Anda di halaman 1dari 22

STRES OKSIDATIF DAN PENGGUNAAN ANTIOKSIDAN PADA STROKE

Abstraks

: Gangguan sementara ataupun permanen pada aliran darah serebral yang


disebabkan oleh oklusi dari arteri serebral menimbulkan stroke iskemik sehingga
dapat menimbulkan tidak hanya kerusakan permanen dari sel-sel yang terkena
akan tetapi juga dapat menimbulkan defisit neurologis. Banyak penelitian yang
telah mempelajari mengenai excitotoxicity, stres oksidatif, proses inflamasi dan
kematian sel serta menjelaskan bahwa komponen-komponen tersebut merupakan
komponen utama yang mendasari perkembangan lesi. Dasar pengobatan untuk
stroke iskemik akut adalah terapi reperfusi dengan menggunakan recombinant
tissue plasminogen activator (rt-PA). Proses reperfusi baik itu spontan maupun
dengan farmokologi berlangsung dengan cepat yang memicu kenaikan reactive
oxygen species (ROS ) melebihi kadar antioksidan endogen. Terapi anti-oksidan
telah lama diteliti sebagai terapi untuk mengurangi cedera akibat stroke iskemik
dengan berbagai tingkat keberhasilan. Artikel ini membahas tentang produksi dan
sumber dari ROS dan berbagai strategi lain yang memodulasinya. Strategi ini
bertujuan untuk menghambat produksi ROS atau meningkatkan degradasi ROS.
Meksipun studi klinis gagal untuk mengaplikasikan penelitian di laboratorium
pada pasien nyata, kombinasi antioksidan dengan agen trombolitik atau
neuroprotektan hadir sebagai penemuan yang sangat berharga dalam dunia klinis.
Oleh karena itu muncullah keinginan kuat untuk mengidentifikasi terapi alternatif
baru bagi pasien-pasien yang tidak memenuhi kriteria pemberian rt PA dalam
rangka melemahkan dan mengalahkan penyakit ini.

Kata Kunci : Antioksidan; stroke; stres oksidatif

Pendahuluan
Selain menjadi penyebab nomor dua kematian di dunia [1], stroke juga merupakan
penyebab utama dari kecacatan pada dewasa [2]. Stroke memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap aspek sosial ekonomi dengan satu pertiga dari seluruh pasien stroke memerlukan
perawatan permanen, menghabiskan biaya 3.8 milyar per jiwa di UK [3].
intervensi farmakologis

Satu-satunya

yang dibolehkan pada tatalaksana stroke adalah trombolitik dan

recombinant tissue plasminogen activator (rtPA) dalam 4,5 jam pertama dari onset iskemik [4].
Periode yang singkat ini menyebabkan hanya 2-5% dari seluruh pasien stroke yang dapat
menerima terapi ini dengan tingkat kesuksesan reperfusi hanya sekitar 50%, hal ini tidak sesuai
dengan harapan para klinisi. Stroke iskemik terjadi akibat adanya atherothrombotic atau embolic
blockage pada arteri serebral dan merupakan 80% jenis stroke yang paling banyak dari seluruh
kasus stroke. Penemuan terapi farmakologis yang baru untuk stroke merupakan hal yang
kompleks. Otak merupakan organ dengan tingkat metabolik yang sangat aktif yang hanya
mengandalkan aliran oksigen dan glukosa dari sirkulasi. Berat otak hanya 2% dari total berat
tubuh, akan tetapi konsumsi oksigen dan glukosa otak mencapai 20% yaitu 2% dari total
konsumsi oksigen dan glukosa tubuh, meskipun dari luar tidak kelihatan bagaimana otak bekerja
dan hasil metabolitnya. Penyimpanan energi dan hasil metabolik di dalam otak sangatlah sedikit,
sehingga otak sangat mudah rusak apabila terjadi gangguan dari aliran darah [7]. Dalam keadaan
fisiologis otak dilindungi dari agen infeksius oleh sawar otak, akan tetapi dalam keadaan iskemik
tidak hanya mediator-mediator inflamasi yang dapat memasuki sawar otak tetapi begitu juga
dengan agen infeksius. Sesuai dengan onset kejadiannya, banyak jalur yang berkontribusi
terhadap cedera otak, antara masing-masing jalur ini juga saling berkomunikasi menghasilkan
respon yang saling memperkuat satu sama lain. Hal yang paling menantang dari pengobatan
stroke adalah sebagian besar kerusakan pada otak terjadi dalam hitungan menit sampai jam,
sehingga pengobatan stroke harus dapat mencegahnya. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai
sumber dan dampak dari ketidakseimbangan Reactive Oxygen Species (ROS) dalam keadaan
iskemik serta penggunaan antioksidan sebagai terapi stroke berdasarkan clinical trial maupun
pre-clinical trial. Yang sudah kita ketahui pasti, walaupun peran ROS dalam stroke tidak dapat
dibantahkan, namun manfaat terapi antioksidan tunggal belum dapat dibuktikan akan tetapi,
terapi kombinasi terbukti bermanfaat dalam menyeimbangkan ROS.
2. Sumber dari Reactive Oxygen Species (ROS)

Stress oksidatif merupakan hasil dari produksi ROS yang berlebihan dan/atau rusaknya
metabolisme akibat rusaknya sel saat terjadinya stroke iskemik, dimana ROS merupakan
molekul oksigen (O2) ataupun turunannya. Walaupun stress oksidatif sering dikaitkan dalam
banyak keadaan seperti pada keganasan, atherosclerosis, penyakit neurodegenerative, otak juga
sangat sensitif terhadap stress oksidatif [8]. Ada beberapa alasan untuk hal tersebut, tingginya
konsumsi oksigen pada kondisi di bawah metabolisme basal, tingginya konsentrasi dari
peroxidisable lipid, dan tingginya level zat besi yang bertindak sebagai pro oksidan selama
proses cedera. Sumber utama dari ROS di otak adalah mitochondrial respiratory chain (MRC),
NAPDH oxidase, dan xanthine oxidase [911] (gambar 1). Dalam keadaan normal, mitokondria
menghasilkan superoxida sebagai produk utama yaitu ATP yang merupakan senyawa yang
terbentuk dari proses phosforilasi oksidaif. Superoxida yang telah dihasilkan kemudian di ubah
menjadi hydrogen peroxida (H2O2) oleh superoxida dismutase (SOD) sebelum keluar dari
mitokondria untuk bertindak sebagai penyampai pesan intraseluler yang berfungsi sebagai sinyal
neuronal pada peripheral nervous system (PNS) dan the central nervous system (CNS) [12]. Pada
keadaan iskemik, kadar oksigen turun lebih dahulu dibandingkan kadar glukosa, sehingga terjadi
pertukaran mekanisme glycolytic aerob menjadi anaerob untuk menghasilkan ATP [13].
Pertukaran tersebut menghasilkan asam laktat dan meningkatnya ion H+ di mitokondria dan
juga meningkatkan masuknya kembali ion H+ pada mitokondria membrane melalui H+ uniporter
yang menyebabkan meningkatnya kadar sitosolik H+ serta akumulasi H+ (asidosis). [14].
Asidosis dapat menyebabkan stress oksidatif dengan menyediakan H+ untuk pengubahan O2
menjadi H2O2 atau (OH). Sebagai tambahan pada sel yang kekurangan O2In addition, in the
O2-depleted cell the potent protein and lipid oxidant peroxynitrite (ONOO) is formed by the
reaction of nitric oxide (NO) and O2, rapidly exhausting the NO bioavailability. Aktivasi dari
reseptor NMDA (NMDARs) oleh glutamate juga meningkatkan produksi intraselular NO dan
ONOO in the ATP depleted post-synaptic cell. Neuronal nitric oxide synthase (nNOS) ) is
physically anchored to NMDARs and following activation and influx of Ca2+, Ca2+ binds
calmodulin and rapidly activates nNOS generating NO [15]. NO bereaksi dengan superoxida
anions (O2), yang dihasilkan oleh metabolism anaerob membentuk ONOO. ONOO
memperantai apoptosis melalui jalur klasik stress oksidatif yang akan dijelaskan di bagian lain
(Section 3.1). In what is a well-documented paradigm of stroke, reperfusion of the previously
ischaemic brain has severely deleterious cellular effects, including a large increase in ROS

