Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Bentuk gangguan psikosis berbeda pada beberapa hal penting, namun sama-sama
memiliki ciri utama gangguan hebat dalam pengalaman realitas individu mengenal dunia
dan dirinya. Orang dengan gangguan psikotik memiliki kesulitan berfikir atau berbicara
dengan selaras dan terganggu, dan mungkin tersiksa oleh gambaran atau suara yang hidup.
Episode psikotik adalah salah satu hal yang paling menakutkan dan menyiksa dari
pengalaman manusia, namun mungkin lebih menakutkan lagi adalah ketidakmampuan
mereka untuk mengontrol. Distres orang-orang yang mengalami episode psikotik
diperburuk dengan ketakutan dan aversi perilaku seperti itu yang terjadi pada orang lain.
Sulit bagi orang awam untuk tidak terganggu dengan keeksentrikan dan pengembaraan
yang aneh dari orang yang dalam keadaan psikotik. Karena orang yang memiliki gangguan
psikotik sangat sering ditolak oleh orang lain, mereka sering terisolasi dan memiliki sedikit
kesempatan untuk melakukan interaksi sosial.
Skizofrenia mungkin merupakan sindrom klinis yang paling membingungkan dan
melumpuhkan. Skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling berhubungan
dengan pandangan populer tentang gila atau sakit mental. Hal ini sering kali menimbulkan
rasa takut, kesalahpahaman, dan penghukuman, bukannya simpati dan perhatian.
Skizofrenia menyerang jati diri seseorang, memutus hubungan yang erat antara pemikiran
dan perasaan serta mengisinya dengan persepsi yang terganggu, ide yang salah, dan
konsepsi yang tidak logis.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti yang telah dipikirkan orang awam
sebelumnya mengenai orang penderita skizofrenia, oleh karenanya Penulis menuangkan
berbagai hal mengenai gangguan skizofrenia dalam makalah ini.

B.

Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.

C.

Bagaimana sejarah konsep skizofrenia?


Bagaimana konsep skizofrenia secara umum?
Apa saja bentuk-bentuk lain gangguan psikotik?
Bagaimana perspektif teoritis tentang skizofrenia?
Apa saja treatment yang bisa digunakan untuk mengatasi skizofrenia?

Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah konsep skizofrenia.
2. Untuk mengetahui konsep skizofrenia secara umum.

3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk lain gangguan psikotik.


4. Untuk mengetahui perspektif teoritis tentang skizofrenia.
5. Untuk mengetahui treatment yang bisa digunakan untuk mengatasi skizofrenia.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Sejarah Skizofrenia
Konseptualisasi modern tentang skizofrenia sebagian besar dibentuk oleh kontribusi
dari Emil Kraepelin, Eugen Bleuler, dan Kurt Schneider.
1. Emil Kraepelin
Kraepelin adalah salah seorang bapak psikiatri modern, menyebut gangguan
skizofrenia sebagai dementia praecox. Istilah ini diambil dari bahasa Latin dementis,
yang berarti di luar (de-) jiwa seseorang (mens), dan akar yang memebentuk kata
precocius, berarti sebelum tingkat kematangan dari seseorang. Dementia praecox
selanjutnya mengacu pada gangguan prematur (premature impairement) dari
kemampuan mental. Kraepelin meyakini bahwa dementia praecox adalah sebuah
proses penyakit yang disebabkan oleh patologi yang spesifik, meskipun tidak
diketahui, di dalam tubuh. Istilah ini dianggap sebagai degenarasi otak yang dimulai di
usia muda dan menyebabkan disintegrasi keseluruhan kepribadian. Kraepelin percaya
bahwa gangguan halusinasi, delusi, dan perilaku ganjil yang terlihat pada orang-orang
skizofrenia dapat dilacak pada abnormalitas fisik atau penyakit.
2. Eugen Bleuler
Pada tahun 1911, Psikiater Swiss Eugen Bleuler (1857-1939) mengganti nama
dementia praecox menjadi skizofrenia, dari kata Yunani schitos, yang berarti
terpotong atau terpecah, dan phren berarti otak. Dalam melakukan hal ini,
Bleuler memfokuskan pada karakterstik utama dari sindrom, yaitu terpisahnya fungsi
otak yang mempengaruhi kognisi, respons-respons perasaan atau afektif, dan tingkah
laku. Tidak seperti Kraepelin, Bleuler berfikir bahwa hal yang mungkin bagi orang
dengan skizofrenia untuk sembuh dari gangguannya. Di samping itu, Bleuler
menganggap skizofrenia mewakili sekelompok gangguan. Meskipun ia menulis
tentang gangguan tersebut hampir seabad lalu, gagasan Bleuler tentang skizofrenia
masih berpengaruh hingga sekarang.
Bleuler meyakini bahwa skizofrenia dapat dikenali berdasarkan empat ciri atau
simtom primer. Saat ini kita menyebutnya sebagai empat A:
1)

Asosiasi; gangguan berfikir, dapat dibuktikan dari adanya ucapan yang melantur
dan tidak koheren.

2)

Afek; gangguan pengalaman dan ekpresi emosi. Seseorang mungkin menunjukan


hilangnya respons terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan, atau tertawa

3)

terbahak-bahak setelah mendengar anggota keluarga atau teman meninggal dunia.


Ambivalensi; ketidakmampuan untuk membuat atau mengikuti keputusan.
Seseorang yang menderita skizofrenia memiliki perasaan ambivalen atau konflik

4)

terhadap orang lain, seperti mencintai dan membenci mereka pada saat yang sama.
Autisme; kecenderungan untuk mempertahankan gaya eksentrik dari pemikiran
dan perilaku egosentris. Istilah ini menjelaskan penarikan diri ke dunia fantasi
pribadi yang tidak terikat oleh prinsip-prinsip logika.
Dalam pandangan Bleuler, halusinasi dan waham mewakili simtom sekunder,
simtom-simtom yang menyertai simtom-simtom primer namun tidak menjelaskan
gangguan. Bleuler sangat dipengaruhi oleh teori psikodinamika. Dia yakin bahwa isi
halusinasi dan waham dapat dijelaskan sebagai usaha usaha untuk menggantikan dunia
luar dengan sebuah dunia fantasi.
3. Kurt Schneider
Schneider meyakini bahwa kriteria dari Bleuler (empat A) terlalu samar untuk
tujuan diagnostik dan kriteria itu gagal untuk membedakan secara adekuat antara
skizofrenia dengan gangguan lainnya. Kontribusi Schneider yang paling penting
adalah membedakan antara ciri-ciri skizofrenia yang diyakininya sebagai inti untuk
diagnosis. Schneider menyebutnya simtom peringkat pertama (first-rank symptoms),
dan simtom peringkat kedua (second-rank symptoms), yang diyakininya tidak hanya
ditemukan pada skizofrenia, namun juga pada gangguan psikosis lain dan pada
beberapa gangguan nonpsikosis, seperti gangguan kepribadian. Dalam pandangan
Schneider, apabila simtom peringkat pertama muncul dan tidak disebabkan oleh faktor
organik, maka diagnosis skizofrenia dapat ditegakan. Halusinasi dan waham adalah
simtom peringkat pertama yang utama. Gangguan mood dan kekacauan pikiran
dianggap sebagai simtom peringkat kedua. Meskipun peringkat Schneider untuk
perilaku yang terganggu membantu membedakan skizofrenia dari gangguan lainnya,
sekarang kita mengetahui bahwa simtom peringkat pertama terkadang juga dijumpai
pada orang yang mengalami gangguan lain, terutama gangguan bipolar.

B.

Skizofrenia
Skizofrenia (schizophrenia) adalah gangguan dengan serangkaian simtom yang
meliputi gangguan konteks berfikir, bentuk pemikiran, persepsi, afek, rasa terhadap diri
(sense of self), motivasi, perilaku, dan fungsi interpersonal. Skizofrenia menyentuh setiap

