Kambing Dan Sawit
Kambing Dan Sawit
Tujuan
1. Untuk mempelajari pengaruh perlakuan biologis dan kimiawi terhadap kualitas
daun kelapa sawit sebagai ransum domba.
2. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan biologis dan kimiawi daun kelapa sawit
sebagai komponen ransum domba.
3. Untuk mengetahui manfaat campuran pemberian konsentrat sebagai komponen
ransum domba.
Kegunaan
Untuk mendapatkan teknologi pemanfaatan limbah padat perkebunan kelapa
sawit sebagai ransum domba dalam rangka pengembangan usaha domba
berwawasan agrobisnis berbasis perkebunan kelapa sawit.
Hipotesis
1. Proses pembuatan silase dan amoniasi meningkatkan kualitas daun kelapa sawit
sebagai ransum domba.
2. Perlakuan biologis dan kimiawi dapat memberikan manfaat dan disenangi sebagai
komponen ransum domba.
3. Pemberian konsentrat meningkatkan pemanfaatan daun kelapa sawit yang
diproses secara biologis, kimiawi ataupun segar.
TINJAUAN PUSTAKA
Kelapa Sawit
Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit sejak tahun 1911,
dengan areal seluas 170 ribu ha. Pada Pelita IV perluasannya sudah mencapai
556.549 ha (Tim Penulis PS 1998). Diperkirakan bahwa produksi berkisar antara
12,5 27,5 ton tandan buah segar per ha per tahun (Coan, 1965).
Dari seluruh produksi tandan buah sawit ini hanya sekitar 22,1% berupa hasil
utama (minyak sawit 20%, dan minyak inti sawit 2,1%). Sekitar 2,2% berupa hasil
ikutan (bungkil inti sawit) dan selebihnya yaitu 75,7% berupa limbah, antara lain
tandan buah kosong (fresh Empty bunch), serat perasan buah (Palm Press fiber) dan
lumpur minyak sawit (Palm Oil Suldge). Aritonang (1984) melaporkan bahwa semua
bahan ini dapat digunakan sebagai komponen ransum ternak. Selain tandan buah
kosong, daun kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan domba.
Jumlah
14
3
10
3.33
6.67
148/55-60
Jumlah
4,440
8,880
35
3,108
CF
-
NDF
69.5
ADF
50.9
EE
2.0
Ash
4.7
NCFE
22.3
ME(MJ/kg)
-
4.7
38.5
78.7
55.6
2.1
3.2
5.65
Tetapi bila hanya kandungan zat gizi makanan hanya pada daunnya akan
terlihat nyata sekali perbedaannya antara lain : CP (14.8%), CF (3.2%), NCFE
(6.5%), selulosa (16.6%), hemiselulosa (27.6%), lignin (27,6%), silika (3.8%) (jafat
dan Hassan, 1990). Dari data di atas menunjukkan adanya variasi kandungan zat
gizi yang cukup besar.
Dilihat dari kandungan protein kasar, maka daun kelapa sawit dapat
diharapkan sebanding dengan hijauan. Jafar dan Hassan (1990) menyatakan bahwa
kandungan lignin, selulosa dan hemiselulosa mempengaruhi kecernaan makanan dan
telah diketahui bahwa antara kandungan liginin dan kecernaan bahan kering
berhubungan sangat erat terutama pada rumput-rumputan. Lignin dan selulosa
sering membentuk senyawa lignoselulosa dalam dinding sel tanaman, lignoselulosa
ini merupakan suatu ikatan yang kuat (Sutardi, 1980). Kecernaan serat pakan bukan
hanya ditentukan oleh kandungan lignin, tetapi juga ditentukan oleh kuatnya ikatan
lignin dengan gugus karbohidrat lainnya (Djajanegara, 1986). Menurut Lubis (1963)
kadar serat kasar yang tinggi dapat mengganggu pencernaan zat-zat yang lainnya,
akibatnya tingkat kecernaan menjadi menurun. Kadar serat yang tinggi akan
menurunkan nilai TDN (Total Digestible Nustrients) dari bahan makanan (Stevenson,
1959).
Daun Kelapa Sawit Sebagai Bahan Makanan Ternak
Susunan daun tanaman kelapa sawit mirip dengan tanaman kelapa yaitu
membentuk susunan daun mejemuk. Daun-daun tersebut akan membentuk suatu
pelapah daun yang panjangnya dapat mencapai kurang lebih 7,5 9 m. jumlah anak
daun pada tiap pelepah berkisar antara 250 400 helai. Daun muda yang masih
kuncup berwarna kuning pucat. Pada tanah yang subur daun cepat membuka
sehingga makin efektif menjalankan fungsinya sebagai tempat berlangsung
fotosintesa dan juga sebagai alat respirasi. Semakin lama proses fotosintesa
berlangsung, maka semakin banyak bahan makanan yang dibentuk sehingga
produksi tanaman kelapa sawit meningkat.
Tanaman kelapa sawit yang tumbuh normal, pelepah daunnya berjumlah 40
60 buah. Daun tua mulai terbentuk sekitar umur 6-7 tahun. Daun kelapa sawit yang
tumbuh sehat dan segar kelihatanberwarna hijau tua (Tim Penulis PS, 1998).
Penggunan daun kelapa sawit dalam pakan telah dicobakan pada sapi
padaging dan sapi perah. Pada sapi pedaging dan sapi perah, daun kelapa sawit
dapat diberikan 30-40% dari makanan (Ishida dan Hassan, 1992).
Daun kelapa sawit dapat dikumpulkan, diproses, diawetkan dan dimanipulasi
kedalam makanan dalam bentuk yang dapat diterima oleh ternak ruminansia. Hasil
penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa daun kelapa sawit dapat diproses
kedalam bentuk pelet dan diawetkan kedalam bentuk silase (Jafar dan Hassan,
1990). Kombinasi silase daun kelapa sawit dengan konsentrat kedalam makanan
yang komplit pada sapi menghasilkan konsumsi dan pertumbuhan yang baik.
Penambahan urea 0 3% pada pembuatan silase dapat diberikan pada ternak
sebagai pakan tambahan
Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa daun sawit tersusun dari 70% serat
kasar dan 22% karbohidrat (berdasarkan bahan kering). Karakteristik ini juga
menunjukkan bahwa daun sawit dapat diawetkan sebagai silase dan telah
diperkirakan bahwa kecernaan bahan kering dapat meningkat 45% dengan
pembuatan silase daun kelapa sawit (Hassan dan Ishida, 1991).
