih Tuhan pada kita. Ia ijinkan kita mengalami pemrosesan
yang sulit supaya kita menjadi semakin sempurna.

"..karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya
sebagai anak." Ibrani 12:6
"Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap
baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam
kekudusan-Nya. "Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan
sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan
damai kepada mereka yang dilatih olehnya." Ibrani 12:10-11

PERANGKAP
Teman, saya pernah membaca suatu hal yang menarik tentang perangkap. Suatu sistem yang
unik, telah dipakai di hutan-hutan Afrika untuk menangkap monyet yang ada disana. Sistem itu
memungkinkan untuk menangkap monyet dalam keadaan hidup, tak cedera, agar bisa dijadikan
hewan percobaan atau binatang sirkus di Amerika.
Sang pemburu monyet, akan menggunakan sebuah toples berleher panjang dan sempit, dan
menanamnya di tanah. Toples kaca yang berat itu berisi kacang, ditambah dengan aroma yang
kuat dari bahan-bahan yang disukai monyet-monyet Afrika. Mereka meletakkannya di sore hari
dan mengikat (menanam) toples itu erat-erat ke dalam tanah. Keesokan harinya, mereka akan
menemukan beberapa monyet yang terperangkap, dengan tangan yang terjulur, dalam setiap
botol yang dijadikan jebakan.
Tentu, kita tahu mengapa ini terjadi. Monyet-monyet itu tak melepaskan tangannya sebelum
mendapatkan kacang-kacang yang menjadi jebakan. Mereka tertarik pada aroma yang keluar dari
setiap toples, lalu mengamati, menjulurkan tangan, dan terjebak. Monyet itu, tak akan dapat
terlepas dari toples, sebelum ia melepaskan kacang yang sedang digenggamnya. Selama ia tetap
mempertahankan kacang-kacang itu, selama itu pula ia terjebak. Toples itu terlalu berat untuk
diangkat, sebab tertanam di tanah. Monyet tak akan dapat pergi kemana-mana.
Teman, kita mungkin tertawa dengan tingkah monyet itu. Kita bisa jadi terbahak saat melihat
kebodohan monyet yang terperangkap dalam toples. Tapi, mungkin, sesungguhnya, kita sedang
menertawakan diri kita sendiri. Betapa sering, kita mengengam setiap permasalahan yang kita
miliki, layaknya monyet yang mengenggam kacang. Kita sering mendendam, tak mudah
memberikan maaf, tak mudah melepaskan maaf, memendam setiap amarah dalam dada, seakan
tak mau melepaskan selamanya.
Seringkali, kita, yang bodoh ini, membawa "toples-toples" itu kemana pun kita pergi. Dengan
beban yang berat, kita berusaha untuk terus berjalan. Tanpa sadar, kita sebenarnya sedang
terperangkap dengan persoalan pribadi yang kita alami.
Teman, bukankah lebih mudah jika kita melepaskan setiap masalah yang lalu, dan menatap hari
esok dengan lebih cerah? Bukankah lebih menyenangkan, untuk memberikan maaf bagi setiap
orang yang pernah berbuat salah kepada kita? Karena, kita pun bisa jadi juga bisa berbuat

kesalahan yang sama. Bukankah lebih terasa nyaman, saat kita membagikan setiap masalah
kepada orang lain, kepada teman, agar di cari penyelesaiannya, daripada terus dipendam?

