Bab I Dan II
Bab I Dan II
BAB I
PENDAHULUAN
Tabel 1.1
Peringkat Human Development Index Wilayah East Asia Pasific
10 Highest HDIs
No
Negara
10 Lowest HDIs
HDI 2010
No
0,937
0,907
0,884
0,877
New Zealand
HDI 2010
Australia
Negara
0,431
Myanmar
0,451
Japan
3
South Korea
Cambodia
Hong Kong
0,862
0,846
0,805
Singapore
0,494
Laos
Brunei
0,494
Solomon Islands
0,497
Timor-Leste
0,502
Vietnam
Palau
0,572
Indonesia
0,757
0,744
0,600
Malaysia
9
Tonga
10
0,677
Sumber: wikipedia,akses 23 september 2011
10
Micronesia,
Federated States of
Mongolia
0,614
0,622
sebuah strategi yang tepat agar potensi yang dimiliki sumberdaya manusia mampu
dieksplore dengan lebih baik. Konsep RBV mendukung hal ini di mana menurut
konsep ini sebuah organisasi akan meraih keunggulan karena adanya berbagai
perbedaan dari segi sumberdaya dan kapabilitas. Pengetahuan yang dimiliki manusia
merupakan sumberdaya yang diyakini mampu memenuhi kriteria VRIO (Valuable,
Rare, Inimitate, Organizational) dari Barney (1991) di mana kriteria ini akan
membuat sebuah organisasi meraih keunggulan bersaing.
Pengetahuan merupakan salah satu intangible asset yang sangat penting dan
memiliki nilai strategis. Dengan memahami hal ini seharusnya perguruan tinggi dapat
memanfaatkan knowledge sebagai sumberdaya dalam usaha pencapaian tujuantujuannya yakni peningkatan kualitas bagi seluruh stakeholder. Knowledge
management seharusnya dijadikan strategi kesuksesan organisasi. Knowledge
management (McShane,2008),
sama dikemukakan Malik E.M, Rizwan Q and Ali Usman (2010) yang mengatakan
A Good Learning Culture will not only help employees to show high level of
performance but also keep those good employee in the organization.
Budaya pembelajaran organisasional adalah budaya atau nilai yang dianut
dalam organisasi yang mendukung pembelajaran yang terus menerus guna
mengembangkan kapasitas organisasi secara keseluruhan diyakini berpengaruh pada
pelaksanaan knowledge management, karena untuk meningkatkan keinginan belajar
diperlukan budaya organisasi yang mendukung proses pembelajaran sehingga dapat
memperoleh, mengembangkan serta mentransfer pengetahuan dengan mudah. Hal
senada dikemukakan Pool (2000) dan Hall (2001) suppose that during the process of
encouraging employees to want to learn, it is necessary for organizational culture to
support the organizational learning.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa baik kepemimpinan,
budaya pembelajaran organisasional dan pengelolaan pengetahuan memiliki peran
dalam pencapaian kinerja organisasi
Penulis berkeyakinan bahwa segala proses yang terjadi dalam sebuah
organisasi akan sangat ditentukan oleh mekanisme individual olehnya itu penulis
mencoba mengkaji konflik dan kepuasan kerja
memoderasi pengaruh
pemimpinnya
khususnya
terkait
keterlibatan
mereka
dalam
organisasi untuk mengikuti budaya tersebut tidak akan maksimal, hal ini sesuai
temuan Alfonso (2000) dan Tuija (2004), bahwa konflik dapat menghambat proses
learning baik team ability learns maupun individual learning.
Kepuasan kerja dapat pula memoderasi baik pengaruh antara kepemimpinan
dan budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan.
Kepuasan kerja pada dasarnya adalah sikap atau kondisi emosi individu yang senang
terhadap pekerjaannya akan menentukan kesesuaian antara individu dengan
organisasi. Kepuasan kerja sangat perlu dikaji karena ketidakpuasan yang timbul
dapat menjadi masalah yang sangat serius bagi organisasi karena akan berdampak
langsung pada perilaku produktif dari karyawan. Ketika kondisi kepuasan tinggi
maka peran pemimpin akan semakin optimal begitu pula budaya pembelajaran
organisasi akan benar-benar menjadi pedoman dan mewarnai perilaku keseharian
anggota organisasi. Hal ini dikemukakan pula oleh Spector (dalam Ali Nazim, 2010)
Dissatisfied employee if remained in the organization may involve in counterproductive behavior. Dalam organisasi berbasis pengetahuan salah satu perilaku yang
tidak produktif adalah ketika keinginan untuk sharing knowledge masih kurang,
Perguruan tinggi di Sulawesi Selatan sampai saat ini nampaknya belum
mampu bersaing dengan perguruan tinggi lain di Indonesia khususnya di kawasan
Barat Indonesia, hal ini terlihat dari hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga
Pemeringkat Internasional di antaranya THE-QS, Webomentrics, 4icu dll. Tabel 1.2
berikut akan menunjukkan peringkat perguruan tinggi di Indonesia menurut 4ICU
Tabel 1.2
Peringkat 20 Besar Perguruan Tinggi di Indonesia
No Peringkat
1
Institut Teknologi Bandung,Bandung
2
Universitas Indonesia,Depok and other locations
3
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
4
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
5
Universitas Gunadarma ,Depok
6
Universitas Sumatera Utara, Medan
7
Universitas Diponegoro, Semarang
8
Universitas Bina Nusantara, Jakarta
9
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
10
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
11
Universitas Kristen Petra, Surabaya
12
Institut Pertanian Bogor, Bogor
13
Universitas Padjadjaran, Bandung
14
Universitas Islam Indonesia,Yogyakarta
15
Universitas Negeri Malang, Malang
16
Universitas Sriwijaya , inderalaya
17
Universitas Andalas,Padang
18
Universitas Airlangga, Surabaya
19
Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta
20
Universitas Muhammadiyah Malang, Malang
10
Pengangguran
terbuka
Setengah
Total pengangguran terbuka +
pengangguran
setengah pengangguran
terpaksa
terpaksa
2007
98.147
16.019
114.162
2008
53.561
21.947
75.508
2009
74.777
27.240
102.017
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Selatan,2007,2008,2009
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa pengangguran terbuka ditambah
setengah pengangguran terpaksa untuk kategori pendidikan tertinggi yang ditamatkan
adalah diploma/akademi atau perguruan tinggi
2009. Kondisi ini menggambarkan kepada kita bahwa perguruan tinggi di Sulawesi
Selatan belum mampu menjawab salah satu tantangan yakni menghasilkan alumni
berkualitas sesuai tuntutan stakeholder penyedia lapangan kerja. Hal ini sekaligus
menggambarkan bahwa kinerja perguruan tinggi di Sulawesi selatan masih rendah.
