Anda di halaman 1dari 77

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi pembangunan dan


menjadi penentu kemakmuran sebuah negara karena pendidikanlah yang akan
menghasilkan insan-insan yang kompeten untuk melaksanakan pembangunan dan
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, dan negara berkewajiban
memberikan pendidikan yang layak bagi seluruh warga negaranya.
Tujuan Pendidikan di Indonesia sangat luhur sebagaimana dituangkan dalam
UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yakni bahwa, Pendidikan nasional
bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah
air. Namun sampai saat ini tujuan tersebut belumlah menjadi kenyataan, dan
sepertinya masih sebatas harapan, karena pada kenyataannya masih begitu banyak
ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan kesejahteraan masyarakat masih
rendah.
Kondisi pendidikan Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, hal ini terlihat
dari peringkat Human Development Index (HDI) 2010 di mana Indonesia masih
berada dalam kategori negara sepuluh terbawah untuk wilayah east asia Pasifik

Tabel 1.1
Peringkat Human Development Index Wilayah East Asia Pasific
10 Highest HDIs
No

Negara

10 Lowest HDIs
HDI 2010

Very high human development

No

Papua New Guinea

0,937

0,907

0,884

Medium human development

0,877

New Zealand

HDI 2010

Low human development

Australia

Negara

0,431

Myanmar

0,451

Japan

3
South Korea

Cambodia

Hong Kong

0,862

0,846

0,805

Singapore

0,494
Laos

Brunei

0,494
Solomon Islands

0,497
Timor-Leste

0,502
Vietnam

High human development

Palau

0,572
Indonesia

0,757

0,744

0,600

Malaysia

9
Tonga

10
0,677
Sumber: wikipedia,akses 23 september 2011

10

Micronesia,
Federated States of
Mongolia

0,614

0,622

Perguruan tinggi adalah institusi yang didedikasikan untuk: (1) menguasai,


memanfaatkan, mendiseminasikan, mentransformasikan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks), (2) mempelajari, mengklarifikasikan dan
melestarikan budaya, (3) meningkatkan mutu kehidupan masyarakat(BAN-PT,2008).
Selain itu perguruan tinggi merupakan tempat berjalannya tridarma perguruan tinggi

yakni pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat serta merupakan


tempat berkumpulnya aset-aset intelektual. Perguruan tinggi adalah organisasi yang
berbasis pengetahuan karena dalam aktivitas kesehariannya perguruan tinggi
melibatkan proses penciptaan, penyebaran dan proses belajar pengetahuan. Hal
senada dikemukakan oleh Rowley(2000) yang menyatakan bahwa pada dasarnya
perguruan tinggi merupakan organisasi yang dicirikan oleh creating knowledge,
dissemination dan learning organization.
Untuk menopang dedikasi dan fungsi tersebut maka BAN-PT(2008)
mengatakan perguruan tinggi harus mampu mengatur diri sendiri dalam upaya
meningkatkan dan menjamin mutu secara terus menerus, baik unsur masukan, proses
maupun keluaran berbagai program dan layanan yang diberikan kepada masyarakat.
Saat ini perguruan tinggi menghadapi perubahan yang signifikan, di mana
tuntutan dari para stakeholder lebih meningkat. Generasi muda sebagai penentu
kehidupan berbangsa dan bernegara akan ditentukan oleh kemampuan perguruan
tinggi dalam menghasilkan alumni-alumni berkualitas. Untuk itu aktivitas
penangkapan pengetahuan yang aktif melalui media elektronik, meningkatkan budaya
membaca, kegiatan bedah buku, seminar, dialog, diskusi yang bisa dilakukan dalam
interaksi sehari-hari, pengembangan dan penciptaan pengetahuan melalui penelitian
dan pengabdian masyarakat harus didorong dan ditingkatkan terus. Ini didukung oleh
Loh Benjamin et. al.(2003) bahwa pengembangan dan transmisi knowledge
merupakan peran sentral dan tanggung jawab universitas.

Penulis meyakini bahwa faktor sumberdaya yang dimiliki masing-masing


perguruan tinggi tidak terkecuali sumberdaya manusia memegang peranan penting
dalam menentukan keberhasilan sebuah perguruan tinggi.

Untuk itu diperlukan

sebuah strategi yang tepat agar potensi yang dimiliki sumberdaya manusia mampu
dieksplore dengan lebih baik. Konsep RBV mendukung hal ini di mana menurut
konsep ini sebuah organisasi akan meraih keunggulan karena adanya berbagai
perbedaan dari segi sumberdaya dan kapabilitas. Pengetahuan yang dimiliki manusia
merupakan sumberdaya yang diyakini mampu memenuhi kriteria VRIO (Valuable,
Rare, Inimitate, Organizational) dari Barney (1991) di mana kriteria ini akan
membuat sebuah organisasi meraih keunggulan bersaing.
Pengetahuan merupakan salah satu intangible asset yang sangat penting dan
memiliki nilai strategis. Dengan memahami hal ini seharusnya perguruan tinggi dapat
memanfaatkan knowledge sebagai sumberdaya dalam usaha pencapaian tujuantujuannya yakni peningkatan kualitas bagi seluruh stakeholder. Knowledge
management seharusnya dijadikan strategi kesuksesan organisasi. Knowledge
management (McShane,2008),

sebagai aktivitas terstruktur guna meningkatkan

kapasitas organisasi untuk mendapatkan, membagi dan menggunakan pengetahuan


agar mampu bertahan/survive seharusnya digunakan sebagai penggerak terlaksananya
tridarma perguruan tinggi karena perguruan tinggi yang sukses adalah perguruan
tinggi yang mampu dan konsisten menghasilkan pengetahuan baru, menyebarkannya
dan mengimplementasikan dalam teknologi/produk baru.

Peran pemimpin dalam suksesnya pelaksanaan Knowledge management


sangat penting. Pemimpin selain menjadi perumus visi, misi dan sasaran organisasi
pemimpin juga berperan dalam menentukan strategi pencapaiannya dan mengarahkan
anggota organisasi kepada pencapaian tujuan tidak terkecuali dalam hal pengelolaan
pengetahuan. Kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi dan memotivasi anggotanya agar mau memberikan kontribusi pada
pencapaian tujuan organisasi, McShane(2008), Dessler(2004) dan Certo(2009). Dari
pengertian ini jelas tergambar bahwa perilaku seluruh anggota organisasi serta
tercapainya tujuan akan sangat ditentukan oleh kemampuan seorang pemimpin Hal
ini tentu terkait dengan keterlibatan para anggota dalam berbagai aktivitas-aktivitas
penting dalam organisasi ataupun partisipasi aktif mereka dalam melaksanakan
strategi pencapaian tujuan.
Faktor organisasional yang juga perlu dikaji adalah terkait budaya organisasi.
Budaya organisasi dapat memfasilitasi pengelolaan pengetahuan sebagaimana
dikemukakan oleh Chih-Chien Wang(2004) yang mengatakan bahwa organizational
culture is for facilitating knowledge sharing. Perubahan yang terus terjadi dan
tantangan yang semakin besar menuntut organisasi untuk selalu belajar karena
organisasi yang sukses adalah organisasi yang mau belajar dan terus belajar. Untuk
itu pembelajaran seharusnya dijadikan sebagai budaya dalam organisasi sehingga
aktivitas keseharian dan tindakan seluruh anggota organisasi mencerminkan
pembelajaran yang terus menerus sehingga diharapkan kapasitas organisasi akan
semakin meningkat yang tentunya akan berdampak pada kinerja organisasi. Hal yang

sama dikemukakan Malik E.M, Rizwan Q and Ali Usman (2010) yang mengatakan
A Good Learning Culture will not only help employees to show high level of
performance but also keep those good employee in the organization.
Budaya pembelajaran organisasional adalah budaya atau nilai yang dianut
dalam organisasi yang mendukung pembelajaran yang terus menerus guna
mengembangkan kapasitas organisasi secara keseluruhan diyakini berpengaruh pada
pelaksanaan knowledge management, karena untuk meningkatkan keinginan belajar
diperlukan budaya organisasi yang mendukung proses pembelajaran sehingga dapat
memperoleh, mengembangkan serta mentransfer pengetahuan dengan mudah. Hal
senada dikemukakan Pool (2000) dan Hall (2001) suppose that during the process of
encouraging employees to want to learn, it is necessary for organizational culture to
support the organizational learning.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa baik kepemimpinan,
budaya pembelajaran organisasional dan pengelolaan pengetahuan memiliki peran
dalam pencapaian kinerja organisasi
Penulis berkeyakinan bahwa segala proses yang terjadi dalam sebuah
organisasi akan sangat ditentukan oleh mekanisme individual olehnya itu penulis
mencoba mengkaji konflik dan kepuasan kerja
memoderasi pengaruh

sebagai faktor yang dapat

kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional

terhadap pengelolaan pengetahuan.


Konflik muncul secara alami dalam sebuah organisasi dapat membuat
sejumlah individu merasa sangat frustasi dan tidak nyaman. Ketika konflik muncul
kepekaan perasaan meningkat, tujuan terabaikan, ego merupakan ancaman dan
menempatkan hubungan antar individu dalam posisi yang berbahaya, Schmitt and

Tannebaum (dalam Earnest W.G & McCaslin,2005). Konflik dapat bersifat


fungsional yakni mendukung pencapaian tujuan organisasi namun dapat juga bersifat
disfungsional yakni menghambat pencapaian tujuan organisasi. Tentu saja konflik
tidak harus dihilangkan namun harus dikelola agar bersifat lebih fungsional. Konflik
disfungsionallah yang harus diwaspadai karena memiliki kecenderungan kearah yang
lebih negatif. Konflik disfungsional memiliki karakteristik yang sama dengan
relationship conflict yakni sama-sama cenderung negatif jika dibandingkan dengan
task conflict. Konflik disfungsional dapat mengurangi keefektifan karyawan dalam
mendukung

pemimpinnya

khususnya

terkait

keterlibatan

mereka

dalam

melaksanakan knowledge management sebagaimana dikemukakan Newstrom (2002)


bahwa salah satu dampak negatif dari konflik adalah menurunnya tingkat
kepercayaan di mana kepercayaan sangat penting dalam sharing knowledge. Jadi
disfunctional conflict dapat menghambat knowledge management khususnya sharing
knowledge. Demikian pula pengaruh antara budaya pembelajaran organisasi terhadap
pengelolaan pengetahuan juga dapat dimoderasi oleh konflik, dalam hal ini meskipun
budaya pembelajaran telah ada dalam organisasi ataupun telah diakui dalam
organisasi tapi karena konflik disfungsional tinggi

maka keinginan anggota

organisasi untuk mengikuti budaya tersebut tidak akan maksimal, hal ini sesuai
temuan Alfonso (2000) dan Tuija (2004), bahwa konflik dapat menghambat proses
learning baik team ability learns maupun individual learning.
Kepuasan kerja dapat pula memoderasi baik pengaruh antara kepemimpinan
dan budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan.

Kepuasan kerja pada dasarnya adalah sikap atau kondisi emosi individu yang senang
terhadap pekerjaannya akan menentukan kesesuaian antara individu dengan
organisasi. Kepuasan kerja sangat perlu dikaji karena ketidakpuasan yang timbul
dapat menjadi masalah yang sangat serius bagi organisasi karena akan berdampak
langsung pada perilaku produktif dari karyawan. Ketika kondisi kepuasan tinggi
maka peran pemimpin akan semakin optimal begitu pula budaya pembelajaran
organisasi akan benar-benar menjadi pedoman dan mewarnai perilaku keseharian
anggota organisasi. Hal ini dikemukakan pula oleh Spector (dalam Ali Nazim, 2010)
Dissatisfied employee if remained in the organization may involve in counterproductive behavior. Dalam organisasi berbasis pengetahuan salah satu perilaku yang
tidak produktif adalah ketika keinginan untuk sharing knowledge masih kurang,
Perguruan tinggi di Sulawesi Selatan sampai saat ini nampaknya belum
mampu bersaing dengan perguruan tinggi lain di Indonesia khususnya di kawasan
Barat Indonesia, hal ini terlihat dari hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga
Pemeringkat Internasional di antaranya THE-QS, Webomentrics, 4icu dll. Tabel 1.2
berikut akan menunjukkan peringkat perguruan tinggi di Indonesia menurut 4ICU
Tabel 1.2
Peringkat 20 Besar Perguruan Tinggi di Indonesia
No Peringkat

Nama Perguruan Tinggi

1
Institut Teknologi Bandung,Bandung
2
Universitas Indonesia,Depok and other locations
3
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

4
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
5
Universitas Gunadarma ,Depok
6
Universitas Sumatera Utara, Medan
7
Universitas Diponegoro, Semarang
8
Universitas Bina Nusantara, Jakarta
9
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
10
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
11
Universitas Kristen Petra, Surabaya
12
Institut Pertanian Bogor, Bogor
13
Universitas Padjadjaran, Bandung
14
Universitas Islam Indonesia,Yogyakarta
15
Universitas Negeri Malang, Malang
16
Universitas Sriwijaya , inderalaya
17
Universitas Andalas,Padang
18
Universitas Airlangga, Surabaya
19
Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta
20
Universitas Muhammadiyah Malang, Malang

Sumber: 4 International Colleges & Universities 2011,akses 3 september 2011


Penggunaan indikator yang berbeda oleh lembaga-lembaga tersebut ternyata
tidak satupun menunjukkan PTN di Sulawesi Selatan masuk peringkat 20 besar. Hal
ini tentu menjadi tanggung jawab dari setiap perguruan tinggi khususnya di Sulawesi
Selatan untuk mencari solusi dan melakukan perubahan guna perbaikan ke depan.

