Anda di halaman 1dari 12
(OMPRIAK Konstruksi Sosial Seksualitas Sebuah Pengantar Teoritis D1 Indonesia, seksualitas sebagai bi- dang studi ilmu sasial boleh dikatakan belum lahir. Di negeri-negeri Barat sen- diri, studi tentang seksualitas masih re- latif baru, Apakah seksualitas penting dibicarakan di tengah persoalan yang lebih kritis seperti kemiskinan, perang, krisis ekonomi dan politik, dan peng- rusakan lingkungan? Anehnya, pada saat krisis sosial, perilaku seksual se- ringkali menjadi lebih “ekspresif” dan mempunyai nilai simbolik yang besar sehingga seksualitas dapat menjadi se- macam barometer’? masyarakat. Bagai- mana seksualitas dapat dipakai mema- hami masyarakat? Dari dulu hingga se- karang, seksualitas bukan hanya sesuatu yang biologis-fisik, tapi selalu merupa- kan suatu bentuk interaksi sosial. Kare- tu, hubungan seksual adalah cermin ilai masyarakat, adat, agama, lem- baga-lembaga besar seperti negara, dan hubungan kekuasaan antara pria dan wanita, Sekslah yang pertama mendefinisi- kan kita sebagai manusia: perempuan, laki-laki dan kedewasaan. Aspek ini te- vus mempengaruhi seseorang sepanjang hidupnya, bahkan cenderung didorong melihat diri dari segi jenis seks mereka. Seksualitas menjadi inti dari seseorang. Dari sekian banyak atribut manusia — ras, kebangsaan, kesukuan, Kelas, aga- ma, umut, pekerjaan — salah satu iden- titas paling dasar adalah seks. Singkat- nya, sekstialitas mampu mendefinisikan. kita seeara pribadi, sosial dan moral. Seringkali kebutuhan seksual diper- bandingkan dengan kebutuhan makan dan minum, Persamaan ini bisa bergu- ha, tapi bisa juga menyesatkan. Seper- ti diketahui, banyak pastur dan pen- deta Hindu yang brahmacharya, manu- sia bisa hidup tanpa seks, tapi tak bisa hidup tanpa makan-minum, Sa- ma dengan kebutuhan makan, kegiat- an seksual diekpresikan dan diatur se- cara sosial. Jika kebutuhan biolog’ makan sudah berkembang sampai ting- kat gastronomi, etiket dan ritual, de- mikian halnya dengan seksualitas yang cara ekspresinya diatur oleh moralitas, tabu, upacara serta peraturan-peraturan masyarakat. Yang perlu diingat juga, meskipun semua masyarakat merasa perlu mengatur kehidupan erotis warga- nya, apa yang didefinisikan sebagai "'sek- sualitas” — dalam isi maupun implikasi = berbeda dari satu masyarakat ke ma- syarakat lain, atau dalam masyarakat yang sama tapi dalam periode sejarah yang berbeda.'! Karena itu konsepsi seksualitas selalu dibentuk oleh sistem kekeluargaan, perubahan ekonomi dan sosial, berbagai bentuk “pengaturan sosial” yang berubah, momen politik dan gerakan-gerakan perlawanan, ‘Tak banyak hal yang semendua sikap terhadap seksualitas yang katanya me- rupakan bagian penting kehidupan. Hu- 1 Jeffrey ‘Weeks, Sex, Potitiead Saciety, The Regulation of Sexuality since 1800, Longman, Lon- don & New York, 1981; Pat Caplan, "Sex, Sexuality and Gender", dalam The Ciuttural Consérectian of Sexuality, P. Caplan (ed,), Tavistock, London, 19875 Gayle Rubin, "Thinking Sex: Notes for Radical ‘Theory of the Politics of Sexuality", dalam G, Vance (ec), Measure ond Bangs ity, RKB, Lnndon, 1984. 2 Wecks, lord, hal, 12-15, Exploring Female Sevux Konstruksi Sosial Seksualitas, Pengantar Teorit bungan seksual mengandung daya tarik, gairah, nafsu, keinginan, misteri, dan janji; tapi hubungan seksual juga selalu dipandang dengan keeurigaan, kebi- ngungan, kejijikan dan ketakutan. Hu- bungan seksual tidak bisa dinikmati hanya karena alasan memiliki kapasitas erotis, kreativitas, keingintahuan atau pengalaman estetis, yang bisa diterap- kan kepada kesenangan lainnya dalam hidup seperti makanan, bacaan fiksi, puisi atau astronomi.” Potensi seksual telah diintegrasikan dalam serangkaian luas konteks sosial: dari hubungan pedagogis ke ritus pu- bertas, dalam kultus kesuburan sampai upacara agama. Ada beberapa budaya yang bahkan tak melihat hubungan antara persetubuhan dan pembuahan, tapi ada juga yang melihat pembuahan sebagai satu-satunya pembenaran untuk melakukan persetubuhan. Ada budaya yang membuat pembedaan kecil antara hubungan heteroseksual dan homosek- sual, dan lebih memusatkan perhatian pada usia atau golongan sosial sang partner. Dalam beberapa budaya, hu- bungan seksual merupakan sumber ke- senangan, dan kunci pada pemujaan seni erotis; dalam budaya lain merupa- kan sumber bahaya, tabu dan aib. Pe- Jepasan atau penggunaannya secara “be- nar’ dapat menjadi faktor kesehatan, kekuatan, dan aktivitas; pengekangan- nya adalah sumber penyakit, kelainan sosial, bahkan penyakit jiwa.* Sekstalitas, di samping bersifat rela- sional juga merupakan suatu kategori sosial, seperti halnya kelas, gender dan agama, yang mampu memberi sese- orang status dan peran.® Implikasi sta- 3 Rubin, op. cit, hal. 278. 4 Weeks, of cit, hal. 12, 5 -Pengrunaan jstilah “status” dan "peran” tidak bisa dihindari dalam pembahasan sosioloy Tetapi perlu diingat bahwa "status" dan “peran’” adalah Konsep yang mempunyai implikasi tertentu. Status termasuk pekerjaan, gender, ras dan lain se- baciinya, Status disertai"peran” yang memupakan seperangkat norma yang mendefinisikan bagaimana scoranig individu yang memegang status tertentw ha rus bertingkatt laku. Misalnya seseorang yang bersta- lus suami harus berperan juga sehagai sami. Peran felaly mengatur dan membatasi petilaku, itu sifatnya baku dan statu ini sering diasosiasika sep “status!” dengan paham Fungsionalistis dalam sosinlogi. 4 tus dan peran adalah batasan dan kon- ‘trol yang dapat dipakai untuk mengon- trol individu dalam masyarakat. Di sam- ping itu, seksualitas juga cenderung dibebani arti berlebihan, misalnya pada saat terjadi kepanikan moral (moral panic)® karena alasan politis, ekonomi atau sosial, perilaku seksual bisa men- jadi kambing hitam yang berguna dan meyakinkan karena sentralitas kaitan antara seksualitas dengan “moral”. Esei ini berusaha memberikan suatu kerangka konseptual tentang teori sek- sualitas, antara lain dengan menampil- kan’ secara selektif beberapa pemikiran tentang seksualitas yang berkembang di Barat. Tulisan ini dimaksudkan sekedar pengantar teoretis kepada suatu bidang studi yang amat luas, yang belum ter- jamah di Indonesia yang merupakan lahan perawan dan subur untuk studi tentang seksualitas. Seks, Gender dan Studi Seksualitas Seks adalah keadaan anatomis dan biologis, yaitu jenis kelamin jantan (mate) atau betina (female).’ Seseorang dilahirkan dengan jenis kelamin terten- tu, seperti ia dilahirkan dengan bentuk mata atau jenis rambut tertentu, Se- dangkan seisualitas meneakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepri- badian, dan sikap atau watak sosial, 6 — Moral pande adalah istilah yang dipakai Stan Cohen dalam bukunya Fotle Devils and Moral Penics (1972) unuuke saat Keadann ai mana ceseorang, £F kelompok orang, suatu cpisode, atau suatu kondisi @idefinisikan sebagai suatu ancaman kepada nilat dan Kepentingan masyarakat. Cirécitinya ditam- pilkan dengan gaya yang distilic dan distersotip olch media mass. untuk menimbulkan rasa takut, Bat Jade moral terdisi dari para editor, alimaulama, p. Uisi dan moralis lainiypa, Meskipan panik itu Kemi dian beslalu tetapi ada kemungkinan sempat masuk ke dalam legislasi dan kebijaksanaan sosial. Feny pangin seksual, sama dengan “penyimpangan” po- ltik, sering dijadikan moral panic, seperti Aids, pesi- laku seks bebas (free-sex | bahaya komunis dan tain. sebagainya, 7 Saya menggunakan itlah "jantas-betina’” untuk male-female, kategori biologis. Meskipun “jamtan’* seving dipxkai untuk manusia (dalam ist lah “kejantanan"}, tetap? eknivalen femininnya yakei, “hetina”, tidak pernah dipakaj untuk manusia Dalam tulfsan ini saya mengunakan “betina'* untuk menunjuk pada aspek biologis dart perempuan. Prisma 7, Juli 1991 berkaitan dengan perilaku dan orientasi seksual, Ada pula konsep mashulin (kelaki-lakian) dan feminin (kewanitaan atau keperempuanan) yang lebih bersi- fat abstrak dan menunjuk pada sifat- sifat yang dimiliki semua manusia, apa- kah itu manusia berkelamin jantan atau betina, Ada asumsi bahwa sifat tertentu di asosiasikan dengan femininitas, dan yang lain dengan maskulinitas. Yang digolongkan “feminin” misalnya kepe- kaan perasaan, kesabaran, kelembutan, irrasionalitas, kesetiaan, sifat mengalah, dan lemah, sedang yang maskulin ke- beranian, agresivitas, sifat dominan, ra- sionalitas, ketidaksetiaan, dan kekuat- an, Semua sifat itu bisa terdapat pada semua manusia, Lagipula, yang di gap maskulin dalam satu budaya, pai batas tertentu bisa dianggap femi dalam budaya lain, dan sebaliknya. Ciri maskulin atau feminin itu relatif. Na- mun ada kecenderungan mengasosia kan sifat feminin kepada wanita, dan sifat maskulin kepada laki-laki. Asosiasi ini sangat membatasi perilaku dan per- kembangan si individu, bahkan mampu memenjarakannya dalam suatu peran sosial yang ditentukan dari luar. Misal- nya, sosialisasi anak perempuan dan laki- lnki dibedakan dan diarahkan pada mo- del-model yang dianggap sesuai dengan norma-norma kepantasan "kewanitaan” dan "kelaki-lakian”.* Padahal keutuhan dan harmoni kepribadian seseorang me- rupakan perimbangan sifat_maskulin dan feminin, Seorang lakilaki bisa mengekspresikan kelembutannya dan wanita bisa mengekpresikan keberani- an, bahkan agresivitas, juga dalam bi- dang seksual. Manusia yang utuh inilah yang disebut “androgin” (androgyne), yaitu konsep Dua dalam Satu: andro (maskulin) dan gyne (feminin).? Gender dan seksualitas mempunyai 8 ‘Tidak jelas mengapa di Indonesia Icbih se- sing dipakai istilah “kejantanan’® untuk lakidaki dan, “kewanitaas” untuk perempuan dan bukan "ke etinaan", Sedang istilah "Repetempuan-perempuae- an” ditujukan kepada lakilaki yang hertingkah taku tidak seat gendernya, dan bersifat derogatorix (mengejek). 8 "June Singer, Androgynye Veswerds a New Theory of Sexuatity, Routledge & Keayan Paul, Lon don & Henley, L977. Prisma 7, Juli 1991 Konstruksi Sosial Seksualitas, Pengantar Teoritis persamaan: keduanya mempunyai basis biologis pada seks, dan keduanya meru- pakan konstruksi sosial, bersifat palitis, yailu pengorganisasian ke dalam sistem kekuasaan, yang mendukung dan meng: hargai individu dan kegiatan tertentu, sambil menekan dan menghukum yang lainnya, Antara seksualitas dan gender jelas berhubungan, bahkan perkem- bangan sistem seksual mengambil tem- pat dalam konteks hubungan gender. Tapi keduanya bukan hal yang sama karena terbentuk dari basis sosial yang berbeda.'? Pembedaan antara gender dan sek- sualitas ini melawan arus pemikiran kontemporer feminis yang menganggap seksualitas sebagai turunan gender. Ke- banyakan ideologi —_feminis-lesbian menganalisa penindasan lesbian sebagai bagian dari diskriminasi terhadap pe- rempuan pada umumnya, Padahal les- bian mengalami penindasan juga sebagai manusia homoseksual dan abnormal (pervert) berdasarkan operasional strati- fikasi seksual, bukan gender, sama se- perti_homoseks pria, sadomasachist, banei dan pelaeur.'! Konsep gender, yang sudah populer di Indonesia, merupakan ekspresi_ psi- kologis dan kultural dari seks yang sifatnya biologis, menjadi peran dan pe- rilaku sosial tertentu: perempuan di sektor “domestik” dan pria di sektor “publik”. Misalkan, kelaziman perem- puan memakai gaun, pria memakai pan- talon, perempuan bekerja di dapur, laki-laki di kantor, lelaki membawa pa- rang, perempuan membawa bakul, laki- laki boleh keluar malam, wanita tidak, dan seterusnya. Pemahaman seksualitas dikaitkan de- ngan kegiatan yang menyangkut geni- talia dan organ’ seks sekunder lainnya. Dalam arti sempit, kegiatan seksual menyangkut atau mengarah pada perse- tubuhan dan reproduksi. Dalam masya- rakat kita, hubungan seksual sering di- asosiasikan dengan kesenangan, rasa nikmat (dan kadang pula rasa sakit), dan pemuasan "dorongan biologis”. Ka- rena kemampuannya menghasilkan ke- hidupan melalui prokreasi, seksualitas 10 u Rubin, op. cit, fbid., hal. 808. Konstreksi Sosial Seksualitas, Pengantar Teoritis juga sering dihubungkan dengan suatu daya hidup, suatu energi yang dapat ditransformasikan secara langsung da- lam kegiatan seksual-genital, kegiatan yang tidak langsung berorientasi kepada kegiatan seksual, tapi juga disublima kan dalam kegiatan kreatif sepei intelektual, artistik, sosial atau sp tual. Seksualitas dapat diekspresikan mela- lui kontak fisik langsung, tetapi bisa juga secara sugestif atau