Hasil penelitian Ishida dan Hassan (1992) pada sapi menunjukkan bahwa
penggunaan daun kelapa sawit untuk pengemukan memberikan beberapa
keuntungan antara lain : (1) penambahan konsentrat pada daun kelapa sawit
disimpan untuk memproduksi karkas; (2) lemak pada karkas dapat diturunkan; (3)
produksi daging yang tidak berlemak tidak akan menjadi berkurang dengan
pemberian silase 30% dari bahan kering. Pada sapi perah pemberian daun kelapa
sawit sampai 30% tidak mempengaruhi rasa pada susu dan dapat dipergunakna
untuk produksi susu.
Pemanfaatan Hasil Olahan Tandan Buah Segar
Bungkil Inti Sawit.
Bungkil inti sawit merupakan hasil ikutan pada proses ekstraksi inti sawit.
Bahan ini mempunyai gizi yang baik, mengandung asam-asam amino esensial
dengan komposis yang baik. Kandungan mineral relatif lebih tinggi, kecuali seng
(lebih rendah dibandingkan dengan jagung) Fetuga et al., 1977).
Zat makanan yang terkandung di dalamnya cukup bervarias, protein kasar
berkisar antara 18 19%. Kandungan serat kasarnya cukup tinggi untuk ternak
menogastrik namun sangat baik sebagai pakan tambahan pada ternak ruminansia
seperti sapi perah dan kerbau. Pemberian bungkil inti sawit pada ternak akan
meningkatkan kandungan lemak susu, kekentalan keju, dan mutu daging. Pemberian
bungkil inti sawit pada sapi dapat meningkatkan bobot badan antara 0,6 1 kg/hari
dengan tingkat konsumsi antara 4,8 6kg (Babjee, 1986).
Serat Perasaan Buah
Serat perasan buah (SPB) merupakan limbah yang diperoleh dari buah dalam
proses pemerasan. Limbah ini dapat digunakan sebagi bahan bakar dan abunya
digunakan sebagai pupuk karena kaya unsur K. sebagai bahan campuran makanan
ternak, SPB ini cenderung cocok diberikan kepada ternak ruminansia (seperti sapi,
kerbau), karena kandungan serat kasarnya, terutama ligninnya tinggi. Tingkat
penggunaan serat dalam pekan sapi dan kerbau adalah 10 20%, sedangkan untuk
domba dan kambing 10 15% (jalaludin dan Hutagalung, 1982). Untuk sapi perah,
SPB dapat diberikan sebagai pengganti rumput disertai dengan pemberian molases,
urea, mineral, dan vitamin.
Menurut Hassan dan Ishida (1991) SPB dapat digunakan sebagai makanan
ruminansia walaupun nilai kandungan gizi rendah. Serat perasan buah yang dapat
diberikan lebih kurang 20% dari total ransum, karena jika lebih tinggi akan
menghalangi kecernaan khususnya pada pylorus atau omasum.
Lumpur Minyak Sawit.
Sebagai bahan pakan ternak, lumpur minyak sawit dapat diberikan langsung
atau setelah mendapat perlakuan. Lumpur minyak sawit tanpa perlakuan dapat
diberikan kepada berapa ternak, seperti pada sapi dan babi.
Devendra (1978) melaporkan bahwa domba yang diberi lumpur sawit pada
tingkat level 10 sampai 60% menurunkan koefisien cerna bahan kering, bahan
organik, protein, serat kasar, lemak, abu, beta-n, energi dan retensi nitrogen
menurun secara nyata, namun tidak pada abu. Dilaporkan pula bahwa campuran
serat perasan buah dengan lumpur sawit dengan perbandingan 50/50 dan diberikan
antara 10 sampai 60% pada domba, menunjukkan bahwa pada taraf 40% daya
cerna bahan kering, bahan organik, protein, serat kasar, energi dan retensi nitrogen
meningkat. Pemberian diatas 40% mengakibatkan penurunan daya cerna yang
tajam, kecuali abu dan energi. Lumpur minyak sawit tanpa perlakuan dapat
diberikan pada ransum sampai tingkat 50% dari total konsentrat (Gohl, 1981).
Ternak Domba
Domba termasuk sub familia Coprinae dan semua domba yang telah
diternakkan mengalami domestikasi masuk genus Ovis aries. Di Asia Tenggara
domba yang berkembang biak adalah domba berambut dan domba bulu (wool). Di
Indonesia hanya domba ekor gemuk yang termasuk kedalam jenis domba berambut,
sedangkan jenis lain seperti domba Jawa, domba Sumatera dan domba priangan
adalah domba berbulu (Reksohadiprodjo, 1984).
Menurut Wodzicka Tomaszewska, et al.(1993) domba mempunyai beberapa
keuntungan dilihat dari segi pemeliharaan seperti : (1) cepat berkembang biak,
dapat beranak lebih dari satu ekor, dan dapat beranak dua kali setahun; (2) berjalan
dengan jarak lebih dekat, sehingga lebih mudah dalam pemeliharaan; (3) pemakan
rumput, kurang memilih pakan yang diberikan dan kemampuan merasa kurang
tajam, sehingga leibh mudah dalam pemberian pakan; (4) dapat memberikan pupuk
kandang dan sebagai sumber keuangan untuk membeli keperluan/kebutuhan
pertanian atau untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang mendadak
(tabungan).
Domba adalah ternak ruminansia yang mempunyai perut majemuk dan
secara fisiologis sangat berbeda dengan ternak berperut tunggal seperti babi dan
unggas. Ternak ini memamah kembali dan mengunyah pakannya (ruminasi) serta
telah beradaptasi secara fisiologis untuk mengkonsumsi pakan yang berserat kasar
tinggi (rumput dan hijauan tanaman makanan ternak) yang tidak bisa dimanfatkan
langsung oleh manusia ternak non ruminansia. Pakan yang bersifat tinggi yang
diberikan pada kambing dan domba setelah melalui proses pencernaan dan
metabolisme diubah menjadi daging dan susu (Wodzicka Tomaszewska, et al.,
1993).
Secara fisiologi ternak domba, membutuhkan serat kasar dalam ransumnya.
Bahan pakan ini terutama berasal dari hijauan, seperti rumput segar, rumput kering,
silase atau jerami dan campuran biji-bijian yang mengandung penambahan mineral
dan vitamin. Domba yang sedang bertumbuh atau laktasi membutuhkannya dalam
jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan domba yang tidak produktif.
Ranting, cabang dari pohon-pohon dan semak-semak yang digunakan sebagai
penambahan termasuk kedalam makanan domba yang dapat digunakan selain
rumput segar dan kering.
Kebutuhan gizi menurut NRC (1985) untuk pertumbuhan dan kebuntingan
berkisar antara 35 : 36 15 : 85 (konsentrat : hijauan) dan 10.2 12.8% (protein
kasar). Menurut Reksohadiprodjo (1984) kebutuhan energi untuk hidup pokok
berkisar antara 93-98 Kkal ME/W kg0.75, atau 18.59 prdd/Mcal ME.