Kondisi ini mendorong penulis untuk mencoba mengkaji berbagai faktor yang
mungkin menjadi penyebab terjadinya permasalahan tersebut.
11
Penelitian ini akan lebih difokuskan pada jenjang program studi sarjana
karena mutu program studi sarjana merupakan cerminan kinerja perguruan tinggi
secara keseluruhan. Hal senada dikemukakan oleh BAN-PT (2008) bahwa mutu
program studi sarjana merupakan totalitas keadaan dan karakteristik masukan, proses
dan produk atau layanan program studi sarjana yang diukur dari sejumlah standar
sebagai tolok ukur penilaian untuk menentukan dan mencerminkan mutu institusi
perguruan tinggi.
Untuk memahami berbagai kondisi terkait variabel yang diteliti maka
dilakukan prasurvei kurang lebih 1 bulan, antara bulan Juni sampai Juli 2011. Pra
survey dilakukan dengan cara wawancara dan penyebaran kuesioner yang dibagikan
pada 37 responden. Hasil prasurvei memberikan beberapa indikasi yang dapat
mempengaruhi pencapaian kinerja perguruan tinggi yang belum optimal.
Hasil prasurvei berdasarkan jawaban-jawaban dari sebagian besar responden
mengatakan bahwa perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan belum memiliki
infrastruktur yang layak terutama teknologi informasi dan komunikasi, perpustakaan
yang jauh dari kategori memadai, mengakibatkan para staf dan dosen lambat dalam
memperbaharui
akibatnya perguruan tinggi tidak mampu mengadopsi pengetahuan dari pakar yang
berpengalaman. Hal lain adalah kegiatan seminar/bedah buku yang pembicaranya
dari kalangan kampus dan diskusi-diskusi tentang perkembangan ilmu pengetahuan
juga masih jarang dilakukan, serta keinginan untuk saling sharing pengalaman dan
pengetahuan masih rendah, hal ini tentu akan berdampak pada terbatasnya
12
13
sharing knowledge. Fenomena lain yang diperoleh dari hasil prasurvei adalah bahwa
dukungan terhadap anggota organisasi yang senang mengambil resiko masih sangat
kurang, hal ini membuat para dosen tidak berani bertindak diluar kebiasaan.
Organisasi belum mampu menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan
stakeholder berdampak pada kemampuan organisasi untuk memahami dan memenuhi
harapan stakeholder, akibat lanjutnya adalah individu dan organisasi tidak mampu
melihat perkembangan dan perubahan lingkungan, otomatis membuat organisasi tidak
menyadari ketatnya persaingan. Dukungan nyata dari seorang pemimpin terhadap
keinginan para dosen untuk mengikuti pelatihan namun seringkali sulit diperoleh,
juga seringkali pimpinan tidak mampu memberdayakan orang-orang dalam organisasi
untuk membantu pencapaian visi. Hal ini mengindikasikan kemampuan pimpinan
dalam menjalin komunikasi dengan bawahannya masih buruk, padahal seorang
pemimpin akan sangat menentukan seperti apa bawahannya akan bertindak atau
berperilaku. Berbagai kondisi yang diuraikan di atas mengindikasikan bahwa OLC
belum tertanam dengan kuat, sehingga apa yang menjadi tujuan dari Organizational
Learning Culture yakni mendukung pembelajaran terus menerus guna meningkatkan
kapasitas perguruan tinggi secara keseluruhan akan sulit tercapai.
Hasil pra survei juga mengindikasikan bahwa kemarahan, kejengkelan ketika
ada yang mendominasi diskusi seringkali muncul, perasaan tidak senang bekerja
dalam kelompok, mengindikasikan bahwa ada hal-hal terkait lingkungan kerja yang
membuat individu tidak merasakan kenyamanan dalam bekerja, di samping itu
benturan kepribadian dan perselisihan antar individu secara alami muncul karena
14
pada dasarnya tidak ada manusia yang sama masing-masing memiliki karakteristik
yang berbeda dan hal tersebut bisa memunculkan konflik. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa konflik yang sifatnya disfungsional dalam hal ini
relationship conflict sering muncul.
Fenomena lain yang diperoleh dari prasurvei adalah terkait cara organisasi
dalam menjalankan berbagai kebijakan yang sering tidak sesuai dengan harapan para
anggota organisasi, serta cara pemimpin berinteraksi dengan bawahan terkadang
didasarkan atas suka atau tidak suka yang membuat kondisi kerja menjadi tidak
nyaman. Berbagai kondisi ini mengindikasikan bahwa terdapat masalah dalam
kepuasan kerja yang dirasakan oleh anggota organisasi. Secara ringkas hasil prasurvei
dapat digambarkan dalam tabel berikut :
Tabel 1.4
Gambaran Umum Kepemimpinan, Budaya pembelajaran
organisasional, pengelolaan pengetahuan, konflik dan kepuasan
kerja di Perguruan Tinggi Negeri di Sulawesi Selatan
Skor
Dimensi
Sangat
rendah/buruk
37-67
Rendah
Sedang
Tinggi
68-98
99-129
130-160
Kepemimpinan
Intellectual stimulation
120
Sangat
Tinggi/Baik
161-191
15
2 Inspirational motivation
3 Individual considerat ion
4 Idealized influence
5 Management by exception
6 Contingent Reward
Budaya Pembelajaran Organisasional
1 Continuous Learning
2 Dialogue and Inquiry
3 Team learning
4 Embedded System
5 Empowerment
6 System connection
7 Provide Strategic Leadership
98
106
96
141
122
89
104
95
91
98
99
98
Pengelolaan Pengetahuan
1 Knowledge Acquisition
2 Knowledge Creation
3 Knowledge Sharing
4 Knowledge Utilization
Konflik
Task conflict
1 Klarifikasi tentang tugas
2 Diskusi tentang tugas
3 Perbedaan tujuan
4 Perbedaan pendapat dan opini
5 Perbedaan ide-ide yang muncul
Relationship conflict
1 Mendominasi diskusi
2 Tidak senang bekerja dalam kelompok
3 Benturan kepribadian
4 Perselisihan antar individu
5 Ketegangan
Kepuasan kerja
1 Satisfaction with reward
2 Satisfaction with supervisor
3 Satisfaction with job variety
4 Satisfaction with co-worker
5 Satisfaction with management and HR Policies
6 Satisfaction with own capability
107
96
92
126
90
99
106
105
126
145
143
128
106
130
91
86
121
127
83
131
16
pengaruh
17
secara
18
Sedangkan
19
muncul yang lebih fokus pada bagaimana mengelola karakteristik yang ada pada