simulatif. Mi- salnya, seksualitas yang terpancar dalam tarian jaipongan, pertunjukan Madonna, berbagai bentuk seni rupa, film atau sekedar cara bergerak sese- orang, Kadang suatu perilaku bisa be- gitu sugestifnya, sehingga ada yang menganggapnya “pornografis”. Tetapi yang dianggap porno oleh seseorang, bisa dianggap “erotis” atau “sensual” oleh orang lain.!? Conteh bagaimana norma mengenai seksualitas mempengaruhi perilaku: pe- rempuan harus perawan, laki-laki di- anjurkan untuk mencari pengalaman; laki-lati dianggap lebih dominan do- rongan seksualnya, wanita lebih pasif dan reseptif. Karenanya, dalam perka- winanpun, kelazimannya laki-laki yang meminang, bukan perempuan. Laki-laki dianggap poligam, iadi lumrah kalau menyeleweng, perempuan dianggap mo- nogam, jadi kalau ia menyeleweng dianggap aib karena ia berusaha meniru kecenderungan poligamis laki-laki, dan kemudian dipandang terlalu mengan- cam, Istilabistilah "pornogialis", “sensual” dan “erotic” menimbulkan masalah. Pomograft biasanya diattikan sebagai materi yang cabul dalam seni, [i teratue, film dan sebagainya, Bila istilah "seksual”” mempunyai implikast genital, maka istilah “sensual” lebih luas pemahamannys den berarti kenikmatan hawa-nafsn panca-indera, "Erotis” berarti seks yang dikaitkan dengan cinta, Dalam penggunaannya se i-hari, semua istilah ini digunakan sebagai seolahe ola sinonim. Ini bukan hanya kebingwngan stmary tik melainkan juga ada unsur subjektivitas: yang par pograis bagi sescorang arlalah sensual atau crotis buat orang lain dan sebaliknya. 15 Kapasitay sckyual perempuan sering diang- gap lebih besar daripada kapasitas scksual lakilaki Ini ditemukan dalam studi-studi di Barat seperti yang dilakukan Shere Hite, maupus dalam penelitian saya di desa, lihatz Julia 1. Survskusuma, "Perempuan Kebun Kater", Prisma, uo, 2, Februari 1986, 6 Kegiatan seksual yang tidak dalam kerangka sosial yang “lazim” akan di- ancam rasa bersalah bagi pelakunya, ma- lah oleh agama dikecam sebagai "dosa””. Heteroseks dikecam jika melakukan hubungan seks di luar perkawinan dan aktivitas seksual yang ‘menyimpang’. Sementara homoseks, seolah-olah tidak mempunyai hak seksual karena otoma- tis kegiatan seksual bagi mereka ada di luar perkawinan, dan pasti menyim- pang. Diskriminasi dan rasa bersalah yang ditanamkan pada diri kaum ho- moseksual mengakibatkan mereka me- nutupi orientasi seksualnya, dengan akibat lanjut penekanan jiwa yang sering parah. Yang ekstrim bisa mela- rikan diri ke narkotika, alkohol, atau bunuh diri. Banyak kaum homoseksual akhirnya memilih hidup dalam kebo- hongan, Kadang sampal menikah dan beranak-pinak, tetapi terpaksa menja- lani Kehidupan “gafida”, secara terang sebagai heteroseksual, secara gelap se- bagai homoseksual. Homoseksualitas terdapat dalam begitu banyak masyarakat di dunia. Meskipun demikian, ia masih dianggap aib dan mengancam, walaupun ia tidak merugikan orang lain, Dalam kasus seperti ini, homofobia (ketakutan ke- pada homoseksualitas) identik dengan rasisme. Homoseksualitas, seperti hal nya orientasi seksual lain yang dianggap menyimpang, memang diberi tafsiran sosial sebagai “abnormal’’ dan “immo- ral," sehingga homoseksualitas mena- rik dipelajari karena represi terhadap- nya bisa memberikan indikasi mengenai nilai dan sikap suatu masyarakat ter- hadap seksualitas pada umumnya. Langkah pertama untuk mempelajari seksualitas yakni dengan membedakan orientasinya dari gender dan melihat bagaimana artikulasi antara keduanya. Sampai di mana gender dan seksualitas bisa dilihat sebagai variabel indepen- den? Ada anggapan bahwa harus ada kecocokan antara seks, gender dan orientasi seksual. Scbenarnya seks, gender dan seksualitas masing-masing adalah suatu continuum (kelanjutan), tetapi demi keperluan analisa, semua unsur ini akan dijabarkan dalam kate- gori yang terpisah (lihat diagram 1). Dalam kategori kelamin (seks) terdapat Prisma 7, Juli 1991 Konstraksi Sosial Sehsualites, Pengentar Teo ritis MATRIKS: Seks, gender dan orientasi seksual sebagai keberlanjutan dan sebagai variabel yang saling beraetikulasi SEKS (Biologis) GENDER SEKSUALITAS (Orientasi Seksual) biseks heteroseks hermaphrodite jantan ansirogin maskulin 0 homoseks selibat Seks adalah kategori biologis; gender dan seksualitas adalah kategori sosial maupun psiko- logis. Selsualitas berkaitan dengan genitalia dan organ seks sekunder. Setiap kategori meru- pakan spektrum keberlanjutan {arah horisontal} di mana terletak sub-kategori seperti di atas. Dalam manusia yang konkrit terjadi artikulasi (arah vertikal) tiga kategori umum: jantan (XY), betina (XX), dan Aermaphrodite (dengan ber- bagai_ kombinasi kromosom seperti XXY, XYY, dan lain sebagainya). Da- lam ‘kategori gender ada maskulin, feminin dan androgin. Dalam kategori seksualitas bisa terdapat berbagai orien- tasi: heteroseksual, homoseksual, bisek- sual, serta selibat, adalah empat kate gori yang pokok. Kombinasi yang di- anggap lazim dan “normal” ialah sese- orang dengan jenis kelamin (seks bio- logis) betina, gender feminin, seksuali- tas hetero, atau seseorang dengan kela- min jantan, gender maskulin dan sek- sualitas heteroseksual. ‘Tetapi seseorang bisa saja terdiri dari permutasi yang ber- beda. Seseorang bisa mempunyat seks biologis jantan, gender maskulin, sek- sualitas homoseisual. Seorang wadam mempunyai seks jantan atau herma- phrodite, bergender feminin (karena berdandan dan berperilaku seperti pe- rempuan), dan berorientasi homosek- sual. Seorang pastur berkelamin jantan, bergender maskulin dan berorientasi selibat. Bisa juga seseorang mempunyai seks biologis hermaphrodite, bergender androgin, dan herseksualitas biseksual. Ini semua sekedar contoh dari berbagai artikulasi antara seks-biologis, gender dan seksualitas yang dalam kenyataan- nya dalam masyarakat dikombinasi de- ngan unsur kelas, ras, profesi, dan lain- lain. Seorang bisa _ mengekspresikan orientasi seksualnya melalui gendernya, Prisma 7, Juli 1991 j kategori di atas. seperti seorang wanita yang berdandan seronok, atau laki-laki yang berlagak sangat macho. Sebaliknya, seorang bisa “kehilangan” orientasi seksualnya tan- pa kehilangan gendernya, seperti misal- nya biarawan atau biarawati.'