Domba Sumatera pada umumnya sangat produktif dan dapat beranak
sepanjang tahun. Domba lokal Sumatera dapat beranak 1.82 lai dalam setahun dan
dapat memproduksi anak sapihan 2.2 ekor pertahun dengan bobot sapih 21 kg per
22 kg bobot induk. Akan tetapi pada umumny domba Sumatera ini relatif kecil dan
tidak memenuhi persyaratan bobot badan ekspor yakni diatas 35 kg. Dari proses
persilangan dengan domba St. croix (yang berasal dari Amerika Tengah) diharapkan
terbentuk bangsa domba bertipe bulu yang memenuhi prsyaratan eksport dan dapat
beradaptasi terhadap lingkungan (Subandriyo, 1995).
Pada Tabel 3 dibawah terlihat bawah bobot lahir maupun bobt sapiah anak
domba hasil persilangan lebih tinggi dari anak domba lokal Sumatera, meskipun
sedikit dibawah rataan anak domba murni St. Croix. Keunggulan dari penampilan
anak hasil persilangan tampak bahwa anak mortalitas pra sapih dan jarak beranak
relatif lebih rendah dari anak domba murni baik lokal Sumatera maupun St. Croix.
Lokal
Sumatera
St. Croix
Hasil Silang
Bobot induk
16,8
17,6
27,2
Bobot pejantan
34,6
42,6
Td
Litter size
1,08
1,35
1,29
1,50
2,74
2,02
9,2
12,8
11,7
PBB (gr/hari)
42,7
95,2
69,6
Baik Sekali
Baik
Sedang
Buruk
Jamur
Tidak ada
Sedikit
Lebih
banyank
Banyak
Bau
Asam
Asam
Kurang asam
Busuk
PH
3,2 4,5
4,2 4,5
4,5 4,8
> 4,8
Kadar N-NH3
< 10%
10 15%
< 20%
> 20%
NH2
C
O
NH2
(Siregar, 1995)
Urea dengan rumus molekul CO (NH2)2 banyak digunakan dalam ransum
ternak ruminansia karena mudah diperoleh, harga murah dan sedikit keracunan yang
diakibatkannya dibanding biuret. Secara fisik urea berbentuk kristal padat berwarna
putih dan higroskopis. Urea mengandung nitrogen sebanyak 42 45% atau setara
dengan potein kasar antara 262 281% (Belasco, 1945).
Perlakuan amoniasi dengan urea telah terbukti mempunyai pengaruh yang
baik terhadap pakan. Proses amoniasi leibh lanjut juga akan memberikan
keuntungan yaitu meningkatkan kecernaan pakan. Setelah terurai menjadi NH3 dan
CO2. Dengan molekul air NH3 akan mengalami hidrolisis menjadi NH4+ dan OH. NH3
mempunyai pKa = 9,26, berarti bahwa dalam suasana netral (pH = 7) akan lebih
banyak terdapat sebagai NH+. Dengan demikian amoniasi akan serupa dengan
perlakuan alkali. Gugus OH dapat merenggut putus ikatan hidrogen antara Oksigen
Karbon nomor 2 melekul glukosa satu dengan Oksigen Karbon nomor 6 molekul
glukosa lain yang terdapat pada ikatan selulosa, lignoselulosa dan lignohemiselulosa.
Telah diketahui bahwa dua ikatan terakhir ini bersifat labil alkali, yaitu dapat diputus
dengan perlakuan alkali. Dengan demikian pakan akan memuai dengan lebih mudah
dicerna oleh mikroba rumen. Pemuaian pakan selanjutnya akan melarutkan deposit
lignin yang terdapat pada dinding dan ruang antar sel. Berarti amoniasi juga
menurunkan kadar zat makanan yang sukar bahkan tidak dicerna oleh ternak, yang
berakibat meningkatkan kecernaan pakan leibh jauh. Dari hasil percobaan Chuzaemi
(1987) dengan level urea yang lebih tinggi yaitu 6 dan 8% secara in vivo selain
dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik juga energinya.
Energi tercerna (De) meningkat dari 6,07 MJ menjadi 8,32 dan 9,54 MJ.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Soejono et al., (1986),
perlakuan alkali pada bagas dengan menggunakan urea (CO [NH2]2) sebanyak 6%
BK, dapat secara nyata meningkatkan kecernaan bahan kering (BK) dan bahan
organik (BO) bagas, yaitu dari 22,29% menjadi 29,58%, atau terjadi peningkatan
kecernaan sebesar 32,7%.
Penggunaan Urea dan Tepung Gaplek Pada Silase
Salah satu sumber nitrogen bukan protein yang mudah larut menjadi amonia
adalah urea. Telah banyak penelitimemakai urea sebagai campuran ransum
ruminansia, karena harganya murah, kandungan protein kasarnya tinggi dan
senyawanya sederhana serta dapat dimanfaatkan oleh mikorobia rumen sebagai
sumber protein (Ensminger dan Olentine, 1968).
Penggunaan urea dalam ransum akan menjadi efisien apabila amonia yang
terbentuk masih seimbang dengan kesanggupan mikrobia rumen dalam
menggunakan amonia. Penggunaan urea akan menunjukkan haisl yang maksimum
bila ditambahkan pada ransum yang berprotein rendah (Maynard dan Loosli, 1979).
Urea murni menggadung protein kasar sebanyak 291% (46,6 x 6,25). Urea
murni sukar disimpan karena mudah mencair. Agar urea dapat disimpan lama maka
dicampur dengan zat lain sehingga kadar nitrogennya turun menjadi 42%. Kadar
nitrogen urea makanan berkisar 42 45% setara dengan protein kasar 262 281%
(Belasco, 1956).
Menurut Banerjee (1978), urea sendiri tidak dapat menggantikan protein,
urea dapat mensuplai nitrogen amino tetapi bagian lain dari molekul protein harus
memperoleh dari sumber lain. Kerangka karbon (Sutardi, 1977) dan hidrogen
(Banerjee, 1978) dari molekul protein dapat diperolhe dari karbohidrat yang mudah
difermentasi.
Tingkat penggunaan urea yang dianjurkan oleh Mc Donald et al., (1972), dan
Chalupa (1975) adalah 1% dari bahan kering ransum dan tidak melebihi 3% dari
campuran konsentrat atau tidak lebih dari 1/3 dari kebutuhan protein. Bundy dan
Diggins (1958) menganjurkan pemberian urea yang optimal adalah 4% dari
campuran makanan konsentrat atau 1% dari bahan kering ransum.
10
11
Walaupun silase mempunyai bau amonia yang tajam/keras tetapi masih dapat
diterima oleh sapi.