BUNYI YANG PUNYA ARTI


Suatu hari, seorang dari desa mengunjungi temannya di kota. Bunyi ribut mobil-mobil dan derap
orang yang lalu-lalang sangat menganggu orang desa itu.
Kedua orang itu kemudian berjalan-jalan dan tiba-tiba orang desa itu berhenti, menepuk pundak
temannya dan berbisik, "Berhentilah sebentar. Apakah kamu mendengar suara yang kudengar?"
Teman kotanya itu menoleh ke arah orang desa itu sambil tersenyum, dan kemudian berkata,
"Yang saya dengar hanyalah suara klakson mobil serta suara orang lalu-lalang. Apa yang kau
dengar?"
"Ada seekor jangkrik di dekat sini dan saya bisa mendengar suara nyanyiannya."
Teman dari kota itu mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu menggeleng-gelengkan
kepalanya dan berkata, "Saya pikir kamu hanya bergurau. Tidak ada jangkrik di sini. Dan
seandainya ada, bagaimana orang bisa mendengar suaranya di tengah kebisingan jalan ini? Jadi
kamu pikir kamu bisa mendengarkan suara seekor jangkrik?"
Kata orang desa itu, "Ya! Ada satu ekor yang bernyanyi di sekitar sini sekarang." Orang desa itu
berjalan ke depan beberapa langkah, lalu berdiri di samping tembok suatu rumah. Di situ ada
tanaman yang tumbuh merambat. Orang Indian itu memetik beberapa daun, dan di atas daun
itulah terdapat seekor jangkrik yang bernyanyi keras sekali.
Teman dari kota itu kini bisa melihat jangkrik itu, dan dia pun mulai bisa mendengarkan suara
nyanyiannya. Ketika mereka kembali berjalan-jalan, orang kota itu berkata kepada teman
desanya, "Kamu secara alami bisa mendengar lebih baik dari kami."
Orang desa itu tersenyum dan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, "Saya
tidak setuju dengan pendapatmu. Orang desa tidak bisa mendengar lebih baik daripada orang
kota. Sekarang lihat, saya akan memperlihatkannya kepadamu!"
Lalu, orang desa itu mengambil uang logam dan menjatuhkannya di trotoar. Bunyi uang logam
itu membuat banyak orang menoleh ke arahnya. Kemudian orang desa itu memungut uang logam
itu dan menyimpannya kembali di kantungnya, dan kedua orang itu kembali berjalan-jalan.
Kata orang desa itu, "Tahukah kamu sobat, suara uang logam itu tidak lebih keras daripada
nyanyian jangkrik tadi. Meski demikian, banyak orang kota mendengarnya dan menoleh ke
arahnya. Di lain pihak, saya adalah satu-satunya orang yang mendengar suara jangkrik itu.
Alasannya tentu bukan bahwa orang desa bisa mendengar lebih baik daripada orang kota. Tidak.
Alasannya adalah bahwa kita selalu mendengar dengan lebih baik hal-hal yang biasanya kita

perhatikan."
Saya jadi terpikir, seringkali ketika kita dalam masalah/pergumulan, kita berteriak memohon
pertolongan pada Tuhan, dan kita merasa Tuhan diam saja. Ketika membaca cerita ini saya jadi
sadar, sebabnya bukan karena Tuhan tidak menjawab, tapi karena saya lebih fokus pada diri saya
sendiri dan permasalahannya daripada fokus pada Tuhan dan pertolonganNya.
Saya memasang telinga agar Tuhan menjawab sesuai dengan keinginan dan cara saya dan
menolak suara Tuhan yang mengatakan bahwa Dia menyediakan jalan lain yang lebih baik!
(Anonim)

Batu yang berharga


Pada suatu ketika, hiduplah seorang pedagang batu-batuan. Setiap hari dia berjalan dari kota ke
kota untuk memperdagangkan barang-barangnya itu. Ketika dia sedang berjalan menuju ke suatu
kota, ada suatu batu kecil di pinggir jalan yang menarik hatinya. Batu itu tidak bagus, kasar, dan
tidak mungkin untuk dijual.
Namun pedagang itu memungutnya dan menyimpannya dalam sebuah kantong, dan kemudian
pedagang itu meneruskan perjalanannya. Setelah lama berjalan, lelahlah pedagang itu, kemudian
dia beristirahat sejenak. Selama dia beristirahat, dia membuka kembali bungkusan yang berisi
batu itu. Diperhatikannya batu itu dengan seksama, kemudian batu itu digosoknya dengan hatihati batu itu. Karena kesabaran pedagang itu, batu yang semula buruk itu, sekarang terlihat indah
dan mengkilap. Puaslah hati pedagang itu, kemudian dia meneruskan perjalanannya.
Selama dia berjalan lagi, tiba-tiba dia melihat ada yang berkilau-kilauan di pinggir jalan. Setelah
diperhatikan, ternyata itu adalah sebuah mutiara yang indah. Alangkah senangnya hati pedagang
tersebut, mutiara itu diambil dan disimpannya tetapi dalam kantong yang berbeda dengan
kantong tempat batu tadi. Kemudian dia meneruskan perjalanannya kembali.
Adapun si batu kecil merasa bahwa pedagang itu begitu memperhatikan dirinya, dan dia merasa
begitu bahagia. Namun pada suatu saat mengeluhlah batu kecil itu kepada dirinya sendiri. "Tuan
begitu baik padaku, setiap hari aku digosoknya walaupun aku ini hanya sebuah batu yang jelek,
namun aku merasa kesepian. Aku tidak mempunyai teman seorangpun, seandainya saja Tuan
memberikan kepadaku seorang teman".
Rupanya keluhan batu kecil yang malang ini didengar oleh pedagang itu. Dia merasa kasihan dan
kemudian dia berkata kepada batu kecil itu "Wahai batu kecil, aku mendengar keluh kesahmu,
baiklah aku akan memberikan kepadamu sesuai dengan yang engkau minta".
Setelah itu kemudian pedagang tersebut memindahkan mutiara indah yang ditemukannya di
pinggir jalan itu ke dalam kantong tempat batu kecil itu berada. Dapat dibayangkan betapa
senangnya hati batu kecil itu mendapat teman mutiara yang indah itu. Sungguh betapa tidak
disangkanya, bahwa pedagang itu akan memberikan miliknya yang terbaik kepadanya.