* Seks juga dapat dipakai untuk mempertahan- kan suatu “status gender” seperti dalam kasus seorang wanita yang memberi pe- layanan seksual pada suaminya agar dapat mempertahankan eksistensi gen- dernya sebagai istri, ibu rumah tangga dan ibu dari anak-anaknya. Bila kita bicara soal seksualitas, apa- kah kita bicata mengenai perilaku, sepe- rangkat gagasan atau keduanya? Kalau yang terakhir, apa hubungan antara ke- duanya? Michel Foucault dalam The History of Sexuality menyarankan bahwa seksualitas adalah suatu kon- struksi moderen. Baru pada abad 18 kita memberikan nilai pada seksualitas maupun pada kesatuan teoretis dari konsepsi seksualitas yang dikenal seka- rang. Pertanyaan dasar, menurut Fou- cault, mengapa sekarang dalam masya- rakat (di Barat, tapi juga berlaku bagi Indonesia dan negeri "'non-Barat”’ lain- nya), seks tidak hanya dilihat sebagai sekedar sarana reproduksi atau sebagai sumber kesenangan, tapi juga telah 14 Sebenamnya, gaya hidup selibat yang dianut Oleh sebagian rohaniawan atau spiritual itu juga me: rupakan pengakwan diam-diam terhadap.Kehuatan seks, schingen mercka mcrasa petiu melakukan “iegasi”” terhadap seks. Konstruksi Sosial Seksualitas, Pengantar Teoritis Mmenjadi pusat keberadaan kita, atau tempat istimewa di mana kebenaran diri kita berada,'* Dalam bukunya itu, Foucault berargumentasi bahwa apara- tus sektsualitas mempunyai peran sentral dalam permainan moderen kekuasaan. Sementara itu kuasa (power) dipan- dang ada di mana-mana (omnipresent) Kuasa merupakan sesuatu kekuatan yang tak dapat dipegang (intangibie), walaupun demikian ia merupakan rea- litas kuat dari eksistensi sosial dan dari semua hubungan sosial. Karena itu kekuasaan selalu dinyatakan lewat hu- bungan, dan diciptakan dalam hubung- an yang menunjangnya.!® Kuasa tadi, menurutnya, erat hu- bungannya dengan pengetahuan (Ruow- ledge). Foucault mempelajari hubungan “kekuasaan-pengetahuan” (power- knowledge), yaitu bagaimana kekuasa- an beroperasi melalui konstruksi ber- bagai pengetahuan, Melalui discourse, power-knowledge ini bisa direalisasikan, Ta mengatakan bahwa hubungan antara simbol dan yang disimbalkan itu bulan hanya secara referensial, melainkan juga produktif dan kreatif. Simbol yang di- hasilkan discourse itu, antara Jain mela- lui bahasa, moralitas, hukum dan lain- jain, tidak hanya mengacu kepada se- suatu, melainkan turut menghasilkan perilaku, nilai-nilai dan ideologi, Oleh Karena itu, menurut Foucault, “the his tory of sexuality is the history of our discourses on sexuality.” Kekurangan Foucault, ia_memberi- kan penekanan hanya kepada sesuatu yang lebih abstrak, misalnya norma- norma masyarakat, dan kurang kepada yang lebih nyata, misalnya pranata negara, paling tidak yang tercermin da- lam aparat hukum. Peran negara sangat besar dalam menentukan sikap terha- dap seksualitas — melalui undang-un- dang perkawinan, pengendalian pe- nyimpangan sosial, sistem pengadilan, polisi, dan lembaga-lembaga yang lebih umum seperti sistem pendidikan, kese- jahteraan sosial, lembaga keluarga dan program keluarga berencana.'? Ne. gara secara rutin melakukan interven: ts 16 7 Weeks, op. cit, hile 6. Thid. Thid., hal. 9. si dalam perilaku seksual pada tingkat yang tidak akan ditolerir dalam daerah kehidupan sosial lainnya. Meskipun demikian evaluasi moral ataupun un- dang-undang yag menyangkut seksuali- tas memang tidak merupakan tefleksi yang sempurna dari perilaku seks yang berlaku.'* Kemunatikan yang terdapat terhadap seksualitas menarik dipelajari karena adanya kontradiksi yang tajam antara hukum, norma dan realitas se- hingga dapat memberikan suatu kunci pemahaman yang lebih memadai me- ngenai masyatakat. Bila seksualitas menjadi pusat perha- tian kam feminis karena seksualitas sering melihat kaitannya dengan gender (laki-laki dan perempuan), sebenarnya studi seksualitas bukan monopoli fem nis, Pemikiran feminis menganalisa pengorganisasian penindasan gender atau bagaimana perbedaan status antara laki-laki dan perempuan terjadi dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Sek- sualitas mendapat perhatian dari ka- langan yang lebih luas, mulai dari ke- dokterah, psikologi, psikiatri, antropo- logi, sosiologi, filosofi, sejarah, dan spi- ritualitas. Meskipun feminis sangat ber- minat pada isyu seksualitas, terdapat dua aliran yang berlawanan mengenai seksualitas. Aliran yang satu. mengkri- tik pembatasan pada seksualitas wanita dan berjuang untuk suatu "pembebas- an seksual”. Alitan yang kedua berang- gapan bahwa "kebebasan seksual” se- kedar perpanjangan hak istimewa (pri- viledge) laki-laki. Tradisi feminis ini ada gaungnya dalam pemikiran anti-seksual yang konservatif, Dengan adanya gerak- an anti-pornografi besar-besaran, analisa feminis yang kedualah yang lebih men- dapat angin.'? Kecenderungan umum ilmu ialah membuat kategori, dikotomi dan hirar- ki, dengan pendekatan yang linier dan analitis. Demikian pula dengan studi mengenai seksualitas. Bila berhadapan dengan hal-hal yang bertentangan, ada kecenderungan untuk melihatnya se- bagai tidak bisa dipertemukan, atau tidaknya, problematis. Cara berpikir ini lah yang diambil alih dalam ilmu penge- 18 Rubin, op. eft, hal. 288, 19° bid, hal, 801 Prisma 7, Juli 1991 tahuan di Indonesia dan mungkin ne- geri-negeri “non-barat” lainnya.