production [16,17]. The recovery of the MRC following return of cerebral blood flow causes a
spike in the production of mitochondrial ROS. The reversal of complex I of the MRC and the
subsequent overproduction of O2 is believed to be a significant contributor [18]. Banyak
penelitian akhir- akhir ini menunjukkan pentingnya komplek I sebagai jalur masuk elektron dari
NADH di dalam MRC, pada saat terjadinya iskemik[19,20]. Penelitian pada bayi mencit dengan
pyridaben untuk menghambat kompleks I menunjukkan pengurangan luas infark dalam waktu 7
hari setelah iskemik [19]. Hal yang sama juga terjadi, penghambatan kompleks I meng-reaktivasi
S-nitrosation dari residu cysteine yang dapat menurunkan produksi ROS, stress oksidatif,
jaringan yang nekrosis pada saat iskemik [20].
Pada produksi ROS, nicotinamide adenine dinucleotide phosphate-oxidases (NOXs)
merupakan sumber utama dari produksi ROS pada saat terjadinya iskemik di otak [21].
Golongan NOX memiliki 7 subtipe (NOX1, NOX2, NOX3, NOX4, NOX5, DUOX1, and
DUOX2) dengan tipe NOX2, NOX3 dan NOX4 sebagian besar ditemukan di CNS. Dalam
keadaan normal, enzim NOX berfungsi sebagai enzim pengikat membrane yang menghasilkan
ROS untuk fungsi-fungsi biologis seperti regulasi tekanan darah, menghancurkan mikroba dan
pembentukan otoconia [22]. Katalisis dari O 2 terjadi oleh pengurangan 1 elektron dari O2
menggunakan NADPH sebagai donor elektron : 2O2 + NADPH 2O2 NAPD + H+. Dalam
kondisi patologis, NOXs merupakan kontributor utama terhadap kerusakan yang disebabkan oleh
stres oksidatif akibat berlebihnya produksi dari O2 dan ketidakseimbangan ROS. Meskipun
seluruh tujuh subtipe NOX mengkatalisis reduksi molekul oksigen, mekanisme aktivasi tiap
subtipe berbeda antara satu sama lainnya. NOX2 diaktifkan dan disimulasikan oleh
phosphorylation-activated p47phox dan by p67phox, in conjunction with activated Rac. NOX3
diaktifkan oleh NOXO1 tetapi tidak sensitif terhadap stimulasi tambahan oleh NOXA1 atau
activated Rac [23]. Aktivasi NOX4 belum sepenuhnya dijelaskan namun diduga dikendalikan
oleh faktor transkripsi [24].
Gambar

1. Sumber

dari

reactive

oxygen

species

(ROS)

dan

akibat

dari

ketidakseimbangannya. Beberapa sumber dari ROS exist endogenously yang seimbang


dengan antioksidan alami. Pada saat produksi ROS berlebihan, seperti pada saat iskemik
serebral,terjadi ketidakseimbangan antara oksidan dengan anti oksidan. ROS yang
berlebihan pada akhirnya pada akan menyebabkan apoptosis, inflamasi, kerusakan DNA,

peroksidasi lipid dandenaturasi protein yang semuanya berkontribusi dan memperberat


kerusakan yang diakibatkan oleh stroke.

Xanthine oxidase (XO) berfungsi untuk mengkatalisis oksidasi dari hypoxanthine to


xanthine dan oksidasi dari xanthine to asam urat. Dalam kondisi normoxic keberadaan XO
merupakan bentuk penggantis dari xanthine hydrogenase (XDH) [25]. Selama keadaan iskemik,
adenosin trifosfat selular (ATP) dikatabolis to hypoxanthine yang terakumulasi dalam jaringan
iskemik, dan XDH dipecah menjadi XO aktif. Selama fase reperfusi, XO kemudian dapat
mengoksidasi reaksi hypoxanthine to xanthine dan xanthine to asam urat, menghasilkan O2
and H2O2 [26].
3. Akibat dari Ketidakseimbangan ROS
Akibat dari ketidakseimbangan ROS adalah cukup besar dan mempengaruhi banyak
proses dalam parenkim otak dan semua sel neurovascular (Gambar 1). Peristiwa ini should not
be considered as distinct from one another as considerable crosstalk and amplification occurs.

3.1. Apoptosis
ROS memiliki sejumlah efek merugikan yang mengakibatkan kerusakan sel dan
jaringan,seperti: peroksidasi lipid, protein denaturasi, gangguan DNA dan beberapa multiple cell
signalling effects sehingga terjadi inisiasi apoptosis [27-29]. Peroxidasi Lipid adalah mekanisme
utama ROS yang menyebabkan kerusakan dalam otak. Inisiasi dari Peroxidasi Lipid memberikan
umpan balik positif bagi kerusakan otak. OH memulai penghapusan satu H+ dari
polyunsaturated fatty acid yang mengakibatkan pembentukan dari radikal lipid yang mudah
bereaksi dengan O2 untuk membentuk lipid peroxyl radikal dan lipid radikal lainnya. Lipid
radikal oleh produk lebih lanjut akan bereaksi dengan oksigen menyebabkan reaksi umpan balik
positif. Sebagai contoh umpan balik positif dari peroksidasi lipid : kelebihan ROS dapat
mengaktifkan phospholipase A2 (PLA2) yang akan melepaskan dan mengaktifkan asam
arakidonat (AA) dan produk dari aktivasi AA adalah ROS. ROS bertindak langsung pada lipid
untuk menghasilkan aldehida, dienals atau alkana, seperti malondialdehyde (MDA) dan 4hidroksinonenal (4-HNE). Akhirnya, 4-HNE menginduksi apoptosis neuron saat terjadinya
iskemik [30] and has been shown to be upregulated in a time-dependent manner in the ipsilateral
striatum following focal ischaemia in rats [31]. Kerusakan oksidatif langsung dari DNA akibat
ROS berbeda dengan endonuclease-mediated DNA, dimana kerusakan oksidatif terjadi pada
menit-menit pertama iskemik dan berpotensi reversibel. Kerusakan oksidatif pada DNA terjadi
akibat serangan dari ROS pada DNA, sehingga menyebabkan keruskan terutama basa DNA dan
single-strand breaks (SSBs), sebagaimana diamati pada iskemik yang terjadi pada tikus [32-34].
Meskipun kerusakan oksidatif berpotensi reversibel, pada iskemik serebral terdapat beberapa
mekanisme yang menginduksi ROS yang akhirnya menghasilkan kerusakan fatal pada DNA sel
saraf [33,35].
Seperti disebutkan di atas, tempat utama untuk memproduksi ROS saat iskemik serebral
adalah mitokondria, di mana mitokondria mengeluarkan peran yang paling merugikan yakni
menginisiasi kematian sel melalui pelepasan sitokrom C (CytC) [36,37]. Pelepasan CytC yang
sebagian dikendalikan oleh golongan protein Bcl-2 yang sangat terlibat dalam kelangsungan
hidup neuron dan kematian sel terprogram. Golongan gen ini berisi pro-apoptosis dan protein
anti-apoptosis dan subtipe anti-apoptosis dari Bcl-2 menghambat subtipe pro-apoptosis.
Tingginya kadar [Ca2+] disebabkan oleh aktivasi excitotoxicty yang melepaskan mediator pro-