Penambahan urea pada pengawetan daun kelapa sawit dapat mencegah
tumbuhnya jamur dan memperkaya bahan-bahan yang diawetkan dalam bentuk
NPN. Dari hasil analisis laboratorium daun kelapa sawit tersusun dari 70% serat dan
22% karbohidrat terlarut berdasarkan bahan kering. Ini menunjukkan bahwa daun
kelapa sawit dapat diawetkan sebagai silase melalui peningkatan pH dan kandungan
asam organik pada silase (Ishida dan Hassan, 1992).
Dari hasil penelitian Ishida dan Hassan (1992) perlakuan o, 3,0 dan 6,0%
urea tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada pH. Perlakuan 6,0%
urea pada silase menghasilkan asam organik tertinggi. Kandungan asam laktat yang
tertinggi terdapat pada silse yang mengandung 3,0% urea. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa perlakuan 0% dan 3,0% urea sangat digunakan sebagai
pengawet pada pembuatan silase. Tidak ada perbedaan yang nyata antara konsumsi
dan kecernaan bahan kering antara 9% dan 3% urea, dan protein kasar meningkat
seiring dengan meningkatnya jumlah urea. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
penambahan urea pada silase daun kelapa sawit tidak boleh melebihi 3% karena
pengggunaan 6% urea dapat menyebabkan penurunan pada konsumsi dan
kecernaan bahan kering. Keuntungan lain dari penggunaan urea pada silse adalah
bahwa penambahan urea 1 2% (pada bahan kering) pada proses silase telah
ditemukan sangat efektif mencegah kerusakan aerob pada silse setelah membuka
silo melalui pertukaran udara setelah pembongkaran.
Konsumsi Pakan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Tingkat konsumsi makanan adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh
hewan bila makanan tersebut diberikan adlibitum. Sumber pakan utama untuk
ternak ruminansia kecil di Indonesia adalah hijauan pakan ternak dan limbah
pertanian. Hijauan pakan umumnya adalah rumput alam yang timbul di lahan
pekarangan rumah, lahan pertanian, tanah terlantar, pinggir jalan, sumber-sumber
lahan lain dari pabrik. Limbah pertanian terutama sisa hasil panen, sisa hasil
pengolahan pertanian, atau yang dapat mengganggu hasil panen. Jumlah konsumsi
pakan merupakan faktor penentu yang paling penting yang menentukan jumlah zatzat makanan yang tersedia bagi ternak. Hal ini selanjutnya akan mempengaruhi
tingkat produksi. Akan tetapi pengatur konsumsi pakan pada ternak ruminansia
sangat kompleks, karena banyak faktor yang terlibat seperti ; Sifat pakan, faktor
ternak dan faktor lingkungan.
Konsumsi hijauan pakan dapat ditingkatkan dengan pemberian pakan secara
ad libitum. Peningkatan konsumsi akibat meningkatnya tingkat pemberian pakan
disebabkan oleh semakin besarnya peluang untuk memilik (seleksi terhadap pakan
yang diberikan. Bagian daun tanaman hijauan tropis dikonsumsi lebih banyak
dibandingkan dengan bagian batang. Ternak kambing dan domba yang diberi hijauan
pakan potongan memilih bagian daun yang umumnya lebih tinggi kecernaannya
dibandingkan batang. Pemilihan daun dibandingkan batang mungkin terutama
disebabkan oleh perbedaan sifat fisik dari tanaman tersebut. Daun yang berbulu
mungkin tidak akan dikonsumsi yang berarti bahwa pemilihan terjadi bukan hanya
karena faktor gizi, tetapi juga dipengaruhi perbedaan tekstur yang mempengaruhi
palatabilitas (Woozicka-Tomaszewska, et al., (1993).
Banyaknya jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seekor ternak merupakan
salah satu faktor penting yang secara langsung mempengaruhi produktivitas ternak.
Konsumsi makana dipengaruhi terutama oleh faktor kualits makanan dan oleh faktor
kebutuhan energi ternak yang bersangkutan. Makin baik kualitas makanannya,
makin tinggi konsumsi makanan seekor ternak. Akan tetapi konsumsi makanan
ternak berkualitas baik ditentukan oelh status fisiologi seekor ternak. Konsumsi
12
bahan kering makanan oleh ternak ruminansia dapat berkisar antara 1,5 3,5%,
tetapi pada umumnya 2 3% dari berat badannya (Bamualim, 1988). Jumlah bahan
kering yang dapat dimakan oleh seekor hewan selama sehari perlu diketahui.
Dengan mengetahi jumlah bahan kering yang dimakan dapat dipenuhi kebutuhan
seekor hewan akan zat amakan yang perlu untuk pertumbuhannya, hidup pokok
maupun produksinya. Bahan kering merupakan tolak ukur dalam menilai palatabilitas
makanan yang diperlukan untuk menentukan mutu suatu pakan.
Kemampuan ternak mengkonsumsi bahan makanan merupakan hal yang
perlu diperhatikan karena erat hubungannya dengan tingkat produksi ternak yang
bersangkutan. Hal ini dikarenakan variasi kapasitas produksi disebabkan oleh
makanan pada berbagai jenis ternak ditentukan oleh konsumsi (60%), kecernaan
(25%) dan konversi hasil pencernaan produk (15%) (Parakkasi, 1985).
Peningkatan konsumsi sejalan dengan besarnya ternak. Bentuk ransum yang
ringkas dan tidak berdebu sangat disukai ternak, sedngkan kandungan serat kasar
yang tinggi akan menurunkan tingkat konsumsi ini. Demikian pula makanan yang
voluminous dan kecernaannya rendah akan menurunkan konsumsi (Parakkasi,
1983).
Konsumsi bahan kering pakan ditentukan oleh ukuran tubuh, macam ransum,
umur dan kondisi ternak. Konsumsi bahan kering pakan kasar (roughage) berkualitas
tinggi pada dewasa adalah sebesar 1,4% dari bobot hidupnya. Sedangkan pada sapi
jantan muda sebesar 3%. Konsumsi bahan kering ransum biasanya makin menurun
dengan meningkatnya kandungan zat-zat pakan yang dapat dicerna (NRC, 1976).
Menurut Tillman et al., (1989) kebutuhan bahan kering pakan yang disarankan untuk
sapi pedaging adalah antara 2,5 3% bobot badan.
Protein adalah esensial bagi kehidupan karena zat tersebut merupakan
protoplasma aktif dalam semua sel hidup. Protein mempunyai peranan penting
dalam proses pertumbuhan produksi dan reproduksi (Anggorodi, 1990) menurut
Sutardi (1980) protein dalam tubuh berperan sebagai :
1. Bahan pembangunan tubuh dan pengganti jaringan tubuh yang aus.
2. Bahan baku pembuat hormon, enzim dan alat penangkal.
3. Mengatur lalu lintas zat-zat yang larut ke dalam cairan tubuh ke dalam atau
keluar sel.