10

Kemampuan perguruan tinggi dalam menghasilkan produk berkualitas dan


sesuai tuntutan stakeholder dalam hal ini pihak-pihak yang akan mempekerjakan
alumni dapat tergambar dari seberapa tinggi alumni yang dihasilkan dapat terserap
dalam dunia kerja. BPS Sulawesi Selatan secara rutin melakukan SAKERNAS
(Survei Angkatan Kerja Nasional) guna mengumpulkan data ketenagakerjaan. Berikut
data tentang pengangguran yang dikumpulkan melalui SAKERNAS (Survei
Angkatan Kerja Nasional) Provinsi Sulawesi Selatan.
Tabel 1.3
Penduduk Sulawesi Selatan Berumur 15 Tahun keatas dengan Pendidikan
Tertinggi Diploma/Akademi/Universitas dan Klasifikasi Pengangguran
Tahun

Pengangguran
terbuka

Setengah
Total pengangguran terbuka +
pengangguran
setengah pengangguran
terpaksa
terpaksa
2007
98.147
16.019
114.162
2008
53.561
21.947
75.508
2009
74.777
27.240
102.017
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Selatan,2007,2008,2009
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa pengangguran terbuka ditambah
setengah pengangguran terpaksa untuk kategori pendidikan tertinggi yang ditamatkan
adalah diploma/akademi atau perguruan tinggi

mengalami peningkatan pada tahun

2009. Kondisi ini menggambarkan kepada kita bahwa perguruan tinggi di Sulawesi
Selatan belum mampu menjawab salah satu tantangan yakni menghasilkan alumni
berkualitas sesuai tuntutan stakeholder penyedia lapangan kerja. Hal ini sekaligus
menggambarkan bahwa kinerja perguruan tinggi di Sulawesi selatan masih rendah.
Kondisi ini mendorong penulis untuk mencoba mengkaji berbagai faktor yang
mungkin menjadi penyebab terjadinya permasalahan tersebut.

11

Penelitian ini akan lebih difokuskan pada jenjang program studi sarjana
karena mutu program studi sarjana merupakan cerminan kinerja perguruan tinggi
secara keseluruhan. Hal senada dikemukakan oleh BAN-PT (2008) bahwa mutu
program studi sarjana merupakan totalitas keadaan dan karakteristik masukan, proses
dan produk atau layanan program studi sarjana yang diukur dari sejumlah standar
sebagai tolok ukur penilaian untuk menentukan dan mencerminkan mutu institusi
perguruan tinggi.
Untuk memahami berbagai kondisi terkait variabel yang diteliti maka
dilakukan prasurvei kurang lebih 1 bulan, antara bulan Juni sampai Juli 2011. Pra
survey dilakukan dengan cara wawancara dan penyebaran kuesioner yang dibagikan
pada 37 responden. Hasil prasurvei memberikan beberapa indikasi yang dapat
mempengaruhi pencapaian kinerja perguruan tinggi yang belum optimal.
Hasil prasurvei berdasarkan jawaban-jawaban dari sebagian besar responden
mengatakan bahwa perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan belum memiliki
infrastruktur yang layak terutama teknologi informasi dan komunikasi, perpustakaan
yang jauh dari kategori memadai, mengakibatkan para staf dan dosen lambat dalam
memperbaharui

pengetahuan mereka. Masih jarangnya mengundang pakar/ahli

akibatnya perguruan tinggi tidak mampu mengadopsi pengetahuan dari pakar yang
berpengalaman. Hal lain adalah kegiatan seminar/bedah buku yang pembicaranya
dari kalangan kampus dan diskusi-diskusi tentang perkembangan ilmu pengetahuan
juga masih jarang dilakukan, serta keinginan untuk saling sharing pengalaman dan
pengetahuan masih rendah, hal ini tentu akan berdampak pada terbatasnya

12

penggunaan pengetahuan dan bahkan menghambat proses pembentukan pengetahuan


baru. Kurangnya motivasi para dosen untuk melakukan penelitian dan penulisan, hal
ini berdampak pada terhambatnya pengembangan dan penciptaan pengetahuan baru
yang tentu saja sangat bertentangan dengan peran perguruan tinggi. Berbagai kondisi
ini mengindikasikan pengelolaan knowledge secara keseluruhan belum dilakukan
dengan baik khususnya dalam hal knowledge sharing dan knowledge creation.
Pimpinan yang sering tidak memberikan toleransi ketika bawahan melakukan
kesalahan, kebiasaan pimpinan menegur secara langsung ketika bawahan melakukan
kesalahan, komunikasi antara pimpinan dan bawahan yang belum berjalan dengan
baiki mengindikasikan bahwa kepemimpimpinan yang berjalan di perguruan tinggi
negeri di sulawesi selatan belum sesuai dengan apa yang diharapkan.
Fenomena lain yang diperoleh berdasarkan prasurvei adalah masih minimnya
keinginan dan kesadaran setiap individu untuk membantu orang lain belajar,
dukungan organisasi terhadap pembelajaran masih kurang, Kurangnya keinginan dari
setiap individu maupun organisasi untuk belajar dari kesalahan, bahkan malu ketika
melakukan kesalahan membuat mereka tidak berani bertindak akibatnya kreativitas
dan potensi mereka akan terpendam. Tidak tersedianya infrastruktur yang dapat
mendukung penyimpanan pengetahuan serta transfer pengetahuan mengakibatkan
kemampuan setiap orang memenuhi kebutuhannya akan informasi menjadi rendah,
kondisi ini mengindikasikan ketidakmampuan organisasi dalam membuat semua
bentuk pengetahuan dapat diakses oleh semua orang. Kesadaran tentang pentingnya
membangun kepercayaan yang

masih rendah berdampak pada keinginan untuk

13

sharing knowledge. Fenomena lain yang diperoleh dari hasil prasurvei adalah bahwa
dukungan terhadap anggota organisasi yang senang mengambil resiko masih sangat
kurang, hal ini membuat para dosen tidak berani bertindak diluar kebiasaan.
Organisasi belum mampu menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan
stakeholder berdampak pada kemampuan organisasi untuk memahami dan memenuhi
harapan stakeholder, akibat lanjutnya adalah individu dan organisasi tidak mampu
melihat perkembangan dan perubahan lingkungan, otomatis membuat organisasi tidak
menyadari ketatnya persaingan. Dukungan nyata dari seorang pemimpin terhadap
keinginan para dosen untuk mengikuti pelatihan namun seringkali sulit diperoleh,
juga seringkali pimpinan tidak mampu memberdayakan orang-orang dalam organisasi
untuk membantu pencapaian visi. Hal ini mengindikasikan kemampuan pimpinan
dalam menjalin komunikasi dengan bawahannya masih buruk, padahal seorang
pemimpin akan sangat menentukan seperti apa bawahannya akan bertindak atau
berperilaku. Berbagai kondisi yang diuraikan di atas mengindikasikan bahwa OLC
belum tertanam dengan kuat, sehingga apa yang menjadi tujuan dari Organizational
Learning Culture yakni mendukung pembelajaran terus menerus guna meningkatkan
kapasitas perguruan tinggi secara keseluruhan akan sulit tercapai.
Hasil pra survei juga mengindikasikan bahwa kemarahan, kejengkelan ketika
ada yang mendominasi diskusi seringkali muncul, perasaan tidak senang bekerja
dalam kelompok, mengindikasikan bahwa ada hal-hal terkait lingkungan kerja yang
membuat individu tidak merasakan kenyamanan dalam bekerja, di samping itu
benturan kepribadian dan perselisihan antar individu secara alami muncul karena

14

pada dasarnya tidak ada manusia yang sama masing-masing memiliki karakteristik
yang berbeda dan hal tersebut bisa memunculkan konflik. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa konflik yang sifatnya disfungsional dalam hal ini
relationship conflict sering muncul.
Fenomena lain yang diperoleh dari prasurvei adalah terkait cara organisasi
dalam menjalankan berbagai kebijakan yang sering tidak sesuai dengan harapan para
anggota organisasi, serta cara pemimpin berinteraksi dengan bawahan terkadang
didasarkan atas suka atau tidak suka yang membuat kondisi kerja menjadi tidak
nyaman. Berbagai kondisi ini mengindikasikan bahwa terdapat masalah dalam
kepuasan kerja yang dirasakan oleh anggota organisasi. Secara ringkas hasil prasurvei
dapat digambarkan dalam tabel berikut :

Tabel 1.4
Gambaran Umum Kepemimpinan, Budaya pembelajaran
organisasional, pengelolaan pengetahuan, konflik dan kepuasan
kerja di Perguruan Tinggi Negeri di Sulawesi Selatan
Skor
Dimensi
Sangat
rendah/buruk
37-67

Rendah

Sedang

Tinggi

68-98

99-129

130-160

Kepemimpinan

Intellectual stimulation

120

Sangat
Tinggi/Baik
161-191

15

2 Inspirational motivation
3 Individual considerat ion
4 Idealized influence
5 Management by exception
6 Contingent Reward
Budaya Pembelajaran Organisasional
1 Continuous Learning
2 Dialogue and Inquiry
3 Team learning
4 Embedded System
5 Empowerment
6 System connection
7 Provide Strategic Leadership

98
106
96
141
122
89
104
95
91
98
99
98

Pengelolaan Pengetahuan

1 Knowledge Acquisition
2 Knowledge Creation
3 Knowledge Sharing
4 Knowledge Utilization
Konflik
Task conflict
1 Klarifikasi tentang tugas
2 Diskusi tentang tugas
3 Perbedaan tujuan
4 Perbedaan pendapat dan opini
5 Perbedaan ide-ide yang muncul
Relationship conflict
1 Mendominasi diskusi
2 Tidak senang bekerja dalam kelompok
3 Benturan kepribadian
4 Perselisihan antar individu
5 Ketegangan
Kepuasan kerja
1 Satisfaction with reward
2 Satisfaction with supervisor
3 Satisfaction with job variety
4 Satisfaction with co-worker
5 Satisfaction with management and HR Policies
6 Satisfaction with own capability

107
96
92
126
90
99
106
105
126
145
143
128
106
130
91
86
121
127
83
131

Sumber: Data hasil prasurvei,2011 diolah


Berbagai kondisi yang telah diuraikan di atas tentu bukan hal yang bisa
dianggap remeh karena akan berdampak pada kelangsungan organisasi tapi harus
dicarikan solusi terbaik agar ke depannya kondisi perguruan tinggi khususnya
perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan menjadi lebih baik. Untuk itu penulis

16

tertarik untuk meneliti tentang pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran


organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan dengan variabel moderasi konflik
disfungsional dan kepuasan kerja dan implikasinya pada kinerja organisasi pada
perguruan tinggi Negeri di Sulawesi Selatan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran kepemimpinan, budaya pembelajaran organisasional,
pengelolaan pengetahuan, kinerja organisasi, konflik disfungsional dan
kepuasan kerja, pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan
2. Apakah kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional berpengaruh
terhadap pengelolaan pengetahuan pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi
Selatan
3. Apakah konflik disfungsional dan kepuasan kerja dapat memoderasi pengaruh
kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan
pengetahuan pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan
3.1 Apakah konflik disfungsional dapat memoderasi

pengaruh

kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap


pengelolaan pengetahuan pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi
Selatan
3.2 Apakah kepuasan kerja dapat memoderasi pengaruh kepemimpinan dan
budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan
pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan
4. Apakah kepemimpinan, budaya pembelajaran organisasional secara langsung
atau tidak langsung melalui pengelolaan pengetahuan berpengaruh terhadap
kinerja organisasi perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan

17

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis :
1. Gambaran kepemimpinan, budaya pembelajaran organisasional, pengelolaan
pengetahuan, kinerja organisasi, konflik disfungsional dan kepuasan kerja,
pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan
2. Pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap
pengelolaan pengetahuan pada perguruan tinggi negeri di sulawesi Selatan
3. Pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap
pengelolaan pengetahuan yang dimoderasi oleh konflik disfungsional dan
kepuasan kerja pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan
3.1 Pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional
terhadap pengelolaan pengetahuan dimoderasi oleh konflik disfungsional
pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan
3.2 Pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional
terhadap pengelolaan pengetahuan dimoderasi oleh kepuasan kerja pada
perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan
4. Pengaruh kepemimpinan, budaya pembelajaran organisasional

secara

langsung atau tidak langsung melalui pengelolaan pengetahuan terhadap


kinerja organisasi perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dalam bentuk :
1. Keguanaan Teoritis
- Penelitian ini diharapkan mampu mendukung pengembangan kajian ilmu
manajemen pada umumnya dan secara khusus pada manajemen
sumberdaya manusia dan perilaku organisasi baik dalam bentuk konsepkonsep maupun model.

18

Sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya yang berminat

meneliti masalah yang terkait dengan penelitian ini.


2. Kegunaan praktis
- Sebagai referensi bagi pihak pengambil keputusan agar mampu membuat
kebijakan-kebijakan dan tindakan yang lebih baik sehingga tujuan
-

organisasi dapat dicapai dengan lebih baik


Sebagai masukan bagi perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi
negeri di Sulawesi Selatan agar lebih memperhatikan berbagai faktor
yang dapat mempengaruhi eksistensinya di era persaingan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

Manajemen sumberdaya manusia merupakan grand theory yang digunakan


dalam menganalisis berbagai permasalahan dalam penelitian ini. Secara singkat
manajemen sumberdaya manusia adalah upaya pendayaguanaan sumberdaya
manusia. Berikut beberapa pendapat pakar tentang manajemen sumberdaya manusia:
Mondy and Noe (2004) human resource management adalah pendayagunaan
sumberdaya manusia untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.

Sedangkan

Ivancevich (2007) mengatakan bahwa manajemen sumberdaya manusia sebagai


sebuah fungsi yang dijalankan dalam organisasi dengan maksud memfasilitasi
pendayagunaan manusia secara paling efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan
organisasi dan individu. Berdasar kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
manajemen sumberdaya manusia adalah pendayagunaan sumberdaya manusia dalam
suatu organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dan individu secara efektif.