sumberdaya untuk meraih keunggulan bersaing. Karakteristik yang dimaksudkan
dalam penelitian ini adalah yang melekat pada sumberdaya manusia. Untuk itu
manajemen sumberdaya manusia strategi sangat diperlukan. Berikut beberapa
pendapat mengenai manajemen sumberdaya manusia strategi dari beberapa pakar :
Amstrongs (2003) menyatakan bahwa manajemen sumberdaya manusia
statejik adalah pendekatan untuk membuat keputusan pada skema dan rencana
organisasi berkaitan dengan hubungan pekerjaan dan kebijakan serta pelaksanaan
perekrutan, pelatihan, pengembangan, manajemen kinerja, imbalan dan hubungan
20
21
Teori
Grand
theory
Middle
Range
theory
MSDM
Perilaku Organisasi
Learning
Organization dan
organizational
learning
RBV (Resource
Based View)
Organization
Culture
Knowledge Based
View
Subtantive
Theory
Organizational
Learning Culture
Job Satisfaction
Konflik
Kepemimpinan
22
Knowledge
Management
Kinerja organisasi
kepemimpinan
yang
dikemukakan
juga
kelompok/organisasi
tapi
23
24
menjadi seorang
Drive berarti bahwa seorang pemimpin harus memiliki dorongan dari dalam yang
kuat untuk selalu melakukan berkarya, berprestasi dan melakukan hal terbaik
Motivasi memimpin, seorang pemimpin harus selalu berusaha mendapatkan
25
26
terkait tingkat
27
pada kejelasan atau ambiguitas dari prosedur-prosedur kerja; dan (3) Position Power
terkait seberapa besar kekuatan yang dimiliki pemimpin untuk melegitimasi,
memberikan reward, bahkan memaksa para bawahan. Untuk memudahkan
pemahaman kita maka model Fiedler akan diilustrasikan dalam gambar berikut :
Task motivated
leader
High Control Situation
Leader member
relation
Task structure
Position power
Good
High
Strong
Weak
Good
Low
Strong
Low
Weak
Poor
High
Stron
Weak
g
Low control
situation
Poor
Low
Strong
Low
Weak
Relationship
motivated leader
Gambar 2.2 Variabel situasional fiedler dan gaya kepemimpinan
Sumber : Organizational Behavior, Schermerhorn R.John et.al.2010
Kombinasi dari tiga variabel kontrol situasi akan berdampak pada gaya
kepemimpinan seperti apa yang paling sesuai. Pertama, seorang supervisor yang
berpengalaman dan terlatih dengan baik yang berada pada suatu perusahaan akan
sangat didukung oleh para bawahannya dan memiliki wewenang penuh untuk
merekrut dan memecat bawahannya. Pemimpin ini akan memiliki control situasi yang
tinggi dan akan bekerja pada situasi I,II dan III (tingkat kontrol situasi pada situasi II,
III tentunya akan sedikit lebih rendah daripada situasi I). sebaliknya, pemimpin yang
memiliki control situasi rendah biasanya tidak disukai oleh bawahannya. Fiedlers
28
pemimpin akan sukses jika mereka mampu menyesuaikan perilaku mereka dengan
29
situasi yang mereka hadapi. Misalnya kepemimpinan direktif akan cocok jika
karyawan kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang pekerjaan, serta jika
pekerjaan tidak terstruktur dan kompleks.
c. Teori situasional Hersey and Blanchard
Teori situasional Hersey and Blanchard ini menjelaskan bahwa keefektifan
seorang pemimpin akan ditentukan oleh tingkat kesiapan dari para pengikut/bawahan.
Tingkat kesiapan yang dimaksudkan dalam hal ini merujuk pada sejauh mana
seseorang mempunyai kemampuan dan kesediaan untuk menyelesaikan tugas
tertentu. Hersey dan Blanchard mengembangkan 4 perilaku spesifik yakni :
1. Telling, sangat baik diterapkan bagi bawahan yang memiliki tingkat kesiapan
rendah. Gaya kepemimpinan yang cocok adalah direktif karena pada situasi ini
bawahan biasanya tidak mempunyai kemampuan dan keinginan untuk
bertanggung jawab pada suatu pekerjaan dan dirinya sendiri.
2. Selling, sangat baik diterapkan bagi para bawahan yang memiliki tingkat
kesiapan rendah dan menengah. Kepemimpinan yang sesuai adalah directive
dan supportive karena pada situasi ini, biasanya bawahan tidak memiliki
kemampuan tapi memiliki keinginan untuk bertanggung jawab pada pekerjaan.
3. Participating, sangat baik diterapkan bagi para bawahan yang memiliki tingkat
kesiapan menengah dan atas. Kepemimpinan yang cocok adalah supportive
karena pada situasi ini, bawahan mempunyai kemampuan tetapi tidak dibarengi
oleh keinginan yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaan.
30
4. Delegating, sangat baik diterapkan bagi para bawahan yang memilki tingkat
readiness yang tinggi.
Untuk menambah pemahaman kita maka model Hersey and Blanchard akan
diilustraikan dalam gambar berikut :
31
32
Pada
pendekatan
kepemimpinan
situasional
ini,
pemimpin
perlu
33
34
pemimpin
memperlihatkan
gaya
transaksional
dan
yang
dipilih
adalah
gabungan
antara
transaksional
dan
management by
35
Implicit
Leadership
Perspective
pada
dasarnya
menyatakan
bahwa
Attributing Control
Setiap orang memiliki keinginan untuk memberikan atribusi pada setiap
kejadian yang dialami agar mereka mampu mengotrol kejadian yang sama di masa
yang akan datang. Kesalahan mendasar dari pengatribusian seringkali disebabkan
karena sebagian besar orang cenderung memberi atribut pada orang lain dengan
hanya melihat motivasi dan kemampuan mereka secara individu daripada
mempertimbangkan faktor situasi yang ada. Dalam konteks kepemimpinan karyawan
percaya bahwa setiap kejadian disebabkan karena motivasi dan kemampuan dari
pemimpin bukan karena faktor lingkungan.
Stereotyping Leadership
Streotype sangat dipengaruhi oleh harapan tentang bagaimana pemimpin yang
efektif seharusnya bertindak, sehingga seringkali karyawan menilai kefektifan
seorang pemimpin hanya berdasarkan penampilan dan tindakan mereka bukan
berdasarkan hasil nyata dari tindakan mereka tersebut.
Need for Situational Control
Harapan yang tinggi terhadap seorang pemimpin selalu dimiliki oleh setiap
orang di mana mereka berharap bahwa pemimpin akan melakukan hal yang berbeda.