aspek kehidupan dari orang yang terkena. Episode akut dari skizofrenia ditandai dengan
waham, halusinasi, pikiran yang tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku
yang aneh. Diantara episode-episode akut, orang yang mengalami skizofrenia mungkin
tetap tidak dapat berfikir secara jernih dan mungkin kehilangan respons emosional yang
sesuai terhadap orang-orang dan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya.
Skizofrenia biasanya berkembang pada masa remaja akhir atau dewasa awal, tepat
pada saat orang mulai keluar dari keluarga menuju dunia luar (Cowan & Kandel, 2001;
Harrop & Tower, 2001). Orang yang mengidap skizofrenia semakin lama semakin terlepas
dari masyarakat. Merek gagal untuk berfungsi sesuai peran yang diharapkan sebagai
pelajar, pekerja, atau pasangan, dan keluarga serta komunitas mereka menjadi kurang
toleran terhadap perilaku mereka yang menyimpang. Gangguan ini biasanya berkembang
pada akhir masa remaja atau awal usia 20 tahun-an, pada masa di mana otak sudah
mencapai kematangan yang penuh. Pada sekitar tiga dari empat kasus, tanda-tanda pertama
dari skizofrenia tampak pada usia 25 tahun (Keith, Reiger & Rae, 1991).
Pada kebanyakan kasus, terjadi penurunan yang lebih perlahan dan berangsurangsur dalam fungsi individu. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun sebelum perilaku
psikotik muncul, meskipun tanda-tanda awal dari kemunduran mungkin dapat diamati.
Periode kemunduran ini disebut sebagai fase prodromal.
Karakteristik fase predromal
1) Berkurangnya minat dalam aktivitas social
2) Meningkatnya kesulitan dalam memenuhi tanggung jawab di kehidupan sehari-hari.
3) Menjadi kurang peduli akan penampilannya, mereka tidak mandi secara teratur atau
menggunakan pakaian yang sama secara berulang-ulang.
4) Terjadi penurunan-penurunan dalam perrforma kerja dan tugas sekolah.
5) Pembicaraan mereka semakin tidak jelas dan melantur
Mulanya perubahan-perubahan dalam kepribadian tersebut terjadi secara bertahap
sehingga hanya sedikit menarik perhatian dari teman-teman dan keluarga. Seiring waktu,
perilaku mereka menjadi bertambah aneh atau eksentrik seperti menimbun makanan,
mengumpulkan sampah, atau berbicara sendiri di jalan-jalan. Fase akut dari gangguan
skizofreniapun dimulai. Simtom-simtom psikotik yang sebenarnya berkembang, seperti
halusinasi, waham, dan meningkatnya perilaku yang aneh.
Fase selanjutnya setelah episode akut adalah fase residual yaitu fase dimana
perilaku mereka kembali pada tingkat sebelumnya yang merupakan karakteristik dari fase
prodmoral. Meskipun perilaku psikotik yang mencolok mungkin tidak muncul selama fase
residual, orang tersebut tetap dapat terganggu oleh perasaan apatis yang dalam, oleh
kesulitan dalam berfikir atau berbicara dengan jelas, dan menyimpan ide yang tidak biasa,

seperti keyakinan tentang telepati atau pandangan akan masa depan. Secara umum
kemungkinan seseorang untuk menjadi kembali normal memiliki presentase yang kecil,
kebayakan dari mereka justru mengalami pola kronis, yang ditandai dengan terjadinya
episode-episode psikotik akut dan berlanjutnya hendaya kognitif, emosional, dan
motivasional antarepisode (Wiersma dkk., 1998; USDHHS, 1999a).
Prevalensi Skizofrenia
Menurut hasil penelitian multinasional World Helath Organization (WHO), jumlah
rata-rata penderita skizofrenia tampak serupa pada budaya maju maupun sedang
berkembang (Jablensky dkk., 1992).
Laki-laki cenderung memiliki resiko yang sedikit lebih tinggi untuk mengalami
skizofrenia (APA, 2000). Perempuan cenderung mengalami gangguan pada usia yang lebih
lanjut daripada laki-laki dengan usia awal kemunculan simtom terjadi paling banyak antara
usia 25 sampai pertengahan 30 tahun untuk perempuan dan antara usia 15 sampai 25 tahun
pada laki-laki (APA, 2000). Perempuan juga cenderung mencapai tingkatan fungsi yang
lebih tinggi sebelum munculnya gangguan dan memiliki perjalanan penyakit yang kurang
parah daripada laki-laki ( Hafner,dkk., 1998; USDHHS, 1999a).
Meskipun terjadinya skizofrenia tampak bersifat universal pada semua budaya,
tahapan gangguan dan simtom-simtomnya mungkin bervariasi pada tiap budaya (Thakker
& Ward, 1998). Dalam penelitian yang diadakan di sebuah rumah sakit Inggris di Kenyam
para peneliti menemukan bahwa penderita Skizofrenia dengan latar belakang Afrika, Asia,
atau Jamaika sekitar dua kali lebih cenderung mengalami halusinasi visual dibandingkan
mereka dengan latar belakang Eropa (Ndetei & Vadher, 1984).
Ciri-ciri Skizofrenia
Skizofrenia adalah penyakit yang mempengaruhi lingkup yang luas dari proses
psikologis mencakup kognisi, afek,dan perilaku (Arango, Krikpatrick, & Buchanan, 2000).
Orang-orang dengan skizofrenia menunjukan kemunduran yang jelas dalam fungsi
pekerjaan

dan

sosial.

Mereka

mungkin

mengalami

kesulitan

mempertahankan

pembicaraan, membentuk pertemanan, mempertahankan pekerjaan, atau memperhatikan


kebersihan pribadi mereka. Namun demikian tidak ada satu pola perilaku yang unik pada
skizofrenia, demikian pula tidak ada satu pola perilaku yang selalu muncul pada penderita
skizofrenia. Penderita skizofrenia mungkin menunjukan waham, masalah dalam berfikir
asosiatif, dan halusinasi, pada satu atau lain waktu, namun tidak selalu semua tampil pada
saat bersamaan. Juga terdapat perbedaan ragam atau jenis skizofrenia, dicirikan oleh polapola perilaku yang berbeda.

Laki-laki penderita skizofrenia tampak berbeda dari perempuan yang mengalami


gangguan ini dalam beberapa hal. Mereka cenderung mengalami onset pada usia yang
lebih muda, memiliki tingkat penyesuaian diri yang lebih buruk sebelum menunjukan
tanda-tanda gangguan, dan memiliki lebih banyak gangguan kognitif, defisit tingkah laku,
dan reaksi yang lebih buruk terhadap terapi obat dibandingkan perempuan yang mengalami
skizofrenia (Gorwood dkk., 1995; Ragland dkk., 1999). Perbedaan-perbedaan tersebut
membuat para peneliti memperkirakan bahwa laki-laki dan perempuan cenderung
mengembangkan bentuk skizofrenia yang berbeda. Mungkin skizofrenia mempengaruhi
daerah otak yang berbeda pada laki-laki dan perempuan, yang mungkin menjelaskan
perbedaan-perbedaan dalam bentuk atau ciri-ciri gangguan antargender.
Karakteristik Diagnostik Skizofrenia
Orang dengan gangguan ini mengalami gangguan yang berlangsung setidaknya 6
bulan dan meliputi setidaknya 1 bulan simtom aktif, termasuk setidaknya 2 dari simtom
berikut:
Gangguan pada isi fikiran: Delusi
Halusinasi
Pembicaraan yang tidak koheren atau ditandai oleh asosiasi longgar
Perilaku yang mengganggu atau perilaku katatonik.
Simtom negatif, seperti afek datar atau kurangnya motivasi yang parah.
Fungsi pada bidang-bidang seperti hubungan sosial, pekerjaan, atau perawatan diri
selama perjalanan penyakit secara nyata berada di bawah tingkatan yang dapat dicapai
sebelum munculnya gangguan. Apabila gangguan muncul pada masa kanak-kanak atau
remaja, terdapat suatu kegagalan untuk mencapai tingkat perkembangan sosial yang
diharapkan.
Tanda-tanda gangguan terjadi secara terus-menerus selama masa setidaknya 6
bulan. Masa 6 bulan ini harus mencakup fase aktif yang berlangsung setidaknya satu bulan
di mana terjadi simtom psikotik (terdaftar pada A), yang merupakan karakteristik
skizofrenia.
Gangguan tidak dapat diatribusikan sebagai dampak zat-zat tertentu (misalnya,
penyalahgunaan zat atau pengobatan yang diresepkan atau pada kondisi medis umum.
Sumber: DSM-IV-R (APA, 2000)
Berikut adalah penjelasan dari karakteristik/ciri-ciri gangguan skizofrenia:
1. Gangguan dalam isi fikiran (delusi/waham)

Skizofrenia ditandai dengan gangguan dalam pemikiran atau keyakinan yang salah
yang menetap pada pikiran seseorang tanpa mempertimbangkan dasar yang logis dan tidak
adanya bukti untuk mendukung keyakinan tersebut. Waham ini cenderung tidak
tergoyahkan meskipun dihadapkan pada bukti yang bertentangan. Waham dapat memiliki
bentuk yang berbeda. Beberapa yang umum adalah:
a.
b.
c.
d.

Waham persekusi.
Waham refrensi.
Waham dikendalikan.
Waham kebesaran.
Waham lain yang umumnya terjadi meliputi pemancaran pikiran (meyakini entah

bagaimana pikirannya disebarkan ke dunia luar sehingga orang lain dapat mendengarnya),
penyisipan pikiran (meyakini bahwa pikirannya telah ditanamkan pada otaknya oleh pihak
luar), dan penarikan pikiran (meyakini bahwa pikirannya telah dipindahkan dari dalam
otaknya). Mellor memberikan beberapa contoh pemancaran pikiran, penyisipan pikiran,
dan penarikan pikiran sebagai berikut:

Pemancaran pikiran: seorang mahasiswa berusia 21 tahun melaporkan, Saat saya


berpikir, pikiran saya meninggalkan otak saya dalam bentuk sepertipita mental.
Setiap orang di sekitar saya hanya perlu menyalurkan pita itu melalui otak mereka

dan mereka akan mengetahui pemikiran saya.