19

Untuk lebih memahami berbagai persoalan serta memberi kejelasan dalam


menjawab berbagai permasalahan dalam penelitian ini perilaku organisasi,
manajemen strategi sumberdaya manusia digunakan sebagai middle range theory.
Manajemen strategi merupakan suatu bidang ilmu yang relatif baru , bahkan
dalam lingkungan ilmu manajemen itu sendiri. Untuk lebih meningkatkan
kemampuan daya saing, organisasi menyadari bahwa dibutuhkan penerapan strategi
yang tepat, kompetitif dan komprehensif serta sejalan dengan visi dan misi
perusahaan. Manajemen strategi dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan mendasar
bagaimana organisasi mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
Perkembangan pemikiran manajemen strategis menurut Robert E Hokskisson,
et.al (1999) bergerak seperti pendulum pada setiap era perkembangan yaitu Early
Development, Industrial Organization Economics,
Resource-Based View

Organizational Economics, The

antara tahun 1960-1990. RBV adalah konsep terakhir yang

muncul yang lebih fokus pada bagaimana mengelola karakteristik yang ada pada
sumberdaya untuk meraih keunggulan bersaing. Karakteristik yang dimaksudkan
dalam penelitian ini adalah yang melekat pada sumberdaya manusia. Untuk itu
manajemen sumberdaya manusia strategi sangat diperlukan. Berikut beberapa
pendapat mengenai manajemen sumberdaya manusia strategi dari beberapa pakar :
Amstrongs (2003) menyatakan bahwa manajemen sumberdaya manusia
statejik adalah pendekatan untuk membuat keputusan pada skema dan rencana
organisasi berkaitan dengan hubungan pekerjaan dan kebijakan serta pelaksanaan
perekrutan, pelatihan, pengembangan, manajemen kinerja, imbalan dan hubungan

20

karyawan. Sedangkan Noe (2004) mendefenisikan Stretgic human recources


management (SHRM), is the pattern of planned human recources developments and
activities intended to enable an organization to achieve goals. We must have an
approach to human recource management, we must have an understanding of the
rule of human recource management in the strategic management process.
Ivancevich (2007) menyatakan bahwa Strategic human recources management as
the acknowledgement that HR policies and practices have critical linkages with
organizations overall strategy. Dari pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa
manajemen sumber daya manusia stratejik adalah pendekatan yang menjelaskan
hubungan antara manajemen sumber daya manusia dengan manajemen stratejik
dalam organisasi secara keseluruhan dalam rangka mencapai sasaran organisasi.
Penelitian ini fokus pada konsep strategi RBV yang mengarah pada penetapan
strategi yang menekankan pada karakteristik sumberdaya manusia yakni pengetahuan
yang di yakini mampu mengantarkan organisasi pada competitive advantage
Perilaku organisasi terkait dengan bagaimana memahami dan mengatur orangorang atau individu dalam sebuah organisasi. Kreitner (2006) mengatakan bahwa
perilaku organisasi adalah bidang-bidang interdisipliner yang digunakan untuk
memahami dan mengatur sumberdaya manusia di tempat kerja dengan lebih baik.
Tingkatan analisisnya adalah individu, kelompok dan organisasi. Manajemen
sumberdaya manusia strategi maupun perilaku organisasi pada akhirnya memiliki
sasaran untuk meningkatkan pencapaian kinerja organisasi

21

Teori

tentang kepemimpinan, budaya pembelajar organisasional dan

pengelolaan pengetahuan, kinerja organisasi, konflik, kepuasan kerja, merupakan


subtantive teory. Pada bagian ini akan dikemukakan teori-teori yang terkait dengan
variabel-variabel yang dilibatkan dalam penelitian ini yakni berbagai Teori tentang
kepemimpinan, budaya pembelajaran organisasional dan pengelolaan pengetahuan,
kinerja organisasi, konflik, dan kepuasan kerja. Hal ini sangat perlu agar
memudahkan dalam pemahaman dan pembahasan. Sebelum menyajikan berbagai
konsep variabel berikut gambar rangkaian teori yang digunakan dalam penelitian ini.

Grand
theory

Middle
Range
theory

MSDM

Perilaku Organisasi

Manajemen Sumberdaya manusia


Strategi

Learning
Organization dan
organizational
learning

RBV (Resource
Based View)

Organization
Culture

Knowledge Based
View

Subtantive
Theory

Organizational
Learning Culture

Job Satisfaction
Konflik

Kepemimpinan

22

Knowledge
Management

Kinerja organisasi

Gambar 2.1 Rangkaian teori yang digunakan


2.1.1 Konsep Kepemimpinan
2.1.1.1 Definisi Kepemimpinan

Kepemimpinan menduduki peran vital dalam organisasi karena seorang


pemimpin selain menentukan visi, misi, tujuan dan strategi pencapaian juga bertugas
memimpin, mengarahkan, memotivasi anggota kelompok untuk mencapai tujuan.
Pendapat dari beberapa pakar akan membantu kita memahami arti dari
kepemimpinan diantaranya:
Robbins (2009) mengatakan bahwa kepemimipinan adalah proses memimpin
sebuah kelompok dan mempengaruhi suatu kelompok kearah pencapaian tujuan. Hal
senada dikemukakan oleh McShane (2008) yang mengatakan bahwa kepemimpinan
adalah suatu proses mempengaruhi orang lain dan menyediakan ruang/lingkungan
bagi mereka untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok. Kedua pakar ini fokus
pada kepemimpinan dalam konteks kelompok/organisasi. Selanjutnya Gibson (2007)
menekankan pada upaya menggunakan berbagai jenis pengaruh yang bukan paksaan
untuk memotivasi anggota organisasi untuk mencapai tujuan tertentu dalam hal ini
konteks

kepemimpinan

yang

dikemukakan

juga

kelompok/organisasi

tapi

23

menambahkan unsur motivasi yang memperjelas bahwa upaya yang dilakukan


pemimpin bukan bersifat paksaan. Sedangkan Certo (2009) mengemukakan
kepemimpinan dalam konteks yang lebih luas yakni bahwa kepemimpinan adalah
proses mengarahkan perilaku orang lain untuk mencapai beberapa tujuan.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli dapat dikatakan bahwa pendapat mereka
pada dasarnya adalah sama yakni menyangkut unsur proses terkait mempengaruhi,
mengarahkan dan memotivasi) dan mengarah pada suatu tujuan yang akan dicapai.
Dengan demikian kepemimpinan adalah proses di mana seseorang mempengaruhi,
mengarahkan, memotivasi dan membuat orang lain memberikan kontribusinya pada
pencapaian tujuan organisasi.
2.1.1.2 Pandangan-pandangan Tentang Kepemimpinan

Perspektif tentang kepemimpinan dari beberapa pakar sangat beragam,


keberagam ini tentu berdasarkan pada sudut pandang masing-masing pakar tersebut,
diantaranya:
Mc Shane (2008) membagi perspektif kepemimpinan dalam 5 kategori yakni
Perspektif kompetensi (sifat), perspektif perilaku, perspektif kontingensi, perspektif
transformasional dan perspektif implicit leadership. Kreitner (2006) membagi
pandangan kepemimpinan yang sedikit berbeda tapi juga dalam 5 kategori yakni
pendekatan sifat, perilaku, situasional, transaksional, kharismatik dan tambahan
Sedangkan Schermerhorn (2010) membagi perspektif kepemimpinan dalam empat
kategori yakni teori sifat, teori perilaku, teori kontingensi dan teori-teori baru.
Dari beberapa pendapat pakat terlihat bahwa semuanya memasukkan tiga teori
utama yakni teori sifat, teori perilaku dan teori kontingensi sedangkan teori-teori yang
lain seperti transaksional,transformasional, kharismatik, tambahan dan teori-teori
baru sangat dipengaruhi oleh sudut pandang dari masing-masing pakar.

24

Beberapa perspektif kepemimpinan dari beberapa pakar di atas selanjutnya


akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut :
A. Teori Sifat
Teori sifat merupakan sebuah pandangan yang mengatakan bahwa seseorang
dianggap, diposisikan dan dipilih sebagai pemimpin berdasarkan sifat khusus yang
dimiliki oleh individu tersebut. Sifat khusus inilah yang membuat seorang pemimpin
berbeda dengan orang lain. Beberapa pakar perilaku organisasi telah mengemukakan
beberapa sifat yang dimiliki individu yang bisa membuatnya

menjadi seorang

pemimpin diantaranya McShane (2008) menyebutkan beberapa sifat khusus yang


membuat seseorang menjadi pemimpin adalah drive, motivasi memimpin, integritas,
kepercayaan diri, kecerdasan,pengetahuan bisnis dan kecerdasan emosional. Sifatsifat khusus tersebut dikemukakan pula oleh Robbins (2009) yang berbeda hanya
karena dimasukkannya unsur kejujuran dan ekstraversion. Selanjutnya Baron (2003)
juga mengemukakan hal yang hampir semuanya sama namun yang berbeda hanyalah
dimasukkannya unsur kreativitas dan fleksibilitas.Untuk memahami makna dari sifatsifat pemimpin tersebut maka berikut penjelasan dari masing-masing sifat tersebut :
-

Drive berarti bahwa seorang pemimpin harus memiliki dorongan dari dalam yang

kuat untuk selalu melakukan berkarya, berprestasi dan melakukan hal terbaik
Motivasi memimpin, seorang pemimpin harus selalu berusaha mendapatkan

kekuatan agar mampu mempengaruhi dan meyakinkan orang lain


Integritas, seorang pemimpin harus memegang prinsip perkataan sesuai perbuatan

25

Kepercayaan diri, seorang pemimpin harus yakin bahwa keterampilan dan


kemampuan yang dimilikinya akan membuatnya mampu mengantarkan organisasi

pada pencapaian tujuan


Kecerdasan, seorang pemimpin harus mampu mengumpulkan, menyatukan dan
menafsirkan banyak informasi dan juga harus dapat menciptakan misi,

menyelesaikan berbagai persoalan, dan membuat berbagai keputusan dengan tepat.


Pengetahuan bisnis, pemimpin harus punya pemahaman yang baik tentang bisnis
serta lingkungan bisnis di mana mereka menjalankan bisnisnya, hal ini perlu agar

pemimpin mampu menetapkan strategi terbaik bagi kesuksesan bisnisnya.


Kecerdasan emosi, seorang pemimpin harus selalu mampu mengendalikan diri,

tenang dan memiliki sikap dewasa dalam menghadapi berbagai kondisi


Kejujuran, seorang pemimpin harus berkata dan bertindak apa adanya, berani
mengakui kesalahan serta supportive setiap keberhasilan. Kejujuran harus selalu

diutamakan dalam hubungan pemimpin dengan bawahan


Ekstraversion, seorang pemimpin harus energik, semangat, suka bergaul, tegas.
Kreativitas, seorang pemimpin harus kreatif dalam artian selalu memiliki ide-ide

yang bagus agar mampu berbagai situasi yang sulit sekalipun


Fleksibilitas, seorang pemimpin harus fleksibel luwes dan tidak kaku namun tetap
harus memiliki ketegasan
B. Teori Perilaku

Teori ini meyakini bahwa keefektifan kepemimpinan dalam mencapai tujuan


organisasi sangat ditentukan oleh perilaku atau cara bertindak dari seorang pemimpin.
a. Ohio State University Study
penelitian yang dilakukan oleh Ohio State University mengindikasikan bahwa
perilaku pimpinan didasarkan pada dua dimensi yaitu consideration dan initiating
structure. (Schermerhorn.R.John et.al. 2010). Pemimpin dengan consideration yang

26

tinggi sangat mempertimbangkan rasa kemanusiaanya. Pemimpin seperti ini biasanya


sensitif akan perasaan orang-orang disekitarnya, dan selalu mencoba untuk
melakukan hal terbaik bagi bawahannya, mendengarkan keluhan dan pendapat
bawahan, memperlakukan bawahan secara adil, dan menunjukkan perhatian pada
kebutuhan bawahan. Sedangkan pemimpin yang memiliki initiating structure yang
tinggi memberi perhatian pada persyaratan pekerjaaan, pengendalian yang ketat atas
agenda-agenda kerja dan memacu karyawan untuk memaksimalkan kapasitas kinerja.
b. Michigan University study
Studi yang dilakukan michigan university menemukan dua bentuk perilaku
kepemimpinan yakni perilaku pemimpin yang berorientasi karyawan (employee
centered behavior) yakni menekankan pada hubungan antar pribadi dan pemimpin
yang berorientasi tugas (job centered behavior) menekankan pada aspek teknis dari
tugas atau pekerjaan (Certo, 2009)
C. Teori Situasional
Teori situasional pada dasarnya menjelaskan bahwa efektifitas kepemimpinan
sangat tergantung pada situasi yang dihadapi, hal ini sekaligus berarti bahwa tidak
ada satupun gaya kepemimpinan yang cocok untuk berbagai situasi yang berbeda.
a. Model Kontingensi Fiedler
Model Fiedlers menjelaskan gaya kepemimpinan yang terbaik bergantung
pada 3 situasional control

yaitu (1) leader-member relations

terkait tingkat

kepercayaan dan penghargaan bawahan terhadap pemimpinnya serta tingkat


kesediaan bawahan untuk mengikuti petunjuk dari atasan; (2) Task Structure merujuk

27

pada kejelasan atau ambiguitas dari prosedur-prosedur kerja; dan (3) Position Power
terkait seberapa besar kekuatan yang dimiliki pemimpin untuk melegitimasi,
memberikan reward, bahkan memaksa para bawahan. Untuk memudahkan
pemahaman kita maka model Fiedler akan diilustrasikan dalam gambar berikut :
Task motivated
leader
High Control Situation
Leader member
relation
Task structure
Position power

Moderate Control Situation

Good
High
Strong

Weak

Good
Low
Strong

Low
Weak

Poor

High
Stron
Weak
g

Low control
situation

Poor

Low
Strong

Low
Weak

Relationship
motivated leader
Gambar 2.2 Variabel situasional fiedler dan gaya kepemimpinan
Sumber : Organizational Behavior, Schermerhorn R.John et.al.2010

Kombinasi dari tiga variabel kontrol situasi akan berdampak pada gaya
kepemimpinan seperti apa yang paling sesuai. Pertama, seorang supervisor yang
berpengalaman dan terlatih dengan baik yang berada pada suatu perusahaan akan
sangat didukung oleh para bawahannya dan memiliki wewenang penuh untuk
merekrut dan memecat bawahannya. Pemimpin ini akan memiliki control situasi yang
tinggi dan akan bekerja pada situasi I,II dan III (tingkat kontrol situasi pada situasi II,
III tentunya akan sedikit lebih rendah daripada situasi I). sebaliknya, pemimpin yang
memiliki control situasi rendah biasanya tidak disukai oleh bawahannya. Fiedlers

28

beranggapan bahwa pemimpin tersebut harus berperilaku directive untuk menjaga


kebersamaan kelompok kerja.
b. Path Goal Theory

Path Goal Theory merupakan teori kepemimpinan yang menjelaskan bagaimana


perilaku pemimpin yang akan mempengaruhi bagaimana persepsi karyawan tentang
harapan (path) antara usaha mereka yang mereka lakukan dengan tujuan (goals).
Path Goal Theory menekankan pada empat perilaku utama dari pemimpin yakni :
-

Supportive Leadership, memberi perhatian pada kebutuhan para bawahan,


memperlihatkan perhatian terhadap kesejahteraan mereka dan menciptakan
suasana bersahabat dalam unit kerja mereka.

Directive Leadership, memberitahukan kepada para bawahan apa yang diharapkan


pemimpin dari mereka, memberi pedoman yang spesifik, meminta bawahan untuk
mengikuti peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur, mengatur waktu dan
mengkoordinasi pekerjaan mereka.

Partisipative Leadership, melakukan konsultasi dengan para bawahan dan


memperhatikan opini dan pendapat mereka.