4. Sumber energi.
Pada penggemukan yang bertujuan untuk menghasilkan pertambahan bobot
badan yang tinggi dan efisien, serta menghasilkan karkas yang berkualitas tinggi
maka diperlukan pakan yang mengandung energi tinggi, karena produksi ternak
akan meningkat apabila kandungan energi pakan ditingkatkan (Tillman et al.,
(1989).
Koefisien Cerna dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kecernaan (digestibility) adalah bagian zat makanan yang tidak diekskresikan
dalam fases, Anggorodi (1990) menyatakan pada dasarnya tingkat kecernaan adlaah
suatu usaha untuk mengetahui banyaknya zat makanan yang diserap oleh saluran
pencernaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa bagian yang dapat dicerna adalah selisih
antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang dibuang
bersama feses. Menurut Lubis (1963) salah satu faktor yang harus dipenuhi dlaam
bahan makanan adalah tingginya daya cerna bahan makanan tersebut, dalam arti
bahwa makanan itu harus mengandung zat makanan yang dapat diserap dalam
saluran pencernaan. Zat makanan yang terkandung didalam bahan makanan tidak
seluruhnya tersedia untuk tubuh ternak, sebagian besar akan dikeluarkan lagi
melalui feses karena tidak tercerna dalam saluran pencernaan (Ranjhan dan Pathak,
1979). Anggorodi (1990) menyatakan bahwa pengukuran daya cerna adalah suatu
usaha untuk meningkatkan jumlah zat makanan dari bahan makanan yang diserap di
13
dalam saluran pencernaan. Menurut morisson 91959) selisih antar zat makanan yang
dikandung dalam bahan makanan dengan zat makanan yang akan ada dalam feses
merupakan bagian yang dicerna. Crampton dan Harris, (1969) menyatakan bahwa
bagian yang dapat dicerna dapat diartikan sebagai bagian dari bahan makanan yang
tidak dijumpai dalam feses dan bila bagian ini dinyatakan sebagai persentase
terhadap konsumsi maka disebut koefisien cerna.
Nilai koefisien cerna tidaklah tetap untuk setiap makanan atau setiap ekor
ternak, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor (Maynard dan Loosli, 1979) yaitu :
1. Komposisi Kimiawi.
2. Pengolahan Makanan
3. Jumlah makanan yang diberikan.
4. Jenis hewan.
NN = NI NE
NN
NI
NE
= Neraca Nitrogen
= Nitrogen yang dikonsumsi
= Nitrogen yang dikeluarkan dari dalam tubuh
14
yang disimpan baik dalam bentuk pertumbuhan, air susu atau perkembangan fetus
maka jumlah nitrogen yang dikonsumsi dan yang dikeluarkan adalah sama. Dalam
keadaan ini neraca nitrogen disebut seimbang. Keadaan-keadaan neraca nitrogen
seimbang akan menyatakan bahwa ternak tidak bertumbuh, protein ransum cukup
baik dalam jumlah dan mutunya, ransum cukup mengandung energi dan ternak
tidak menderita suatu penyakit.
Energi total adalah energi yang tersedia dalam bahan makanan yang
dikonsumsi. Selama proses pencernaan dan penyerapan energi makanan akan
dipecah. Sebagian dari energi makanan akan hilang dari tubuh melalui usus besar
dalam bentuk gas dan sisa-sisa makanan tidak tercerna. Disamping itu ada energi
yang hilang berasal dari produk-produk dalam sistem pencernaan (Crampton dan
Harris, 1069). Semua energi ini dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk energi feses.
Energi makanan yang tidak dikeluarkan bersama feses dinyatakan sebagai
energi tercerna (Banerjee, 1978). Dari energi tercernakan ada yang dikeluarkan
melalui air seni dan tinggallah energi termetabolismekan. Panas reaksi merupakan
bagian dari energi termetabolismekan yang dikeluarkan dari tubuh, berasal dari
metabolisme zat-zat makanan dan panas fermentasi zat-zat makanan (Crampton
dan Harris, 1969). Sisa energi termetabolismekan yang tidak berupa panas reaksi
disebut energi netto dan energi ini adalah energi bahan makanan yang
sesungguhnya ditahan digunakan tubuh untuk pertumbuhan dan produksi (Banerjee,
1978).
NE = EI EM
dengan pengertian :
NE
EI
EE
EM
=
=
=
=
Neraca energi
Energi yang dikonsumsi
Energi yang dikeluarkan dari dalam tubuh
Energi gas hasil fermentasi
(Shirley, 1990)
Neraca energi dikatakan positif apabila energi yang dikonsumsi melebihi
energi yang dikeluarkan dari tubuh. Ini berarti ada pertambahan bobot badan.
Apabila energi yang dikeluarkan dari tubuh melebihi yang dikonsumsi maka neraca
energi dikatakan negatif. Dalam keadaan ini ternak kekurangan energi untuk
kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan sehingga terjadi perombakan energi
tubuh. Neraca energi dikatakan seimbang apabila energi yang dikonsumsi sama
dengan yang dikeluarkan dari tubuh. Dalam keadaan ini ternak dikatakan tidak
bertumbuh.
15
Pertambahan bobot badan domba akan lebih besar bila pemberian hijauan
disertai dengan pemberian konsentrat. Penambahan makanan penguat komerisal
pada hijauan yang ada di pedesaan dapat menghasilkan pertambahan bobot badan
sebesar 80,9 1114,3 g/ekor/hari (Obst et al., 1980). Martawidjaja et al., (1986)
menyebutkan bahwa penambahan konsentrat komersial menghasilkan pertambahan
bobot badan sebesar 71 g/ekor/hari, lebih besar bila domba hanya diberi rumput
gajah, yaitu 18g/ekor/hari.
Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot
badan melalui penimbangan berulang-ulang, yaitu setiap hari, setiap minggu atau
setiap waktu lainnya (Tillman et al., 1989).
Cara Pelaksanaan
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di kandang metabolisme dan laboratoorium Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Medan di Sei Putih Galang Sumatera Utara..
Penelitian berlangsung selama 1 bulan
Bahan
Bahan yang dipergunakan adalah : daun kelapa sawit yang telah dikering
udarakan (2-3 jam), urea, tepung gaplek, dan air.
Alat
Alat yang dipergunakan adalah : alat pencacah, kantong plastik ukuran 5 kg
dengan ketebalan 0,4 mm, ember, pisau, parang, dan timbangan.
Perlakuan
Perlakuan adalah menggunakan urea dan tepung gaplek sebagai bahan aditif
untuk pembuatan silase. Untuk proses amoniasi hanya menggunakan urea.