Waktu terus berjalan dan si batu dan mutiara pun berteman dengan akrab. Setiap kali pedagang
itu beristirahat, dia selalu menggosok kembali batu dan mutiara itu. Namun pada suatu ketika,
setelah selesai menggosok keduanya, tiba-tiba saja pedagang itu memisahkan batu kecil dan
mutiara itu. Mutiara itu ditempatkannya kembali di dalam kantongnya semula, dan batu kecil itu
tetap di dalam kantongnya sendiri.
Maka sedihlah hati batu kecil itu. Tiap-tiap hari dia menangis, dan memohon kepada pedagang
itu agar mengembalikan mutiara itu bersama dengan dia. Namun seolah-olah pedagang itu tidak
mendengarkan dia. Maka putus asalah batu kecil itu, dan di tengah-tengah keputus asaannya itu,
berteriaklah dia kepada pedagang itu, "Oh tuanku, mengapa engkau berbuat demikian? Mengapa
engkau mengecewakan aku?"
Rupanya keluh kesah ini didengar oleh pedagang batu tersebut. Kemudian dia berkata kepada
batu kecil itu, "Wahai batu kecil, kamu telah kupungut dari pinggir jalan. Engkau yang semula
buruk kini telah menjadi indah. Mengapa engkau mengeluh? Mengapa engkau berkeluh kesah?
Mengapa hatimu berduka saat aku mengambil mutiara itu daripadamu? Bukankah mutiara itu
miliku, dan aku bebas mengambilnya setiap saat menurut kehendakku? Engkau telah kupungut
dari jalan, engkau yang semula buruk kini telah menjadi indah. Ketahuilah bahwa bagiku,
engkau sama berharganya seperti mutiara itu, engkau telah kupungut dan engkau kini telah
menjadi milikku juga. Biarlah aku bebas menggunakanmu sekehendak hatiku. Aku tidak akan
pernah membuangmu kembali".
Mengertikah apakah maksud cerita di atas? Yang dimaksud dengan batu kecil itu adalah kita-kita
semua, sedangkan pedagang itu adalah Tuhan sendiri. Kita semua ini buruk dan hina di
hadapanNya, namun karena kasihnya itu Dia memoles kita, sehingga kita dijadikannya indah
dihadapanNya.
Sedangkan yang dimaksud dengan mutiara itu adalah berkat Tuhan bagi kita semua. Siapa yang
tidak senang menerima berkat? Berkat itu dapat berupa apa saja dalam kehidupan kita seharihari, mungkin berupa kegembiraan, kesehatan, orangtua, saudara dan sahabat, dan banyak lagi.
Apakah kita pernah bersyukur, setiap kali kita mendapat berkat itu? Dan apakah kita tetap
bersyukur, jika seandainya Tuhan mengambil semuanya itu dari kita? Bukankah semua itu
milikNya dan Ia bebas mengambilnya kembali kapanpun Ia mau? Bersyukurlah selalu
kepadaNya, karena Dia tidak akan pernah mengecewakan kita semua.
Yeremia 29:11
"Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu,
demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan,
untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan."

Kekayaan, Kesuksesan dan Kasih Sayang


Suatu ketika, ada seorang wanita yang kembali pulang ke rumah dari perjalanannya keluar