Penyisipan Pikiran: Seorang ibu rumah tangga berusia 29 tahun melaporkan bahwa
ketika ia melihat keluar jendela, ia berpikir. Kebun itu tampak indah dan
rumputnya tampak bagus, tapi pikiran dari (nama seorang pria) masuk ke otak saya.
Tidak ada pikiran lain disana, hanya ada miliknya... Ia memperlakukan pikiran saya
seperti sebuah layar dan menyorotkan pemikirannya pada layar seperti kam

menyorot sebuah gambar.


Penarikan Pemikiran: Seorang perempuan berusia 22 tahun mengalami hal berikut:
Saya berfikir tentang ibu saya, dan tiba-tiba pikiran saya ditarik oleh sebuah

penyedot isi kepala, dan tidak ada apa pun di otak saya, kosong.
2. Gangguan Pada Persepsi: Halusinasi
Halusinasi, bentuk gangguan persepsi yang paling umum pada skizofrenia, adalah
gambaran yang dipersepsi tanpa adanya stimulus dari lingkungan. Hal ini sulit dibedakan
dari kenyataan. Halusinasi dapat melibatkan setiap indra. Halusinasi audiotoris (mendengar
suara) adalah yang paling umum. Halusinasi taktil (seperti digelitik, sensasi listrik atau
terbakar) dan halusinasi somatis (seperti merasa ada ular yang menjalar di dalam perut)
juga umum dialami oleh penderita skizofrenia. Halusinasi visual (melihat sesuatu yang

tidak ada), halusinasi gustatoris (merasakan dengan lidah sesuatu yang tidak ada), dan
halusinasi olfaktoris (mencium bau yang tidak ada) lebih jarang.
Halusinasi pendengaran terjadi sekitar 70% dari kasus skizofrenia (Cleghorn dkk.,
1992). Orang yang mengalami halusinasi mungkin mendengar suara tersebut berbicara
tentang mereka dalam bentuk orang ketiga, memperdebatkan kebaikan-kebaikan atau
kesalahan-kesalahan mereka.
Halusinasi bukanlah hal yang khas pada skizofrenia. Orang-orang yang mengalami
depresi mayor dan mania terkadang mengalami halusinasi. Demikian pula halusinasi tidak
selalu merupakan tanda dari psikopatologi. Halusinasi pada orang-orang yang tidak
mengalami kondisi psikiatris sering kali dipicu oleh stimulus sensoris dalan tingkat rendah
yang tidak biasa (berbaring dalam kegelapan di ruangan yang kedap suara untuk waktu
yang lama) atau tingkat pengaktifan yang rendah (Teunisse dkk., 1996).
3. Gangguan Emosi
Gangguan afek atau respons emosional pada skizofrenia ditandai oleh afek yang
tumpul, disebut juga afek datar atau afek yang tidak sesuai. Afek datar disimpulkan dari
ketiadaan ekspresi emosi pada wajah dan suara. Orang yang mengalami skizofrenia
mungkin berbicara secara monoton dan mempertahankan wajah tanpa ekspresi, atau
topeng. Mereka mungkin tidak mengalami rentang normal dalam respons emosi terhadap
orang-orang dan kejadian-kejadian. Atau respons emosi mereka mungkin tidak sesuai,
seperti tertawa terhadap berita buruk.
Namun, tidak sepenuhnya jelas apakah tumpulnya emosi pada orang yang
mengalami

skizofrenia

adalah

suatu

gangguan

dalam

kemampuan

mereka

mengekspresikan emosi, untuk melaporkan kemunculan emosi, atau untuk sungguhsungguh mengalami emosi (Berenbaum & Oltmans, 1990). Bukti-bukti terakhir
berdasarkan penelitian laboratoris menunjukan bahwa pasien skizofrenia mengalami emosi
negatif yang lebih intens, dibandingkan kelompok mayor (Myn-Germeys, Delespaul, &
deVrie, 2000). Orang-orang yang mengalami skizofrenia mungkin kehilangan kapasitas
untuk mengekspresikan emosi mereka keluar (Kring & Neale, 1996).
4. Beberapa jenis gangguan lainnya
Orang yang menderita skizofrenia mungkin menjadi bingung dengan identitas
pribadi mereka. Mereka mungkin gagal untuk mengenali diri mereka sebagai individu yang
unik dan tidak jelas mengenai seberapa banyak dari fenomena ini terkadang disebut
sebagai hilangnya batasan-batasan ego. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan
memahami perspektif pihak ketiga dan tidak memandang perilaku dan ucapan mereka
sebagai hal yang tidak sesuai secara sosial pada situasi tertentu karena mereka tidak dapat

memandang segala sesuatu dari sudut pandang orang lain (Carini & Nevid, 1992). Mereka
juga mengalami kesulitan mengenali atau mempersepsikan emosi-emosi orang lain (Penn
dkk., 2000).
Orang-orang yang mengalami skizofrenia mungkin tidak mampu melaksanakan
rencana dan mungkin kehilangan minat atau dorongan. Munculnya ambivalensi terhadap
pemilihan serangkaian tindakan mungkin menghambat aktivitas yang menghasilkan tujuan.
Orang-orang yang menderita skizofrenia mungkin menunjukan perilaku
kegembiraan yang tinggi atau liar, atau perilaku yang lambat hingga keadaan stupor.
Mereka mungkin menunjukan gerakan-gerakan yang ganjil dan ekspresi wajah yang aneh,
atau menjadi tidak responsif dan terbatas dalam gerakan spontan. Pada kasus yang ekstrem,
seperti

pada

skizofrenia

katatonik,

orang tersbut

tampaknya

tidak

menyadari

lingkungannya atau mempertahankan postur tubuh yang kaku. Atau orang tersbut mungkin
berkeliling-keliling dengan penuh semangat namun dengan cara yang tampaknya tidak ada
tujuan.
Orang-orang yang mengalami skizofrenia juga cenderung menunjukan gangguan
yang signifikan dalam hubungan interpersonal. Mereka cenderung menarik diri dari
interaksi sosial dan asyik dengan pikiran-pikiran dan fantasi-fantasi pribadi mereka. Atau
mereka sangat terikat pada orang lain sehingga membuat orang terebut tidak nyaman.
Mereka dapat sangat didominasi oleh fantasi-fantasi mereka sendiri sehingga pada intinya
mereka kehilangan sentuhan dengan dunia luar. Mereka juga cenderung introver dan aneh
bahkan sebelum kemunculan perilaku psikotik (Berenbaum & Fujita, 1994). Tanda-tanda
awal tersebut mungkin berhubungan dengan kerentanan terhadap skizofrenia, paling tidak
pada orang-orang yang memiliki resiko genetis untuk mengembangkan gangguan ini.
Tipe Skizofrenia
Meskipun kita berbicara tentang skizofrenia sebagai gangguan tersendiri,
sebenarnya ada bermacam-macam jenis. Berdasarkan DSM-IV-TR berikut adalah tipe-tipe
skizofrenia.
1. Skizofrenia katatonik, simtom yang muncul adalah perilaku motorik yang ganjil.
2. Skizofrenia tipe disorganisasi dicirikan dengan kombinasi simtom yang meliputi
ucapan yang tidak teratur, perilaku terganggu, dan afek datar atau tidak sesuai.
Delusi dan halusinasi orang tersebut, ketika muncul, tidak koheren temanya.
Individu dengan gangguan tersebut ganjil dalam perilaku dan penampilan mereka
dan biasanya memiliki kelemahan yang serius dalam pekerjaan dan konteks sosial
yang lain.

3. Skizofrenia tipe paranoid. Penderitanya diliputi dengan satu atau lebih delusi
yang ganjil atau mengalami halusinasi auditori yang berkaitan dengan suatu tema
bahwa ia disiksa atau dilecehkan, tetapi tidak disertai ucapan yang tidak teratur atau
perilaku yang terganggu. Halusinasinya biasanya berkaitan dengan isi delusi.
Fungsi kognitif dan fungsi afek cukup normal. Orang dengan skizofrenia tipe
paranoid memiliki masalah interpersonal yang parah karena kecurigaan mereka dan
gaya argumentatif mereka.
4. Skizofrenia tipe tidak terindentifikasi digunakan ketika seseorang menunjukan
simtom skizofrenia yang kompleks, seperti delusi, halusinasi, ketidakjelasan, dan
perilaku tergangguam namun tidak sesuai dengan kriteria skizofrenia tipe katatonik
(abnormalitas gerakan), tipe disorganisasi (afek yang terganggua atau datar), atau
tipe paranoid (delusi ganjil yang sistematis).
5. Skizofrenia tipe residu. Skizofrenia tipe ini penderitanya tidak mengalami delusi,
halusinasi, ketidakjelasan, atau disorganisasi namun, mereka memiliki beberapa
simtom, seperti ketumpulan emosi, penarikan diri dari lingkungan sosial, perilaku
eksentrik, atau pemikiran yang tidak logis.
C.