Cara Pelaksanaan
Proses Pembuatan Silase
Silase daun kelapa sawit diproses dengan mencacah daun kelapa sawit
sebanyak 20 kg menjadi potongan sepanjang 2 3 cm. Daun kelapa sawit yang
telah dicacah kemudian ditimbang sebanyak 5 kg. Cacahan daun kelapa sawit
sebanyak 1 kg (kering udara) kemudian diperciki dengan larutan yang mengandung
1% urea diaduk secara merata kemudian dicampur dengan bahan aditif berupa
tepung gaplek (4% untuk setiap 1 kg daun kelapa sawit kering udara) sampai benarbenar homogen. Bahan yang telah dicampur dimasukkan kedalam kantong plastik
ukuran 5 kg, didapatkan dan ditutup rapat agar kedap udara dan disimpan selama
40 hari. Sebelum diberikan ke ternak silase diangin-anginkan selama 2 jam.
16
i
ij
:
=
=
=
=
=
+ i + ij
nilai pengamatan ke i yang memperoleh perlakuan ke-j
nilai tengah populasi
pengaruh aditif dari perlakuan ke-i
galat percobaan dari perlakuan ke-i pda pengamatan ke-j
17
Alat
Alat yang dipergunakan adalah : alat pencacah (khusus untuk daun kelapa
sawit segar), timbangan, gelas ukuran (kapasitas 10 ml sampai 100 ml), botol
tempat urin, plastik tempat feses, dan kadang metabolisme (dengan ukuran 100 x
130 cm).
Perlakuan
Sebagai lanjutan percobaan I, maka percobaan II mencakup pengujian
pertambahan bobot badan, konsumsi bahan kering, serta kecernaan pakan, neraca
nitrogen, dan neraca energi secara in vivo dengan menggunakna metoda koleksi
total feses dan urin.
Cara Pelaksanaan
Domba ditempatkan dalam kandang metabolisma dan diberi daun kelapa
sawit segar, daun kelapa sawit yang telah disilase maupun yang telah diamoniasi.
Konsumsi pakan dicatat setiap hari. Pada hari ke 13 sampai dengan hari ke-18 total
urien (10% dari volume) dan total fases (10% dari berat feses) ditampung dan
diukur. Untuk pengambilan sampel urine wadah penampungan diisi HCl 10%
sebanyak (10 ml), pada hari ke-18 sampel dikomposit, lalau diambil sub sampel
untuk analisa kecernaan bahan kering, bahan organik, kandungan serat detergen
netral (NDF), neraca energi dan neraca nitrogen. Pengambilan sampel dilakukan dua
kali, yaitu percobaan II dan pada masa kahir percobaan III. Pertambahan bobot
badan dicatat. Setiap minggu yaitu dengan menghitung selisih bobot badan pada
masa awal dengan akhir masa penimbangan pada setiap minggu.
Parameter
Parameter yang akan diukur dalam penelitian ini meliputi : konsumsi bahan
kering, kecernaan bahan organik, bahan kering dan serat detergen netral (NDF).
Neraca nigroten, neraca energi
Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dan
tiga ulangan (Steel dan torrie). Daun kelapa sawit segar, yang disilase, dan yang
diamoniasi dianggap sebagai perlakuan, sedangkan jumlah ternak tiap perlakuan
dianggap sebagai ulangan.
Guna mengethui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diukur, data
yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji BNT.
III. Manfaat Penambahan Konsentrat Pada Daun Kelapa Sawit Segar, Silase
dan Amoniasi Terhadap Konsumsi, Kecernaan, Neraca Nitrogen, Neraca
Energi dan Pertambahan Bobot Badan
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di kandang metabolisme dan laboratorium Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Medan Sei Putih-Galang, Sumatera Utara.
Penelitian berlangsung selama 1 bulan.
Bahan
Materi
Bahan yang dipergunakan adalah : Konsentrat (terdiri dari bungkil inti sawit,
sludge, dan serat perasan buah kelapa sawit), daun kelapa sawit segar, daun sawit
yang diamoniasi, daun kelapa sawit yang disilase, dan ternak domba jantan Sei Putih
18
sebanyak 15 ekor dengan bobot badan berkisar 10,4 - 16,2 kg dengan kisaran 3 4
bulan.
Alat
Perlakuan
Penambahan konsentrat pada percobaan III adlah lanjutan dari percobaan II.
Komposisi konsentrat terdiri dari bungkil inti sawit (45%), lumpur minyak sawit
(54%) dan serat perasan buah (1%)
Perlakuannya yaitu : T1
T2
T3
=
=
=
Cara Pelaksanaan
Digunakan 15 ekor domba jantan lepas sapih hasil persilangan St. croix
dengan domba lokal dan berat badan berkisar antara 10,4 16,2 kg, serta umur
berkisar antara 3 - 4 bulan. Ternak dibagi menjadi tiga kelompok dan secara acak
diberi perlakuan pakan.
Perbandingan antara daun kelapa sawit dan konsentrat adalah 30 : 70. Pakan
konsentrat terdiri dari bungkil inti sawit (45%), lumpur minyak sawit (54%), dan
serat perasan buah (1%). Kandungan protein konsentrat adalah 14,7% dan energi
(TND) 72%. Setiap perlakuan pakan adalah isoprotein. Daun kelapa sawit
mengandung protien 14,8% dan energi (TDN) 27,5%. Ternak ditempatkan dalam
kandang selama satu bualn dan diberikan obat cacing dua minggu sebelum
perlakuan. Total konsumsi dicatat setiap hari dan bobot badan diukur setiap minggu.
Parameter
Parameter yang akan diukur dalam penelitian ini adalah : Konsumsi Bahan
Kering, Kecernaan, Neraca Nitrogen, Neraca Energi, Pertambahan Bobot Badan.
Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga perlakuan dan
lima ulangan untuk menganalisa konsumsi bahan kering dan pertambahan bobot
badan, sedangkan untuk neraca nitrogen, neraca energi dan kecernaan bahan
kering, bahan organik, NDF digunakan tiga perlakuan dan tiga ulangan.
Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diukur, data
yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, dan dilanjutkan dengan uji BNT.
19
20
kontrol dapat membuat kandungan bahan organik pad kontrol lebih rendah
dibandingkan dengan silase dan amoniasi.
PH
H2NCOONH4
2NH3 + CO2
NH3 + H2O
NH4OH
Nilai rataan pH yang tinggi pada amoniasi merupakan hal yang wajar terjadi
karena pemberian urea secara tidak langsung akan menambah sifat basa sehingga
pH pada perlakuan ini juga meningkat.
NH3
21
Tabel 6.
Nilai Beberapa Peubah Daun Kelapa Sawit Yang Diberi Perlakuan Daun
Kelapa Sawit Segar, Silase, dan Amoniasi.