apoptosis dari mitokondria melalui aktivasi Calpain [38] menyebabkan mitochondrial transition
pore (MTP) terbuka. ROS juga dapat memediasi permeabilisasi mitokondria melalui aktivasi
cytosolic phospholipase A2 (cPLA2). Pengaktifan cPLA2 memicu pelepasan AA oleh
pembebasan molekul tersebut dari penghambatan molekul fosfolipid melalui proses
enzimatik. AA yang telah diaktifkan akan menujun MTP di mitokondria [39]. Pelepasan proapoptosis CytC dari mitokondria menyebabkan initiation of the mitochondrial caspase-dependant
intrinsic pathway of cell death. Setelah dilepaskan, CytC membentuk kompleks dengan cytosolic
adapter protein (APAF-1) dan caspase-9, yang dikenal sebagai apoptosome, untuk memediasi
aktivasi pro-caspase-9 in the presence of deoxy-ATP (dATP). Aktivasi dari caspase-9 dan
activates caspase-3 akan yang memulai apoptosis melalui fragmentasi DNA dengan melepaskan
endonuclease caspase-activated DNase (CAD) dari penghambatan dengan memecah penghambat
ICAD [40,41]. CAD merupakan deoxyribose- and double-strand-specific enzyme [42] yang
memotong rantai internucleosomal di kromatin [43].
ROS juga memediasi apoptosis melalui interaksi langsung dengan nukleus kB (NF-kB)
dan subsequent activation of the MAPK/JNK pathway of cell death. NF-kB diaktifkan oleh
redox state dari sel di sejumlah penyakit dan aktivasi dapat dihambat melalui penggunaan
antioksidan [44]. Target lainnya dari NF-kB yaitu, NOS [45], cyclooxygenase-2 (COX-2) [46],
matriks metaloproteinase-9 (MMP-9) [47], intraseluler adhesi molekul (ICAMs) dan sitokin [48]
yang terlibat dalam keadaan yang merugikan dalam serebral iskemik seperti, apoptosis,
kerusakan sawar otak, dan inflamasi. JNK mengaktifkan mitokondria memediasi apoptosis
dengan tindakan langsung pada Bcl-2 [49]. Saat translokasi ke nukleus, JNK mengaktifkan
faktor transkripsi c-Jun dan ATF-2, yang mengarah pada pembentukan Jun-ATF-2 aktivator
kompleks protein-1 (AP-1). Jalur AP-1 yang terlibat dalam regulasi pro-apoptosis seperti TNF-,
Fas-L dan Bak [50]. ROS juga meningkatkan aktivasi JNK melalui interaksi langsung dengan
mediator JNK, ASK1 [51]. Dalam kondisi normal, ASK1 tetap tidak aktif melalui pengikatan
dengan thioredoxin (Trx), a ubiquitously expressed protein with a reduction/oxidation active site
sequence.
3.2 Gangguan Sawar Otak
Sawar otak adalah penghalang permeabilitas yang sangat selektif yang memisahkan darah
dengan cairan ekstraseluler otak di SSP. Sel kapiler endotel, dihubungkan dengan tight junctions

dan dikelilingi oleh lamina basal dan ujung astrositik, membentuk sawar otak [52]. Sawar otak
memungkinkan H2O, beberapa gas, dan molekul yang larut dalam lemak dalam difusi pasif, dan
transportasi selektif dari molekul seperti glukosa dan asam amino yang penting untuk fungsi
neuronal yang melindungi otak dengan mencegah masuknya neurotoxins [53].
Saat iskemik serebral reperfusi, ROS (dengan mekanisme yang dijelaskan sebelumnya)
Merusak sawar otak. Protease, sebagian bertanggung jawab atas kerusakan sawar otak yang
dihasilkan saat iskemik. Matrix metalloproteinases (MMPs) expressed in microvascular
endothelial cells are a family of proteolytic enzymes, of this family MMP-2 and -9 play key roles
in the degradation of the vascular matrix as they digest type IV collagen and laminin, major
components of vascular basement membranes [55]. ROS yang dihasilkan dalam endotelium
selama iskemik menyebabkan aktivasi MMP, baik secara langsung melalui oksidasi atau
nitrosylation MMPs atau tidak langsung melalui action on the redox-sensitive element dari faktor
transkripsi (seperti NF-kB dan AP-1) yang diketahui menjadi bagian integral dari tempat
perlekatan untuk transkripsi MMP [56]. Selain kerusakan basal lamina, expression of the tight
and adherent junction proteins bertanggung jawab atas interaksi sel-sel dalam vascular otak yang
menurun saat iskemia by changes in both intra- and extracellular konsentrasi ion Ca2 [5759]. Rendahnya kadar [Ca2+] menyebabkan

hilangnya kalsium dari tempat perlekatan di

domain ekstrasellular E-cadherin dari adherent junctions, menyebabkan perubahan konformasi


yang merusak sel-sel adhesi dan merangsang kerusakan sawar otak [60]. Dalam ruang
perivaskular, sel mast melepaskan mediator vasoaktif seperti histamin dan protease, memicu
terjadinya kerusakan dari lamina basal dari parenkim otak. Makrofag melepaskan mediator
proinflamasi di ruang perivascular yang memicu terjadinya ekspresi lanjut dari molekul adhesi
pada sel endotel, resulting in more leukocyte adhesion, protease release and subsequent
infiltration through the now permeable BBB [6163].