Keyakinan ini disebabkan karena kepemimpinan merupakan cara mudah untuk
36
G. Pandangan Tambahan
Leader Member Exchange
Teori ini fokus pada hubungan yang baik antara leader dan follower di mana
dikatakan bahwa kefektifan pemimpin akan tercapai ketika terdapat pertukaran positif
antara leader dan follower, baik dalam batasan ingroup exchange yang ditandai
adanya hubungan partnership maupun outgroup exchange yang ditandai oleh adanya
interaksi otoritas formal.
b.
Kepemimpinan Subtitusi
37
Professional orientation
Highly structure/routine
Intrinsically satisfying
38
bawahannya, gaya task oriented dan supportive juga akan memiliki pengaruh yang
rendah walaupun sebenarnya masih dibutuhkan (Schermerhorn R.John et.al.2010).
c.
Servant leadership
Kepemimpinan ini menyiratkan bahwa para pemimpin sebenarnya memimpin
dengan melayani orang lain, para karyawan, pelanggan dan masyarakat dengan
karakteristik meliputi mendengarkan, empati, memulihkan, kesadaran, persuasi,
konseptualisasi, memandang ke depan, tanggung jawab, komitmen terhadap
pertumbuhan orang lain, dan membangun masyarakat (Kreithner and Kinichi,2006)
d.
Enterpreneur leadership
Model kepemimpinan ini menjelaskan kefeektifan seorang pemimpin
didasarkan pada sikap dan keyakinan bahwa pemimpin juga merupakan karyawan
sehingga pemimpin bertindak dan memposisikan diri mereka sebagai individu yang
memegang peran penting bagi kelangsungan organisasi. Mereka selalu yakni bahwa
segala tindakannya akan menguntungkan serta mereka juga tidak pernah memandang
remeh kesalahan sekecil apapun yang mereka lakukan.
2.1.2 Konsep Budaya Pembelajaran Organisasional
2.1.2.1 Learning Organization dan Organizational Learning
Secara umum learning merupakan suatu proses di mana individu-individu
memperoleh pengetahuan dan wawasan baru untuk merubah perilaku dan tindakan
mereka. Secara tradisonal belajar dibagi dalam tiga domain yakni kognitif, affective
dan psychomotor
Learning organization menjadi istilah populer setelah Pater Senge
melontarkan gagasannya dalam buku Fifth Discipline. Perusahaan mulai banyak yang
menyatakan bahwa organisasinya adalah learning organization. Bagaimana
39
organisasi dapat merespon secara kreatif tantangan baru tanpa terlebih dahulu
menemukan sesuatu yang baru? Kemudian mengubah cara mereka beroperasi untuk
mencerminkan wawasan baru? Artinya Tanpa belajar, perusahaan hanya mengulang
praktek-praktek lama, dan menghasilkan perbaikan yang hanya berumur pendek.
Marquardt (2002) mengatakan bahwa pembelajaran dapat muncul dalam tiga
level yaitu individu, team atau kelompok dan organisasi, dengan demikian
pembelajaran dalam organisasi sebenarnya adalah untuk mengembangkan dan
memaksimalkan kapasitas di tiga level tersebut. Peter M. Senge (1990)
mengemukakan lima disiplin untuk menjadi organisasi pembelajar, yaitu:
1. Personal Mastery, terkait bagaimana mengembangkan kapasitas personal
dalam mencapai kinerja yang paling diinginkan, dan menciptakan lingkungan
organisasi yang menumbuhkan semangat untuk mengembangkan diri seluruh
anggota organisasi menuju pencapaian sasaran dan makna bekerja
2. Mental Models, proses bercermin, memperjelas, dan meningkatkan wawasan
tentang dunia luar, agar keputusan dan tindakan yang diambil lebih tepat.
3. Shared Vision, membangun komitmen kelompok, dengan mengembangkan
gambaran bersama tentang masa depan yang akan diciptakan, serta prinsip dan
praktek yang menuntun pada pencapaian tujuan masa depan tersebut.
4. Team Learning, mentransformasikan keahlian berpikir (thinking skill) dengan
menggunakan kemampuan setiap anggota tim sehingga yang diyakini akan
menjdi kekuatan besar jika dibanding melakukan pekerjaan secara individu
40
41
Beberapa pakar telah mengemukakan pandangan mereka tentang kedua hal tersebut
diantaranya Senge (1990) mengatakan bahwa learning organization adalah organisasi
yang secara terus menerus meningkatkan kapasitasnya untuk meraih masa depan,
selanjutnya Watkins and Marsick (1993) mengemukakan hal yang hampir sama hanya
menekankan pada adanya proses perubahan yakni bahwa learning organization
adalah sesuatu yang belajar secara terus menerus dan melakukan proses perubahan.
Marquardt (2002) juga menekankan pada perubahan di mana beliau mengatakan
bahwa
42
2.
43
tugas yang tidak mereka kuasai. Akhirnya, kompetisi menghasilkan solusi jangka
pendek bukan jangka panjang terhadap akar permasalahan.
Bersikap reaktif dan bukannya kreatif dan proaktif
Seseorang terkadang belajar atau mau berubah sebagai bentuk reaksi atas
kondisi yang membuat mereka tertekan dan frustasi. Hal ini bertentangan dengan
katalis fundamental dari learning di mana keinginan belajar seharusnya dipicu
oleh kepentingan pribadi, rasa ingin tahu, aspirasi, imajinasi, eksperimentasi, dan
pengambilan resiko. Masalah lain adalah orang dikondisikan untuk merespon dan
bereaksi sesuai pengarahan dan persetujuan orang lain. Hal ini merusak dorongan
intrinsik untuk belajar. Kecenderungan manajemen berdasarkan ketakutan,
intimidasi, dan krisis, membuat orang-orang tidak hanya menolak learning, tapi
dilumpuhkan oleh ketakutan mengambil resiko (Luthans,2005)
Kepemimpinan yang efektif menghilangkan kecenderungan kecenderungan
tersebut dan membuka jalan bagi Learning Organization. Para pemimpin dapat
menciptakan budaya yang menekankan pemikiran system diatas fragmentasi,
kolaborasi diatas kompetisi, serta inovasi dan proaksi diatas reaktivitas. Pemimpin
memiliki tiga fungsi penting dalam membangun learning organization yakni :
1. Membangun komitmen untuk learning. Para pemimpin perlu menanamkan
komitmen intelektual dan emosional untuk learning
melalui ide-ide,
44
2. Pemimpin harus mampu menghasilkan ide-ide yang dapat menambah nilai bagi
seluruh stakeholder kunci seperti karyawan, konsumen, dan pemegang saham.