Peubah
Perlakuan
Segar
Silase
Amoniasi
C
A
Konsumsi (g/ekor/hari)
187,98 5,077
518,25 4,21
276,38B55,08
Kecernaan (%)
Bahan kering
36,46A5,07
49,608A4,21
76,32B6,25
Bahan organik
44,16A4,69
58,75B3,71
81,56C4,74
A
A
NDF
24,13 6,33
41,47 5,17
69,32B7,93
A
B
Neraca N (g/ekor/hari)
-7,39 2,23
23,72 5,39
11,37B7,82
A
B
Neraca energi (Kal/g/hr)
-1,75 2,49
2,59 1,94
0,79B1,39
B
A
NH3 (mM)
-0,02 71,56
0,03 0,03
-0,08B0,05
Keterangan : Huruf Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan nyata pada taraf 5%
Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa konsumsi ransum daun kelapa sawit pada
perlakuan silase lebih tinggi dibandingkan dengan amoniasi atau segar.
Penambahan karbohidrat pada silase dapat merangsang pertumbuhan bakteri
pembentuk asam sebanyak-banyaknya. Sumber karbohidrat yang biasanya
ditambahkan untuk mengimbangi urea antara lain tepung gaplek dan molasses.
Menurut Cullison (1979) bahwa pemberian urea dalam pakan harus diimbangi
dengan pemberian karbohidrat yang siap difermentasikan untuk mengimbangi
amoniak yang terbentuk. Hasil penelitian Hassan dan Ishida (1991) dikatakan bahwa
penambahan urea dan molasses pada pembuatan silase daun kelapa sawit yang
diberikan pada sapi akan meningkatkan konsumsi ransum (2,8 kg/24 hari)
dibandingkan dengan kontrol (2,6 kg/24 hari), selain itu urea dan molasses dapat
meningkatkan pH dan kandungan asam organik pada silase, dan dari hasil penelitian
Wardhani et al (1987) bahwa penambahan tetes dan urea pada silase pucuk tebu
akan meningkatkan konsumsi bahan kering 5,95 kg/hari pada sapi Bali.
Konsumsi ransum yang rendah pada perlakuan kontrol dapat disebabkan
faktor kesenangan atau kandungan lignin dan selulosa yang tinggi. Bacon et al
(1981) menyatakan bahwa perlakuan alkali meningkatkan kecernaan selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Perlakuan alkali menyebabkan membengkaknya selulosa,
memutuskan ikatan lignin yang melindungi dinding sel polisakarida sehingga enzim
mikroba rumen dapat masuk dan mencerna selulosa tersebut. Peningkatan konsumsi
dapat juga disebabkan karena meningkatnya kecernaan.
Konsumsi ransum pada perlakuan silase dan kontrol pada percobaan II
(selama 3 minggu) mengalami peningkatan, tetapi pada perlakuan amoniasi
konsumsi ransum mengalami penurunan. Konsumsi ransum untuk setiap perlakuan
selama 3 minggu terdapat pada Gambar 1.
22
Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa konsumsi ransum pada perlakuan silase
meningkat pada minggu ke-2, tetapi mengalami penurunan pada minggu berikutnya.
Pada perlakuan kontrol konsumsi ransum stabil dan peningkatan konsumsi ransum
kecil. Sementara itu pada perlakuan amoniasi konsumsi ransum mengalami
penurunan. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan urea sangat mempengaruhi
konsumsi ransum.
Kecernaan Zat-zat Makanan
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF dari masing-masing perlakuan
disajikan pada Tabel 6.
Nilai potensial bahan makanan untuk menyediakan zat-zat makanan tertentu
dapat ditentukan dengan analisis kimia, tetapi nilai sebenarnya bagi ternak hanya
dapat ditentukan setelah mengalami kehilangan yang tidak dapat dihindari yang
terjadi selama pencernaan, penyerapan, dan metabolisme (Mc.Donald, et al, 1988),
Ensminger (1990) menyatakan bahwa ternak tidak dapat memanfaatkan semua zatzat makanan yang terdapat dalam pakan. Nilai manfaat suatu pakan dapat diketahui
melalui percobaan penentuan daya cernanya pada ternak, karena analisis kimia
hanya menggambarkan nilai suatu pakan tanpa nilai manfaatnya (Anggorodi, 1990;
Church dan Pond, 1988).
Dari Sidik Ragam menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering dipengaruhi
oleh perlakuan (P < 0,05). Kecernaan bahan kering tertinggi terdapat pada
perlakuan amoniasi. Hal ini mungkin berhubungan dengan lama retensi pakan dalam
rumen. Pakan yang lebih lama berada dalam rumen kemungkinan akan lebih banyak
dicerna, sehingga mengakibatkan kecernaannya lebih tinggi. Pada perlakuan silase,
konsumsi yang tinggi kemungkinan mengakibatkan lama retensi yang lebih singkat
sehingga menurunkan koefisien cerna. Menurut Tillman et al (1989) tingkat
kecernaan tertinggi didapat pada makanan yang dikaonsumsi sedikit lebih rendah
dari kebutuhan hidup pokok.
Dari Sidik Ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang
nyata terhadap kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan organik tertinggi pada
perlakuan amoniasi. Hal ini dapat disebabkan urea dapat melarutkan sebagian
komponen serat kasar termasuk silika yang dapat mengakibatkan ketersediaan zat
makanan untuk dicerna semakin tinggi
karena urea dapat melonggarkan ikatan lignoselulosa. Dengan longgarnya ikatan
lignoselulosa akan memudahkan penetrasi enzim yang dihasilkan mikroba rumen
lebih sempurna, akibatnya akan meningkatkan kecernaan bahan kering, bahan
organik, dinding sel, TDN (Total Digestible Nutrient) dan DE (Digestible Energy)
(Jackson, 1977).
Dari hasil percobaan Chuzaemi (1987) dengan level urea yang tinggi yaitu 6%
dan 8% secara in vivo selain dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan
bahan organik juga meningkatkan energinya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Soejono et al (1986), perlakuan alkali pada bagas dengan menggunakan urea
sebanyak 2, 4, 6% bahan kering, secara nyata dapat meningkatkan kecernaan
bahan kering dan bahan organik, yaitu 22,29% menjadi 29,58% pada taraf
penambahan urea 6% atau terjadi peningkatan kecernaan sebesar 32,7%.
Kecernaan Neutral Detergent Fiber
Perlakuan juga berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kecernaan NDF (Tabel
6). Pengujian dengan uji BNT menunjukkan bahwa pada perlakuan amoniasi NDF
lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan silase, namun antara perlakuan silase
dan kontrol tidak berbeda.