Bentuk-Bentuk Lain Gangguan Psikotik


Gangguan psikotik lain yang seperti skizofrenia ini memiliki tiga ciri yang sama
dengan skizofrenia:
1. Masing-masing dalam bentuk psikosis yang mewakili keterputusan yang serius
dengan realitas
2. Kondisinya tidak disebabkan oleh suatu gangguan kelemahan kognitif (misalnya
penyakit alzhaimer)
3. Gangguan mood tidak menjadi simpton utama
Bentuk-bentuk gangguan psikotik lainnya:
1. Gangguan psikotik singkat
Gangguan psikotik singkat merupakan suatu gangguan yang dicirikan dengan onset
tiba-tiba simton-simton psikotik yang berlangsung kurang dari satu bulan. Simton
tersebut biasanya muncul ketika seseorang dihadapkan pada kondisi stress.
Karakteristik:

Selama 1 hari, 1 bulan, individu dengan gangguan ini mengalami setidaknya

satu dari gejala-gejala berikut sebelum kembali berfungsi secara normal.


a. Delusi
b. Halusinasi
c. Cara bicara yang tidak tertata
d. Memunculkan perilaku katatonik atau terganggu
Kondisi ini tidak terkait dengan gangguan lain, kondisi medis, ataupun
penggunaan obat-obatan

Kondisi ini dapat ditentukan oleh:


a. Stressor tertentu
b. Tanpa stresor tertentu
c. Dengan serangan yang muncul (seperti setelah melahirkan)
2. Gangguan skizofreniform (schizophreniform disorder)
Gangguan ini memiliki gejala psikotik yang pada dasarnya sama dengan yang
ditemukan pada skizofrenia. Hal yang membedakan adalah durasi munculnya
gejala-gejala tersebut. Gejala gangguan skizofreniform ini berlangsung lebih lama
dibandingkan gejala pada gangguan psikotik singkat, namun lebih pendek apabila
dibandingkan dengan apa yang didiagnosis oleh para klinisi sebagai skizofrenia.
Biasanya, gejala aktif akan berakhir dari 1-6 bulan, apabila gejala tersebut masih
bertahan hingga lebih dari 6 bulan, klinisi akan cenderung membuat diagnosis
adanya gangguan skizofrenia.
Mayoritas penderita gangguan ini memerlukan pengobatan untuk membantu
mengontrol simtom-simtom mereka yang alami. Bagi beberapa orang, simton akan
hilang dengan sendirinya, namun biasanya penderita dengan gangguan ini
mengalami gangguan yang sangat mengganggu sehingga keluarga dan teman akan
memaksa dilakukannya suatu intervensi.
Karakteristik:
Seseorang dengan gangguan ini mengalami suatu episode (setidaknya
berdurasi 1 bulan, namun kurang dari 6 bulan) dari setidaknya dua gejala
yang berkaitan dengan skizofrenia berikut:
a. Delusi
b. Halusinasi
c. Kata-kata tidak tertata
d. Perilaku katatonik
e. Simtom-simtom negative seperti emosi yang sangat datar atau motivasi

yang sangat rendah


Simton tersebut tidak disebabkan oleh gangguan lain, suatu kondisi medis,

ataupun penggunaan obat-obatan


3. Gangguan delusi
Gangguan delusi (delusional disorder) memunculkan system psikotik tunggal yang
menonjol, suatu system yang terorganisasi yang berisi kepercayaan yang salah.
Mereka yang mengalami gangguan ini, tidak memperlihatkan simtom-simtom lain
yang mengarahkan mereka kepada diagnosis skizofrenia atau gangguan mood.
Delusi yang mereka alami menonjol dan tidak terlalu aneh bila dibandingkan
dengan penderita skizofrenia.
Para individu tersebut biasanya dapat menjalani fungsi-fungsi kehidupan
dengan baik dan memuaskan dan mereka tidak terlihat berbeda dari orang lain

kecuali pada saat mendiskusikan hal-hal tertentu yang termasuk dalam delusi
mereka.
Macam-macam gangguan delusi:
a. Tipe erotomania: bentuknya perasaan cinta, individu berkeyakinan bahwa orang
lain menyukai dirinya.
b. Tipe delusi kebesaran (grandiose): adalah suatu delusi yang wujudnya adalah
kepercaayaan bahwa dirinya adalah orang besar atau orang penting.
c. Tipe pencemburu: bahwa partnernya adalah partner yang tidak setia
d. Tipe kejaran (persecutory) atau penganiaya: bahwa mereka telah mengalami
penganiyayaan atau ditekan
e. Tipe somatis: percaya bahwa mereka memiliki sebuah penyakit dan akan segera
meninggal

Karakteristik:
Seseorang dengan gangguan ini memiliki delusi tidak aneh yang

berlangsung setidaknya 1 bulan


Mereka tidak pernah memunculkan simtom yang berkaitan dengan
skizofrenia sebelumnya, selain halusinasi taktif dan olfaktori yang mungkin

ada yang terkait dengan tema-tema delusi


Mayoritas dapat berfungsi dengan baik dan perilakunya pun tidak aneh
Apabila gangguan mood terjadi bersamaan dengan munculnya delusi,

durasinya mungkin akan singkat


Simtom-simtom tersebut tidak disebabkan oleh suatu kondisi medis atau

penggunaan obat.
4. Gangguan skizoafektif (schizoaffective disorder)
Seseorang yang mengalami suatu episode depresi mayor, suatu episode mania, atau
suatu episode campuran pada saat yang bersamaan hingga mereka memenuhi
kriteria diagnostik bagi skizofrenia.
Karakteristik:

Diagnosis ini sesuai untuk mereka yang mengalami suatu periode gangguan
yang terus menerus yang mungkin juga mereka mengalami suatu episode
manic depresif, suatu periode mania, atau suatu episode campuran dari
setidaknya 2 simtom yang berkaitan dengan skizofrenia berikut ini:
a. Delusi
b. Halusinasi
c. Perkataan yang tidak terorganisasi
d. Perilaku katatonik atau terganggu
e. Gejala negative, emosi datar dan rendahnya motivasi

Pada saat terjadi gangguan, orang ini telah mengalami delusi atau halusinasi

tanpa adanya gejala gangguan mood selama setidaknya 2 minggu


Simtom-simtom episode mood muncul dalam suatu porsi durasi aktif dan

periode residu yang signifikan


Simtom tersebut tidak disebabkan oleh gangguan lain, suatu kondisi medis
atau penggunaan obat-obatan.

5. Gangguan psikotik terbagi (shared psychotic disorder)


Pada gangguan ini, satu atau beberapa orang mengembangkan suatu sistem delusi
sebagai suatu hasil dari kedekatan hubungan dengan seorang penderita psikotik
yang delusi. Biasanya dua orang yang terlibat dalam gangguan tersebut dan disebut
dengan istilah kebodohan bersama. Terkadang terdapat dua atau lebih dari
keseluruhan anggota keluarga yang mengalami gangguan tersebut. Gangguan ini
berkembang dalam konteks hubungan yang dekat yang terdapat suatu sejarah
ketergantungan patologis. Seorang nonpsikotik menjadi terbiasa dan mengonsumsi
kepercayaan irasional yang ada. Apabila dua orang yang mengalami gangguan
tersebut dipisahkan, seseorang yang sebelumnya tidak menderita psikotik akan
cenderung kembali kepada cara berfikir yang normal.
Karakteristik:
Diagnosis ini tetap diberikan pada kasus-kasus yang menggambarkan
kondisi seseorang yang mengembangkan suatu delusi yang mirip dengan
delusi yang telah terbangun dalam diri seseorang yang terlibat hubungan

dengan mereka
Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan lain, suatu kondisi medis
ataupun penggunaan obat-obatan

D.