Achievement oriented leadership, menetapkan tujuan-tujuan yang menantang,


mencari perbaikan dalam kinerja, menekankan kepada keunggulan dalam kinerja
dan memperlihatkan kepercayaan bahwa para bawahan akan mencapai standar
tinggi (Robbins,2009).
Seperti teori situasional yang lain, path goal theory juga mengatakan bahwa

pemimpin akan sukses jika mereka mampu menyesuaikan perilaku mereka dengan

29

situasi yang mereka hadapi. Misalnya kepemimpinan direktif akan cocok jika
karyawan kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang pekerjaan, serta jika
pekerjaan tidak terstruktur dan kompleks.
c. Teori situasional Hersey and Blanchard
Teori situasional Hersey and Blanchard ini menjelaskan bahwa keefektifan
seorang pemimpin akan ditentukan oleh tingkat kesiapan dari para pengikut/bawahan.
Tingkat kesiapan yang dimaksudkan dalam hal ini merujuk pada sejauh mana
seseorang mempunyai kemampuan dan kesediaan untuk menyelesaikan tugas
tertentu. Hersey dan Blanchard mengembangkan 4 perilaku spesifik yakni :
1. Telling, sangat baik diterapkan bagi bawahan yang memiliki tingkat kesiapan
rendah. Gaya kepemimpinan yang cocok adalah direktif karena pada situasi ini
bawahan biasanya tidak mempunyai kemampuan dan keinginan untuk
bertanggung jawab pada suatu pekerjaan dan dirinya sendiri.
2. Selling, sangat baik diterapkan bagi para bawahan yang memiliki tingkat
kesiapan rendah dan menengah. Kepemimpinan yang sesuai adalah directive
dan supportive karena pada situasi ini, biasanya bawahan tidak memiliki
kemampuan tapi memiliki keinginan untuk bertanggung jawab pada pekerjaan.
3. Participating, sangat baik diterapkan bagi para bawahan yang memiliki tingkat
kesiapan menengah dan atas. Kepemimpinan yang cocok adalah supportive
karena pada situasi ini, bawahan mempunyai kemampuan tetapi tidak dibarengi
oleh keinginan yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaan.

30

4. Delegating, sangat baik diterapkan bagi para bawahan yang memilki tingkat
readiness yang tinggi.
Untuk menambah pemahaman kita maka model Hersey and Blanchard akan
diilustraikan dalam gambar berikut :

31

32

Gambar 2.3 Model kepemimpinan situasional


sumber: Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi yang disadur dari buku P. Hersey dan K.H
Blanchard, Management of Organizational Behavior ,2003

Pada

pendekatan

kepemimpinan

situasional

ini,

pemimpin

perlu

mengembangkan kemampuan dirinya dalam mendiagnosa situasi untuk kemudian


memilih dan menerapkan gaya kepemimpinan yang dibutuhkan. Pemimpin yang baik
akan memilih gaya kepemimpinan yang sesuai dengan permintaan lingkungan dan
karakteristik individu dari para bawahan.
D. Teori Transaksional dan Teori Transformasional
Inti dari teori kepemimpinan transaksional adalah terjadinya pertukaran
diantara karyawan dan pimpinan artinya pimpinan akan memberikan sesuatu sesuai
dengan apa yang karyawan berikan pada pemimpinnya. Kepemimpinan transaksional
dicirikan oleh gaya kepemimpinan yang memotivasi para pengikut mereka menuju
sasaran yang telah ditetapkan dengan memperjelas persyaratan peran/tugas. Beberapa
perilaku kepemimpinan transaksional menurut Avolio (2002) adalah:
1. Management by Exception, biasa disebut correction transactional di mana
para bawahan diberi penghargaan ataupun hukuman untuk suatu tindakan
yang dilakukan dan untuk kondisi-kondisi tertentu intervensi pemimpin sangat
dibutuhkan karena kemampuan karyawan yang sangat kurang
2. Contingent reward, atau constructive transactional yakni pemimpin memberi
penghargaan kepada para pengikut tergantung keberhasilan anggota pada
tingkat yang telah ditetapkan.

33

3. Nontransactional passive behavior, pemimpin yang menunggu masalah


meningkat baru mengambil tindakan, menghindari pengambilan keputusan,
dan tidak pernah ada ketika dibutuhkan.
Kepemimpinan transformasional, pada dasarnya adalah pemimpin yang
memotivasi para pengikutnya untuk melakukan lebih dari pada apa yang diharapkan
dengan cara merentangkan kemampuan mereka dan meningkatkan kepercayaan diri
mereka. Para pemimpin transformasional akan membawa organisasi mereka ke arah
masa depan yang mungkin berakibat pada proses dan tingkat prestasi yang secara
nyata berbeda. Empat komponen perilaku pemimpin transformasional adalah :
1. Idealized Influence, adalah seorang pemimpin yang bertindak sebagai role
model. Pemimpin ini menunjukkan ketekunan dalam pencapaian sasaran,
menunjukkan etika dan moral yang tinggi dalam berperilaku, mementingkan
kepentingan umum, mau berbagi sukses dan perhatian, Hasilnya pemimpin
menjadi dihormati.
2. Individualized Consideration, adalah perilaku pemimpin yang memiliki
perhatian kepada para pengikutnya, membangun hubungan tenggang rasa dan
saling menghargai, mengidentifikasi kebutuhan para karyawannya. Pemimpin
ini juga memberikan tantangan, kesempatan belajar dan memberikan
pendelegasian guna meningkatkan keterampilan dan kepercayaan
3. Inspirational Motivation, adalah perilaku kepemimpinan transformasional yang
mampu memotivasi dan memberikan inspirasi para pengikutnya agar
mencapai kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbayangkan. Pemimpin

34

menetapkan harapan yang tinggi dan menantang pengikutnya mencapai


standar yang tinggi dan mampu mengkomunikasikan visinya dengan baik.
Pemimpin menggunakan simbol-simbol dan metafora untuk memotivasi
mereka. Pemimpin ini jika bicara selalu antusias, ia seorang yang optimis.
Para karyawan dibantu menemukan makna mendalam dalam bekerja sehingga
mereka mau mengikutinya secara suka rela.
4. Intellectual Stimulation, adalah perilaku kepemimpin transformasional yang
mendorong para pengikut untuk menggunakan imajinasi mereka dan
memikirkan kembali permasalahan dengan cara dan metode yang baru,
mendorong pembelajaran, dan mendorong para pengikut untuk menciptakan
solusi dari berbagai masalah. Hasilnya adalah para pengikut diharapkan
menjadi lebih kreatif, (Avolio,2002)
Kebanyakan

pemimpin

memperlihatkan

gaya

transaksional

dan

transformasional sekaligus, walaupun mereka melakukannya dengan kadar yang


berbeda (Avolio,2002). Dengan pemahaman ini maka penelitian ini dimensi
kepemimpinan

yang

dipilih

adalah

gabungan

antara

transaksional

dan

transformasional. Begitu pula menurut luthans (2005) kepemimpinan yang efektif


adalah gabungan antara transaksional dan transformasional sehingga dimensi yang
digunakan untuk mengukur kepemimpinan adalah idealized influenced, individual
consideration, inspirational motivation, intellectual stimulation,

management by

exception, contingent reward dan nontransactional passive behavior.


E. Pandangan Implisit

35

Implicit

Leadership

Perspective

pada

dasarnya

menyatakan

bahwa

kepemimpinan tergantung pada persepsi dari para pengikutnya terhadap perilaku


aktual dan karakteristik dari orang- orang yang menyebut dirinya pemimpin. Distrosi
persepsi tentang pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam organisasi meliputi
attribution error, stereotyping dan need for situational control.

Attributing Control
Setiap orang memiliki keinginan untuk memberikan atribusi pada setiap
kejadian yang dialami agar mereka mampu mengotrol kejadian yang sama di masa
yang akan datang. Kesalahan mendasar dari pengatribusian seringkali disebabkan
karena sebagian besar orang cenderung memberi atribut pada orang lain dengan
hanya melihat motivasi dan kemampuan mereka secara individu daripada
mempertimbangkan faktor situasi yang ada. Dalam konteks kepemimpinan karyawan
percaya bahwa setiap kejadian disebabkan karena motivasi dan kemampuan dari
pemimpin bukan karena faktor lingkungan.
Stereotyping Leadership
Streotype sangat dipengaruhi oleh harapan tentang bagaimana pemimpin yang
efektif seharusnya bertindak, sehingga seringkali karyawan menilai kefektifan
seorang pemimpin hanya berdasarkan penampilan dan tindakan mereka bukan
berdasarkan hasil nyata dari tindakan mereka tersebut.
Need for Situational Control
Harapan yang tinggi terhadap seorang pemimpin selalu dimiliki oleh setiap
orang di mana mereka berharap bahwa pemimpin akan melakukan hal yang berbeda.
Keyakinan ini disebabkan karena kepemimpinan merupakan cara mudah untuk

36

menyederhanakan setiap kejadian dalam organisasi di mana kegagalan dan


kesuksesan organisasi akan lebih mudah dijelaskan dengan melihat kemampuan
pemimpin daripada menganalisis faktor lingkungan, dan juga karena adanya
kecenderungan yang kuat bahwa kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan
lebih disebabkan oleh individu bukan karena kehendak lingkungan(McShane,2008)
F. Teori Kharismatik
Teori kharismatik melihat pemimpin sebagai simbol, komunikasi nonverbal,
visi, kemampuan menginspirasi, kepercayaan diri dan kemampuan persuasif yang
luar biasa yang dapat mempengaruhi para pengikutnya. Pemimpin kharismatik dapat
mempengaruhi pengikutnya ketika mereka mampu menyampaikan visi yang menarik,
mengkomunikasikan harapan dan kinerja yang tinggi dan mengemukakan keyakinan
bahwa pengikutnya mampu mewujudkan harapan tersebut. Kondisi ini semakin
meningkatkan keyakinan dan harga diri dari pengikutnya (Kreitner,2006)
a.

G. Pandangan Tambahan
Leader Member Exchange
Teori ini fokus pada hubungan yang baik antara leader dan follower di mana
dikatakan bahwa kefektifan pemimpin akan tercapai ketika terdapat pertukaran positif
antara leader dan follower, baik dalam batasan ingroup exchange yang ditandai
adanya hubungan partnership maupun outgroup exchange yang ditandai oleh adanya
interaksi otoritas formal.
b.

Kepemimpinan Subtitusi

Pendekatan substitutes leadership mengatakan bahwa kadangkala hirarki


kepemimpinan tidak memiliki dampak yang berarti bagi suatu pekerjaan terlebih

37

apabila variabel-variabel individu, pekerjaan dan organisasi telah memiliki


kompetensi tinggi sehingga dapat dijadikan pengganti sebuah kepemimpinan.
Contoh dari variabel-variabel tersebut dijelaskan pada gambar 2.5 berikut :
Experience, ability, training

Substitutes for task oriented leadership

Professional orientation

Substitutes for task oriented, supportif leader

Indifference towards organizational rewards Neutralises task-oriented and supportive leadership

Highly structure/routine

Substitutes for task oriented leadership

Intrinsically satisfying

Substitutes for supportive leadership

Cohesive work group

Substitutes for task oriented and supportive

Low leader position power

Neutralizes task oriented and supportive

Leader physically separated

Neutralises task oriented and supportive

Gambar 2.4 Some examples of leadership substitutes and neutralizers.


Sumber : Schermerhorn,R. John, et.al, 2010
Pada gambar terlihat bahwa akan sulit bagi seorang pemimpin yang memiliki
gaya task oriented jika para bawahan telah memiliki pengalaman, keahlian dan
pelatihan yang baik begitu pula jika pekerjaan telah terstruktur dengan baik. Beberapa
contoh dari neutralizes dalam gambar di atas menunjukkan apabila pemimpin
memiliki posisi kekuatan yang rendah, pengaruh kepemimpinannya akan sangat
rendah, walau sebenarnya penstrukturan kerja dan dukungan pemimpin sebenarnya
masih dibutuhkan. Atau, bila secara fisik seorang pemimpin terpisah dari

38

bawahannya, gaya task oriented dan supportive juga akan memiliki pengaruh yang
rendah walaupun sebenarnya masih dibutuhkan (Schermerhorn R.John et.al.2010).
c.
Servant leadership
Kepemimpinan ini menyiratkan bahwa para pemimpin sebenarnya memimpin
dengan melayani orang lain, para karyawan, pelanggan dan masyarakat dengan
karakteristik meliputi mendengarkan, empati, memulihkan, kesadaran, persuasi,
konseptualisasi, memandang ke depan, tanggung jawab, komitmen terhadap
pertumbuhan orang lain, dan membangun masyarakat (Kreithner and Kinichi,2006)
d.