*? Se- pertinya sulit untuk menerima pemi- kiran yang holistis di mana kekuatan yang berlawanan itu bisa jadi merupa- kan aspek dari hal yang sama atau suatu keberlanjutan Seksualitas merupakan suatu keber- lanjutan, antara jantan-betina, feminin- maskulin _ heteroseksualitas-homosek- sualitas. Socara biologis dan psikologis terdapat lebih banyak persamaan antara lakilaki dan perempuan daripada pet bedaannya, dan setiap individu berd: pada satu titik pada keberlanjutan ter- sebut.?! Sosialisasi_ memegang peran yang sangat menentukan, sehingga bu- kan hanya perilaku, tetapi pikiran dan perasaan pun dipengaruhinya, Seksuali- tas hampir selalu dikonsepsikan sebagai diketomi biner yang berlawanan: jan- tan-betina, maskulin-feminin, hetero- seksual-homoseksual, perkawinan-eks- tra-marital. Dalam tiap kasus, salah satu dari pasangan ini dianggap sebagai Kategori dan sub-kategori di mana yang pertama dianggap lebih unggul dan “nor- mal” — dengan kata lain menjadi norma (patokan). Hirarki ideologi seksualitas — dari psikiatri, agama, adat, negara atau kepercayaan populer — berfungsi dengan cara yang sama seperti halnya sistem rasisme, etnosentrisme, dan chauvinisme agamis. Ada norma-norma baku untuk seksualitas yang diberi cap “normal” dan berdiri ditingkat hirarki yang paling tinggi. Pandangan bahwa ada satu jenis seksualitas yang ideal menandai semua sistem pemikiran me- ngenai seks. Untuk agama, yang menjadi ideal adalah seks untuk prokreasi; dalam ilmu kejiwaan, adalah heterosek- sualitas yang dewasa, Pada puncak hi- rarki seksualitas adalah heteroseksua- 20 Menggunakan dikotomi Barat-Timur ity se lulu problematis buat saya, karena saya menganggsp bahwa Barat dan Timur itu memupakan kategori kore septual yang dalam kenyataannya sukar dipisahkan atiu paling tidak, merupakian keb erlanju 21 Studi dan perdebatan mengenai pecbedaan aptara lakilaki dan perempuan sampai saat ini masih, belum juga selesai, Dalam argumentasi mature nersus nurture (bidlogi versus sosialisasi) saya cenderung untuk lebih menitikberatkan peran. nurtiere atau so- sialisas! berdagarkan argumentasieargumentasi yang saya ajulean dalam tulisan ini. Prisma 7, Juli 1991 Konstruksi Sosial Seksualites, Pengantar Teoritis litas dalam perkawinan monogam de- ngan tujuan prokreasi keturunan dan menyebarkan nilai-nilai dominan dalam masyaraket. Dalam jaman yang meng- agungkan pluralitas, salah satu ide yang paling bertahan mengenai seks, bahwa ada satu cara terbaik melalukannya, dan bahwa semua orang harus melaku- kannya,?* Tradisi berpikir di kalangan akademis ini, di dunia "moderen” dilanjutkan ke kalangan awam dan menjadi dasar dari pembentukan ideologi seksual. Bila kita memahami ideologi sebagai sepe- fangkat gagasan yang menjadi senjata untuk kepentingan sosial, maka ideo- logi mengenai seksualitas amat besar pengaruhnya dalam kehidupan individu maupun masyarakat, Selanjutnya ide- logi seksual ini mampu mengkontrol bukan hanya perilaku individu dan ma- syarakat, tetapi juga cara berpikir, penghayatan dan bahkan kenikmatan. Di luar kesadaran kita, ideologi sek- sual lebih merasuk dan mendominasi daripada ideologi totaliter manapun. Dua Pendekatan Studi Seksualitas Meskipun seksualitas telah dipelajari dalam berbagai disiplin yang berbeda, ada dua kategori pendekatan umum, yakni esensialis dan non-esensialis,?* Pendekatan “esensialis”, mereduksi sek- sualitas sekedar dorongan alamial-bio- logis yang hadir sebelum adanya kehi- 22 Rubin, op. city hab. 283. 23. Sccara garis besat, dalam antropologi ada suata pandangin anti-esensialis yang berpendapat bahva sifat universal yang dimiliki oleh berbagai fenomena (misalnya putihnya angsa, taplak meja dan kapas), memiliki realitasnya sendiri. Dalam melaku= kan penelitian, seorang anti-esensialis dipandu oleh Pertanyaanpertanyaan mengenai perilaku nyata, ke- timbang pertanyaan seperti "apakah keluarga iru”, "apakab negara itu?", “apakah revolusi iw2", "apa Kah agama itu?", Tapakah kebud dalam kasus ini, “apakah seks esensialis tidak berupaya mencari suatu dasar” dati berbagai peristiwa atau gejala. Lihat, m salnya Andrew P. Vayda, "Neither Positivism nor AntiScience: the Emerging AntiKssentialist View in Anthropology”, Department of Human Ecology, Cook Calfege, Rutgers University, paper prepared for Annual Meeting of’ the American Anthropological Association, Washington D.C., November, 1989, hak 2-3, n Jawa” atau 2". Scorang, antic Konstruksi Sosial Seksualitas, Pengantar Teoritis dupan sosial. Seksualitas dikonsepstkan sebagai kekuatan instinktif (naluriah) yang menggerakkan dan menguasai in- dividu dalam kehidupan pribadi maupun sosial, Jika kekuatan ini tidak disalur- kan ke dalam ekspresi seksual yang langsung, maka ia akan muncul sebagai kelainan kejiwaan atau neurosis. Selain itu, seksualitas juga dianggap sebagai dorongan yang, sifatnya maskulin dan heteroseksual.** Pandangan demikian menunjuk pada desakan "mandat biologis”, yang perlu dengan tegas dikontrol oleh matriks sosial dan kultural. Pendekatan ini di- anut banyak abli seperti Freud dan pengikutnya, Alfred Kinsey dan pene- liti-peneliti klinis seperti William Mas- ters dan Virginia Johnson.*> "Kerangka naluriah” ini juga dianut oleh para mo- ralis yang didorong kecemasan meng- kontrol kekuatan yang sular dikendali- kan itu, sampai kepada kaum Freudian kiri seperti Wilhelm Reich dan Herbert Marcuse yang hendak "membebaskan” seksualitas dari kekangan-kekangan Ika- pitalis dan patriarkisnya.”* Menurut kaum esensialis tersebut, seksualitas mempunyai cirt yang tidak perah berubah, asosial dan trans- historis. Di Barat, pemikiran ini men- dominasi ilmu kedokteran, psikiatri dan psikologi selama lebih seabad, sehingga studi akademis tentang seksualitas pun menghasilkan esensialisine.?” Kelemah- an pendekatan egensialis ini, seperti hainya semua pendekatan yang reduk- sionistis, ialah _kemampuan penjelasan- 24 Weeks, of city hal 2-8, 25° Alfred Kinsey (18941956) adalah seorang zoolog yang melakukan penelitian di A.S, betdasate i # sikap terhadap seks. Kinsey terkenal dengan konsep sevaal auiter (pelepasan sek: sual) slimana hal-hal yang dianggap sebagai "kelainan ternyats ditemukan banyak pelakunya. kuesioner, menge seksual!” Studinya dianggep instrumental dalam penyetaran nilanilai permisif. Sedang William Masters dan Vir- gins Joknon adalah dua orang peneliti klinis yang i tahen 1960an melakukan penchitian tentang Tespons-iespons isiobagis pada waktu kegiatan sck- sual. Mereka annara lain menemukan konsep “orgas me Klitoris” vang diangeap membantu membebaskan wanity dari orgasme vaginal dan dengan demikian ke butuhan ¢kan Lakilaki dan penctrasi penis untuk: ke: pulasan sekeual Weeks, ups city Rubin, op. oft nya yang terbatas. Reduksionisme sela- lu mempermiskin suatu gejala yang di- terangkannya, sehingga gejala tersebut hilang dan digantikan hanya oleh salah suatu aspek saja, Misalnya dalam bidang gender maupun seksualitas, “perbedaan biologis” dijadikan pembenatan diskri- minasi dan opresi, biasanya terhadap wanita dan pelaku "penyimpangan” seksual. Pendekatan kedua adalah pendekat- an "non-esensialis”, yang beranggapan bahwa pemahaman ‘seksualitas tidak dapat direduksi ke dalam “dorongan naluriah” yang ada sejak lahir. Menurut JH, Gagnon dan William Simon dalam bukunya Sexual Conduct, seksualitas dipengaruhi “suatu proses pembentuk- an sosial-budaya yang melampaui as- pek-aspek pembentukan lain dari peri- laku manusia.”