Perspektif Teoritis Tantang Skizofrenia


Perspektif Psikodinamika
Menurut pandangan psikodinamika, skizofrenia mencerminkan ego yang
dibanjirinya oleh dorongan-dorongan seksual primitif atau agresif atau impuls-impuls yang
berasal dari id. Impuls-ilmpuls tersebut mengancam ego dan berkembang menjadi konflik
intrapsikis yang kuat. Di bawah ancaman seperti itu, orang tersebut mundur ke periode
awal dari tahapan oral, yang disebut sebagai narsisme primer. Pada periode ini bayi belum
belajar bahwa dunia dan dirinya adalah hal yang berbeda. Karena ego menjembatani
hubungan antara diri degan dunia luar, kerusakan pada fungsi ego ini berpengaruh terhadap

adanya jarak terhadap realitas yang khas skizofrenia. Masukan dari id menyebabkan fantasi
menjadi disalahartikan sebagai realitas, menyebabkan halusinasi dan waham. Impulsimpuls primitif mungkin juga membawa beban yang lebih berat daripada norma-norma
sosial dan diekspresikan pada perilaku yang aneh, dan tidak sesuai secara sosial.
Pengikut-pengikut Freud, seperti Erik Erikson dan Harry Stuck Sullivan lebih
menekankan pada faktor interpersonal daripada intrapsikis. Sullivan (1962), misalnya,
yang mengabdikan sebagian besar waktu kerjanya untuk meneliti skizofrenia, menekankan
pentingnya hubungan ibu dan anak yang terganggu, dan mengemukakan argumentasi
bahwa hal tersebut dapat menetapkan tahapan untuk penarikan diri secara perlahanlahandari orang lain. Pada masa kanak-kanak awal, interaksi yang penuh kecemasan dan
permusuhan antara anak dan orang tua membawa anak untuk mencari perlindungan pada
dunia fantasi yang bersifat pribadi. Lingkaran setan pun terjadi: Semakin anak menarik
diri, semakin berkurang kesempatan yang ada untuk membangun kepercayaan pada orang
lain dan keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk membangun keintiman. Kemudian
ikatan yang lemah antara anak dan orang lain mendorong kecemasan sosial dan penarikan
diri yang lebih jauh. Siklus ini berlanjut sampai masa dewasa muda. Kemudian,
dihadapkan dengan meningkatnya tuntutan di sekolah atau pekerjaan dan dalam hubungan
intim, orang tersebut menjadi semakin dibanjiri dengan kecemasan dan menarik diri
sepenuhnya ke dunia fantasi.
Kritik terhadap pandangan Freud menyatakan bahwa perilaku skizofrenia dan
perilaku infantil tidak sepenuhnya sama, sehingga skizofrenia tidak dapat dijelaskan
dengan regresi. Ahli psikoanalisis tidak pernah dapat menunjukan bahwa hipotesis tentang
pengalaman masa kanak-kanak awal atau pola-pola keluarga menyebabkan skizofrenia
Faktor Biokimia
Peran faktor genetik dalam skizofrenia menunjukkan bahwa faktor-faktor biokimia
perlu diteliti karena melalui kimia tubuh dan proses-proses biologislah faktor keturunan
tersebut dapat berpengaruh.
Aktivitas Dopamin. Teori bahwa skizofrenia berhubungan dengan aktivitas
berlebihan neurotransmiter dopamin, terutama didasarkan pada pengetahuan bahwa obatobatan yang efektif untuk menangani skizofrenia menurunkan aktivitas dopamin.
Selain dopamine, terdapat pula amfetamin. Amfetamin dapat menyebabkan suatu
kondisi yang sangat mirip dengan skizofrenia paranoid dan dapat memperparah
simtomatologi orang dengan gangguan skizofrenia. Efek amfetamin yang menimbulkan

psikosis merupakan akibat peningkatan dopamin dan bukan peningkatan norepinefrin


karena obat-obat antipsikotik adalah obat yang menyembuhkan psikosis amfetamin.
Reseptor dopamin lebih besar jumlahnya atau hipersensitif pada beberapa orang
penderita skizofrenia. Memiliki terlalu banyak reseptor secara fungsional akan sama
dengan memiliki terlalu banyak dopamin itu sendiri. Penyebabnya adalah bila dopamin
dilepaskan kedalam sinaps, hanya beberapa diantaranya yang secara aktual berinteraksi
dengan reseptor pascasinaptik. Memiliki banyak reseptor memberikan kesempatan yang
lebih besar bagi dopamin yang dilepaskan untuk merangsang suatu reseptor.
Kelebihan reseptor dopamin mungkin tidak berperan dalam semua simtom
skizofrenia, kondisi itu tampaknya berhubungan terutama dengan simtom-simtom positif.
Amfetamin tidak memperparah simtom-simtom pada semua orang dengan gangguan
skizofrenia. Simtom-simtom secara aktual berkurang setelah para orang dengan gangguan
skizofrenia diberi amfetamin. Obat-obatan antipsikotik ternyata hanya mengurangi
beberapa simtom skizofrenia. Amfetamin memperparah simtom-simtom positif dan
mengurangi simtom-simtom negatif. Antipsikotik mengurangi simtom-simtom positif
namun hanya berpengaruh sedikit atau bahkan tidak berpengaruh bagi simtom-simtom
negatif.
Perkembangan selanjutnya dalam teori dopamin memperluas ruang lingkupnya.
Perubahan penting termasuk diketahuinya perbedaan di antara jalur-jalur saraf yang
menggunakan dopamin sebagai transmiter. Kelebihan aktivitas dopamin yang diduga
paling relevan dengan skizofrenia terdapat di dalam jalur mesolimbik dan efek terapeutik
obat-obatan antipsikotik terhadap simtom-simtom positif terjadi dengan cara menghambat
berbagai reseptor dopamin dan sistem saraf tersebut sehingga menurunkan aktivitasnya.
Rendahnya aktivitas neuron dopamin dalam daerah otak tersebut juga dapat
menjadi penyebab simtom-simtom negatif skizofrenia. Teori ini memiliki keuntungan yaitu
memungkinkan terjadinya simtom-simtom negatif dan positif secara simultan pada orang
dengan gangguan skizofrenia.
Evaluasi Data Biokimia. teori dopamin tidak muncul sebagai teori lengkap
skizofrenia. Contohnya, perlu beberapa minggu bagi obat-obat antipsikotik untuk secara
bertahap mengurangi simtom-simtom positif skizofrenia meskipun obat-obat tersebut
dengan cepat menghambat reseptor dopamin.
Meskipun dopamin tetap merupakan variabel biokimia yang paling aktif diteliti,
namun tidak mungkin dapat memberikan penjelasan lengkap mengenai biokimia
skizofrenia. Skizofrenia merupakan gangguan dengan simtom-simtom yang luas mencakup

persepsi, kognisi, aktivitas motorik dan perilaku sosial. Tidak mungkin bila satu
neurotransmiter tunggal dapat menjadi penyebab semua itu.
Kelainan Otak
Beberapa orang dengan gangguan skizofrenia telah diketahui memiliki patologi
otak yang dapat diamati. Analisis pascakematian pada otak orang dengan gangguan
skizofrenia merupakan salah satu sumber bukti. Berbagai studi semacam itu secara
konsisten mengungkap adanya abnormalitas spesifik yang dilaporkan bervariasi antarstudi
dan terdapat banyak temuan yang saling bertentangan. Temuan yang paling konsisten
adalah pelebaran rongga otak yang berimplikasi pada hilangnya beberapa sel otak.
Berbagai temuan lain yang cukup konsisten mengindikasikan abnormalitas struktur pada
daerah subkortikal temporal limbik, seperti hipokampus dan basal ganglia dan pada korteks
prefrontalis dan temporal.
Sejauh ini, berbagai citra jaringan otak hidup secara paling konsisten mengungkap
bahwa beberapa orang dengan gangguan skizofrenia, terutama laki-laki memiliki rongga
otak yang melebar. Penelitian juga menunjukkan berkurangnya daerah abu-abu kortikal di
daerah temporal dan frontalis dan berkurangnya volume basal ganglia dan struktur limbik.
Dalam studi kembar yang menderita skizofrenia memiliki rongga otak yang lebih
lebar dibandingkan kembar yang sehat dan dalam salah satu studi sebagian besar kembar
yang menderita skizofrenia dapat diidentifikasi hanya dengan melakukan pengamatan
visual sederhana terhadap pemindaian tersebut. Karena para kembar tersebut secara
genetik identik, data ini menunjukkan bahwa abnormalitas otak tersebut mungkin tidak
berciri genetik. Rongga otak yang lebar pada para orang dengan gangguan skizofrenia
berkolerasi dengan kinerja yang lemah dalam berbagai tes neuropsikologis, penyesuaian
yang buruk sebelum timbulnya gangguan dan respons yang buruk dalam terapi obat.
Meskipun demikian, pelebaran rongga otak tersebut hanya sedikit dan dalam hal ini
banyak orang dengan gangguan skizofrenia yang tidak berbeda dari orang normal. Rongga
otak yang melebar tidak spesifik pada skizofrenia karena juga ditemukan dalam
pemindaian CT pada para orang dengan gangguan skizofrenia yang menderita beberapa
psikosis lain, seperti mania.
Berbagai macam data menunjukkan bahwa korteks prefrontalis secara khusus
penting dalam skizofrenia. Korteks prefrontalis diketahui berperan dalam perilaku seperti
berbicara, pengambilan keputusan dan tindakan yang bertujuan, yang kesemuanya
mengalami gangguan dalam skizofrenia; berbagai studi MRI menunjukkan berkurangnya
daerah abu-abu dalam korteks prefrontalis; ketika orang dengangangguan skizofrenia