Enterpreneur leadership
Model kepemimpinan ini menjelaskan kefeektifan seorang pemimpin

didasarkan pada sikap dan keyakinan bahwa pemimpin juga merupakan karyawan
sehingga pemimpin bertindak dan memposisikan diri mereka sebagai individu yang
memegang peran penting bagi kelangsungan organisasi. Mereka selalu yakni bahwa
segala tindakannya akan menguntungkan serta mereka juga tidak pernah memandang
remeh kesalahan sekecil apapun yang mereka lakukan.
2.1.2 Konsep Budaya Pembelajaran Organisasional
2.1.2.1 Learning Organization dan Organizational Learning
Secara umum learning merupakan suatu proses di mana individu-individu
memperoleh pengetahuan dan wawasan baru untuk merubah perilaku dan tindakan
mereka. Secara tradisonal belajar dibagi dalam tiga domain yakni kognitif, affective
dan psychomotor
Learning organization menjadi istilah populer setelah Pater Senge
melontarkan gagasannya dalam buku Fifth Discipline. Perusahaan mulai banyak yang
menyatakan bahwa organisasinya adalah learning organization. Bagaimana

39

organisasi dapat merespon secara kreatif tantangan baru tanpa terlebih dahulu
menemukan sesuatu yang baru? Kemudian mengubah cara mereka beroperasi untuk
mencerminkan wawasan baru? Artinya Tanpa belajar, perusahaan hanya mengulang
praktek-praktek lama, dan menghasilkan perbaikan yang hanya berumur pendek.
Marquardt (2002) mengatakan bahwa pembelajaran dapat muncul dalam tiga
level yaitu individu, team atau kelompok dan organisasi, dengan demikian
pembelajaran dalam organisasi sebenarnya adalah untuk mengembangkan dan
memaksimalkan kapasitas di tiga level tersebut. Peter M. Senge (1990)
mengemukakan lima disiplin untuk menjadi organisasi pembelajar, yaitu:
1. Personal Mastery, terkait bagaimana mengembangkan kapasitas personal
dalam mencapai kinerja yang paling diinginkan, dan menciptakan lingkungan
organisasi yang menumbuhkan semangat untuk mengembangkan diri seluruh
anggota organisasi menuju pencapaian sasaran dan makna bekerja
2. Mental Models, proses bercermin, memperjelas, dan meningkatkan wawasan
tentang dunia luar, agar keputusan dan tindakan yang diambil lebih tepat.
3. Shared Vision, membangun komitmen kelompok, dengan mengembangkan
gambaran bersama tentang masa depan yang akan diciptakan, serta prinsip dan
praktek yang menuntun pada pencapaian tujuan masa depan tersebut.
4. Team Learning, mentransformasikan keahlian berpikir (thinking skill) dengan
menggunakan kemampuan setiap anggota tim sehingga yang diyakini akan
menjdi kekuatan besar jika dibanding melakukan pekerjaan secara individu

40

5. System Thinking, cara pandang, cara berfikir, cara berbahasa untuk


menggambarkan dan memahami kekuatan yang akan berdampak pada
perilaku. Faktor ini membantu kita untuk melihat bagaimana mengubah sistem
secara lebih efektif dan untuk mengambil tindakan yang lebih sesuai dengan
proses interaksi antara komponen suatu sistem dengan lingkungan alam, nya.
David A.Garvin (dalam Harvard Business Review, 2008), menyebutkan lima
kegiatan dalam mengubah perusahaan menjadi sebuah organisasi pembelajar, yaitu:
1. Memecahkan masalah secara sistematis, tidak hanya mengandalkan insting
atau asumsi, tapi melalui metode ilmiah
2. Bereksperimen dengan pendekatan baru untuk bekerja, secara sistematis
mencari dan menguji pengetahuan baru.
3. Belajar dari pengalaman masa lalu, selalu mengevaluasi keberhasilan dan
kegagalan yang terjadi di masa lalu dan menjadikan sebagai sebuah pelajaran.
4. Belajar dari perusahaan lain dan dari pelanggan, untuk memperoleh perspektif
baru.
5. Mentransfer pengetahuan ke seluruh unit organisasi, agar menambah nilai
guna dari pengetahuan tersebut.
Learning organization dan organizational learning merupakan dua istilah
yang seringkali dipertukarkan, padahal kedua hal tersebut sangatlah berbeda.

41

Beberapa pakar telah mengemukakan pandangan mereka tentang kedua hal tersebut
diantaranya Senge (1990) mengatakan bahwa learning organization adalah organisasi
yang secara terus menerus meningkatkan kapasitasnya untuk meraih masa depan,
selanjutnya Watkins and Marsick (1993) mengemukakan hal yang hampir sama hanya
menekankan pada adanya proses perubahan yakni bahwa learning organization
adalah sesuatu yang belajar secara terus menerus dan melakukan proses perubahan.
Marquardt (2002) juga menekankan pada perubahan di mana beliau mengatakan
bahwa

Learning organization adalah organisasi yang selalu berubah menjadi

manajemen yang lebih baik, memberdayakan orang-orang untuk belajar dan


menggunakan teknologi untuk memaksimalkan pembelajaran dan produksi dalam hal
ini leraning organisasi lebih fokus pada sistem, prinsip dan karakteristik organisasi
yang belajar secara kollektif sedang organizational learning fokus pada bagaimana
pembelajaran organisasi muncul terkait keterampilan, proses dan penggunaan
pengetahuan. Kreitner (2006) mengatakan Learning organization adalah sebuah
tindakan penciptaan, mendapatkan dan membagi pengetahuan yang proaktif yang
dapat merubah perilaku yang berdasarkan pada pengetahuan dan wawasan baru.
Sedangkan organizational learning adalah proses reflektif yang dilakukan oleh
seluruh anggota organisasi pada semua level terkait mengumpulkan informasi baik dari
lingkungan eksternal maupun internal dan Malhotra (2000) membedakan keduanya dengan
lebih sederhana yakni organizational learning berorientasi proses sedang learning
organization berorientasi pada struktur

42

Dari beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa learning organization


adalah sebuah bentuk organisasi yang selalu mendorong dan mendukung
pembelajaran pada setiap tingkatan dalam organisasi secara terus menerus agar dapat
beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan selalu menjadi yang terbaik.
Sedangkan organizational learning adalah proses pembelajaran pada setiap tingkatan
organisasi yang dilakukan oleh seluruh anggota organisasi agar mampu beradaptasi
dengan setiap perubahan lingkungan yang terjadi.
Organisasi secara tidak sadar menolak Learning, karena tiga masalah
fundamental yakni:
1.

Fokus pada fragmentasi dan bukannya pada system,


Fragmentasi berarti pemisahan, yakni menciptakan dinding antar fungsional yang
memisahkan orang-orang ke dalam kelompok-kelompok independent. Akibatnya
integrasi dan sinergi antar bagian tidak terjadi sehingga proses belajar berjalan
secara parsial.

2.

Menekankan kompetisi dan bukannya kerjasama


Secara intrinsic tidak ada yang salah dengan kompetisi, namun paradigma ini
mengakibatkan para karyawan bersaing dengan individu, dengan siapa mereka
seharusnya berkolaborasi untuk meraih keberhasilan. Kompetisi menghalangi
learning

karena orang menjadi segan untuk mengakui bahwa mereka tidak

mengetahui sesuatu, dan kecenderungannya adalah karyawan ragu menerima

43

tugas yang tidak mereka kuasai. Akhirnya, kompetisi menghasilkan solusi jangka
pendek bukan jangka panjang terhadap akar permasalahan.
Bersikap reaktif dan bukannya kreatif dan proaktif
Seseorang terkadang belajar atau mau berubah sebagai bentuk reaksi atas
kondisi yang membuat mereka tertekan dan frustasi. Hal ini bertentangan dengan
katalis fundamental dari learning di mana keinginan belajar seharusnya dipicu
oleh kepentingan pribadi, rasa ingin tahu, aspirasi, imajinasi, eksperimentasi, dan
pengambilan resiko. Masalah lain adalah orang dikondisikan untuk merespon dan
bereaksi sesuai pengarahan dan persetujuan orang lain. Hal ini merusak dorongan
intrinsik untuk belajar. Kecenderungan manajemen berdasarkan ketakutan,
intimidasi, dan krisis, membuat orang-orang tidak hanya menolak learning, tapi
dilumpuhkan oleh ketakutan mengambil resiko (Luthans,2005)
Kepemimpinan yang efektif menghilangkan kecenderungan kecenderungan
tersebut dan membuka jalan bagi Learning Organization. Para pemimpin dapat
menciptakan budaya yang menekankan pemikiran system diatas fragmentasi,
kolaborasi diatas kompetisi, serta inovasi dan proaksi diatas reaktivitas. Pemimpin
memiliki tiga fungsi penting dalam membangun learning organization yakni :
1. Membangun komitmen untuk learning. Para pemimpin perlu menanamkan
komitmen intelektual dan emosional untuk learning

melalui ide-ide,

menunjukkan sikap dan perilaku yang diwarnai learning dan menginvestsasikan


sumber daya finansial yang dibutuhkan untuk menciptakan infrastruktur learning

44

2. Pemimpin harus mampu menghasilkan ide-ide yang dapat menambah nilai bagi
seluruh stakeholder kunci seperti karyawan, konsumen, dan pemegang saham.
3. Pemimpin harus mampu menggeneralisasi ide yang dapat mengurangi halangan
interpersonal, kelompok, dan organisasi terhadap learning, dengan cara
menciptakan infrastruktur learning, melakukan aktivitas-aktivitas penilaian dan
menghargai learning; meningkatkan dialog terbuka dan jujur; menurunkan
konflik; meningkatkan komunikasi (horizontal,vertical); mempromosikan kerja
tim; menghargai pengambilan resiko dan inovasi; menurunkan ketakutan akan
kegagalan; meningkatkan motivasi berbagi sukses, gagal, dan praktik terbaik;
mengurangi stresor dan frustasi; mengurangi kompetisi internal; kolaborasi dan
menciptakan keamanan psikologis dan lingkungan yang nyaman (Luthans,2005)
2.1.2.2 Organization Culture
Organisasi merupakan wadah dimana sejumlah individu berkumpul dan
melakukan interaksi baik formal maupun nonformal, di mana interaksi ini akan
berjalan dengan baik jika masing-masing anggota organisasi nilai-nilai dan normanorma yang telah disepakati secara bersama. Nilai-nilai dan norma-norma inilah yang
biasa dikenal sebagai budaya organisasi. Untuk membantu kita dalam memahami
makna dari budaya organisasi berikut pendapat beberapa pakar seperti :
Hofstede(1990) mengatakan bahwa budaya organisasi adalah Pemrograman
mental bersama dari semua pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Hal senada
dikemukakan oleh Luthans (2005) bahwa budaya organisasi adalah suatu wujud
anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan
bagaimana kelompok tersebut merasakan, memikirkan dan bereaksi terhadap

45

lingkungannya yang beraneka ragam. Dalam hal ini keduanya menekankan bahwa
budaya merupakan kesepakatan anggota organisasi namun Luthans sudah mulai
menunjukkan bahwa budaya akan berpengaruh pada cara anggota organisasi
berperilaku. Begitu pula dengan Jones (2001) yang menyatakan budaya organisasi
sebagai sekumpulan nilai yang mengendalikan interaksi antar anggota organisasi dan
interaksi dengan sistem dan lingkungan organisasi lainnya. Robbins (2009)
mengemukan budaya organisasi secara lebih lengkap yakni Nilai-nilai, prinsip,tradisi
dan cara bekerja yang dianut bersama dan mempengaruhi perilaku serta tindakan
para anggota organisasi, dan Kreitner (2006) menekankan pada peran budaya sebagai
identitas sebuah perusahaan yakni bahwa budaya organisasi adalah share value dan
kepercayaan yang menjadi identitas sebuah perusahaan.
Meskipun cara setiap pakar dalam mengemukakan pendapatnya terdapat
perbedaan namun intinya mereka mengatakan bahwa budaya organisasi adalah
serangkaian nilai,kepercayaan atau norma yang diyakini secara bersama oleh anggota
organisasi yang menentukan bagaimana setiap anggota organisasi merasakan,
memikirkan dan bereaksi terhadap lingkungan yuang beraneka ragam dan sekaligus
menjadi identitas pembeda bagi organisasi.
Isu-Isu Budaya Organisasi Terkini
Robbins(2009) mengemukakan beberapa isu terkini budaya organisasi yakni:
1. Menciptakan budaya beretika. Budaya beretika akan membuat perilaku etis
senantiasa mewarnai perilaku anggota organisasi. Budaya beretika dapat
diciptakan dengan cara memberikan tauladan secara nyata; memperjelas standar

46

etika kerja; adakan pelatihan dan pembelajaran etika; reward yang jelas untuk
tindakan-tindakan etis, dan membentuk mekanisme perlindungan bagi para
karyawan yang peduli terhadap berbagai tindakan etis
2. Menciptakan budaya inovatif. Budaya inovatif

adalah

budaya

yang

memungkinkan dan mendukung inovasi selalu tumbuh dalam sebuah organisasi.


3. Menciptakan budaya berorientasi pelanggan
4. Menciptakan budaya yang mendukung kebhinnekaan
5. Spritualitas dan budaya organisasi
Setiap organisasi memiliki budaya yang berbeda-beda dan pengaruhnya
terhadap perilaku anggota organisasi juga akan berbeda tergantung pada budaya
seperti apa yang tertanam dengan kuat dalam organisasi tersebut. Robbins (2009)
membagi budaya dalam 2 kategori yaitu (1) Budaya kuat, budaya yang menanamkan
nilai-nilai utama secara kokoh dan diterima secara luas di kalangan para karyawan,
serta memberikan pesan yang konsisten kepada karyawan tentang apa yang
dipandang berharga dan penting, para karyawan mengidentikkan jati diri mereka
dengan budaya organisasi dan yang terpenting memiliki pengaruh yang lebih besar
terhadap perilaku para karyawan dibanding budaya yang lemah; (2) Budaya lemah
adalah kebalikan dari budaya yang kuat.
2.1.2.3 Budaya Pembelajaran Organisasional
Organisasi yang sukses adalah organisasi yang selalu ingin belajar baik dari
kesalahan maupun dari kesuksesan. Organisasi tidak boleh statis karena perubahan
selalu ada dan akan terjadi. Agar keinginan belajar diikuti oleh seluruh anggota

47

organisasi maka pembelajaran harus dijadikan sebagai budaya sehingga aktifitas dan
tindakan seluruh anggota organisasi diwarnai oleh nilai-nilai pembelajaran.
Budaya pembelajaran organisasional selain terkait dengan learning
organization juga terkait dengan budaya organisasi. Sebuah organisasi dapat
menciptakan sebuah budaya yang lebih fokus pada learning. Hal ini penting sebagai
sebuah strategi untuk kesuksesan sebuah organisasi. Marquardt (2002) mengatakan
bahwa budaya organisasi dalam sebuah learning organization adalah sebuah
organisasi dimana learning dipandang sebagai faktor kritis kesuksesan sebuah bisnis,
dalam hal ini learning menjadi kebiasaan dan diintegrasikan sebagai bagian dari
keseluruhan fungsi organisasi. Budaya pembelajaran organisasional diyakini dapat
meningkatkan pembelajaran dalam organisasi dengan menciptakan kepercayaan,
nilai, kebiasaan dan lingkungan yang secara terus menerus mendukung pencapaian
kesuksesan sebuah organisasi. Beberapa pakar telah mengemukakan pendapat yang
cukup beragam tentang budaya pembelajaran organisasional diantaranya
Kandemir (2005) mengatakan bahwa Organizational Learning Culture mengarah
pada berbagai bentuk nilai dan perilaku yang mendukung learning. Selanjutnya Skerlavaj et
al. (2007) mengatakan hal yang hampir sama namun lebih terperinci yakni bahwa
Organizational Learning Culture adalah serangkaian norma dan nilai tentang fungsi dari

organisasi yang didukung secara sistematis, pendekatan mendalam untuk pencapaian


yang tinggi yakni melalui double loop, strategi atau generative organizational
learning melalui fase akuisisi informasi, interpretasi informasi, perubahan kognitif
dan perilaku. Selanjutnya Huang Richard et.al.(2009) lebih fokus pada pentingnya
pembelajaran dalam organisasi di mana dikatakan bahwa Organizational Learning