* Mereka mempertanya- kan pemahaman manusia sebagai-suatu kesatuan “alamiah” yang menjadi dasar pemikiran mengenai seksualitas selama satu abad.** Dalam beberapa dekade ini, khususnya antropologi strukturalis, psikoanalisa dan teori Marxis, telah berlangsung upaya teoretis yang mem- pertanyakan konsep kealamiahan dari “keutuhan subyek” dalam teori sosial dan yang lebih melihat individu sebagai produk pengaruh hubungan sosial yang kompleks, Ketimbang sebagai kesatuan alamiah yang sederhana. Pemahaman baku tentang seksualitas ini sulit digugat karena seksualitas se- olah-olah mendapat kekuatannya dati keberadaan biologisnya. Meskipun de- mikian, ada tantangan berkesinamb ung- an terhadap paham esensialis tentang seksualitas, dari pendekatan teoretis yang cukup berbeda: interaksionis, psi- koanalitik dan diskursif.’? Paham inter- aksionis dikaitkan khususnya dengan pemikiran Gagnon dan Simon, dan Kenneth Plummer di Inggris.*° Pence- 2H Jeffrey Weeks, “Capitalism and the Organi- zation of Sex", dalam Homosexuality: Power and Politics Gay Left Goliective (eds.), Alison & Busby, London & New York, 1980, hale 5. 20. Weeks. Sen, Politics and Society... hal 30. J.H. Gagnon dan William Simon, Sexual Conduct: the Social Sources of Human Sexuatity, Huichinon, London 1973, Untuk suatu pembahasan dari pendckatan interaksionis, fihat Kenneth Plum Prisma 7, Juli 1991 katan psikoanalitis diasosiasikan dengan penafsiran kembali terhadap Freud yang dipelopori Jacues Lacan, dan be- berapa penulis feminis seperti Juliet Mitchel.”! Pendekatan diskursif dimulai Michel Foucault dengan tiga jilid buku- nya, A History of Sexuality, * Meskipun pendekatan berbagaj ahli tersebut berbeda, namun ada kesamaan, yakni penolakan terhadap pemahaman seksualitas sebagai sesuatu. yang bordiri sendiri secara otonom atau seagai suatu kekuatan “alamiai’"—yang cenderung "memberontak”, dan karenanya perlu dikontrol oleh aspek “sosial”” kehidup- an. Mereka juga sependapat bahwa sum- ber definisi seksualitas bersifat sosial dan historis. Seksualitas tak bisa dilihat melulu dari segi represi. F ult meng- anggap, “hipotesa represi” itu menye- satkan, karena memberi tafsiran terlalu sempit pada konsep keluarga, meng- hindari diferensiasi kelas, dan memberi- kan pemahaman negatif mengenai ke- kuasaan. Perilaku seksual diatur bukan oleh represi, melainkan melalui kekuat- annya memberikan definisi dan melaku- kan regulasi. Misalnya, definisi “nor- mal” dan “abnormal” jelas merupakan pendefinisian sosial, seperti halnya “homoseksual’’, "banci”, "wadam” dan lain-lain, yang semuanya merupakan mekanisme kontrol. Pendefinisian ini senada dengan mekanisme kontrol ter- hadap orang-orang yang dicap “berdosa”, "pezinah”, ” “patologis”. "komunis siden”, bahkan juga konsep "kodrat. “kewanitaan” dan “kejantanan”, yang semuanya bisa diatur dan dihukum me- mer, Symbolic Interactionism and Sexual Differcn tdatfon: an Empirical Incestigatéon, laporan intern untuk Sacial Science Research Council, Februari 1979, 31 Untuk kecenerungan dalam psikoanalisa, that Jacques Lacan, fhe Four Fundamental C kepts of Peyehoanalyiic, the Hogasth Press, London, 1977; Juliet Mitchel, Pevehoanalysis and Feminism, Allen Lane, London, 1974, 32 Untuk Michel Foucault, lahat The History of Sexuality, Vol de An Introduction, Vintage Books, New Vark, 1980; Vol. Il: The Uses of Flew sure, Penguin, Middlesex, 1985: Vol, I: The Ci of the Self, Allen Lane, London. Uraian mengenat Foucault terpaksa sangat singkat karena keterbatas: an tempat, Prisma 7, Juli 1991 Konstruksi Sosial Sehsualitas, Pengantar Teoritis nurut norma sosial yang berlaku, dan menurut siapa yang berkuasa pada suatu kurun waktu. Kerangka teoretis ini bersumber dari keyakinannya bahwa hubungan kita dengan realitas” diatur melalui berbagai discourse, kesatuan-ke- satuan kepercayaan, konsep-konsep dan ide-ide yang kita anut. Sosiologi IImu Pengetahuan dan. Studi Seksualitas Pendekatan non-esensialis, antara- nya sosiolagi-fenomenologi, membica- rakan sosiologi ilmu pengetahuan.®* Sosiologi ilmu pengetahuan adalah studi tentang kaitan antara ckspresi dan watak ide atau sistem ide, dengan kon- teks sosial yang berbeda, yang akhimya berurusan dengan arti dan definisi rea- litas yang dianut oleh masyarakakat. ‘Tiap masyarakat memiliki satu ke- satuan pengetahuan bersama, yang ber- beda dari masyarakat lainnya. Kesatuan pengetahuan ini, oleh Berger dan Luck- mann dinamakan universe of meaning (semesta kemaknaan), yang merupakan produk sosial, dan sebaliknya mem- bantu menciptakan masyarakat. Pada mulanya terjadi tipifikast dari perilaku manusia di mana kenyataan sosial di- pahami sebagai suatu keberlanjutan dari 38 Fenomenologi adalah aliran dalam filsafat yang Aikembangkan Edmund Husscrl (1859-1935), suatu inctode penyelidikan yang berangkat dari in- speksi_yang seksama dani proses kesadaran dan inte- lektual iri kita senditi sebagai penyelidik, Dalam, Penyelidikan ini semua asumsi tentang akibat dan konsekuensi dari proses internal ini harus ditiada- kan, hat; Anthony Flew, 4 Dictionary of Philo- sophy, Pan Reference, London, 1979, hal. 266. Huser! benikeras bahwa fenomenolosi bukantah suatuteknik empiris, melainkan sustu intestigasi 4@ prior! dari cyensi pemahaman makna (meanings | unsur logis objektif dalam pemikiran, Dalam siologi, Alfred Schutz (1899-1959), seorang filsut 1 sosilog Austria-Amerika, mengadaptasikan me~ tode Huyserl untuk melakukan investigasi pada acum si dalam kehidupan sehati-hari-Feter L. Berger, rang murid Schutz, selanjutnya mengpinakan po m Schutz untuk melakukin sat reformulasi dari sut-disiplin sosiologi vang dikembangkan Max Scheler pada tahun 19%0an, itu perwetahusn, Buku “The Social Construction of Reality” (1966), yang ditulis Peter L. Berger hersas ma Thomas Luckmann, adalah formulasinva menge> nai sosiologi imu pengetabuan. 