sedang mengerjakan tes-tes psikologis, para orang dengangangguan skizofrenia


menunjukkan tingkat metabolisme yang rendah dalam korteks prefrontalis. Karena tes-tes
tersebut membutuhkan pengaktifan korteks prefrontalis, secara normal metabolisme
glukosa meningkat sejalan dengan penggunaan energi. Para orang dengan gangguan
skizofrenia, terutama dengan simtom-simtom negatif yang dominan, tidak dapat
melakukan tes tersebut dengan baik dan juga tidak menunjukkan terjadinya aktivasi daerah
prefrontalis. Tidak terjadinya aktivasi frontalis juga ditemukan dengan menggunakan alat
yang dikembangkan lebih mutakhir yaitu fmri.
Terlepas dari berkurangnya volume darah abu-abu dalam korteks temporalis dan
frontalis, jumlah neuron dalam daerah-daerah tersebut tidak tampak berkurang. Berbagai
studi yang lebih detail mengindikasikan bahwa sesuatu yang hilang di daerah-daerah
tersebut kemungkinan adalah sesuatu yang disebut spinal dendritik. Spinal dendritik adalah
cabang kecil pada batang dendrit dimana impuls-impuls saraf diterima dari berbagai
neuron lain. Hilangnya spinal dendritik tersebut berarti komunikasi diantara neuron-neuron
akan terganggu, mengakibatkan kondisi yang diistilahkan oleh beberapa orang sebagai
sindrom diskoneksi. Salah satu kemungkinan akibat kegagalan berbagai sistem neural
untuk saling berkomunikasi dapat berupa disorganisasi pembicaraan dan behavioral yang
terjadi pada skizofrenia.
Otak orang yang mengalami skizofrenia mengalami kerusakan pada awal
perkembangannya, mengapa gangguan tersebut baru dialami bertahun-tahun kemudian
pada masa remaja atau masa dewasa awal? Weinberger mengemukakan jawabannya,
bahwa cedera otak berinteraksi dengan perkembangan otak normal dan bahwa korteks
prefrontalis merupakan struktur otak yang mengalami kematangan paling akhir, pada
umumnya pada masa remaja. Oleh karena itu, cedera di daerah ini tidak tercermin dalam
perilaku seseorang sebelum mencapai periode perkembangan di mana korteks prefrontalis
mulai berperan lebih besar dalam perilaku. Perlu dicatat, aktivitas dopamin juga
memuncak pada masa remaja, yang dapat lebih jauh memicu tahap terjadinya simtomsimtom skizofrenik.
Stres Psikologis
Stres psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan kerentanan
biologis untuk menimbulkan penyakit ini. Data menunjukkan bahwa, sebagaimana pada
banyak gangguan yang telah dibahas, peningkatan stres kehidupan meningkatkan
kemungkinan kekambuhan. Para individu yang mengalami skizofrenia tampak sangat

reaktif terhadap berbagai stresor yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Orang
dengan gangguan skizofrenia sangat rentan terhadap stres sehari-hari.

Kelas Sosial dan Skizofrenia.


Angka kejadian tertinggi skizofrenia terdapat di berbagai wilayah pusat kota yang

dihuni oleh masyarakat dari kelas-kelas sosial rendah. Hubungan antara kelas sosial dan
skizofrenia tidak menunjukkan tingkat kejadian skizofrenia yang semakin tinggi seiring
dengan semakin rendahnya kelas sosial. Namun, terdapat perbedaan yang sangat tajam
antara jumlah orang yang menderita skizofrenia dalam kelas sosial terendah dan jumlah
penderita skizofrenia pada berbagai kelas sosial lain.
Korelasi antara kelas sosial dan skizofrenia memiliki konsistensi, namun sulit untuk
menginterpretasikannya secara kausal. Beberapa orang percaya bahwa stresor yang
berhubungan dengan kelas sosial rendah dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap
terjadinya skizofrenia yaitu hipotesis sosiogenik. Perlakuan merendahkan yang diterima
seseorang dari orang lain, tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya penghargaan
serta kesempatan secara bersamaan dapat menjadikan keberadaan seseorang dalam kelas
sosial terendah sebagai kondisi yang penuh stres yang membuat seseorang setidak-tidaknya
yang memiliki predisposisi menderita skizofrenia.

Teori seleksi-sosial
Teori seleksi social membalikan arah kausalitas antara kelas sosial dan skizofrenia.

Dalam perjalanan berkembangnya psikosis mereka, orang-orang yang menderita


skizofrenia dapat terseret ke dalam wilayah kota yang miskin. Berbagai masalah kognitif
dan motivasional yang semakin berkembang yang membebani para individu tersebut dapat
sangat melemahkan kemampuan mereka untuk memperoleh pendapat sehingga mereka
tidak mampu tinggal di wilayah lain. Atau, mereka memilih untuk pindah ke wilayah di
mana mereka hanya menghadapi sedikit tekanan sosial dan di mana mereka dapat
melarikan diri dari hubungan sosial yang mendalam.
Secara ringkas, data-data yang ada lebih mendukung teori seleksi sosial dibanding
teori sosiogenik. Namun, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa lingkungan sosial tidak
memiliki peran apapun dalam skizofrenia.

Keluarga dan Skizofrenia.


Hubungan keluarga yang terganggu sejak lama telah dianggap berperan dalam

perkembangan dan perjalanan gangguan skizofrenia (Miklowiz, 1994). Teori-teori keluarga


yang awal memfokuskan pada peran anggota keluarga yang patogenik seperti ibu yang

skizofrenogenik (Fromm-Reichmann, 1948, 1950). Dalam pandangan seksisme psikiatris


historis yang dianut oleh sejumlah feminis, ibu yang skizofrenogenik digambarkan sebagai
orang yang dingin, angkuh, overprotektif, dan sangat mendominasi.
Satu dari teori yang penting, dikemukakan oleh Gregory Beteson dan rekan-rekannya
(1965), bahwa komunikasi double-bind berkontribusi terhadap perkembangan skizofrenia.
Komunikasi double-bind mengirim dua pesan yang saling tidak bersesuaian. Pada
komunikasi double-bind dengan seorang anak, seorang ibu mungkin bersikap dingin ketika
anak mendekatinya dan kemudian memarahi anak karena menjaga jarak. Apapun yang
dilakukan anak, ia selalu salah. Dengan pengalaman yang berulang pada kejadian doublebind semacam ini pemikiran anak mungkin menjadi tidak terorganisasi dan kacau.
Mungkin komunikasi double-bind berperan sebagai sumber stress keluarga yang
meningkatkan risiko skizofrenia pada individu yang memiliki kerentanan genetis..
Penelitian mulai mengidentifikasi faktor penyebab stres pada keluarga yang mungkin
berinteraksi dengan kerentanan genetis dalam menyebabkan berkembangnya skizofrenia.
Dua sumber utama dari stres keluarga yang telah dipelajari adalah pola-pola komunikasi
yang menyimpang dan ekspresi emosi yang negatif dalam keluarga.
1. Penyimpangan

dalam

komunikasi.

Penyimpangan

dalam

komunikasi

(communication deviance-CD) adalah pola komunikasi yang tidak jelas, samarsamar, terganggu, atau terpecah-pecah, yang tidak sering ditemukan pada orang tua
dan anggota keluarga dari pasien skizofrenia. Orang tua dengan CD yang tinggi
mengalami kesulitan memfokuskan pada apa yang disampaikan oleh anak mereka
(Miklowitz, 1994). Mereka cenderung untuk menyerang anak-anak mereka secara
verbal daripada menawarkan kritik membangun, dan mungkin membawa mereka
dalam komunikasi double-bind. Mereka juga cenderung untuk menginterupsi anak
dengan komentar yang negatif dan mengganggu. Mereka cenderung untuk
mengatakan pada anak apa yang benar-benar mereka pikirkan daripada
membiarkan anak untuk memformulasikan pikiran dan perasaannya sendiri. Orang
tua

dari

orang-orang

yang

menderita

skizofrenia

menunjukan

tingkat

penyimpangan komunikasi yang lebih tinggi daripada orang tua dari orang-orang
yang tidak menderita skizofrenia (Miklowitz, 1994).
2. Ekspresi Emosi. Pengukuran lain dari komunikasi keluarga yang terganggu disebut
sebagai ekspresi emosi (expressed emotion-EE). EE melibatkan kecenderungan
anggota keluarga untuk bersikap kejam, mengkritik, dan tidak mendukung pada
anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Orang dengan skizofrenia yang