3.3 Respon Imun


Selama serebral iskemik proses inflamasi dimulai dalam pembuluh darah yang tersumbat.
Dalam neurovaskular, timbulnya iskemia memicu produksi ROS yang mengaktifkan trombosit
dan sel endotel [64,65]. Dalam beberapa menit setelah terjadinya iskemik, sinyal-sinyal proinflamasi dengan cepat dihasilkan oleh translokasi dari molekul adhesi p-selectin to the
membrane of the ROS-activated platelets and endothelial cells within the neurovascular unit

[66]. Dalam sel endotel, penurunan bioavailabilitas NO (seperti yang dibahas sebelumnya dalam
ulasan ini) menyebabkan vasokonstriksi, kemudian akan mengurangi aliran darah ke lokasi
iskemik dan menyebabkan agregasi platelet-leukosit. In addition to endothelial derived NO
mediated vasoconstriction, oxidative stress within the contractile cells of the capillaries (the
pericytes) results in further constriction of the microvasculature [67]. Trombin yang dihasilkan
oleh ROS-activated platelets menyebabkan konversi fibrinogen menjadi fibrin, the resultant
build up of fibrin traps platelets and leukocytes forming clots leading to further microvascular
occlusions, dan memperburuk iskemik [68].
Dalam mikroglia parenkim otak, sebagai sel-sel imun bawaan dari SSP merupakan
sumber dari produksi dan pelepasan mediator inflamasi. Pada menit-menit saat terjadinya
serebral iskemik, terjadi peningkatan akumulasi dari ATP atau UTP pada ruang ekstraselular
parenkim otak sebagai akibat dari excitotoxicity, edema dan kerusakan membrane neuronal [69].
Peningkatan ATP ekstraseluler mengaktifkan reseptor P2X7 dari mikroglia, yang menyebabkan
terjadinya pelepasan dari mediator pro-inflamasi, seperti sitokin, ROS dan NO [70].
Dalam kondisi normal, interaksi sel-sel antara neuron dan mikroglia mempertahankan
polarisasi dan quiescence dari mikroglia tersebut. For example, the membrane protein CD200
expressed on neurons interacts with the CD200R on microglia and enforces the resting
phenotype [71]. Selama iskemik, ekspresi protein ini berkurang sehingga memicu dari aktivasi
microglia. In a similar fashion, the cell-surface bound neuronal chemokine, CX3CL1, acts on the
microglial CX3CL1 receptor promoting quiescence during normal respiration [72]. Dengan
demikian, selama iskemia serebral hilangnya interaksi ini akibat kerusakan matriks, melepaskan
mikroglia dari supresi dan memicu respon inflamasi.
Pada tahap berikutnya pada stroke iskemik, sinya-sinyal molekular dilepaskan dari
kompartemen intraseluler sel-sel yang mati dan diproduksi dar pencernaan protein matriks,
dikenal sebagai

danger-associated molecular pattern molecules (DAMPs) [73]. DAMPs

bertindak sebagai Toll-like receptors dan scavenger receptors di microglia, makrofag


perivascular dan sel endotel otak untuk merangsang pelepasan lebih lanjut dari mediator proinflamasi seperti IL-6 dan TNF melalui aktivasi NF-kB. Selain itu, sel dendritik utama dari
DAMPs, interaksi ini menunjukkan the main cross over antara imunitas bawaan dan adaptif pada
saat terjadinya iskemik. Walaupun respon imun pada saat stroke is classically thought of in the
direction of infiltration from the circulation to the brain parenchyma, ada kemungkinan bahwa

pada saat banyaknya vaskularisasi di otak, mediator-mediator inflamasi dilepaskan dari parenkim
otak dan akan memberikan feed back ke unit perivascular and the vasculature, reinforcing
infiltration of the circulating inflammatory mediators.
4. Antioxidant Strategies
Dalam jaringan otak normal, ROS terus diproduksi selama proses fisiologis tetapi
seimbang dengan mekanisme pertahanan antioksidan. Setelah cedera iskemik serebral, produksi
radikal bebas sangat meningkat dan menyebabkan ketidakseimbangan sistem antioksidan;
mekanisme detoksifikasi tidak diaaktifkan dan oksidan diproduksi berlebihan. Peningkatan kadar
ROS setelah serebral iskemik mengakibatkan stres oksidatif

dan cedera pada neuron [75]

membuat radikal bebas sebagai target terapi yang valid, dan banyak penelitian telah
memfokuskan pada penilaian terhadap efek terapi antioksidan. Ada tiga mekanisme kerja dari
antioksidan yaitu, (i) penghambatan produksi radikal bebas (ii) scavenging of free radical
production, (iii) meningkatkan degradasi radikal bebas [76]. Antioxidant strategies can either
focus on the upregulation of endogenous antioxidants or on the delivery of exogenous
antioxidants.
4.1. Penghambatan Produksi Radikal Bebas
In this approach, the source of disease promoting ROS generation is targeted by specific
inhibitors of ROS generating enzymes. Salah satu sumber utama produksi ROS saat serebral
iskemik/ cedera reperfusi adalah NADPH oksidase (NOXs). Penghambatan kompleks NADPH
oksidase dengan agen farmakologis apocynin sebelum reperfusi menunjukkan prior to
reperfusion has demonstrated an attenuation in cerebral ischaemia in rat models of experimental
stroke [77,78] melihat peran NOX pada cedera otak. Ada tujuh homolog dari NOX, dengan
NOX2 dan NOX4 baik terbukti diregulasi pada cedera I / R [79,80]. NOX2 dikenal untuk
memfasilitasi produksi superoksida, sementara NOX4 menghasilkan hidrogen peroksida
[81]. NOX2 knockout (KO) mice ditemukan memiliki penurunan volume lesi dan meningkatkan
neurologis outcome pada 24 jam dan 72 jam pasca iskemik dengan penurunan dari stres oksidatif
dibandingkan dengan subjek kontrol [21,82,83]. Tikus yang kekurangan NOX4 telah
menunjukkan efek protektif di kedua jenis oklusi baik yang bersicfat sementara maupun

permanen pada 24 jam pasca stroke [84]. Selanjutnya, penghambatan farmakologi dari TLR4NOX4 menyebabkan berkurangnya ekspresi dari NOX4 dan penurunan volume daridaerah infark
serebral sampai 40% [85]. Terdapat perbedaan pendapat mengenai peran NOX1 pada Stroke.
Penelitian telah menunjukkan NOX1 memiliki peran protektif pada cedera iskemik dengan
NOX1 KO mice displaying a four-fold greater cortical infarct volume than WT mice [86].
Demikian pula, tidak ada perlindungan (meskipun tidak ada perburukan) from experimental
stroke was described following tMCAO in NOX1 KO mice in a further study [84]. Sebaliknya,
Kahles et al. (2010) menunjukkan pengurangan 55% dalam ukuran lesi setelah 1 jam dari
iskemik pada NOX1 KO tikus dan perbaikan neurologis dibandingkan dengan tikus subjek
kontrol [87]. Menariknya, tidak ada perbedaan volume lesi antara subjek kontrol dan tikus
NOX1 KO yang diamati ketika waktu oklusi adalah diperpanjang untuk 2 jam dan seterusnya
[87]. Secara bersama-sama, data ini menunjukkan a functional importance untuk NOXs di cedera
I / R dan dengan demikian merupakan target terapi baru, terutama karena selain perannya dalam
produksi ROS, mereka tidak memiliki fungsi penting lainnya [88]. NOX inhibitors diketahui
non-spesifik dan tidak isoform selektif; whilst this may not ultimately be important for the
treatment of stroke, the development of selective NOX inhibitors would help to validate the role
of the various NOX isoforms in stroke [89].
Xanthine oksidase (XO) adalah enzim lain yang terlibat dalam jalur sinyal redoks dan
sumber penting dari ROS dalam pengaturan cedera otak. Penghambatan XO adalah terapi yang
potensial untuk pengobatan serebral iskemik. Allopurinol adalah sebuah XO inhibitor yang
umum digunakan yang tidak hanya mengurangi kadar asam urat, tetapi juga mengurangi kadar
pembentukan anion superoksida. Uji coba awal dengan obat ini menjanjikan; pasien yang diobati
dengan allopurinol menunjukkan peningkatan vaskular [90] dan efek menguntungkan pada
indeks inflamasi dibandingkan dengan plasebo [91]. Namun, dalam percobaan double-blind acak
untuk menyelidiki efek dari allopurinol pada penderita stroke subkortikal baru-baru ini,
didapatkan tidak ada perbaikan dalam fungsi serebrovaskular [92].
4.2. Free Radical Scavengers
Compounds capable of scavenging free radicals telah dikembangkan untuk pengobatan stroke
iskemik walaupun penelitian preklinis mendapatkan hasil yang memuaskan, pada uji klinis