48

Culture adalah sesuatu di mana pembelajaran dianggap sebagai faktor kritis untuk
kesuksesan sebuah organisasi dan pembelajaran menjadi kebiasaan dan diintegrasikan
sebagai bagian dari fungsi organisasi secara keseluruhan.
Pendapat beragam yang dikemukakan oleh para pakar namun intinya adalah
bagaimana pembelajaran dijadikan sebagai budaya agar organisasi mampu meraih
sukses ke depannya, dengan demikian budaya pembelajaran organisasional adalah
serangkaian norma atau nilai yang mendukung pembelajaran baik individu, kelompok
atau organisasi dan meyakini pembelajaran sebagai faktor kritis kesuksesan sebuah
organisasi. Dimensi budaya pembelajaran organisasional terdiri dari continous
learning, dialogue and inquiry, team learning, embedded system,empowerment,
system connection dan provide leadership Marsick and Watkins (2003)

2.1.3

Konsep Pengelolaan Pengetahuan

2.1.3.1 Definisi Pengetahuan

Pada dasarnya pengetahuan adalah segala sesuatu yang individu ketahui baik
abstrak maupun nyata. Pengetahuan akan berbeda dengan data atau informasi.
Perbedaan ketiganya dikemukakan secara sederhana oleh Davenport dan Prusak
(1998) yang mengatakan bahwa pengetahuan itu bukan data ataupun informasi,
tetapi keduanya saling berhubungan. Data adalah seperangkat fakta yang memiliki
ciri tertentu mengenai suatu kejadian, biasanya terdapat dalam bentuk catatan-catatan
atau transaksi-transaksi. Selanjutnya informasi adalah hasil pengolahan data yang
bermakna yang bermanfaat dan berguna dalam pengambilan keputusan. Sedangkan

49

pengetahuan adalah aplikasi dari data dan informasi. Secara lebih lengkap makna
pengetahuan dikemukakan oleh Von Krogh (2000) sebagai berikut :
-

Pengetahuan merupakan pembenaran berdasarkan kepercayaan. Seorang individu


menganggap sesuatu benar jika dia percaya bahwa hal tersebut benar setelah
melakukan observasi. Pemahaman atas suatu situasi baru dengan berpegang pada
kepercayaan menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi dari
kenyataan. Penciptaan pengetahuan tidak hanya merupakan kompilasi dari faktafakta, namun suatu proses unik karena melibatkan perasaan dan sistem
kepercayaan yang kadang tidak disadari.

Pengetahuan dapat berupa eksplisit yaitu dapat dituliskan, diformulasikan dalam


bentuk kalimat-kalimat, atau diekspresikan dalam bentuk gambar dan implisit
yaitu pengetahuan yang terkait dengan perasaan, keterampilan dan bentuk bahasa
tubuh, persepsi pribadi, pengalaman, petunjuk praktis dan intuisi. Mengenali
nilai dan cara menggunakan pengetahuan implisit merupakan tantangan utama
organisasi yang ingin terus menciptakan pengetahuan.

Penciptaan pengetahuan secara efektif bergantung pada konteks yang


memungkinkan terciptanya pengetahuan tersebut. Pengetahuan bersifat dinamis,
relasional, berdasarkan tindakan manusia dan bergantung pada konteksnya.
Konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan pengetahuan adalah ruang
bersama yang dapat memicu timbulnya interaksi antar individu. Dalam konteks
organisasional bisa berupa fisik, maya, mental atau ketiganya.

50

Penciptaan pengetahuan meliputi lima langkah utama, yakni berbagi pengetahuan


implisit; menciptakan konsep; membenarkan konsep; membangun prototype;
melakukan penyebaran pengetahuan di berbagai fungsi dan tingkat di organisasi.
Polanyi merupakan orang pertama yang mengkategorikan knowledge menjadi

dua yaitu tacit knowledge dan explicit knowledge. Hal yang sama dikemukakan pula
Nonaka (2004). Kedua bentuk pengetahuan ini sangat berbeda. Tacit knowledge
sifatnya sangat personal berada dalam benak individu, biasanya lahir dari
pengalaman, bersifat intuitif, menimbulkan kepercayaan diri, ditopang oleh nilai-nilai
dan kepercayaan yang melekat pada individu maupun kelompok. Sedangkan Explicit
knowledge bersifat sangat rasional, metodologis, modeling, bersifat positif dan
empiris, biasanya dalam bentuk dokumen atau bentuk lain yang mudah
didistribusikan melalui berbagai media.
Di antara kedua bentuk knowledge yang diyakini dapat membawa organisasi
pada keunggulan bersaing adalah tacit knowledge karena sifatnya sangat personal
sehingga akan sulit untuk ditiru, namun untuk meoptimalkan kedua bentuk
pengetahuan secara bersama maka harus ada interaksi diantara keduanya. Interaksi
antara tacit dan explicit knowledge merupakan integrasi dari suatu interaksi alur pikir,
intuisi, imajinasi, symbol-simbol yang diwujudkan pada suatu produk yang dapat
dipasarkan, dijabarkan melalui proses berfikir logis rasional pada seluruh karyawan
yang terkait dalam produk dan jasa, sehingga akan lahir suatu produk/jasa yang
benar-benar bersifat inovatif dan bersifat kompetitif baik di pasar dalam negeri
maupun pasar global. Interaksi tacit dan explicit knowledge dibahasakan oleh Nonaka

51

Takeuchi (2004) sebagai proses konversi yang terdiri dari empat yang dikenal dengan
SECI model yaitu Socialization, Externalization, Combination, Internalization.
Proses konversi knowledge diilustrasikan dalam gambar berikut:
Ke

Dari

Tacit Knowledge

Explicit Knowledge

Tacit
Knowledge

Sosialisasi

Eksternalisasi

Explicit
Knowledge

Internalisasi

Kombinasi

Gambar 2.5 Empat Model Konversi Knowledge


Sumber : Nonaka Takeuchi,2004
Proses konversi berdasar gambar dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Sosialisasi yaitu konversi pengetahuan dari tacit ke tacit knowledge, dapat
dilakukan dengan proses sharing, interaksi dan pengalaman langsung
2. Eksternalisasi yaitu proses konversi pengetahuan dari tacit knowledge menjadi
eksplicit knowledge, dapat dilakukan dengan dialog dan refleksi
3. Kombinasi yaitu proses konversi pengetahuan dari eksplicit knowledge ke
eksplicit knowledge yang baru dilakukan dengan sistemisasi dan pengaplikasian
sistem informasi
4. Internalisasi yaitu proses konversi pengetahuan dari eksplicit knowledge menjadi
tacit knowledge yakni pembelajaran dan akuisisi pengetahuan oleh anggota
organisasi dari eksplisit knowledge yang ada melalui pengalaman sendiri

2.1.3.2 Definisi Pengelolaan Pengetahuan

52

Merebaknya fenomena manajemen pengetahuan merupakan kritik langsung


atas kesalahpahaman yang menganggap pengetahuan sebagai benda mati. Ilmu
pengetahuan dapat menemukan produk baru dengan dukungan metode atau model,
teknologi yang dikuasai, kualitas kontrol, riset-riset keinginan konsumen, otomatisasi
modal dan sebagainya. Pengetahuan dalam organisasi disebut intellectual capital
yang terdiri dari human capital, structural capital dan Customer capital:
1. Human capital adalah pengetahuan yang dimiliki dan bersumber dari tenaga
kerja termasuk keterampilan, pengalaman dan kreativitas, dalam hal ini terkait
pengetahuan, keterampilan, kemampuan anggota organisasi melakukan
tugasnya, seperti nilai, kultur dan filosofi. Juga pengetahuan, kebijakan,
keahlian, intuisi, dan kemampuan peorangn untuk mewujudkan tugas dan
tujuan, merupakan milik perorangan dan tidak bisa dimiliki oleh organisasi.
2.

Structural capital adalah pengetahuan yang terdapat dalam sebuah struktur


dan sistem organisasi, pengetahuan yang menetap di sebuah organisasi di luar
modal manusia. Struktural Capital terdiri atas market capital dan
organizational capital. Market capital adalah nilai dalam hubungan sebuah
organisasi dengan klien. Organizational capital di dalamnya ada perangkat
keras perangkat lunak, pangkalan data, struktur organisasi, paten, merk
dagang, dan segala sesuatu yang mendukung produktivitgas perorangan
melalui penggunaan bersama penyebarannya.

53

3. Customer capital adalah nilai yang bersumber dari kepuasan konsumen,


kemampuan pemasok dan sumberdaya eksternal lainnya yang dapat
menambah nilai untuk organisasi. ( Edvinsson, L and M.Malone,1997)
Beberapa pakar telah mengemukakan pendapat yang beragam tentang
pengelolaan pengetahuan akan membantu menambah pemahaman kita diantaranya:
Bergero (2003) mengatakan bahwa pengelolaan pengetahuan adalah
kemampuan untuk secara selektif mendapatkan, menyimpan dan mengakses praktek
terbaik dari pekerjaan terkait pengetahuan dan pembuatan keputusan dari karyawan dan

manajer baik sebagai individu maupun sebagai perilaku kelompok. Hal senada
dikemukakan McShane(2008) yang mengatakan pengelolaan pengetahuan adalah
berbagai aktivitas terstruktur untuk meningkatkan kapasitas organisasi untuk
mendapatkan, membagi, dan menggunakan pengetahuan agar organisasi sukses dan
survive. Sedangkan Jennex Murray (2005) lebih menekankan pada bagaimana
menggunakan pengetahuan dengan mengatakan bahwa pengelolaan pengetahuan
merupakan sebuah proses selektif untuk mengaplikasikan pengetahuan dengan belajar
dari pengalaman dalam pembuatan keputusan untuk membuat keputusan saat
sekarang dan masa yang akan datang guna meningkatkan efektivitas organisasi. Hal
yang agak berbeda juga dikemukakan oleh Rao, Madanmohan, (2005) dimana
pengelolaan pengetahuan diartikan sebagai sebuah ilmu yang sistematik dan
serangkaian

pendekatan

yang

memungkinkan

informasi

dan

pengetahuan

berkembang, mengalir dan menciptakan nilai dalam organisasi yang terkait dengan
orang, informasi, arus kerja, tools, best practice, aliansi dan praktek komunitas, dalam

54

hal pandangannya lebih pada proses penciptaan nilai melalui penegtahuan dan
informasi. Selanjutnya Liebowitz,J (2001) secara tidak langsung menegaskan bahwa
pengetahuan adalah aset yang intangible yang dapay dikonversi untuk menciptakan
nilai bagi organisasi dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa pengelolaan
pengetahuan adalah proses penciptaan nilai dari aset intangible organisasi
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa pada intinya
mereka ingin mengatakan bahwa pengetahuan merupakan aset yang jika dikelola
akan dapat menghasilkan nilai bagi organisasi dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa knowledge management adalah aktivitas terstruktur untuk mengembangkan
kapasitas organisasi untuk mendapatkan, menciptakan, membagi dan menggunakan
pengetahuan baik tacit knowledge maupun eksplicit knowledge agar mampu bertahan
dan sukses.
Liebowitz (2001) mengemukakan knowledge management life cycle yang
digambar seperti berikut :
Knowledge
Capture

Knowledge
Sharing

Knowledge
Application

Knowledge
Creation

Gambar 2. 6. Knowledge management life cycle


Sumber : Liebowitz,Jay.2001
Kemampuan untuk mendapatkan, membagi dan menggunakan pengetahuan
berarti perusahaan mampu menciptakan atau membangun sistem, struktur dan nilai
organisasi yang dapat mendukung proses knowledge management. Hal yang sama

55

dikemukakan oleh Tiwana(2000) bahwa terdapat tiga tahap dalam proses learning
dan knowledge yang didukung oleh teknologi yakni knowledge acquisition,
knowledge sharing dan knowledge utilization. Selanjutnya dikatakan bahwa tahaptahap ini tidak harus berurutan tapi dapat berlangsung secara paralel. Gambar berikut
menunjukkan proses dan elemen knowledge management menurut McShane (2008):

Knowledge Utilization
Sense making
Knowledge awareness
Empowerment

Gambar 2.7 Proses dan elemen Knowledge Management


Sumber : McShane (2008)
Nonaka(1994) mengatakan bahwa knowledge merupakan hal yang penting
dalam organisasi namun masih kurang yang memperhatikan tentang bagaimana
knowledge tercipta dan bagaimana proses penciptaan knowledge dikelola. Nonaka
selanjutnya memperkenalkan konsep knowledge creation dengan model konversi

56

knowledge yang dikenal dengan SECI model. Berikut penjelasan dari knowledge
acquisition, knowledge sharing, knowledge utilization dan knowledge creation yang
selanjutnya akan digunakan sebagai dimensi pengukuran knowledge management.
Knowledge Acquisition
Knowledge acquisition adalah kemampuan organisasi untuk menyaring
informasi dan ide-ide yang bersumber dari lingkungan. Terdapat empat cara yang
dapat dilakukan organisasi untuk mendapatkan pengetahuan yakni :
1. Individual learning
Individual learning dapat diperoleh melalui reinforcement, umpanbalik,
observasi dan pengalaman dan praktek manajemen dari banchmarking. Proses
mendapatkan pengetahuan dapat lebih efektif melalui pembelajaran individu
2. Environmental scanning
Environmental scanning terkait menerima informasi dari lingkungan eksternal
dan internal sehingga strategi pengambilan keputusan yang dibuat lebih efektif.
3. Grafting
Grafting adalah suatu proses untuk mendapatkan pengetahuan dengan cara
mengambil individu atau membeli perusahaan secara keseluruhan.
4. Experimentation
Experimentation menyangkut tiga aktivitas dalam mengumpulkan informasi
yaitu mendapatkan pengetahuan dari wawasan seseorang sebagai hasil dari
pengalaman dan proses kreativitas; mendapat pengetahuan dari kemampuan

57

belajar seorang pimpinan organisasi; mendapat pengetahuan dari penciptaan


infrastruktur yang dapat membantu karyawan dalam meningkatkan wawasannya.
Knowledge Sharing
Bagaimana organisasi dapat membagi pengetahuan? Banyak eksekutif
perusahaan yang percaya bahwa training merupakan elemen utama dalam knowledge
management. Pelatihan formal berguna tapi banyak pembagian pengetahuan yang
muncul melalui proses komunikasi yang cepat dan mengalir, pembagian informasi
melalui lintas batas organisasi. Team juga memainkan peran penting dalam membagi
pengetahuan. Organisasi menyebarkan pengetahuan dengan menempatkan anggota
baru dalam team yang dapat membawa pengalaman dari kesuksesan team di masa
lalu. Strategi yang lain adalah communities of practice. Kelompok informal ini terdiri
dari orang-orang yang hidup, menghirup dan suka terhadap pengetahuan khusus.
Communities of practice adalah kelompok informal yang terdiri dari orang-orang
yang dihubungkan dengan ketertarikan mutual mereka terhadap pengetahuan khusus.
Sistem rewards sangat potensial dalam mengurangi masalah.
Knowledge Utilization
Knowledge utilization termasuk making sense dari informasi yang diterima
dan diaplikasikan dalam perilaku karyawan secara langsung atau melalui system dan
struktur organisasi dengan cara (1) karyawan merealisasikan informasi yang mereka
dapat untuk meningkatkan pelayanan terhadap konsumen atau kualitas produk; (2)
karyawan harus dapat membuat sense atas informasi yang mereka terima; (3) tenaga
kerja membutuhkan kebebasan dalam menerapkan pengetahuan.