memiliki keluarga dengan EE tinggi cenderung menunjukan penyesuaian diri yang


lebih buruk dan memiliki rata-rata kambuh yang tinggi setelah keluar dari rumah
sakit, dibandingkan mereka yang memiliki keluarga yang lebih mendukung
(Cutting & Docherty, 2000; King & Dixon, 1999). Pemeriksaan terhadap fungsi
kepribadian menunjukan sanak keluarga dengan EE tinggi menunjukan lebih
sedikit empati, toleransi dan fleksibilitas daripada sanak keluarga yang memiliki EE
yang rendah ( Hooley & Hiller, 2000 ). Sanak keluarga dengan EE tinggu juga
cenderung untuk percaya bahwa pasien skizofrenia dapat melatih kontrol yang
lebih besar terhadap perilaku mereka, dibandingkan sanak keluarga dari pasien
yang sama yang meiliki EE rendah (Weisman, dkk., 2000). Ekspresi emosi pada
sanak keluarga juga dikaitkan dengan risiko yang lebih besar untuk kambuh dari
gangguan lainnya, seperti depresi utama dan gangguan makan (Butzlaff & Hooley,
1998).
Faktor Keluarga dalam Skizofrenia: Penyebab atau Sumber Stres? Tidak
terdapat bukti yang mendukung keyakinan bajwa faktor keluargam seperti interaksi
keluarga yang negatif, menyebabkan skizofrenia pada anak-anak yang tidak
memiliki kerentanan genetis. Kemudian apa peranan faktor keluarga pada
skizofrenia? Dalam model diatesis stres, pola-pola interaksi dan komunikasi
emosioanl yang terganggu dalam keuarga menunjukan suatu sumber stres potensial
yang mungkin meningkatkan risiko berkembangnya skizofrenia pada orang-orang
yang memiliki predisposisi genetis untuk gangguan ini. Mungkin peningkatan
risiko ini dapat meminimalkan atau dihilangkan apabila anggota keluarga diajarkan
untuk mengatasi stress dan mengurangi kritik serta lebih mendukung terhadap
anggota-anggota keluarga mereka yang menderita skizofrenia. Program-program
konseling yang membantu anggota keluarga dari orang yang menderita skizofrenia
kronis belajar ntuk mengekspresikan perasaan mereka tanpa menyerang atau
mengkritik orang yang menderita skizofrenia mungkin dapat mencegah konflik
keluarga yang merusak penyesuaian diri orang tersebut. Anggota keluarga yang
menderita skizofrenia mungkin juga dapat mengambil manfaat dari usaha-usaha
untuk mengurangi tingkat kontak dengan saudara yang gagal berespons pada
intervensi keluarga.
Bukti Penelitian yang Mendukung Model Diatesis-Stres. Beberapa macam bukti
yang mendukung model diatesis-stres. Satu sumber yang mendukung adalah fakta
bahwa skizofrenia cenderung berkembang pada masa remaja akhir atau masa

dewasa awal, sekitar waktu dimana orang muda biasanya menghadapi


meningkatnya tekanan yang berhubungan dengan tantangan perkembangan yang
berkaitan dengan diperolehnya kemandirian dan penemuan sebuah peran dalam
kehidupan. Bukti lain menunjukan bahwa stres psikososial, seperti kritik yang
berulang-ulang dari anggota keluarga, memperburuk simtom-simtompada orang
yang menderita skizofrenia, meningkatkan risiko kambuh (King & Dixon, 1995).
Sumber-sumber stres lain yang mungkin berkontribusi dalam perkembangan
skizofrenia pada orang-orang yang memiliki kerentana genetis mencakup faktorfaktor psikososial yang berhubungan dengan kemiskinan, seperti kepadatan yang
berlebihan, makanan dan sanitasi yang buruk, perumahan yang miskin, dan
perawatan kesehatan yang tidak adekuat (Kety,1980).Pendukung lain untuk model
diatesis-stres nerasal dari enelitian longitudinal terhadap anak-anak yang memiliki
risiko tinggi yang berada pada risiko genetis yang meningkat untuk
mengembangkan penyakit karena salah satu atau kedua orang tuanya menderita
skizofrenia. Penelitian longitudinal pada anak-anak yang orang tuanya mengalami
skizofrenia mendukung prinsip utama model diatesis-stres bahwa hereditas
berinteraksi dengan pengaruh lingkungan dalam menentukan kerentanan terhadap
skizofrenia.
E.

Treatmen Skizofrenia
Tidak ada penyembuhan untuk skizofrenia. Penanganan biasanya mencakup banyak
segi, menggabungkan pendekatan farmakologis, psikologis, dan rehabilitatif. Kebanyakn
orang skizofrenia yang dirawat dalam lingkup kesehatan mental yang terorganisasi
menerima beberapa bentuk obat antipsikotik, yang dimaksudkan untuk mengendalikan
pola-pola perilaku yang lebih ganjil, seperti halusinasi dan waham, dan mengurangi resiko
yang berulang-ulang.
1. Treatmen Biologis.
Munculnya obat-obat antipsikotik pada 1950-an-juga dikenal sebagai penenang
mayor atau neuroleptik, membawa perubahan dalam perawatan pasien skizofrenia dan
memeberikan dorongan terhadap dilepaskannya pasien penyakit mental dalam skala besar
kembali ke komunitas (deinstitusionalisasi). Fakta bahwa obat-obatan dapat mengontrol
sebagian besar simtom psikosis yang menguras tenaga dan melemahkan, setidaknya
terhadap beberapa hal yang berarti bahwa ratusan ribu orang dapat ditangani dengan cara
berobat jalan dan bukan lagi melalui supervisi yang konstan dan terbatas.
Terdapat beberapa kategori obat-obatan psikotik yang disebut juga obat penenang
utama atau neuroleptik yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani yang berarti

memperbaiki saraf. Sebagai tambahan bagi kualitas menenangkan yang dimilikinya,


neuroleptik menurunkan frekuensi dan tingkat keparahan simtom-simtom psikotik.
Berbagai jenis neuroleptik berbeda dalam dosis yang diperlukan untuk mencapai efek
terapeutik mereka, dengan rentang yang bergerak dari obata-obatan dengan potensi rendah
yang memerlukan dosis tinggi hingga obat-obatan yang berpotensi tinggi hingga hanya
diperlukan dosis yang relatif lebih rendah. Seorang dokter akan lebih cenderung
memberikan resep obat-obatan potensi rendah untuk pasien yang sangat terganggu karena
obat-obatan potensi rendah cenderung memiliki efeke lebih menenangkan daripada obatobatan dengan potensi tinggi. Obat-obatan potensi tinggi dapat diberikan pada seorang
pasien yang tidak terlalu terganggu, namun memiliki risiko efek samping yang serius.
Obat-obatan antipsikosis yang biasanya diresepkan tersebut memiliki efek
mengahalangi reseptor dopamin. Dengan kata lain, obat-obatan tersebut mengandung zat
kimia yang terkait dengan neuron yang biasanya akan bereaksi terhadap neurotransmitter
dopamin. Hal ini menimbulkan dua hasil perilaku, perilaku terapeutik dan perilaku yang
tidak diharapkan serta mengganggu.
2. Treatmen Sosiokultural
Mempertahankan hubungan antara orang yang mengalami skizofrenia dengan
anggota keluarga dan komunitas yang lebih besar merupakan bagian dari tradisi budaya
pada banyak kebudayaan Asia, juga pada bagian dunia lainnya, seperti Afrika. Orang yang
sakit mental di Cina, misalnya tetap memiliki dukungan kuat dari hubungan dengan
keluarga dan tempat kerja, yang membantu meningkatkan kesempatan untuk kembali
berintegrasi dengan kehidupan komunitas (Liberman, 1994). Pada pusat-pusat pengobatan
untuk penanganan skizofrenia di Afrika, dukungan yang kuat uang diterima oleh pasien
dari keluarga dan anggota komunitas, bersama-sama dengan gaya hidup yang berpusat
pada komunitas, merupakan elemen penting terhadap keberhasilan perawatan (Peltzer &
Machleidt, 1992).
3. Terapi Psikodinamika.
Freud tidak yakin bahwa psikoanalisis tradisional sesuai untuk penanganan
skizofrenia. Tindakan menarik dari ke dalam dunia fantasi yang merupakan ciri skizofrenia
mencegah penderita untuk membentk hubungan yang bermakna dengan psikoanalisis.
Teknik psikoanalisis klasik, tulis Freud, harus digantikan oleh yang lain; dan kita belum
dapat mengetahui apakah kita akan berhasil menemukan pengganti (sebagaimana dikutip
dalam Arieti, 1974, hal 532).