11 Konstruksi Sosial Seksualites, Pengantar Teoritis peran dan tipe-tipe (manusia, interaksi atau situasi), yang semakin lama sema- kin menjadi anonim dan abstrak. Struk- tur sosial adalah jumlah total dari tipe- fikasi, serta pola interaksi yang ber- ulang dibentuk melalui tipetilasi ini.” Semua kegiatan manusia juga menga- lami proses habitualisasi, atau pola ke- biasaan yang membuat tidak perlunya menciptakan definisi baru untuk setiap situasi dan interaksi. Institusionalisasi terjadi bila ada tipifikasi timbal-balik dari perilaku yang telah dibiasaken— oleh tipe-tipe pelaku sosial, yaitu ang- gota masyarakat.°° Pranata mempunyai implikasi historitas dan kontrol. Bila kita mengatakan bahwa suatu kegiatan manusia telah dipranatakan,” ini ber- arti bahwa kegiatan manusia tersebut telah dimasukkan dalam kontrol so- sial.37 Ekspresi manusia diwujudkan dalam produk aktivitas manusia yang dapat dinikmati baik oleh “produsen’nya™ maupun orang lain, yakni sebagai un- sur dalam “dunia” yang dihuni bersa- ma. Ini dinamakan obyektifikasi. Ob- yektifikasi berfungsi melanggengkan proses subyektif para individu “pro- dusen”. Realitas kehidupan sehari-hari terisi penuh oleh obyektifikasi, dan ma- lah hanya mungkin karena adanya ob- yektifikasi itu. Obyektifitas pranata merupakan suatu obyektifitas yang dihasilkan dan dikonstruksikan secara sosial. Dunia ke- lembagaan dialami oleh anggota ma- syarakat sebagai realitas obyektif yang memiliki suatu sejarah yang mendahu- lui kelahiran individu, dan akan tetap ada setelah ia mati. Kesejarahan tra- disi kelembagaan memiliki karakter yang obyektif. Akibatnya terjadi suatu 34 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Social Construction of Reality, Anchor Books, New York, L966, hal, 33, 35 Ibid, ha 36 Dalam tuliga bergantian dengan "Institusionalisasi" Implikasi proses, 37 Berger dan Luckmann, op. cit, hal. 85, ini istilah "pranata’” dipakat ‘kelembagaan"" {instimition atu pelembagoan mempunyai 58 "Produsen" di sini, adalah istilah Berger bagi siapa saja yang menghasilkan yuatu produk ssial ‘yang dapat dipakai oleh orang lain. Produk itu bisa konkrit, bisa abstrak 12 paradoks di mana manusia menghasil- kan suatu “dunia”, kemudian mengha- yatinya sebagai sesuatu yang bukan hasil manusia. Sebenarnya ada suatu hubungan yang dialektis antara manusia, "produsen” dan dunia sosial: manusia dan dunia sosial saling berinteraksi dan mempe- ngaruhi, Eksternalisasi dan obyektivasi adalah saat-saat dalam suatu proses dialektis yang _berkesinambungan. Akhimya terjadi suatu proses Interna- Jisasi-di mana dunia sosial yang sudah iobyektivasikan dilempar .kembali ke dalam kesadaran manusia. Ini dinama- kan “sosialisasi”. Menurut Berger dan Luckmann, suatu universe of meaning tidak hanya termasuk ide-ide falsafi yang tinggi, melainkan juga pengetahuan sehari-hari yang diterima sebagai benar atau seba- gaimana adanya. Suatu “semesta ke- maknaan” memerlukan legitimasi yang terus menerus, membutuhkan penguat- an dan pembenaran yang berulang- wang. Anggota masyarakat harus ber- ulang diberi tahu bahwa semesta ke- maknaan mereka adalah nyata, benar, betul dan "sah". Tanpa dukungan ini, semesta kemaknaan akan hancur perlahan-lahan, hidup menjadi tidak berarti dan stabilitas masyarakat. teran- cam,* Berger dan Luchmann berargumen- tasi bahwa semua kepastian pada dasar- nya tidak pasti; kepastian mempunyai landasan yang sangat tidak stabil. Se- gala sesuatu itu "nyata” karena orang mempercayainya sebagai nyata, Hidup itu berarti karena nilai yang diberikan manusia kepadanya. Sesuatu itu masule akal karena didefinisikan sesuai dengan ukuran “akal sehat”, Akibatnya, bila suatu situasi dipersepsikan sebagai "nyata”, maka ia akan menjadi "nyata”’ dalam konsekuensinya.*° Akan tetapi, segala sesuatu yang di- anggap nyata, berarti, atau masuk akal, adalah arbitrer dan berubah-ubah. Tidak ada standar atau ukuran yang universal untuk mengukur kebenaran mereka. 59M, Haralambos, logy, Themes and Perspe Fress, Slough, 1980, hal. 463-464 40 Berger dan Luckmann, of, cit, hal. 49, Heald, Socie versity Tutorial Prisma 7, Juli 1991 Semesta kemaknaan merupakan suatu konstruksi sosia! dari realitas. Reali- tas” dari satu masyarakat adalah se- suatu yang tidak riil dalam masyaralat lainnya; akal sehat dalam satu masyara- kat adalah nonsens dalam masyarakat lainnya. Karena sifatnya yang berubah- ubah dari semesta kemaknaan, ia men- jadi labil (precarious), tidak pasti (in- secure}, dan mudah hancur. Oleh ka- rena itu, suatu semesta’ kemaknaan senantiasa membutuhkan_ legitimasi.*! Legitimasi ini bisa berbentuk sistem ke- percayaan, nilai-nilai ”tradisional”, ideo- logi yang bersumber dari pranata ma- syarakat, apakah itu sosial, agama atau negara. Secara etnologis sudah umum dike- tahui bahwa cara menjadi “manusia’’ (becoming human) adalah sebanyak jumlah budaya manusia itu sendiri. “Kemanusiaan”’ bervariasi secara sosio- kultural, Tidak ada yang namanya “kodrat_manusia” dalam artian suatu sub-stratum biologis yang pasti, yang dapat menentukan variabilitas formasi sosio-kultural. Yang ada itu hanya "ko- drat manusia” dalam arti kesatuan an- tropologis yang konstan, yang mem- batasi dan memungkinkan formasi so- sio-kultural manusia. Tapi bentuk Ichu- sus kemanusiaan dipengaruhi formasi sosio-kultural ini, yang sifatnya relatif Karena variasinya yang begitu banyak. Meskipun bisa dikatakan bahwa “ko- drat manusia” itu ada, tetapi lebih te- pat untuk mengatakan bahwa manusia mengkonstruksikan "kodrat”nya, atau bahwa manusia menghasilkan dirinya sendiri.”? Kelenturan manusia dan kepekaan- nya kepada pengaruh sosial paling baik diilustrasikan oleh bukti etnologis me- ngenai seksualitas.