3. Pemimpin harus mampu menggeneralisasi ide yang dapat mengurangi halangan
interpersonal, kelompok, dan organisasi terhadap learning, dengan cara
menciptakan infrastruktur learning, melakukan aktivitas-aktivitas penilaian dan
menghargai learning; meningkatkan dialog terbuka dan jujur; menurunkan
konflik; meningkatkan komunikasi (horizontal,vertical); mempromosikan kerja
tim; menghargai pengambilan resiko dan inovasi; menurunkan ketakutan akan
kegagalan; meningkatkan motivasi berbagi sukses, gagal, dan praktik terbaik;
mengurangi stresor dan frustasi; mengurangi kompetisi internal; kolaborasi dan
menciptakan keamanan psikologis dan lingkungan yang nyaman (Luthans,2005)
2.1.2.2 Organization Culture
Organisasi merupakan wadah dimana sejumlah individu berkumpul dan
melakukan interaksi baik formal maupun nonformal, di mana interaksi ini akan
berjalan dengan baik jika masing-masing anggota organisasi nilai-nilai dan normanorma yang telah disepakati secara bersama. Nilai-nilai dan norma-norma inilah yang
biasa dikenal sebagai budaya organisasi. Untuk membantu kita dalam memahami
makna dari budaya organisasi berikut pendapat beberapa pakar seperti :
Hofstede(1990) mengatakan bahwa budaya organisasi adalah Pemrograman
mental bersama dari semua pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Hal senada
dikemukakan oleh Luthans (2005) bahwa budaya organisasi adalah suatu wujud
anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan
bagaimana kelompok tersebut merasakan, memikirkan dan bereaksi terhadap
45
lingkungannya yang beraneka ragam. Dalam hal ini keduanya menekankan bahwa
budaya merupakan kesepakatan anggota organisasi namun Luthans sudah mulai
menunjukkan bahwa budaya akan berpengaruh pada cara anggota organisasi
berperilaku. Begitu pula dengan Jones (2001) yang menyatakan budaya organisasi
sebagai sekumpulan nilai yang mengendalikan interaksi antar anggota organisasi dan
interaksi dengan sistem dan lingkungan organisasi lainnya. Robbins (2009)
mengemukan budaya organisasi secara lebih lengkap yakni Nilai-nilai, prinsip,tradisi
dan cara bekerja yang dianut bersama dan mempengaruhi perilaku serta tindakan
para anggota organisasi, dan Kreitner (2006) menekankan pada peran budaya sebagai
identitas sebuah perusahaan yakni bahwa budaya organisasi adalah share value dan
kepercayaan yang menjadi identitas sebuah perusahaan.
Meskipun cara setiap pakar dalam mengemukakan pendapatnya terdapat
perbedaan namun intinya mereka mengatakan bahwa budaya organisasi adalah
serangkaian nilai,kepercayaan atau norma yang diyakini secara bersama oleh anggota
organisasi yang menentukan bagaimana setiap anggota organisasi merasakan,
memikirkan dan bereaksi terhadap lingkungan yuang beraneka ragam dan sekaligus
menjadi identitas pembeda bagi organisasi.
Isu-Isu Budaya Organisasi Terkini
Robbins(2009) mengemukakan beberapa isu terkini budaya organisasi yakni:
1. Menciptakan budaya beretika. Budaya beretika akan membuat perilaku etis
senantiasa mewarnai perilaku anggota organisasi. Budaya beretika dapat
diciptakan dengan cara memberikan tauladan secara nyata; memperjelas standar
46
etika kerja; adakan pelatihan dan pembelajaran etika; reward yang jelas untuk
tindakan-tindakan etis, dan membentuk mekanisme perlindungan bagi para
karyawan yang peduli terhadap berbagai tindakan etis
2. Menciptakan budaya inovatif. Budaya inovatif
adalah
budaya
yang
47
organisasi maka pembelajaran harus dijadikan sebagai budaya sehingga aktifitas dan
tindakan seluruh anggota organisasi diwarnai oleh nilai-nilai pembelajaran.
Budaya pembelajaran organisasional selain terkait dengan learning
organization juga terkait dengan budaya organisasi. Sebuah organisasi dapat
menciptakan sebuah budaya yang lebih fokus pada learning. Hal ini penting sebagai
sebuah strategi untuk kesuksesan sebuah organisasi. Marquardt (2002) mengatakan
bahwa budaya organisasi dalam sebuah learning organization adalah sebuah
organisasi dimana learning dipandang sebagai faktor kritis kesuksesan sebuah bisnis,
dalam hal ini learning menjadi kebiasaan dan diintegrasikan sebagai bagian dari
keseluruhan fungsi organisasi. Budaya pembelajaran organisasional diyakini dapat
meningkatkan pembelajaran dalam organisasi dengan menciptakan kepercayaan,
nilai, kebiasaan dan lingkungan yang secara terus menerus mendukung pencapaian
kesuksesan sebuah organisasi. Beberapa pakar telah mengemukakan pendapat yang
cukup beragam tentang budaya pembelajaran organisasional diantaranya
Kandemir (2005) mengatakan bahwa Organizational Learning Culture mengarah
pada berbagai bentuk nilai dan perilaku yang mendukung learning. Selanjutnya Skerlavaj et
al. (2007) mengatakan hal yang hampir sama namun lebih terperinci yakni bahwa
Organizational Learning Culture adalah serangkaian norma dan nilai tentang fungsi dari
48
Culture adalah sesuatu di mana pembelajaran dianggap sebagai faktor kritis untuk
kesuksesan sebuah organisasi dan pembelajaran menjadi kebiasaan dan diintegrasikan
sebagai bagian dari fungsi organisasi secara keseluruhan.
Pendapat beragam yang dikemukakan oleh para pakar namun intinya adalah
bagaimana pembelajaran dijadikan sebagai budaya agar organisasi mampu meraih
sukses ke depannya, dengan demikian budaya pembelajaran organisasional adalah
serangkaian norma atau nilai yang mendukung pembelajaran baik individu, kelompok
atau organisasi dan meyakini pembelajaran sebagai faktor kritis kesuksesan sebuah
organisasi. Dimensi budaya pembelajaran organisasional terdiri dari continous
learning, dialogue and inquiry, team learning, embedded system,empowerment,
system connection dan provide leadership Marsick and Watkins (2003)
2.1.3
Pada dasarnya pengetahuan adalah segala sesuatu yang individu ketahui baik
abstrak maupun nyata. Pengetahuan akan berbeda dengan data atau informasi.