Psikoanalisis yang lainm seperti Harry Stack Sullivan dan Frieda FrommReichmann, mengadaptasi teknik psikoanalisis secara spesifik untuk perawatan
skizofrenia. Namun, penelitian gagal menunjukan efektivitas terapi psikoanalisis maupun
psikodinamika untuk skizofrenia. Dengan keterangan tentang penemuan-penemuan
negatif, beberapa kritik mengemukakan bahwa penggunaan terapi psikodinamika untuk
menangani skizofrenia tidaklah terjamin (antara lain Klermanm 1984). Namun hasil yang
menjanjikan dilaporkan untuk sebuah bentuk terapi individual yang disebut terapi personal
yang berpijak pada model diatesis-stres. Tetapi personal membantu pasien beradaptasi
secara lebih efektif terhadap stres dan membantu mereka membangun keterampilan sosial,
seperti mempelajari bagaimana menghadapi kritik dari orang lain. Bukti-bukti awal
menjelaskan bahwa terapi personal mungkin mengurangi rata-rata kambuh dan
meningkatkan fungsi sosial, setidaknya di antara pasien skizofrenia yang tinggal dengan
keluarga (Bustillo dkk., 2001; Hogarty dkk., 1997a, 1997b).
4. Treatmen Berdasarkan Belajar.
Meskipun sedikit terapis perilaku yang meyakini bahwa yang salah menyebabkan
skizofrenia, intervensi berdasarkan pembelajaran telah menunjukan efektivitas dalam
memodifikasi perilaku skizofrenia dan membantu orang-orang yang mengalami gangguan
ini untuk mengembangkan perilaku yang lebih adaptif yang dapat membantu mereka
menyesuaikan diri secara lebih efektif untuk hidup dalam komunitas. Metode terapi
meliputi teknik-teknik seperti (1) reinforcement selektif terhadap perilaku (seperti
memberikan perhatian terhadap perilaku yang sesuai dan menghilangkan verbalisasi yang
aneh dengan tidak lagi memberi perhatian); (2) token ekonomi, dimana individu padaunitunit perawatan di rumah sakit diberi hadiah untuk perilaku yang sesuai dengan token,
seperti kepingan plastik, yang dapat ditukar dengan imbalan yang nyata seperti barangbarang atau hak-hak istimewa yang diinginkan; dan (3) pelatihan keterampilan sosial, di
amna klien diajarkan keterampilan untuk melakukan pembicaraan dan perilaku sosial lain
yang sesuai melalui coaching (latihan), modeling, latihan perilaku, dan umpan balik.
5. Rehabilitasi Psikososial
Orang-orang yang mengalami skizofrenia biasanya mengalami kesulitan untk
berfungsi dalam peran-peran sosial maupun pekerjaan. Masalah-masalah ini membatasi
kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri terhadap kehidupan komunitas bahkan dalam
keadaan tidak adanya perilaku psikotik yang tampak.
Pusat rehabilitasi dengan beragam layanan biasanya menawarkan perumahan
sebagaimana pekerjaan dan kesempatan pendidikan. Pusat-pusat ini sering kali

mempergunakan pendekatan pelatihan perselisihan dengan anggota keluarga, membangun


persahabatan, naik bus, memasak makanan mereka sendiri, berbelanja, dan lain-lain.
6. Program Intervensi Keluarga.
Konflik-konflik keluarga dan interaksi keluarga yang negatif dapat menumpuk stres
pada anggota keluarga yang mengalami skizofreni, meningkatkan risiko episode yang
berulang (Marsh & Johnson, 1997). Para peneliti serta klinisi telah bekerja dengan
keluarga-keluarga dari orang-orang yang mengalami skizofrenia untuk membantu mereka
menyesuaikan diri dengan beban untuk merawat dan membantu mereka dalam
mengembangkan cara-cara yang lebih kooperatif dan tidak terlalu konfrontatif dalam
berhubungan dengan orang lain. Komponen-komponen spesifik dari intervensi keluarga
bervariasi pada tiap program, namun biasanya mereka memiliki beberapa ciri yang sama,
seperti memfokuskan pada aspek praktis dari kehidupan sehari-hari, mendidik anggota
keluarga yang skizofrenia, mengajarkan mereka bagaimana cara berhubungan dengan cara
yang tidak terlalu frontal terhadap anggota keluarga yang menderita skizofrenia,
meningkatkan komunikasi dalam keluarga, dan memacu pemecahan masalah yang efektif
dan

keterampilan

coping

untuk

menangani

masalah-masalah

dan

perselisihan-

perselisihan keluarga. Bukti-bukti menunjukan bahwa program intervensi keluarga yang


terstruktur dapat mengurangi friksi dalam keluarga, meningkatkan fungsi sosial pada
pasien skizofrenia, dan bahkan mengurangi rata-rata kekambuhan (Bustillo dkk., 2001;
Mueser dkk., 2001; Penn & Mueser, 1996). Namun, keuntungannya tampak biasa saja, dan
tetap ada pertanyaan tentang apakah kekambuhan dicegah atau sekedar ditunda.
Ringkasnya, tidak ada pendekatan penanganan tunggal yang memenuhi semua
kebutuhan orang yang menderita skizofrenia. Konseptualisasi skizofrenia sebagai
disabilitas

sepanjang

hidup

menggarisbawahi

kebutuhan

untuk

perawatan

intervensi jangka panjang yang menggabungkan pengobatan antipsikotik, terapi keluarga,


bentuk-bentuk terapi suportif atau kognitif-behavioral, pelatihan vokasional, dan
penyediaan perumahan yang layak serta pelayanan dukungan sosial lainnya (Bustillo dkk.,
2001; Huxley, Rendall, & Sedere, 2000; Sensky dkk., 2000; Tarrier dkk., 2000). Intervensiintervensi ini seharusnya dikoordinasikan dan diintegrasikan dalam model perawatan yang
menyeluruh agar lebih efektif dalam membantu individu meraih penyesuaian sosial secara
maksimal (Coursey dkk., 1997). Layanan-layanan penanganan juga lebih cenderung
meningkatkan fungsi klien dalam area-area tertentu, seperti meningkatkan pekerjaan dan
kehidupan yang mandiri, apabila mereka secara khusus diarahkan pada area-area tersebut
(Brekke dkk., 1997). Model ini dapat terdiri dari terapi obat, perawatan rumah sakit

apabila dibituhkan, program berdasarkan belajar di dalam rumah sakit, program intervensi
keluarga, program pelatihan keterampilan, kelompok-kelompok self-help sosial, dan
program rehabilitasi yang terstruktur

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik kronis yang ditandai oleh episode akut
yang mencakup kondisi terputus dengan realitas, yang ditampilkan dalam ciri-ciri seperti
waham, halusinasi, pikiran tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku yang
aneh. Defisit residual dalam area kognitif, emosional, dan sosial dari fungsi-fungsi yang
ada sebelum epsode akut.
Skizofrenia biasanya berkembang pada akhir masa remaja akhir atau awal masa
dewasa. Kemunculannya bisa mendadak ataupun perlahan-lahan. Kemunculan yang
perlahan-lahan diawali oleh fase prodromal, suatu periode deteriorasi secara perlahanlahan yang mengawali kemunculan dari simtom-simtom yang akut. Episode akut, yang
mungkin terjadi secara berkala sepanjang kehidupan, ditandai oleh simtom psikotik yang
jelas, seperti halusinasi dan waham. Antara episode-episode akut, gangguan ditandai oleh
fase residual di mana tingkat fungsi seseorang serupa dengan apa yang muncul selama fase
prodromal.
Model diatesis stres mengemukakan bahwa skizofrenia berasal dari interaksi antara
predisposisi genetis dan stresor lingkungan (misalnya, konflik keluarga, perlakuan yang
salah pada anak, deprivasi emosional, hilangnya figur-figur pendukung, trauma otak di
awal kehidupan).
Faktor-faktor keluarga seperti penyimpangan komunikasi dan ekpresi emosi
mungkin berperan sebagai sumber stres yang meningkatkan risiko berkembangnya atau
berulangnya kembali skizofrenia pada orang-orang yang memiliki predisposisi genetis.
Perawatan kontemporer cenderung menyeluruh, menggabungkan antara pendekatan
psikofarmakologis dan psikososial. Pengobatan antipsikostik bukanlah penyembuh namun
cenderung menghambat aspek-aspek gangguan yang lebih mencolok dan mengurangi
kebutuhan akan perawatan rumah sakit serta risiko episode yang berulang.
Jenis-jenis intervensi psikososial yang menunjukan hasil yang menunjukan adalah
pendekatan yang pada prinsipnya berdasarkan prinsip belajar, seperti sistem token ekonomi
dan pelatihan keterampilan sosial. Hal-hal tersebut dapat membantu meningkatkan perilaku
adaptif pada pasien skizofrenia. Pendekatan rehabilitasi psikososial membantu orang-orang
yang menderita skizofrenia beradaptasi secara lebih berhasil terhadap pekerjaan dan peranperan sosial di komunitas. Program intervensi keluarga membantu keluarga untuk
melakukan coping terhada beban merawat, berkomunikasi secara lebih jelas, dan belajar
cara-cara yang lebih membantu dalam berhubungan dengan pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Nevid,Jeffrey S., & Rathus,Spencer,A., & Greene, B. (2005) Psikologi Abnrmal Edisi
Kelima Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga
P.Halgin,Richard., & K. Whitbourne,Susan (2011) Psikologi Abnormal Persektif Klinis
pada Gangguan Psikologis Edisi Kedua Jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika
http://ulfiati-tsania.blogspot.com/2014/10/makalah-tentang-skizofrenia.html

Anda mungkin juga menyukai