hasilnya mengecewakan. Salah satu senyawanya adalah Tirilazad mesylate (U-74006F), inhibitor
peroksidasi lipid yang dipelajari secara ekstensif saat uji pra klinis pada pertengahan 1990-an
dan terbukti mengurangi ukuran infark di tikus pada iskemi tetapi oklusi yang terjadi tidaklah
permanen [93,94]. Sebuah meta analisis yang dipublikasikan sebelumnya pada tahun 2007 [95],
menunjukkan peningkatan ukuran lesi dan perbaikan neurologis. Di 19 penelitian, tirilazad
menunjukkan pengurangan ukuran lesi dengan rata-rata 29% dan perbaikan neurologis sebesar
48% [95]. Keefisiensi tirilazad diamati bila diberikan sebelum iskemik, dengan hasil efisiensi
tirilazad berkurang dibandingkan dengan pemberian saat terjadinya iskemik. Uji klinis terbesar
dari trilazad menggunakan sampel penelitian 660 pasien, dimana trilazad diberikan 6 jam
sebelum terjadinya serebral iskemik [96]. Kecatatan diukur dengan menggunakan skala Glasgow
dan indeks Barthel pada 3 bulan menunjukkan tidak ada perubahan antara kelompok independen,
dan penelitian tersebut dihentikan. Lalu penelitian tersebut menunjukkan bahwa wanita
memetabolisme trilazad sampai 60% lebih efisien dibandingkan pria, dan itu mungkin
dikarenakan obat yang dimasukkan tidak cukup tinggi untuk neuroproteksi, mengurangi efikasi
dalam penelitian [97]. NXY-059 adalah contoh lain dari obat yang menunjukkan hasil yang
menjanjikan saat percobaan pra-klinis tapi gagal menunjukkan efikasi pada percobaan
klinis. Sejumlah penelitian pra-klinis mengkonfirmasikan bahwa spin trap NXY-059, baik dalam
pengurangan infark dan pemulihan neurologis di berbagai tipe stroke pada tikus [98-100] dan
hewan primate lainnya [101102]. Spin trap adalah teknik yang memungkinkan scavenging of
free radicals. Tenik tersebut melibatkan penambahan radikal bebas, to a nitrone spin trap
menghasilkan pembentukan of a spin adduct, tanpa pembentukan radikal bebas lainnya dan dapat
menghentikan radical chain reactions. Setelah penelitian pra-klinis yang banyak dan sukses,
NXY-059 diteliti dalam dua penelitian acak dan double-blinded. Percobaan pertama (SAINT I)
melibatkan 1722 pasien [103], dan berikutnya melibatkan 3306 pasien [104]. Dalam kedua
percobaan tersebut, pasien diberikan NXY-059 atau placebo selama 72 jam, mulai dalam waktu 6
jam dari timbulnya serebral iskemik. SAINT I menunjukkan perbaikan yang signifikan pada
pasien yang menerima NXY-059 yang dinilai dengan Rankin score yang dimodifikasi, tapi tidak
saat dinilai dengan

skala NIHSS atau indeks Barthel. Namun, percobaan SAINT II yang

selanjutnya menunjukkan hasil seluruhnya negatif. Perbedaan dari hasil dari uji coba ini telah
dikaitkan dengan kelemahan statistic dari percobaan SAINT I [105,106] dan and the poor BBB
permeability of NXY-059 [107].Edaravone a free radical scavenger yang telah disetujui untuk

digunakan di Jepang sejak tahun 2001 [108] dan secara luas digunakan di klinik di Jepang untuk
pengobatan infark serebral [109]. It is known to scavenge peroxyl, hidroksil dan radikal
superoksida [110]. Meskipun radikal bebas diketahui sebagai kontributor utama dari
perkembangan lesi, efektivitas edaravone masih belum jelas. Penelitian pra-klinis menunjukkan
hasil yang menjanjikan dengan penurunan ukuran infark pada tikus [111-114]. Pada uji klinis
dengan subjek manusia, hasilnya tidak jelas. Pada penelitian multisenter, acak, kontrol dengan
placebo, double-blind pada pasien stroke iskemik akut, terdapat perbaikan klinis yang signifikan
pada semua pasien menerima edaravone [115]. Sebaliknya, pada pasien dengan stroke
kardioembolik yang diterapi dengan edaravone menunjukkan perbaikan minimal [116]. Pada
penelitian yang lebih lanjut untuk menilai efek dari edaravone pada serebral iskemik akut
maupun kronis, ukuran infark berkurang secara signifikan pada oklusi pembuluh darah kecil
dalam satu tahun; namun tidak halnya dengan perbaikan neurologis[117]. Drug dose and
therapeutic window for treatment is not consistent between all these trials and so a trial that
addresses these issues is warranted to fully assess the efficacy profile of edaravone in stroke
patients [109].
4.3. Degradasi Radikal bebas
Strategi yang ditujukan untuk mengurangi stres oksidatif dalam stroke dengan meningkatkan
kadar antioksidan SOD dalam penelitian eksperimental telah menunjukkan peran ROS dalam
perkembangan lesi. SOD mengkatalisis konversi dari O2 menjadi H2O2 and O2. Katalase
(CAT) dan glutathione peroksidase (GPx) membantu menghilangkan produk lain dari H2O2,
sehingga meningkatkan efektivitas keseluruhann SOD [118]. CAT yang berlebihan oleh vektor
adenoviral [119] dan transduksi dengan PEP-1-CAT protein fusi [120] keduanya menunjukkan
neuroproteksi secara in vitro terhadap cedera I / R.

Selanjutnya, katalase yang berlebihan

terbukti menjadi pelindung saat cedera iskemik pada tikus; namun perlindungan hilang saat after
the ischaemic insult [121]. Tikus transgenik mengekspresikan GPx dan menunjukkan penurunan
yang signifikan terhadap ukuran infark dibandingkan dengan tikus non-transgenik pada cedera I /
R [122123] sementara Gpx-1 knockout (KO) mice demonstrated a three-fold increase in infarct
volume [124]. Dari tiga isoform enzim SOD, SOD1 telah dipelajari paling dalam kaitannya
dengan stroke. Approaches to overexpress SOD1 using transgenic mice [125] and rats [37]
menunjukkan penurunan dari apoptosis pada stroke iskemik sementara. Sebaliknya, defisiensi