Perbedaan ketiganya dikemukakan secara sederhana oleh Davenport dan Prusak
(1998) yang mengatakan bahwa pengetahuan itu bukan data ataupun informasi,
tetapi keduanya saling berhubungan. Data adalah seperangkat fakta yang memiliki
ciri tertentu mengenai suatu kejadian, biasanya terdapat dalam bentuk catatan-catatan
atau transaksi-transaksi. Selanjutnya informasi adalah hasil pengolahan data yang
bermakna yang bermanfaat dan berguna dalam pengambilan keputusan. Sedangkan
49
pengetahuan adalah aplikasi dari data dan informasi. Secara lebih lengkap makna
pengetahuan dikemukakan oleh Von Krogh (2000) sebagai berikut :
-
50
dua yaitu tacit knowledge dan explicit knowledge. Hal yang sama dikemukakan pula
Nonaka (2004). Kedua bentuk pengetahuan ini sangat berbeda. Tacit knowledge
sifatnya sangat personal berada dalam benak individu, biasanya lahir dari
pengalaman, bersifat intuitif, menimbulkan kepercayaan diri, ditopang oleh nilai-nilai
dan kepercayaan yang melekat pada individu maupun kelompok. Sedangkan Explicit
knowledge bersifat sangat rasional, metodologis, modeling, bersifat positif dan
empiris, biasanya dalam bentuk dokumen atau bentuk lain yang mudah
didistribusikan melalui berbagai media.
Di antara kedua bentuk knowledge yang diyakini dapat membawa organisasi
pada keunggulan bersaing adalah tacit knowledge karena sifatnya sangat personal
sehingga akan sulit untuk ditiru, namun untuk meoptimalkan kedua bentuk
pengetahuan secara bersama maka harus ada interaksi diantara keduanya. Interaksi
antara tacit dan explicit knowledge merupakan integrasi dari suatu interaksi alur pikir,
intuisi, imajinasi, symbol-simbol yang diwujudkan pada suatu produk yang dapat
dipasarkan, dijabarkan melalui proses berfikir logis rasional pada seluruh karyawan
yang terkait dalam produk dan jasa, sehingga akan lahir suatu produk/jasa yang
benar-benar bersifat inovatif dan bersifat kompetitif baik di pasar dalam negeri
maupun pasar global. Interaksi tacit dan explicit knowledge dibahasakan oleh Nonaka
51
Takeuchi (2004) sebagai proses konversi yang terdiri dari empat yang dikenal dengan
SECI model yaitu Socialization, Externalization, Combination, Internalization.
Proses konversi knowledge diilustrasikan dalam gambar berikut:
Ke
Dari
Tacit Knowledge
Explicit Knowledge
Tacit
Knowledge
Sosialisasi
Eksternalisasi
Explicit
Knowledge
Internalisasi
Kombinasi
52
53
manajer baik sebagai individu maupun sebagai perilaku kelompok. Hal senada
dikemukakan McShane(2008) yang mengatakan pengelolaan pengetahuan adalah
berbagai aktivitas terstruktur untuk meningkatkan kapasitas organisasi untuk
mendapatkan, membagi, dan menggunakan pengetahuan agar organisasi sukses dan
survive. Sedangkan Jennex Murray (2005) lebih menekankan pada bagaimana
menggunakan pengetahuan dengan mengatakan bahwa pengelolaan pengetahuan
merupakan sebuah proses selektif untuk mengaplikasikan pengetahuan dengan belajar
dari pengalaman dalam pembuatan keputusan untuk membuat keputusan saat
sekarang dan masa yang akan datang guna meningkatkan efektivitas organisasi. Hal
yang agak berbeda juga dikemukakan oleh Rao, Madanmohan, (2005) dimana
pengelolaan pengetahuan diartikan sebagai sebuah ilmu yang sistematik dan
serangkaian
pendekatan
yang
memungkinkan
informasi
dan
pengetahuan
berkembang, mengalir dan menciptakan nilai dalam organisasi yang terkait dengan
orang, informasi, arus kerja, tools, best practice, aliansi dan praktek komunitas, dalam
54
hal pandangannya lebih pada proses penciptaan nilai melalui penegtahuan dan
informasi. Selanjutnya Liebowitz,J (2001) secara tidak langsung menegaskan bahwa
pengetahuan adalah aset yang intangible yang dapay dikonversi untuk menciptakan
nilai bagi organisasi dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa pengelolaan
pengetahuan adalah proses penciptaan nilai dari aset intangible organisasi
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa pada intinya
mereka ingin mengatakan bahwa pengetahuan merupakan aset yang jika dikelola
akan dapat menghasilkan nilai bagi organisasi dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa knowledge management adalah aktivitas terstruktur untuk mengembangkan
kapasitas organisasi untuk mendapatkan, menciptakan, membagi dan menggunakan
pengetahuan baik tacit knowledge maupun eksplicit knowledge agar mampu bertahan
dan sukses.
Liebowitz (2001) mengemukakan knowledge management life cycle yang
digambar seperti berikut :
Knowledge
Capture
Knowledge
Sharing
Knowledge
Application
Knowledge
Creation
55
dikemukakan oleh Tiwana(2000) bahwa terdapat tiga tahap dalam proses learning
dan knowledge yang didukung oleh teknologi yakni knowledge acquisition,
knowledge sharing dan knowledge utilization. Selanjutnya dikatakan bahwa tahaptahap ini tidak harus berurutan tapi dapat berlangsung secara paralel. Gambar berikut
menunjukkan proses dan elemen knowledge management menurut McShane (2008):
Knowledge Utilization
Sense making
Knowledge awareness
Empowerment
56
knowledge yang dikenal dengan SECI model. Berikut penjelasan dari knowledge
acquisition, knowledge sharing, knowledge utilization dan knowledge creation yang
selanjutnya akan digunakan sebagai dimensi pengukuran knowledge management.
Knowledge Acquisition
Knowledge acquisition adalah kemampuan organisasi untuk menyaring
informasi dan ide-ide yang bersumber dari lingkungan. Terdapat empat cara yang
dapat dilakukan organisasi untuk mendapatkan pengetahuan yakni :
1. Individual learning
Individual learning dapat diperoleh melalui reinforcement, umpanbalik,
observasi dan pengalaman dan praktek manajemen dari banchmarking. Proses
mendapatkan pengetahuan dapat lebih efektif melalui pembelajaran individu
2. Environmental scanning
Environmental scanning terkait menerima informasi dari lingkungan eksternal
dan internal sehingga strategi pengambilan keputusan yang dibuat lebih efektif.