58

Knowledge Creation
Konsep knowledge creation atau penciptaan knowledge diperkenalkan oleh
Nonaka (19944) yang biasa dikenal dengan SECI Model yakni proses konversi antara
tacit knowledge dan eksplisit knowledge.

2.1.4

Konsep Kinerja Organisasi


Kinerja pada dasarnya adalah hasil dari sebuah kegiatan dalam kurun waktu

tertentu dan berdasarkan pada standar tertentu. Penilaian kinerja organisasi


merupakan hal yang sangat penting guna mengetahui sejauh mana pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan dan tindakan koreksi apa yang perlu dilakukan.

2.1.4.1 Definisi kinerja organisasi


Terdapat tiga pendekatan dalam mengukur kinerja organisasi yakni
pengukuran

objective

sifatnya

kuantitatif,

pengukuran

subjective

sifatnya

kualitatif/judgmental sering berdasarkan persepsi responden dan yang terakhir


trianggulation. Definisi kinerja organisasi sangat beragam diantaranya ;
Albretch (2011) mengatakan bahwa Kinerja atau performance is the extent to
which an organization achieves a set of pre-difined target that are unique to its
mission. This targets will include both objective(numerical) and subjective
(judgmental) indicators. Artinya kinerja organisasi adalah pencapaian organisasi atas
seperangkat target yang telah ditentukan. Target yang dimaksud terdiri dari baik target
objective maupun subjective. Sedangkan mengemukakan pandangannya kinerja

59

organisasi dengan memperjelas bahwa kinerja organisasi merupakan hasil kontribusi


dari individu dalam organisasi tersebut di mana Wood et.al (2001) mengatakan
bahwa kinerja organisasi adalah pengukuran ringkas dari kuantitas dan kualitas
kontribusi tugas-tugas yang dilakukan oleh individu/kelompok untuk organisasi yang
tergantung pada usaha yang dilakukan, kemampuan yang dimiliki, serta kesesuaian
antara pandangan atasan tentang persyaratan tugas.
Berdasarkan pendapat beberapa pakar di atas dapat disimpulkan bahwa
kinerja organisasi adalah sebuah pencapaian dari sebuah organisasi yang diukur
berdasarkan standar tertentu dalam kurun waktu tertentu.

2.1.4.2 Dimensi-dimensi pengukuran kinerja organisasi


Dimensi-dimensi pengukuran kinerja organisasi sangat beraneka ragam,
namun secara umum dimensi pengukuran kinerja terdiri dari dua yakni financial dan
nonfinancial. Kaplan dan Norton (1992) mengembangkan konsep BSC digunakan
empat perspektif sekaligus menjadi dimensi pengukuran kinerja yakni perspektif
keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan inovasi dan pembelajaran
Perguruan tinggi merupakan instrumen pendidikan dan memegang peran yang
sangat vital dalam menentukan kualitas pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Untuk itu diperlukan sebuah pengukuran kinerja yang tepat guna menjamin mutu dan
kelayakan institusi perguruan tinggi. Untuk itu menteri pendidikan dan kebudayaan
pada tahun 1994 telah membentuk badan akreditasi nasional perguruan tinggi (BANPT) yang bertugas melakukan akreditasi terhadap perguruan tinggi.

60

Mengingat Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003, PP RI No 19 tahun


2005 dan peraturan perundang-undangan lainnya serta kecenderungan perkembangan
kebijakan tentang pendidikan tinggi yang menekankan pada mutu dan akuntabilitas
publik institusi perguruan tinggi dan program studi maka diperlukan akreditasi
program studi. Instrumen akreditasi telah disusun dengan mempertimbangkan aspek
legal peraturan perundang-undangan dan tuntutan praktek-praktek proses akreditasi
terbaik yang berlaku internasional.
Program studi harus secara aktif membangun sistem penjaminan mutu internal
guna mewujudkan akuntabilitas publik. Untuk membuktikan bahwa sistem
penjaminan mutu internal telah dilaksanakan dengan baik dan benar maka program
studi harus diakreditasi oleh lembaga penjamin mutu eksternal. Dengan sistem
penjaminan mutu yang benar program studi akan mampu meningkatkan mutu,
menegakkan

otonomi

dan

mengembangkan

diri

sebagai

penyelenggara

akademik/profesional sesuai bidang yang dikelolanya dan turut serta dalam


meningkatkan kekuatan moral masayarakat secara berkelanjutan.
Penelitian ini akan menilai kinerja organisasi dalam hal ini kinerja program
studi dengan menggunakan standar yang telah ditetapkan oleh BAN-PT. Standar
akreditasi program studi sarjana mencakup standar tentang komitmen program studi
sarjana terhadap kapasitas institusional dan komitmen terhadap efektivitas program
pendidikan,
(1)

Visi,

yang
misi,

dikemas
tujuan

dan

dalam

tujuh

standar

akreditasi

sasaran

serta

strategi

pencapaian,

yakni
(2)

Tata

pamong,kepemimpinan,sistem pengelolaan dan penjaminan mutu; (3) mahasiswa dan


lulusan; (4) sumberdaya manusia; (5) kurikulum,pembelajaran dan suasana akademik;

61

(6) pembiayaan,sarana dan prasarana serta sistem informasi; (7) penelitian dan
pelayanan/pengabdian kepada masyarakat dan kerjasama.
2.1.5 Konsep Konflik
Konflik lekat dengan kehidupan, dan sulit untuk ditolak keberadaannya.
Konflik dalam organisasi akan muncul seiring dengan maju mundurnya organisasi
dan selalu menyertai perubahan yang terjadi dalam suatu organisasi. Intensitas
konflik akan bermanfaat apabila berada pada posisi medium, sedangkan pada
intensitas tinggi dan rendah akan menghasilkan ekses negatif terhadap organisasi.
Pada saat konflik berdampak negatif dan positif seluruh tatanan kehidupan organisasi
akan merasakannya tanpa terkecuali sumberdaya manusianya, karena itu, diagnosis
konflik sedini mungkin harus dilakukan agar pengendalian konflik dapat efektif.
2.1.5.1 Pengertian Konflik
Konflik semakin sering terjadi seiring dengan meningkatnya irama kehidupan
sehari-hari dan kegiatan dunia usaha yang berjalan semakin cepat. Memahami
konflik, sebab dan akibatnya sangat penting untuk mencapai sukses dalam kehidupan
pribadi dan professional. Kesuksesan sebuah organisasi juga akan sangat ditentukan
oleh faktor-faktor individual salah satunya adalah konflik. Pendapat dari para ahli
mengenai konflik akan menambah pemahaman kita tentang makna sesungguhnya dari
konflik diantaranya :
Robbins (2009) mengatakan bahwa konflik adalah suatu proses yang mulai
bila suatu pihak mulai merasa bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif
sesuatu yang menjadi kepedulian pihak pertama. Hal yang sama dikemukakan

62

Kreitner (2006) dan Mc Shane (2008) dan Slocum/Hellriegel (2007). Hal agak
berbeda dikemukakan oleh Gibson, et.al (2003) konflik itu ada apabila adanya
konfrontasi diantara kelompok baik yang bersifat negatif maupun positif, dalam hal
ini pandangan ini lebih ditekankan pada sifat dari konflik yaitu bersifat positif yang
selanjutnya dikenal dengan konflik fungsional dan konflik yang bersifat negatif yang
selanjutnya dikenal dengan konflik disfungsional. Selanjutnya Deutsch(dalam
Bradford D, Kevin, 2001) juga mengemukakan pandangan yang agak berbeda
penekanannya yakni mengatakan bahwa konflik adalah perilaku atau perasaan antar
kelompok dalam merespon potensi atau gangguan yang ada yang berdampak pada
perilaku anggota kelompok dalam mencapai tujuan, dalam hal ini pendapat ini lebih
ditekankan pada dampak konflik terhadap perilaku individu dan kelompok.
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat di simpulkan bahwa konflik adalah
suatu persaingan, pertentangan atau ketidaksetujuan diantara kelompok, di mana
suatu kelompok merasa sesuatu yang diperhatikannya juga diperhatikan lawannya
atau perlakuan negatif dari kelompok lainnya yang dapat mempengaruhi perilaku
individu dalam pencapaian tujuan organisasi.
2.1.5.2 Bentuk-Bentuk Konflik
Kemampuan berinteraksi secara efektif dengan orang lain untuk membangun
kerjasama dalam segala situasi sangat penting bagi sebuah organisasi guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Interaksi

yang terjadi dalam organisasi seringkali

menghasilkan konflik dalam setiap tingkatan baik tingkatan individu, kelompok


maupun organisasi. Pickering (2006) mengatakan bahwa jenis Konflik terdiri dari :

63

1.

Konflik diri, yaitu gangguan emosi yang terjadi dalam diri seseorang karena
dituntut menyelesaikan pekerjaan atau memenuhi harapan sementara pengalaman,
minat, tujuan, dan tata nilai yang dimilikinya tidak sanggup memenuhinya.

2.

Konflik antar individu, yaitu konflik antara dua atau lebih individu. Setiap orang
mempunyai empat kebutuhan dasar psikologis yang dapat mencetuskan konflik
apabila tidak terpenuhi. Kebutuhan dasar psikologis tersebut adalah keinginan
untuk dihargai dan diperlakukan sebagai manusia, keinginan untuk memegang
kendali, keinginan untuk memiliki harga diri dan keinginan untuk konsisten.

3.

Konflik kelompok, yaitu konflik yang terjadi antara individu dalam suatu
kelompok (tim, departemen, perusahaan dsb), sedangkan konflik antar kelompok
melibatkan lebih dari satu kelompok (beberapa tim, departemen, organisasi, dsb).
Pembagian konflik yang lebih fokus pada konflik ditempat kerja dalam dua
tipe yakni relationship conflict (affectif conflict) dan task conflict (cognitive conflict),
dikemukakan oleh Amason et.al. dan Jehn

(dalam Bradford D, Kevin, 2001 ).

Affectif conflict are disagreement between team members that are based on personal
incompatibilities that produce suspicion, distrust and hostility among team members.
Relationship conflict muncul ketika terdapat ketidakcocokan/ketidaksesuaian
interpersonal di antara anggota kelompok. Relationship conflict dapat berupa
ketegangan, dendam, kebencian, rasa permusuhan dan kejengkelan di antara anggota
kelompok. Anggota kelompok merasa frustasi, tegang dan gelisah, khawatir ketika
merasa tidak suka atau tidak menyukai anggota lain. Sebuah bentuk respon
penghindaran psikologi dari situasi yang mengganggu tersebut. Ancaman dan

64

kegelisahan berhubungan dengan terpeliharanya affectif conflict akan membatasi


produktivitas kelompok dengan cara :
Membatasi proses kognitif di mana relationship conflict,

mengurangi kemampuan anggota kelompok untuk memperoleh informasi baru


dari anggota kelompok yang lain
Relationship conflict membuat anggota kurang mau menerima

ide-ide dari anggota kelompok lain karena ada rasa suka dan tidak suka di
antara mereka.
-

Waktu dan energi yang seharusnya digunakan menyelesaikan


pekerjaan, dihabiskan untuk untuk berdiskusi untuk menyelesaikan konflik.
Task conflict (cognitif conflict) yaitu konflik yang muncul ketika terdapat

ketidaksetujuan antara anggota organisasi/kelompok tentang isi tugas yang harus


dikerjakan, termasuk perbedaan sudut pandang, ide dan opini. Task conflict dapat
menyebabkan ketegangan, perlawanan, kebencian dan ketidakbahagiaan di antara
anggota organisasi dan keengganan untuk bekerjasama di masa yang akan datang.
Malcolm R Clark (2003) menyatakan bahwa pengukuran relationship conflict
dapat dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang dikembangkan oleh
Jehn.K.A yang indikatornya terdiri dari clashes were evident, there was personal
friction, and there was tension in group. Di tambahkan dengan dua indikator lain
yang dikemukakan oleh Bales, R.F yakni one or two people dominated discussion
dan satunya lagi oleh Schweiger, D.M yang indikatornya I did not enjoy working with
the group. Sedangkan untuk pengukuran Task conflict

dapat dilakukan dengan

65

menggunakan

indikator-indikator

yang

dikembangkan

oleh

Amason

yang

dimodifikasi oleh Jehn.K.A yang indikatornya terdiri dari there were many
differences about the content, there were many differences of opinion and there were
many differences idea introduced, kemudian ditambahkan lagi dengan dua indikator
yang dikemukakan oleh Bales R.F yakni there was a lot of clarification and there
was much discussion.
Keefektifan sebuah keputusan yang dibuat akan berkurang ketika task conflict,
mengakibatkan meningkatnya relationship conflict dan tentu saja akan berdampak
pada menurunnya produktivitas karyawan khususnya dan perusahaan/organisasi pada
umumnya. Ini sesuai dengan pendapat De Dreu & Van Vianen (dalam Malcolm R.
Clark, 2003) task conflict may increase relationship conflict which , in turn may
reduce decision making effectiveness.
Gibson (2003) membagi konflik dalam dua bentuk yakni konflik yang bersifat
positif atau functional conflict dan konflik yang bersifat negatif atau disfunctional
conflict. Hal yang sama dikemukakan oleh Kondalkar (2007) yang juga membagi
konflik dalam dua bentuk yakni functional conflict dan disfunctional conflict. Kedua
bentuk konflik dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Functional conflict adalah sebuah konfrontasi diantara kelompok yang dapat
meningkatkan manfaat dan kinerja organisasi
2. Disfunctional conflict adalah konfrontasi atau interaksi diantara anggota
kelompok yang menggangu pencapaian tujuan organisasi (Gibson,2003)
Hal senada dikemukakan pula oleh Schermerhorn,et.al (2010) yang mengatakan
bahwa konflik terdiri dari dua bentuk yakni functional conflict atau constructive

66

conflict merupakan bentuk konflik yang memberikan manfaat bagi kelompok.