SOD1 pada knockout mice mengakibatkan kematian dalam waktu 24 jam dari MCAO di SOD1 / - tikus dan peningkatan luas infark dan edema di SOD1 +/- heterozigot dibandingkan dengan
kelompok kontrol [126]. Menggunakan terapi gen untuk overexpress SOD1 sebelum dan 2 jam
pasca-transien MCAO terdapat peningkatan signifikan terhadap kelangsungan hidup neuron
[127]. Selanjutnya, MCAO transien pada tikus transgenic overexpressing SOD3 mengakibatkan
penurunan ukuran infark dibandingkan dengan wild type mice [128]. SOD2 atau manganesecontaining superoxide dismutase, Mn-SOD adalah enzim antioksidan mitokondria. Whilst
homozygous SOD2 KO mice (SOD2/) Meninggal dalam waktu 10 hari setelah lahir [129],
heterozigot (SOD2+/-) meningkatkan kadar superoksida dan menunjukkan peningkatan luas
infark serebral iskemik dibandingkan dengan WT [130] Sehingga menunjukkan bahwa SOD2
melindungi terhadap kerusakan akibat stress oksidatif. Tikus transgenik yang mengekspresikan
SOD2 menunjukkan efek neuroprotektif pada iskemik transien [131]. SOD2 merupakan gen
yang merupakan target spesifik dari STAT3 dengan hilangnya aktivitas STAT3 akibat iskemik
dan menghasilkan penurunan ekspresi SOD2 [132]. Pemberian interleukin-6 (IL-6) sebelum dan
sesudah oklusi arteri serebri pada tikus mengembalikan aktivitas STAT3 memulihkan aktivitas
transkripsi dari promotor Mn-SOD melalui pemulihan STAT3; menunjukkan pengurangan dari
luas infark[133]. Dengan demikian hal tersebut mungkin memiliki potensi terapeutik terhadap
stres oksidatif pada infark serebral.
Ebselen merupakan inhibitor dari glutathione peroxidase, dan juga bereaksi dengan
ONOO-. Pada penelitian pre klinis dengan menggunakan tikus dan mendapatkan obat ebselen
[134] pada oklusi sementar, terdapat peningkatan iskemik dan defisit neurologis. Pascaperawatan di 30 menit setelah terjadinya iskemik pada tikus dengan oklusi permanen
menghasilkan perlindungan sederhana [136]. Namun, percobaan secara acak dan buta, dari 302
pasien stroke iskemik yang diberikan ebselen pada 48 jam pasca iskemik selama 2 minggu gagal
untuk meniru efek perlindungan yang terlihat pada percobaan pra-klinis selama 3 bulan,
meskipun perbaikan dalam kelompok ebselen diamati sebelum 1 bulan [137].
Penggunaan

antioksidan

baru

adalah

menghirup

gas

selama

atau

setelah

iskemia. Penggunaan gas hidrogen untuk mengurangi radikal hidroksil pada transien MCAO
menunjukkan pengurangan luas infark setalah 1 hari pasca oklusi dan peningkatan perbaikan
secara neurologis setelah 7 hari [138]. Pentingnya, pemberian gas selama reperfusi harus adekuat
unyuk mendapatkan hasil yang bermanfaat. Normobaric oxygen (NBO) di beberapa penelitian

telah menunjukkan hasil untuk mengurangi luas infark dan deficit neurologis pada tikus [139
141].
Selanjutnya, terapi kombinasi dengan NBO dan ethanol menunjukkan efek neuroprotektif
setelah cedera I/R pada tikus [143,144]. Pendekatan yang sama pada terapi iskemi adalah induksi
dari molekul protein NO. NO adalah molekul vasoaktif yang diproduksi oleh either endothelial
NO synthase (eNOS), inducible NO synthase (iNOS) or neuronal NO synthase (nNOS) dengan
NO berperan sebagai a dual contradictory di serebral iskemik [145,146]. NO yang berasal dari
eNOS memiliki efek neuroproteksi [67] dan dapat mengakhiri reaksi rantai selama peroksidasi
lipid, namun NO yang berasal dari iNOS berperan sebagai pro-oksidan dan bereaksi dengan
superoksida O2 untuk membentuk oksidasi/nitrasi molekul ONOO yang kuat dan akhirnya
memperburuk kematian sel. Pada penelitian terbaru menunjukkan inhalasi dari NO dapat
menurunkan kerusakan dari iskemik secara signifikan dan meningkatkan fungsi neurologis pada
tikus [148], murine models of cerebral ischaemia and a large animal model of ischaemic stroke
[149]. Pengobatan dengan gas mungkin memiliki beberapa keunggulan termasuk kemampuan
gas dengan cepat menembus biomembranes dan berdifusi ke dalam sitosol, mitokondria dan
nukleus [138].
Lubeluzole berperan untuk mengurangi kadar NO dan produksi ONOO- dalam sel
hipoksia melalui penghambatan jalur glutamate-mediated nitric oxide synthase [150]. Bukti dari
konsep ini dikonfirmasi melalui penelitian in vitro, lubeluzole melindungi baik hippocampal
[151] maupun neuron primer [152] dari kedua depolarisasi membran dan toksisitas nitrit oksida.
Selain itu, dalam penelitian pra-klinis stroke fotokimia parietal sensorimotor kortikal
pada tikus, lubeluzole menyelamatkan hindlimb ketika diberikan 5 menit setelah onset iskemik
dalam semua tikus dan 60% dari tikus bila diberikan selama 6 jam [153]. Dalam oklusi arteri
serebri (MCAO) penggunaan obat lubeluzole selama 15 menit setelah timbulnya stroke infark
menyelamatkan 50% dari stroke infark [154]. Ketika pengobatan lubeluzole diberikan 3 jam
setelah onset permanen MCA, infark berkurang 33% [154]. Pada uji klinis, lubeluzole di 193
pasien dihentikan lebih awal sebagai akibat dari ketidakseimbangan kematian pada kelompok
dosis tinggi (20 mg / hari) yang tidak tercatat pada kelompok dosis lebih rendah (10 mg / hari)
[155]. Tahun berikutnya percobaan multisenter acak dan buta ganda dari 721 pasien dilakukan di
Amerika Serikat dan Kanada, di mana pasien diacak untuk pemberian lubeluzole atau plasebo
dalam waktu 6 jam setelah onset iskemik. Kematian tidak meningkat pada 12 minggu.

[156].Hasil ini dikonfirmasi dalam penelitian yang sama yang memilik sample penelitian yang
sebanding pada tahun berikutnya [157]. Mengingat uji ini menghasilkan hasil yang positif,
sebuah studi klinis pada 1786 pasien dimulai, namun sayangnya tidak ada perbedaan yang
diamati antara lubeluzole atau plasebo pada kelompok primer atau sekunder [158]. Sebuah metaanalisis dari lima uji klinis dari lubeluzole melaporkan tidak ada perbaikan dari kematian atau
ketergantungan antara kelompok tersebut, tetapi melaporkan peningkatan yang signifikan dalam
gangguan jantung-konduksi, perpanjangan QT, pada subjek yang diobati dengan lubeluzole
[159].
4.4. Mitochondrial Targeted Anti-Oxidants
Matriks mitokondria adalah tempat penting dari pembentukan radikal bebas [160]. Mitokondria
telah dilaporkan berperan sebagai sumber utama ROS saat iskemik. Kerusakan oksidatif pada
mitokondria dapat mengakibatkan penurunan produksi ATP, peningkatan produksi ROS dan
pelepasan sinyal pro-apoptosis. MRC, yang terdiri dari empat kompleks membrane terikat (I-IV),
telah diidentifikasi sebagai salah satu potensi sumber produksi ROS [161]. Penghambatan
kompleks mitokondria I berperan untuk menghambat kerusakan oksidatif baik iskemik maupun
reperfusi yang dimediasi kerusakan oksidatif dan melindungi otak tikus dari hipoksia / iskemik
[19].
Kurangnya keberhasilan dalam penggunaan antioksidan sebagian dapat dijelaskan
dikarenakan kesulitan dalam mencapai konsentrasi yang tinggi di intraseluler [162].
Mitochondrial targeted antioxidants dapat menargetkan secara khusus the interior of the
mitochondrion dan berpotensi memperbaiki kerusakan oksidatif. Menargetkan antioksidan pada
mitokondria umumnya melibatkan konjugasi antioksidan untuk kation lipofilik untuk memicu
difusi dan akumulasi dalam mitokondria. Sejumlah antioksidan telah menargetkan mitokondria
dalam upaya untuk meningkatkan keefektivitas. Mitochondrial targeted vitamin E ditunjukkan
untuk melindungi sel-sel granula cerebellar secara in vitro dari etanol yang menyebabkan
kerusakan oksidatif [163]. Additionally, supplementation of bovine aortic endothelial cells with
mitochondrial targeted vitamin E mitigates peroxide-mediated oxidative stress and inhibits
apotosis [164].