rumah, dan ia melihat ada 3 orang pria berjanggut yang duduk di halaman depan. Wanita itu
tidak mengenal mereka semua.
Wanita itu berkata dengan senyumnya yang khas: "Aku tidak mengenal Anda, tapi aku yakin
Anda semua pasti orang baik-baik yang sedang lapar. Mari masuk ke dalam, aku pasti punya
sesuatu untuk mengganjal perut".
Pria berjanggut itu lalu balik bertanya, "Apakah suamimu sudah pulang?"
Wanita itu menjawab, "Belum, dia sedang keluar".
"Oh kalau begitu, kami tak ingin masuk. Kami akan menunggu sampai suamimu kembali", kata
pria itu.
Di waktu senja, saat keluarga itu berkumpul, sang isteri menceritakan semua kejadian tadi. Sang
suami, awalnya bingung dengan kejadian ini, lalu ia berkata pada istrinya, "Sampaikan pada
mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati makan malam ini".
Wanita itu kemudian keluar dan mengundang mereka untuk masuk ke dalam.
"Maaf, kami semua tak bisa masuk bersama-sama", kata pria itu hampir bersamaan.
"Lho, kenapa? tanya wanita itu karena merasa heran.
Salah seseorang pria itu berkata, "Nama dia Kekayaan," katanya sambil menunjuk seorang pria
berjanggut di sebelahnya, "sedangkan yang ini bernama Kesuksesan, sambil memegang bahu
pria berjanggut lainnya. Sedangkan aku sendiri bernama Kasih-Sayang. Sekarang, coba tanya
kepada suamimu, siapa diantara kami yang boleh masuk ke rumahmu."
Wanita itu kembali masuk kedalam, dan memberitahu pesan pria di luar. Suaminya pun merasa
heran. "Ohho...menyenangkan sekali. Baiklah, kalau begitu, coba kamu ajak si Kekayaan masuk
ke dalam. Aku ingin rumah ini penuh dengan Kekayaan."
Istrinya tak setuju dengan pilihan itu. Ia bertanya, "sayangku, kenapa kita tak mengundang si
Kesuksesan saja? Sebab sepertinya kita perlu dia untuk membantu keberhasilan panen ladang
pertanian kita."
Ternyata, anak mereka mendengarkan percakapan itu. Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan
masuk ke dalam rumah. "Bukankah lebih baik jika kita mengajak si Kasih-sayang yang masuk ke
dalam? Rumah kita ini akan nyaman dan penuh dengan kehangatan Kasih-sayang."
Suami-istri itu setuju dengan pilihan buah hati mereka. "Baiklah, ajak masuk si Kasih-sayang ini
ke dalam. Dan malam ini, Si Kasih-sayang menjadi teman santap malam kita."
Wanita itu kembali ke luar, dan bertanya kepada 3 pria itu. "Siapa diantara Anda yang bernama
Kasih-sayang? Ayo, silahkan masuk, Anda menjadi tamu kita malam ini."

Si Kasih-sayang berdiri, dan berjalan menuju beranda rumah. Ohho.. ternyata, kedua pria
berjanggut lainnya pun ikut serta. Karena merasa ganjil, wanita itu bertanya kepada si Kekayaan
dan si Kesuksesan.
"Aku hanya mengundang si Kasih-sayang yang masuk ke dalam, tapi kenapa kamu ikut juga?"
Kedua pria yang ditanya itu menjawab bersamaan. "Kalau Anda mengundang si Kekayaan, atau
si Kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di luar. Namun, karena Anda mengundang si
Kasih-sayang, maka, kemana pun Kasih sayang pergi, kami akan ikut selalu bersamanya.
Dimana ada Kasih-sayang, maka kekayaan dan Kesuksesan juga akan ikut serta. Sebab,
ketahuilah, sebenarnya kami berdua ini buta. Dan hanya si Kasih-sayang yang bisa melihat.
Hanya dia yang bisa menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Maka,
kami butuh bimbingannya saat berjalan. Saat kami menjalani hidup ini."

JUARA
Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan.
Suasana sungguh meriah siang itu, sebab ini adalah babak final. Hanya tersisa 4 orang sekarang
dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri,sebab
memang begitulah peraturannya.
Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang
masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark-lah yang paling tak sempurna. Beberapa
anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya. Yah, memang,
mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip di atasnya,
tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark
bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.
Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di
garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap
4 mobil, dengan 4 "pembalap" kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah
di antaranya. Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai.
Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa.
Matanya terpejam, dengan tangan bertangkup memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia
berkata, "Ya, aku siap!". Dor!!! Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai
mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang
bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing.
"Ayo..ayo... cepat..cepat, maju..maju", begitu teriak mereka. Ahha...sang pemenang harus
ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai. Dan... Mark-lah pemenangnya. Ya, semuanya
senang, begitu juga Mark. Ia berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati. "Terima kasih."

Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan,
ketua panitia bertanya.
"Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?"
Mark terdiam. "Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan" kata Mark. Ia lalu melanjutkan,
"Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongku mengalahkan orang lain,
aku, hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah."
Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan
yang memenuhi ruangan.
Teman, anak-anak, tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua. Mark, tidaklah
bermohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian. Mark, tak memohon Tuhan untuk
meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan
mengabulkan semua harapannya. Ia tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya.
Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua. Ia
berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.
Mungkin, telah banyak waktu yang kita lakukan untuk berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan
setiap permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor
satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita berdoa
pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata.
Padahal, bukankah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan-Nya, dan panduan-Nya?
Kita, sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Kita sering lupa, dan kita sering merasa
cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui? Saya
yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan
mudah menyerah.
Jadi, teman, berdoalah agar kita selalu tegar dalam setiap ujian. Berdoalah agar kita selalu dalam
lindungan-Nya saat menghadapi itu ujian tersebut.