Konflik fungsional ini memungkinkan organisasi atau kelompok mengetahui
masalah-masalah penting yang terpendam, menyebabkan pengambilan keputusan
dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan berbagai pertimbangan guna
memastikan bahwa hal yang baik akan tercipta dari keputusan yang dibuat,
menyebabkan

sejumlah

informasi

digunakan

untuk

pembuatan

keputusan,

mengembangkan kreativitas dan mendukung kinerja individu, kelompok dan


organisasi. Bentuk konflik yang kedua adalah disfunctional conflict atau destructive
conflict yaitu konflik yang dapat menimbulkan kerugian pada individu, kelompok dan
organisasi. Konflik disfungsional ini dapat menguras energi, mengganggu kohesivitas
kelompok, menghasilkan permusuhan individu dan secara keseluruhan menciptakan
lingkungan yang tidak kondusif pada pekerjaan.
Agar pemahaman tentang perbedaan konflik fungsional dan disfungsional maka
ciri atau karakteristik dari kedua jenis konflik harus kita ketahui. Konflik bersifat
fungsional ketika konflik dapat membangun kohesivitas diantara anggota kelompok,
tujuan kelompok menjadi prioritas dan tujuan individu pada posisi kedua; konflik
menghasilkan inovasi, kreativitas dan menjadi pendorong motivasi dalam kelompok;
konflik menciptakan tantangan dalam lingkungan kerja dan meningkatkan peluang
untuk pengembangan diri dari kelompok dan konflik menningkatkan budaya kerja
Sedangkan ciri atau karakteristik dari konflik disfungsional adalah ketika
konflik tidak menemukan solusi; ketika konflik mengakibatkan tujuan utama
terabaikan; konflik meningkatkan absenteeism dan memungkinkan turnover dan

67

konflik dapat disebabkan karena ketidak setujuan akan gaya manajemen yang akan
menghasilkan disloyalty (Kondalkar (2007)
Penelitian ini lebih difokuskan pada konflik yang bersifat disfunctional
conflict, tujuannya semata-mata karena ingin mengetahui secara jelas kondisi dan
pengaruh dari konflik yang bersifat disfungsional. Untuk mengukur konflik
disfungsional penulis menggunakan indikator relationship conflict di mana
relationship conflict sifatnya lebih disfunctional dan paling banyak terjadi dalam
sebuah kelompok atau organisasi. Indikator yang digunakan terdiri dari clashes were
evident, there was personal friction, and there was tension in group, one or two
people dominated discussion dan I did not enjoy working with the group.
2.1.5.3 Dampak Konflik
Setelah penyelesaian konflik dilakukan pihak-pihak yang terlibat dapat
merasakan dampak positif seperti perasaan lega bagi pihak yang bertikai, hal ini
terjadi jika pemecahan dilakukan dengan penjelasan permasalahan dan pengertian
dari semua pihak ataupun dampak negatif berupa keburukan hubungan antara pihakpihak yang bertikai dan akan berdampak pada hal-hal lain.
Newstrom (2002) mengatakan bahwa konflik dapat berdampak positif juga
dapat berdampak negatif. Dampak positif dari konflik adalah (1) Orang-orang dalam
suatu organisasi didorong untuk mencari pemecahan masalah dan melakukan
pendekatan-pendekatan terbaik sehingga meningkatkan kreativitas dan banyak
mencoba hal-hal baru; (2) Dapat menanggulangi masalah-masalah yang terpendam
namun sangat perlu untuk diselesaikan, sehingga konflik di masa yang akan datang

68

dapat dihindarkan. Dampak negatif dari konflik adalah; (1) Kerjasama dan teamwork
akan memburuk.; (2) Berkurangnya kepercayaan antara individu atau kelompok; (3)
Meningkatnya tingkat stres; (4) Penurunan motivasi.
Kerugian yang ditimbulkan oleh konflik adalah perasaan cemas yang tidak
perlu, komunikasi menyusut, persaingan yang makin menghebat dan perhatian yang
makin menyusut terhadap tujuan bersama. Keuntungan yang timbul karena adanya
konflik adalah kreatifitas dan inovasi meningkat, intensitas upaya penyelesaian
masalah meningkat, ikatan atau kohesi yang makin kuat dan ketegangan menyusut.
2.1.5.4 Gaya Manajemen Konflik Interpersonal
Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam menanggapi konflik. Suatu
kelompok mungkin cenderung menjauhi konflik dan kelompok lain mungkin
menikmati keterlibatannya dalam konflik. McShane (2008) menyatakan bahwa
manajemen konflik dapat dilakukan dengan empat cara yakni :
Collaborating adalah mencoba menemukan penyelesaian yang menguntungkan
kedua belah pihak yang terlibat konflik melalui problem solving. Dalam hal ini
orang-orang yang terlibat saling berbagi informasi untuk mengidentifikasi potensi
solusi yang dapat membuat kedua pihak merasa puas.
Avoiding adalah mencoba untuk menghindari situasi konflik.
Competing adalah mencoba untuk memenangkan konflik. Gaya ini lebih
mengarah pada orientasi win-lose.

69

Accomodating adalah gaya yang manajemen konflik yang mempertimbangkan


kedua pihak yang terlibat. Jadi tidak mementingkan kepentingan diri sendiri.
Compromising adalah mencoba untuk mencari jalan tengah, di mana setiap pihak
memiliki sesuatu yang ditawarkan dan diterima.
2.1.5.5 Pendekatan Struktural dalam Mengelola Konflik
Manajemen konflik selain menggunakan pendekatan individual, dapat juga
dengan pendekatan struktural dengan cara :
1.

Emphasizing Superordinate Goals yaitu dengan memfokuskan


setiap orang pada superordinate goals. Superordinate goals adalah tujuan umum
yang harus diperhatikan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik yang lebih
penting jika dibandingkan tujuan departemen ataupun individual

2.

Reducing Differentiation yaitu kita harus merubah atau


menghilangkan kondisi yang dapat menciptakan perbedaan.

3.

Improving Communication and Understanding. Komunikasi


sangat efektif dalam manajemen konflik, karena peluang, kemampuan dan
motivasi berbagi informasi yang tinggi, maka persepsi yang salah diantara setiap
pihak akan berkurang. Komunikasi akan menciptakan pemahaman yang baik
diantara semua pihak

4.

Reducing Task Interdependence. Cara lain untuk mengurangi


konflik disfungsional adalah dengan mengurangi saling ketergantungan tugas
diantara orang-orang yang ada dalam organisasi.

70

5.

Increasing Resources. Untuk mengurangi konflik karena


kelangkaan

sumberdaya

adalah

dengan

meningkatkan

jumlah

sumberdaya(McShane,2008)
2.1.5.6 Resolusi Konflik
Resolusi konflik terkait dengan usaha menyelesaikan konflik dengan
menempatkan pihak ketiga yang relatif netral untuk membantu pihak-pihak yang
berkonflik agar ditemukan solusi terbaik. McShane (2008) mengatakan bahwa ada
tiga jenis resolusi konflik yakni mediation, arbitration, dan inquisition yang
penjelasannya sebagai berikut :
1.

Mediation. Mediator memiliki kontrol yang tinggi terhadap


seluruh proses intervensi, termasuk mengatur proses dan maksud interaksi antara
pihak-pihak yang terlibat konflik, namun memiliki sedikit kontrol atau bahkan
tidak ada dalam keputusan penyelesaian karena konflik keputusan penyelesaian

konflik sepenuhnya ditentukan oleh pihak-pihak yang terlibat.


2.
Arbitration. Arbitrator membuat sebuah keputusan yang
mengikat seluruh pihak yang terlibat konflik dan ini berarti bahwa arbitrator
memiliki kontrol yang tinggi sampai pengambilan keputusan akhir.
Inquisition. Inquisitor mengawasi seluruh diskusi tentang

3.

konflik. Mereka memilih bentuk resolusi konflik dan informasi untuk dicoba dan
bagaimana mencoba hal tersebut dan secara umum menangani proses
penyelesaian konflik.

71

2.1.6

Konsep Kepuasan Kerja


Kepuasan kerja sangat penting untuk selalu di perhatikan oleh organisasi

apapun, karena beberapa penelitian menemukan kepuasan kerja akan menentukan


kinerja individu dan pada akhirnya akan berdampak pada kinerja organisasi.
2.1.6.1 Definisi Kepuasan Kerja
Pada dasarnya kepuasan kerja adalah perasaan suka atau tidak suka terhadap
berbagai kondisi yang terkait dengan pekerjaan. Untuk lebih memahami makna
kepuasan kerja maka beberapa pakar telah mengemukakan pandangannya diantaranya
Pierce and Donald (2002) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap yang
muncul sebagai akibat dari penilaian seseorang atas pencapaiannya dalam
pekerjaanya atau seberapa baik pekerjaan memberikan nilai penting baginya. Hal
senada dikemukakan oleh Luthans (2005) dimana dikatakan bahwa kepuasan kerja
hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan
hal yang dinilai penting. Jadi baik Pierce maupun Luthans keduanya menekankan
pada nilai yang mereka terima dari pekerjaannya. Selanjutnya Robbins(2003)
mengartikan kepuasan kerja secara lebih luas yakni sikap individu secara keseluruhan
terhadap pekerjaannya. Sedangkan Ivancevich (2003) lebih terperinci lagi
menyebutkan berbagai hal yang akan memunculkan perasaan puas atau tidak puas
yakni bahwa kepuasan kerja adalah sikap yang dikembangkan para karyawan
sepanjang waktu mengenai berbagai segi pekerjaannya seperti upah, gaya penyelia
dan rekan sekerja.

72

Meskipun nampak bahwa terdapat perbedaan cara mengartikan kepuasan


kerja namun pada dasarnya semuanya mengarah pada kondisi emosi yang
ditimbulkan oleh penilainnya individu terhadap pekerjaannya sehingga dapat
disimpulkan bahwa Kepuasan kerja adalah sikap atau kondisi emosi individu yang
senang terhadap pekerjaannya. Seorang karyawan yang menyukai/tidak menyukai
pekerjaannya dapat terlihat dari sikapnya terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang
dihadapi di lingkungan kerjanya.
2.1.6.2 Konsekuensi Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja yang dirasakan oleh individu dalam organisasi akan memiliki
konsekuensi yang beragam dalam kehidupan sebuah organisasi. Menurut Robbins
(2003) konsekuensi dari kepuasan kerja ada tiga yaitu :
1. Kepuasan dan produktivitas . Seorang pekerja yang puas akan memiliki tingkat
produktivitas yang tinggi. Organisasi yang memberikan penghargaan pada
produktivitas, seperti pengakuan verbal, tingkat gaji, dan probabilitas untuk
dipromosikan akan meningkatkan kepuasan karyawan pada pekerjaan.
2. Kepuasan dan kemangkiran. Karyawan yang puas dengan pekerjaannya akan
memiliki tingkat absensi rendah, meski tidak menutup kemungkinan karyawan
yang memiliki kepuasan kerja juga dapat memiliki absensi yang tinggi. Untuk
menghindari kemungkinan seperti itu maka sebaiknya perusahaan memberikan
kompensasi yang menarik bagi seluruh karyawan.

73

3. Kepuasan dan tingkat turnover. Salah satu cara mempertahankan karyawan yang
handal adalah dengan memberikan kepuasan kerja pada karyawan karena hal
tersebut akan membuat karyawan betah dan tidak meninggalkan organisasi.
Hal senada dikemukakan Luthans (2005) menyebutkan bahwa konsekuensi
dari job satisfaction adalah konsekuensi terhadap performance, turnover dan
absenteeism. Begitu pula dengan Greenberg (2005) yang menyatakan konsekuensi
job satisfaction adalah employee withdrawal:voluntary turnover and absenteeism
2.1.6.3 Dimensi Kepuasan Kerja
Purani dan Sahadev dalam Masrour Muhammad Alam et al.(2009)
mengemukakan 6 dimensi kepuasan kerja beserta indikator dari masing-masing
dimensi yakni :

Satisfaction with supervisor indikatornya informasi yang cukup dari


supervisor tentang pekerjaan, peluang untuk mengetahui cara mengerjakan tugas
dengan baik, Feedback dari supervisor, dan informasi tentang kinerja karyawan

Satisfaction with coworker indikatornya rekan kerja menyenangkan, tidak


egois, mau saling menolong, bersahabat

Satisfaction with compensation indikatornya sistem kompensasi, jenis


kompensasi, jumlah kompensasi

Satisfaction with job variety indikatornya kebebasan dalam bekerja,


variasi pekerjaan, kebebasan berpendapat dan kebebasan berinteraksi

Satisfaction with Closure indikatornya peluang menuntaskan pekerjaan

74

Satisfaction with Management dan policy indikatornya kondisi fisik


lingkungan kerja, keadilan manajemen dalam kebijakan yang dibuat, pengambilan
keputusan
Hal senada dikemukakan Colquit at al (2009) mengemukakan dimensi job

satisfaction terdiri dari Pay satisfaction, Promotion satisfaction, Supervision


satisfaction, Coworker satisfaction, Satisfaction with the work it self. Yang berbeda
hanya karena tidak dimasukkannya unsur kepuasan terhadap managemnt dan policy.
Selanjutnya Weiss dalam Pool Steven and Brian Pool (2007) membagi dimensi
kepuasan kerja menjadi dua yakni intrinsic satisfaction terkait kepuasan terhadap halhal terkait pekerjaan itu sendiri dan extrinsic satisfaction kepuasan terkait hal-hal
diluar pekerjaan. Pendapat pakar tentang dimensi kepuasan kerja sebenarnya tidak
berbeda namun ada diantara mereka yang merinci dengan lebih jelas.
Kepuasan kerja dalam penelitian ini akan diukur dengan menggabung dimensi
dari weiss dan purani and sahadev yang membagi internal satisfaction dengan
dimensi satisfaction with own capability, satisfaction with job variety dan satisfaction
with closure. Sedangkan external satisfaction yang terdiri dari dimensi satisfaction
with supervisor, with coworker, with compensation, dan satisfaction with HR
management and policy.
2.1.7

Penelitian Terdahulu
Untuk dapat menunjukkan originalitas dari penelitian ini maka tabel berikut

akan menyajikan beberapa penelitian terdahulu terkait dengan variabel-variabel yang


akan diteliti

75

76

77

Anda mungkin juga menyukai