Mitoquinone (mitoQ) merupakan turunan dari ubiquinone dan memiliki afinitas tinggi
untuk mitokondria [165]. MitoQ dikurangi menjadi ubiquinol dan telah ditemukan untuk menjadi
antioksidan yang efektif melindungi mitokondria dari kerusakan oksidatif dan apoptosis yang
disebabkan oleh H2O2 [166]. MitoQ

terbukti dapat menjadi pengobatan terapeutik pada

beberapa binatang dan manusia (Ulasan di halaman [167]). Pre treatment pada tikus dengan
iskemik pada jantung selama 2 minggu menunjukkan perlindungan pada jantung[168].
Selanjutnya, pemberian MitoQ10 mencegah hipertensi, hipertrofi jantung dan meningkatkan
fungsi endotel setelah pemberian secara oral pada tikus [169,170]. Pemberian MitoQ 10
mengurangi tingkat stres oksidatif dan kematian sel di otak tikus yang diinduksi dengan
perlakuan kimia dengan dichlorvos pestisida organofosfat [171]. Namun, dalam tikus bayi
dengan HI (Hipoksia/Iskemik) tidak ada perlindungan yang dilihat pada MitoQ [172]. Thus
mitochondrial targeted antioxidants mewakili perkembangan pada pengobatan stroke.
4.5. Upregulation of Endogenous Antioxidants
Vitamin antioksidan adalah salah satu mekanisme pertahanan alami utama tubuh terhadap
stres oksidatif. Vitamin E dan C adalah dua antioksidan alami yang paling banyak dipelajari. Diet
vitamin C sebagian besar diberikan melalui konsumsi buah dan sayuran dan memiliki peran
biologis sebagai donor hidrogen untuk membalikkan oksidasi. Salah satu bentuk vitamin C, asam
askorbat, ditemukan untuk melindungi otak tikus yang baru lahir dari cedera HI [173]. Pada
penelitian yang melibatkan banyak hewan, pemberian asam dehidroaskorbat tidak secara
signifikan mengurangi volume infark atau meningkatkan hasil neurologis dan penelitian
dihentikan lebih dini [174]. Dalam penelitian terbaru, ditemukan bahwa 4 minggu prapengobatan tikus spontan stroke yang rawan hipertensi dengan vitamin C dan E menurunkan
tingkat peroksidasi lipid dan volume infark secara signifikan menurunkan MCAO [175]. Dalam
penelitian observasi manusia, ditetapkan bahwa peningkatan kadar plasma vitamin C berkorelasi
dengan penurunan resiko stroke [176-178]. Namun, dalam uji kontrol acak, pasien yang
menerima suplemen vitamin antioksidan ditemukan tidak ada perbedaan dalam kejadian stroke
dibandingkan dengan mereka yang menerima plasebo [179-181]. Hasil yang sama ditemukan
untuk suplemen vitamin E dengan meta-analisis dari uji kontrol acak menunjukkan tidak ada
manfaat pada kejadian stroke pada pasien yang menerima suplemen dibandingkan dengan

mereka yang menggunakan plasebo [182,183]. Data ini menunjukkan bahwa penggunaan
suplemen vitamin antioksidan tidak layak untuk pengobatan stroke.
Hipoksia-inducible factor 1 (HIF-1) merupakan mediator yang penting dalam stroke dan
bertanggung jawab untuk induksi gen yang terlibat dalam respon kelangsungan hidup sel
terhadap hipoksia [184]. Efek neuroprotektif dari HIF-1 telah didokumentasikan dengan baik
dalam penelitian pra-klinis. Otak 24 jam sebelum iskemik telah terbukti mengurangi volume
infark sampai 30% [185] melalui peningkatan ekspresi HIF-1 dan gen target [186]. Selain itu,
pra-pengobatan pada tikus dengan deferoxamine, peragngsan HIF-1, menunjukkan perlindungan
yang signifikan terhadap cedera iskemik [187,188]. Efek ini juga dapat dikaitkan dengan
kemampuan deferoxamine untuk chelate Fe2+ dan menghambat pembentukan OH radikal
melalui reaksi Fenton.

Fungsi yang tepat dan mekanisme neuroglobin (NGB), golongan superfamily dari globin,
tetap sulit dipahami namun peningkatan regulasi telah terbukti menjadi neuroprotektif dalam
sejumlah penelitian secara in vivo pada iskemia otak. Percobaan pada tikus yang
mengekspresikan NGB menunjukkan efek neuroprotektif dalam penurunan volume infark dan
mengurangi kadar peroksidasi lipid [189] dan iskemik [190]. Adenovirus memediasi ekspresi
NGB serta mengurangi ukuran infark dan meningkatkan fungsi neurologis 24 jam pasca-stroke
pada tikus [191]. Penggunaan sel penetrasi peptida untuk menyalurkan NGB melewati sawar
otak pada tikus secara signifikan mengurangi ukuran lesi dan meningkatkan pemulihan
neurologis ketika diberikan [192]. Tidak ada perbaikan terlihat ketika diberikan pasca stroke.
Dalam penelitian terbaru untuk menilai efek terapi kombinasi dari antiapoptosis antiapoptotic
kinase c-Juni N-terminal (JNK) inhibitor dan neuroglobin antioksidan (NGB), gabungan
pengobatan tersebut mengurangi ukurann infark dan meningkatkan fungsi neurologis lebih dari
terapi tunggal secara in vivo pada tikus stroke [193]. Ini menunjukkan bahwa terapi kombinasi
lebih menguntungkan.
4.6. Terapi Kombinasi