3. Grafting
Grafting adalah suatu proses untuk mendapatkan pengetahuan dengan cara
mengambil individu atau membeli perusahaan secara keseluruhan.
4. Experimentation
Experimentation menyangkut tiga aktivitas dalam mengumpulkan informasi
yaitu mendapatkan pengetahuan dari wawasan seseorang sebagai hasil dari
pengalaman dan proses kreativitas; mendapat pengetahuan dari kemampuan
57
58
Knowledge Creation
Konsep knowledge creation atau penciptaan knowledge diperkenalkan oleh
Nonaka (19944) yang biasa dikenal dengan SECI Model yakni proses konversi antara
tacit knowledge dan eksplisit knowledge.
2.1.4
objective
sifatnya
kuantitatif,
pengukuran
subjective
sifatnya
59
60
otonomi
dan
mengembangkan
diri
sebagai
penyelenggara
Visi,
yang
misi,
dikemas
tujuan
dan
dalam
tujuh
standar
akreditasi
sasaran
serta
strategi
pencapaian,
yakni
(2)
Tata
61
(6) pembiayaan,sarana dan prasarana serta sistem informasi; (7) penelitian dan
pelayanan/pengabdian kepada masyarakat dan kerjasama.
2.1.5 Konsep Konflik
Konflik lekat dengan kehidupan, dan sulit untuk ditolak keberadaannya.
Konflik dalam organisasi akan muncul seiring dengan maju mundurnya organisasi
dan selalu menyertai perubahan yang terjadi dalam suatu organisasi. Intensitas
konflik akan bermanfaat apabila berada pada posisi medium, sedangkan pada
intensitas tinggi dan rendah akan menghasilkan ekses negatif terhadap organisasi.
Pada saat konflik berdampak negatif dan positif seluruh tatanan kehidupan organisasi
akan merasakannya tanpa terkecuali sumberdaya manusianya, karena itu, diagnosis
konflik sedini mungkin harus dilakukan agar pengendalian konflik dapat efektif.
2.1.5.1 Pengertian Konflik
Konflik semakin sering terjadi seiring dengan meningkatnya irama kehidupan
sehari-hari dan kegiatan dunia usaha yang berjalan semakin cepat. Memahami
konflik, sebab dan akibatnya sangat penting untuk mencapai sukses dalam kehidupan
pribadi dan professional. Kesuksesan sebuah organisasi juga akan sangat ditentukan
oleh faktor-faktor individual salah satunya adalah konflik. Pendapat dari para ahli
mengenai konflik akan menambah pemahaman kita tentang makna sesungguhnya dari
konflik diantaranya :
Robbins (2009) mengatakan bahwa konflik adalah suatu proses yang mulai
bila suatu pihak mulai merasa bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif
sesuatu yang menjadi kepedulian pihak pertama. Hal yang sama dikemukakan
62
Kreitner (2006) dan Mc Shane (2008) dan Slocum/Hellriegel (2007). Hal agak
berbeda dikemukakan oleh Gibson, et.al (2003) konflik itu ada apabila adanya
konfrontasi diantara kelompok baik yang bersifat negatif maupun positif, dalam hal
ini pandangan ini lebih ditekankan pada sifat dari konflik yaitu bersifat positif yang
selanjutnya dikenal dengan konflik fungsional dan konflik yang bersifat negatif yang
selanjutnya dikenal dengan konflik disfungsional. Selanjutnya Deutsch(dalam
Bradford D, Kevin, 2001) juga mengemukakan pandangan yang agak berbeda
penekanannya yakni mengatakan bahwa konflik adalah perilaku atau perasaan antar
kelompok dalam merespon potensi atau gangguan yang ada yang berdampak pada
perilaku anggota kelompok dalam mencapai tujuan, dalam hal ini pendapat ini lebih
ditekankan pada dampak konflik terhadap perilaku individu dan kelompok.
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat di simpulkan bahwa konflik adalah
suatu persaingan, pertentangan atau ketidaksetujuan diantara kelompok, di mana
suatu kelompok merasa sesuatu yang diperhatikannya juga diperhatikan lawannya
atau perlakuan negatif dari kelompok lainnya yang dapat mempengaruhi perilaku
individu dalam pencapaian tujuan organisasi.
2.1.5.2 Bentuk-Bentuk Konflik
Kemampuan berinteraksi secara efektif dengan orang lain untuk membangun
kerjasama dalam segala situasi sangat penting bagi sebuah organisasi guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Interaksi
63
1.
Konflik diri, yaitu gangguan emosi yang terjadi dalam diri seseorang karena
dituntut menyelesaikan pekerjaan atau memenuhi harapan sementara pengalaman,
minat, tujuan, dan tata nilai yang dimilikinya tidak sanggup memenuhinya.
2.
Konflik antar individu, yaitu konflik antara dua atau lebih individu. Setiap orang
mempunyai empat kebutuhan dasar psikologis yang dapat mencetuskan konflik
apabila tidak terpenuhi. Kebutuhan dasar psikologis tersebut adalah keinginan
untuk dihargai dan diperlakukan sebagai manusia, keinginan untuk memegang
kendali, keinginan untuk memiliki harga diri dan keinginan untuk konsisten.
3.
Konflik kelompok, yaitu konflik yang terjadi antara individu dalam suatu
kelompok (tim, departemen, perusahaan dsb), sedangkan konflik antar kelompok
melibatkan lebih dari satu kelompok (beberapa tim, departemen, organisasi, dsb).
Pembagian konflik yang lebih fokus pada konflik ditempat kerja dalam dua
tipe yakni relationship conflict (affectif conflict) dan task conflict (cognitive conflict),
dikemukakan oleh Amason et.al. dan Jehn
Affectif conflict are disagreement between team members that are based on personal
incompatibilities that produce suspicion, distrust and hostility among team members.
Relationship conflict muncul ketika terdapat ketidakcocokan/ketidaksesuaian
interpersonal di antara anggota kelompok. Relationship conflict dapat berupa
ketegangan, dendam, kebencian, rasa permusuhan dan kejengkelan di antara anggota
kelompok. Anggota kelompok merasa frustasi, tegang dan gelisah, khawatir ketika
merasa tidak suka atau tidak menyukai anggota lain. Sebuah bentuk respon
penghindaran psikologi dari situasi yang mengganggu tersebut. Ancaman dan
64
ide-ide dari anggota kelompok lain karena ada rasa suka dan tidak suka di
antara mereka.
-
65
menggunakan
indikator-indikator
yang
dikembangkan
oleh
Amason
yang
dimodifikasi oleh Jehn.K.A yang indikatornya terdiri dari there were many
differences about the content, there were many differences of opinion and there were
many differences idea introduced, kemudian ditambahkan lagi dengan dua indikator
yang dikemukakan oleh Bales R.F yakni there was a lot of clarification and there
was much discussion.