*? Meskipun manusia memiliki dorongan seks yang serupa binatang, seksualitas manusia lebih len- tur. Seksualitas manusia relatif bebas dari ritme waktu dan juga fleksibel da- lam obyeknya, serta modalitas ekspresi- nya, Bukti-bukti etnologis menunjuk- 41M. Haralambos dan RM, Heald, op. cit, hal. 464, AQ. Berger dan Lackmans, of. cit, hal. 49) 43° Studi dati Bronislow Malinowski, Ruth Be- nedict, Clyde Kiuckhohin dan George Murdock. Prisma 7, Juli 1994 Konstruksi Sosial Seksualitas, Pengantar Teoritis kan bahwa dalam soal-soal seksual, manusia mampu melakukan hampir s muanya. Seseorang dapat menstimulir imaginasi seksualnya sampai ke tingkat birahi yang memabukkan, tapi kecil kKemungkinannya bahwa ia akan dapat menghasilkan suatu imaginasi yang tidak ada Kaitannya dengan suatu norma sek- sual yang baku dalam kehudayaannya. dika istilah “normal” mengacu kepada sesuatu yang secara antropologis men- dasar atau kepada sesuatu yang secara kultural bersifat universal, maka ini tak berlaku bagi seksualitas. Pada saat yang sama, dalam setiap hudaya, seksualitas manusia diarahkan ‘dan bahkan kadang diberi struktur yang sangat kaku. Kultus keperawan- an, konsep aurat, perkawinan,“ pa- ham-paham “‘kepantasan” pergaulan pria dan wanita, larangan terhadap seks di luar perkawinan, incest dan homo- seksualitas semuanya merupakan regu- lasi seksualitas. Bahkan ada budaya yang melakukan pemotongan secara fi- sik seperti cliforidectomy dan infibu- lasi*# untuk mengendalikan seksualitas perempuan yang dianggap berbahaya. Di balik banyak kebiasaan ini adalah anggapan bahwa meskipun perempuan adalah wahana seksualitas, tetapi lal 44° Sikap terhadap penetubuhan merupakan contoh yang baik untuk pemahaman seksualitas se- bagai konstruksi sosial. Dalam perkawinan, persetu buhan menjadi sesuatu yang sah dan moral. Bahkan dalam beberapa agama scks dianggap suci dan bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi, sebelum dj ‘sakral’kan dengan pernikahan, persetububan itu oleh kebanyakan agama dianggap dosa, padahal perilakunya sama, 45 Di Afrika dan beberapa tempat di Arab, Asia dan Eropa, terdapat suatu kebiasaan memotong secara fisik kelamin wanita pada puberias dengan tujuan mengendaliltan scksualitas mereka. Ada be- berapa jenis pemotongan: penyunatan visfonk yaitu pemotongan prepuce dari elitoris; fuitoridektorni adalah_pemetongan klitoris sampai habis bersama dengan jatingan labia minora dan Yadang keselumhan dari labia minoras infibulasi adalah yang paling ckstrim, dimana disamping me lakukan pemotongan klitoris, bia minora dan labia majora, juga dilakukan penutupan vulva dengan ca ddijahit. Sedikit lubang disistkan untuk buang air ke- il. Untuk melahirkan jahitan dibuka dan sesudahnya dijabit lagi. Libat, Raqiya Haji Dusleh Abdalla, Sic ters in Ajfliction, Circumcision end dnfibuletion of Women in Africa, Zed Press, London, 1982. (circum 13 Konstrultsi Sosial Sehisuatitas, Pengantar Teoritis laki adalah pelaku seks, dan dengan de- ikian subyek yang bisa "mengendali- atau "'menggarap” perempuan sebagai obyek seksuainya. Ini konsisten dengan ideologi gender yang menempat- kan laki-laki sebagai yang utama dan perempuan sebagai sokunder.*® Setiap kebudayaan mempunyai konfi- gurasi seksualnya yang bisa dibedakan dengan pola perilaku seksual tertentu serta asumsi-asumsi antropologisnya mengenai seksualitas. Relativitas empi- ris konfigurasi ini, keanekaragaman yang begitu besar dan kekayaan daya- temu manusia, menunjukkan bahwa seksualitas merupakan produk bentuk- an sosio-kultural manusia, ketimbang kodrat manusia yang ditentukan secara biologis.*” Bentukan sosio-kultural ini- lah yang disebut proses pelembagaan, Implikasi pelembagaan adalah kon- trol sosial. Mekanisme kontrol tam- bahan hanya diperlukan bila proses pelembagaan dan internalisasi belum se- penuhnya berhasil. Misalnya, hukum bisa mengatakan bahwa orang yang me- lakukan incest akan dipenggal leher- nya. Ketentuan ini mungkin diperlukan karena ada kalanya orang melanggar tabu. itu. Tetapi kecil kemungkinannya bahwa sanksi ini akan selalu digunakan untuk mengendalikan incest. Jadi tidak masuk diakal mengatakan bahwa incest itu dikontrol secara sosial dengan cara memenggal kepala orang. Dengan demi- kian, seksualitas manusia sebenarnya di- kontrol secara sosial oleh i usionali- sasinya dalam kurun sejarah tertentu.*® Kesimpulan Segala sesuatu dalam hidup ada artinya Karena kita memberikan suatu nilai kepadanya. Perangkat nilai menen- tukan apa yang menjadi "realitas bagi 46° Lihat Julia Mitos, Realitas dan Emansipasi”, /¥funa, no. 1981 a7 48 suryakusuma, "Wanita dalam Juli Benger dan Luckmann, op. ety bil 49-50. bid. bal, 55. 14 kita. Realitas akhirnya adalah suatu Konstruksi sosial berdasarkan kesepa- katan nilai yang diberikan masyarakat kepada berbagai hal. Seksualitas adalah studi kasus yang menarik untuk memahami proses kon- struksi sosial ini, karena mempertemu- kan banyak aspek kehidupan manutsia. Secara psikologis, seks mempengaruhi kejiwaan manusia; secara sosial seks me- rupakan cermin dari tata eara pergaul- an manusia yang diatur oleh pranata masyarakat; secara ekonomis seks mem- punyai implikasi mulai dari perkawinan sampai pelacuran, dan dalam era kapi- talisme, seks menjadi komaditi yang sangat menunjang, melalui film, televisi dan periklanan. Secara politis, artiku- lasi antara gender dan seksualitas me- nambah dimensi untuk memahami hu- bungan kekuasaan antara pria dan wa- nita, Bila kita mengartikan politik secara luas sebagai hubungan yang mempu- nyai struktur kekuasaan, maka secara inheren setiap hubungan seksual ber- sifat politis. Bila politik diartikan secara konvensional sebagai urusan negara pun, implikasinya talc kurang banyak- nya. Secara idcologis, moralitas yang menyangkut sels bukan hanya mempu- nyai implikasi kontrol, tapi merupakan cermin pergeseran nilai-nilai masyarakat karena seperti kita semua tahu, morali- tas, apakah menyangkut seks atau yang lainnya, selalu berubah dari jaman ke jaman. Studi seksualitas bisa menunjukkan bahwa peran dan status adalah hasil buatan, seperti bayi tabung, yang me- rupakan anak angkat dari perkawinan antara kelembagaan dan ideologi, suatu perkawinan yang menunjukkan realitas yang labil. Peran, status, lembaga dan ideologi akan selalu ada dalam kehidup- an dan perlu. Tetapi semua itu tak perlu mematikan unsur pilihan bebas yang merupakan landasan dari demo- kasi, keadilan dan pada akhirnya, kemanusiaan. (Julia 1, Suryakusuma) Prisma 7, dudi 1991

Anda mungkin juga menyukai