RANCANGANKU BUKALAH RANCANGANMU


Ketika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang menyulam sehelai kain. Aku yang sedang
bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwa ia
sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang
aku lihat dari bawah adalah benang ruwet.
Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut, "Anakku, lanjutkanlah
permainanmu, sementara ibu menyelesaikan sulaman ini, nanti setelah selesai, engkau akan
kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas".

Aku heran mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih begitu semrawut menurut
pandanganku. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara ibu memanggil,
"Anakku, mari kesini dan duduklah di pangkuan ibu".
Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar
belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak
percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet.
Kemudian ibu berkata, "Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau
tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, ibu
hanya mengikutinya. Sekarang, dengan melihatnya dari atas engkau dapat melihat keindahan
dari apa yang ibu lakukan".
Sering selama bertahun-tahun, kita melihat ke atas dan bertanya kepada Allah Bapa, "Bapa, apa
yang Engkau lakukan?"
Ia menjawab, "Aku sedang menyulam kehidupanmu".
Dan aku membantah, "Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang
hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah?"
Kemudian Bapak menjawab, "Anakku, kamu teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga
menyelesaikan pekerjaanKu di bumi ini, satu saat nanti aku akan memanggilmu ke surga dan
mendudukkan kamu di pangkuanKu dan kamu akan melihat rencanaKu yang indah dari sisiKu".
Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu,
demikianlah Firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan,
untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan". (Yer 29:11)

KATA-KATA KEHIDUPAN
Sekelompok kodok sedang berjalan-jalan melintasi hutan. Malangnya, dua di antara kodok
tersebut jatuh kedalam sebuah lubang. Kodok-kodok yang lain mengelilingi lubang tersebut.
Ketika melihat betapa dalamnya lubang tersebut, mereka berkata pada kedua kodok tersebut
bahwa mereka lebih baik mati. Kedua kodok tersebut mengacuhkan komentar-komentar itu dan
mencoba melompat keluar dari lubang itu dengan segala kemampuan yang ada. Kodok yang
lainnya tetap mengatakan agar mereka berhenti melompat dan lebih baik mati.
Akhirnya, salah satu dari kodok yang ada di lubang itu mendengarkan kata-kata kodok yang lain
dan menyerah. Dia terjatuh dan mati. Sedang kodok yang satunya tetap melanjutkan untuk
melompat sedapat mungkin. Sekali lagi kerumunan kodok tersebut berteriak padanya agar
berhenti berusaha dan mati saja. Dia bahkan berusaha lebih kencang dan akhirnya berhasil.

Akhirnya, dengan sebuah lompatan yang kencang, dia berhasil sampai di atas. Kodok lainnya
takjub dengan semangat kodok yang satu ini, dan bertanya "Apa kau tidak mendengar teriakan
kami?" Lalu kodok itu (dengan membaca gerakan bibir kodok yang lain) menjelaskan bahwa ia
tuli.
Akhirnya mereka sadar bahwa saat di bawah tadi mereka dianggap telah memberikan semangat
kepada kodok tersebut.
Apa yang dapat kita pelajari dari ilustrasi di atas?
Kekuatan hidup dan mati ada di lidah. Kata-kata positif yang diberikan pada seseorang yang
sedang "jatuh" justru dapat membuat orang tersebut bangkit dan membantu mereka dalam
menjalani hari-hari.
Sebaliknya, kata-kata buruk yang diberikan pada seseorang yang sedang "jatuh" dapat
membunuh mereka. Hati hatilah dengan apa yang akan diucapkan.
Suarakan 'kata-kata kehidupan' kepada mereka yang sedang menjauh dari jalur hidupnya.
Kadang-kadang memang sulit dimengerti bahwa 'kata-kata kehidupan' itu dapat membuat kita
berpikir dan melangkah jauh dari yang kita perkirakan.
Semua orang dapat mengeluarkan 'kata-kata kehidupan' untuk membuat rekan dan teman atau
bahkan kepada yang tidak kenal sekalipun untuk membuatnya bangkit dari keputus-asaanya,
kejatuhannya, kemalangannya.
Sungguh indah apabila kita dapat meluangkan waktu kita untuk memberikan spirit bagi mereka
yang sedang putus asa dan jatuh.
Sampaikanlah pesan ini kepada orang yang sedang kamu pikirkan sekarang ini.

Anda mungkin juga menyukai