Keefektifan sebuah keputusan yang dibuat akan berkurang ketika task conflict,
mengakibatkan meningkatnya relationship conflict dan tentu saja akan berdampak
pada menurunnya produktivitas karyawan khususnya dan perusahaan/organisasi pada
umumnya. Ini sesuai dengan pendapat De Dreu & Van Vianen (dalam Malcolm R.
Clark, 2003) task conflict may increase relationship conflict which , in turn may
reduce decision making effectiveness.
Gibson (2003) membagi konflik dalam dua bentuk yakni konflik yang bersifat
positif atau functional conflict dan konflik yang bersifat negatif atau disfunctional
conflict. Hal yang sama dikemukakan oleh Kondalkar (2007) yang juga membagi
konflik dalam dua bentuk yakni functional conflict dan disfunctional conflict. Kedua
bentuk konflik dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Functional conflict adalah sebuah konfrontasi diantara kelompok yang dapat
meningkatkan manfaat dan kinerja organisasi
2. Disfunctional conflict adalah konfrontasi atau interaksi diantara anggota
kelompok yang menggangu pencapaian tujuan organisasi (Gibson,2003)
Hal senada dikemukakan pula oleh Schermerhorn,et.al (2010) yang mengatakan
bahwa konflik terdiri dari dua bentuk yakni functional conflict atau constructive
66
sejumlah
informasi
digunakan
untuk
pembuatan
keputusan,
67
konflik dapat disebabkan karena ketidak setujuan akan gaya manajemen yang akan
menghasilkan disloyalty (Kondalkar (2007)
Penelitian ini lebih difokuskan pada konflik yang bersifat disfunctional
conflict, tujuannya semata-mata karena ingin mengetahui secara jelas kondisi dan
pengaruh dari konflik yang bersifat disfungsional. Untuk mengukur konflik
disfungsional penulis menggunakan indikator relationship conflict di mana
relationship conflict sifatnya lebih disfunctional dan paling banyak terjadi dalam
sebuah kelompok atau organisasi. Indikator yang digunakan terdiri dari clashes were
evident, there was personal friction, and there was tension in group, one or two
people dominated discussion dan I did not enjoy working with the group.
2.1.5.3 Dampak Konflik
Setelah penyelesaian konflik dilakukan pihak-pihak yang terlibat dapat
merasakan dampak positif seperti perasaan lega bagi pihak yang bertikai, hal ini
terjadi jika pemecahan dilakukan dengan penjelasan permasalahan dan pengertian
dari semua pihak ataupun dampak negatif berupa keburukan hubungan antara pihakpihak yang bertikai dan akan berdampak pada hal-hal lain.
Newstrom (2002) mengatakan bahwa konflik dapat berdampak positif juga
dapat berdampak negatif. Dampak positif dari konflik adalah (1) Orang-orang dalam
suatu organisasi didorong untuk mencari pemecahan masalah dan melakukan
pendekatan-pendekatan terbaik sehingga meningkatkan kreativitas dan banyak
mencoba hal-hal baru; (2) Dapat menanggulangi masalah-masalah yang terpendam
namun sangat perlu untuk diselesaikan, sehingga konflik di masa yang akan datang
68
dapat dihindarkan. Dampak negatif dari konflik adalah; (1) Kerjasama dan teamwork
akan memburuk.; (2) Berkurangnya kepercayaan antara individu atau kelompok; (3)
Meningkatnya tingkat stres; (4) Penurunan motivasi.
Kerugian yang ditimbulkan oleh konflik adalah perasaan cemas yang tidak
perlu, komunikasi menyusut, persaingan yang makin menghebat dan perhatian yang
makin menyusut terhadap tujuan bersama. Keuntungan yang timbul karena adanya
konflik adalah kreatifitas dan inovasi meningkat, intensitas upaya penyelesaian
masalah meningkat, ikatan atau kohesi yang makin kuat dan ketegangan menyusut.
2.1.5.4 Gaya Manajemen Konflik Interpersonal
Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam menanggapi konflik. Suatu
kelompok mungkin cenderung menjauhi konflik dan kelompok lain mungkin
menikmati keterlibatannya dalam konflik. McShane (2008) menyatakan bahwa
manajemen konflik dapat dilakukan dengan empat cara yakni :
Collaborating adalah mencoba menemukan penyelesaian yang menguntungkan
kedua belah pihak yang terlibat konflik melalui problem solving. Dalam hal ini
orang-orang yang terlibat saling berbagi informasi untuk mengidentifikasi potensi
solusi yang dapat membuat kedua pihak merasa puas.
Avoiding adalah mencoba untuk menghindari situasi konflik.
Competing adalah mencoba untuk memenangkan konflik. Gaya ini lebih
mengarah pada orientasi win-lose.
69
2.
3.
4.
70
5.
sumberdaya
adalah
dengan
meningkatkan
jumlah
sumberdaya(McShane,2008)
2.1.5.6 Resolusi Konflik
Resolusi konflik terkait dengan usaha menyelesaikan konflik dengan
menempatkan pihak ketiga yang relatif netral untuk membantu pihak-pihak yang
berkonflik agar ditemukan solusi terbaik. McShane (2008) mengatakan bahwa ada
tiga jenis resolusi konflik yakni mediation, arbitration, dan inquisition yang
penjelasannya sebagai berikut :
1.
3.
konflik. Mereka memilih bentuk resolusi konflik dan informasi untuk dicoba dan
bagaimana mencoba hal tersebut dan secara umum menangani proses
penyelesaian konflik.
71
2.1.6
72
73
3. Kepuasan dan tingkat turnover. Salah satu cara mempertahankan karyawan yang
handal adalah dengan memberikan kepuasan kerja pada karyawan karena hal
tersebut akan membuat karyawan betah dan tidak meninggalkan organisasi.
Hal senada dikemukakan Luthans (2005) menyebutkan bahwa konsekuensi
dari job satisfaction adalah konsekuensi terhadap performance, turnover dan
absenteeism. Begitu pula dengan Greenberg (2005) yang menyatakan konsekuensi
job satisfaction adalah employee withdrawal:voluntary turnover and absenteeism
2.1.6.3 Dimensi Kepuasan Kerja
Purani dan Sahadev dalam Masrour Muhammad Alam et al.(2009)
mengemukakan 6 dimensi kepuasan kerja beserta indikator dari masing-masing
dimensi yakni :
74
Penelitian Terdahulu
Untuk dapat menunjukkan originalitas dari penelitian ini maka tabel berikut
75
76
77