Few patients receive this treatment, as a result of its narrow treatment window of 4.5 h
post-stroke [194], tidak ada satupun antioksidan telah lulus dalam uji klinis di Inggris dan satusatunya terapi yang dietujui yaitu tissue-plasminogen activator (tPA). Beberapa pasien yang
menerima terapi ini, as a result of its narrow treatment window of 4.5 h post-stroke [194],
membuat stroke menjadi penyakit yang kurang diobati. Sebuah strategi yang menjanjikan dalam
pengobatan stroke adalah identifikasi agen yang bila digunakan secara kombinasi mungkin dapat
meningkat keberhasilan dalam penanganan stroke dibandingkan dengan terapi tunggal.
Pendekatan ini telah terbukti berhasil dalam penyakit lain seperti pada CVD.
Seperti banyak penelitian mengenai neuroprotective telah gagal karena dose-limiting
toxicity, terapi kombinasi dapat menurunkan dosis yang diperlukan untuk setiap agen sehingga
mengurangi efek samping. Telah terbukti bahwa kombinasi dengan protein C aktif mengurangi
toksisitas tPA terkait neurovascular toksisitas sehingga meningkatkan keberhasilan dalam
pengobatan stroke [195].
Meskipun rumitnya desain penelitian, terapi multimodal akan memungkinkan
menargetkan beberapa mekanisme patofisiologi. Memang, studi kami sendiri pada stroke
menggabungkan terapi stem cell dan menargetkan stres oksidatif dan matriks metaloproteinase
dan kami menemukan bahwa terapi dengan kombinasi tiga obat lebih efektif daripada terapi
tunggal atau ganda [196]. Selain itu, penelitian kami sebelumnya membahas mengenai
penggabungan antioksidan NGB dengan JNK inhibitor antiapoptotic menunjukkan perbaikan
pada iskemik dengan terapi kombinasi dibandingkan dengan terapi tunggal [193].
Memang, sebagian besar studi pra-klinis menunjukkan bahwa pengobatan dengan
trombolitik adalah suboptimal jika tidak dikombinasikan dengan agen neuroprotektif. Walaupun
aditif tetapi juga efek sinergis telah ditunjukkan oleh kombinasi trombolitik dengan
neuroprotectants dalam model pra-klinis termasuk the free radical spin trap -Phenyl-tert-butylnitrone (PBN) [197].
Dalam percobaan ini, perdarahan akibat tPA berkurang 40% dengan alpha-PBN, dan
infark dan defisit neurologis juga menurun. PBN juga telah digunakan dalam kombinasi dengan
antagonis reseptor NMDA (MK-801) dalam penelitian in vitro dari OGD dan menunjukkan efek
sinergis substansial dalamterapi

kombinasi [198]. Penggunaan tPA dalam terapi kombinasi

dengan free radical scavenger edaravone mencegah penurunan kadar faktor protein yang

berkaitan dengan neurorepair dan neuroregeneration dan penurunan volume infark ketika kedua
diberikan pada pembedahan yang dilakukan pada tikus yang stroke[199].
Namun, pemberian NBO dalam kombinasi dengan tPA tidak menunjukkan adanya efek
neuroprotektif yang bermanfaat pada tikus yang mengalami stroke tromboemboli [200]. Volume
kerusakan otak akibat iskemik dan pembengkakan pada hewan percobaan ini setara dengan
hewan kontrol and greater than that of tPA- and NBO- treated animals suggesting this may not be
a safe strategy. Efek sinergis telah diamati dengan dua antioksidan yang berbeda, U-74389G dan
U-101033E. tikus Sprague Dawley menjadi subjek penelitian dalam pemberian 90 min tMCAO,
dan pengobatan diberikan 15 menit sebelum iskemik, selama 15 menit saat iskemik dan 45
menit setelah iskemik. Peningkatan sinergis diamati dalam pemulihan fungsional tapi tidak ada
perbaikan dengan terapi kombinasi terhadap ukuran lesi pada 7 hari [201].
Sebuah meta-analisis dari terapi kombinasi yang digunakan dalam penelitian stroke yang
menemukan bahwa dari 126 perawatan diuji, terapi tunggal mengurangi ukuran infark sebesar
20% dan meningkatkan nilai neurologis sebesar 12% dibandingkan dengan kontrol; sementara
terapi kombinasi meningkatkan efikasi dengan tambahan 18% dan 25%, masing-masing [202].
Ketika digunakan dalam kombinasi dengan trombolitik, terapi gabungan dapat meningkatkan the
therapeutic time window terapi hingga 8,8 jam dalam uji pada hewan [202]. Kombinasi dari agen
neuroprotektif merupakan bidang yang relatif baru dari terapi stroke, dengan potensi
keberhasilan yang sangat besar.
4.7. Alasan Kegagalan?
Meskipun kemajuan dalam pemahaman tentang patofisiologi stroke dan upaya besar
dalam penelitian mengenai terapi stroke, banyak uji klinis telah gagal terlepas dari keberhasilan
mereka pada tahap pra-klinis [203]. Alasan di balik ini tidak jelas, tetapi sejumlah faktor dapat
berperan dalam anomali ini, misalnya faktor-faktor seperti, tipe hewan, monitoring dan
pengukuran hasil; mayoritas penelitian pra-klinis dilakukan pada hewan muda, hewan jantan
tanpa komorbiditas [202]. Untuk alasan ini, dan dalam rangka untuk mengatasi masalah ini,
konferensi akademisi dan perwakilan industri diselenggarakan untuk menyarankan beberapa

pedoman untuk evaluasi terapi pra-klinis dikenal sebagai Stroke Terapi Akademik Industri
Roundtable (STAIR) awalnya pada tahun 1999 [204], dan ditinjau pada tahun 2009 [205].
Sebuah tinjauan sistematis oleh O'Collins dkk. pada tahun 2006 [206] dari ~ 3500 artikel
yang diterbitkan mengenai berbagai neuroprotektif antara tahun 1957 dan 2003 menunjukkan
bahwa hanya lima dari 550 obat dilaporkan efektif sepenuhnya memenuhi standar yang
ditetapkan oleh pedoman STAIR [206]. Salah satu temuan utama dalam review tersebut adalah
kurangnya pengacakan dan penyamaran, sehingga menghasilkan manfaat terapi yang berlebihan.
Bahkan, meskipun telah ada tren terhadap peningkatan dalam desain penelitian stroke, hanya
36% dari studi melaporkan adanya pengacakan, 11% melaporkan adanya penyamaran, 29%
report blinded assessment of outcome, and 3% reported use of power calculations in generation
of sample size [207]. Untuk meningkatkan kesempatan untuk menyukseskan penelitian pra-klinis
menjadi klinis, adalah penting untuk memperbaiki desain penelitian dan untuk menguji di
berbagai model karena tidak ada model tunggal yang dapat mewakili sifat heterogen stroke
[208].
5. Kesimpulan
While there is no disputing the deleterious effects and detrimental contribution of ROS to
lesion progression following ischaemic stroke there remains doubt over the clinical efficacy of
anti-oxidants in this setting. Many strategies have proved therapeutic in the pre-clinical setting
with translation to the clinic failing to replicate benefit. Efforts to improve the validity of existing
animal models through the revised STAIR [205], pre-clinical stroke [209] and ARRIVE [210]
guidelines along with the potential implementation of international multicentre pre-clinical
stroke studies [211] will, undoubtedly, result in improved clinical translation for stroke
therapeutics. However, many potentially beneficial antioxidant strategies with proven efficacy
from robust animal studies remain worthy of clinical investigation. Advances in knowledge of
the source and nature of these ROS will lead to further new directions to interrogate. Finally, the
potential to combine anti-oxidant protection with existing thrombolytics and novel
neuroprotectants has yet to be fully established and may represent a powerful means to improve
outcome after this devastating and debilitating ischaemic event.
Acknowledgments

The authors thank the MRC (G1100562) and The Wellcome Trust Institutional Strategic Support
Fund (ISSF) for funding.
Author Contributions
E.N.J.O., R.S. and L.M.W. prepared the manuscript.
Conflicts of Interest
The authors declare no conflict of interest.

Anda mungkin juga menyukai