23
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa perlakuan urea pada silase dan amoniasi
meningkatkan kecernaan dinding sel (NDF). Kecernaan NDF pada perlakuan kontrol
terlihat sangat rendah.
Van Soest (1982) telah menemukan bahwa terdapat korelasi yang baik antara
isi sel dan lignin dengan daya cerna in vivo. Serat detergent netral (NDF) mewakili
bagian dinding sel yang berserat dan terkandung didalamnya lignin, selulosa,
hemiselulosa serta beberapa protein yang terikat oleh serat.
Menurut Sutardi (1980) isi sel terdiri atas zat-zat yang mudah dicerna yaitu
protein, karbohidrat, mineral dan lemak, sedangkan dinding sel terdiri atas sebagian
besar selulosa, hemiselulosa, peptin, protein dinding sel, lignin dan silika. Lignin
merupakan suatu zat kompleks dari bagian tanaman seperti kulit gabah, bagian akar
yang berserat, batang, dan daun yang sulit dicerna (Anggorodi, 1990). Seperti
diketahui ikatan lignin merupakan penghambat kecernaan dinding sel tanaman.
Semakin banyak lignin terdapat dalam dinding sel maka koefisien cerna hijauan
tersebut semakin rendah. Namun dengan perlakuan alkali terhadap pengolahan
limbah maka akan terjadi pemutusan ikatan-ikatan tersebut. Hal ini kemungkinan
yang menyebabkan kecernaan NDF pada perlakuan amoniasi lebih tinggi dan
berbeda dari perlakuan silase dan kontrol. Hal ini sesuai dengan pendapat para
peneliti terdahulu (Wanapat et al, 1982; Sundstol et al, 1984), urea dapat
melonggarkan ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa, sehingga lignoselulosa
membengkak dan bagian selulosa kristal berkurang, sehingga memudahkan
penetrasi enzim yang dihasilkan mikroba rumen lebih sempurna, akibatnya akan
meningkatkan kecernaan bahan kering, bahan organik, dinding sel, TDN dan DE.
Neraca Nitrogen dan Nera Energi
Neraca Nitrogen
Neraca nitrogen menunjukkan jumlah nitrogen yang tersusun di dalam tubuh
ternak yang tidak diekskresikan melalui feses dan urin. Neraca nitrogen diperlukan
untuk penilaian mutu protein karena dapat dipakai untuk menduga kebutuhan
protein untuk pertumbuhan meskipun tidak semua dan yang diretensi digunakan
untuk pembentukan daging. Nilai neraca nitrogen terlihat pada Tabel 6.
Dari Sidik Ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh (P < 0,05)
terhadap neraca nitrogen. Neraca nitrogen pada perlakuan silase dan amoniasi
menunjukkan nilai yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa antara perlakuan silase
dan amoniasi berbeda dengan perlakuan segar. Neraca nitrogen yang memberikan
nilai positif berarti nitrogen yang dimakan melebihi dari yang dikeluarkan dari yang
dikeluarkan dari dalam tubuh. Dalam kondisi ini akana memperlihatkan pertumbuhan
pada ternak. Neraca nitrogen negatif pada perlakuan kontrol menunjukkan bahwa
nitrogen yang dikeluarkan dari dalam melebihi yang masuk melalui makanan.
Keadaan ini dapat disebabkan karena pemberian ransum yang rendah kadar
proteinnya dan energi yang tidak mencukupi. Bila dilihat dari kandungan protein,
kebutuhan protein silase
sudah memenuhi kebutuhan nutrien protein domba dibandingkan amoniasi dan
kontrol. Konsumsi protein harian pada perlakuan kontrol, silase, dan amoniasi
berkisar 21,71 g ; 75,3 g dan 43,59 g sedangkan kebutuhan harian nutrien untuk
hidup pokok domba dimana berat badan berkisar 14 kg dengan pertambahan bobot
badan 0 50 g/hari adalah 57,9 g (Haryanto et al, 1992). Kandungan protein harian
yang rendah dapat menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan pada perlakuan
kontrol. Terjadinya pertambahan bobot badan pada perlakuan silase dapat
disebabkan karena kandungan protein harian sudah mencukupi walaupun
pertambahan bobot badannya relatif sangat kecil.
24
Neraca Energi
Sidik Ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh (P <
0,05) terhadap neraca energi. Neraca energi pada perlakuan silase dan amoniasi
menunjukkan nilai positif, hal ini dapat terjadi apabila energi yang dikonsumsi
melebihi energi yang dikeluarkan dari tubuh (Banerjee, 1978). Ini kemungkinan
dapat menyebabkan pertambahan bobot badan pada ternak. Apabila energi yang
dikeluarkan dari tubuh melebihi dari yang dikonsumsi maka neraca energi dapat
dikatakan negatif. Hal ini yang menyebabkan neraca energi pada perlakuan kontrol
bernilai negatif. Dilihat dari konsumsi harian energi ransum pada perlakuan kontrol,
silase, dan amoniasi adalah 0,27 M kal; 1,116 M kal; dan 0,84 M kal. Konsumsi
energi pada perlakuan
amoniasi dan kontrol belum mencukupi kebutuhan energi harian domba, yaitu
sebanyak 1,33 M Kal untuk berat badan berkisar 14 kg dengan pertambahan bobot
badan 0-50 g/hari (Haryanto, 1992), terutama pada perlakuan kontrol dimana dapat
mengakibatkan penurunan bobot badan. Konsumsi energi pada perlakuan silase
sudah memungkinkan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi energi seperti yang
disarankan, walaupun pertambahan bobot badannya relatif sangat kecil, tetapi sudah
menunjukkan nilai positif terhadap neraca energi.
Pertambahan Bobot Badan
Tabel 6 menampilkan data pertambahan bobot badan domba pada percobaan
II. Pertumbuhan merupakan salah satu sifat yang mempunyai nilai ekonomi yang
penting dalam penampilan produksi ternak (Daas dan Acharya, 1970). Pertumbuhan
diukur berdasarkan bobot badan (Maynard et al, 1979). Dari data pertambahan
bobot badan akan diketahui nilai suatu bahan pakan bagi ternak (Church dan Pond,
1988).
Perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata (P < 0,05) terhadap
pertambahan bobot badan. Kenaikan berat badan harian tertinggi terdapat pada
perlakuan silase. Berkurangnya bobot badan pada perlakuan amoniasi adalah lebih
besar bila dibandingkan dengan pemberian dalam bentuk segar. Konsumsi bahan
kering pada domba penelitian ini adalah 1,25 3,62% dari bobot badan dimana lebih
rendah dari kebutuhan yang dianjurkan NRC
(1985) yaitu 5% dari bobot hidup. Herman (1977) menyatakan bahwa kebutuhan
konsumsi bahan kering pada domba jantan berkisar antara 5,7 7,6% dari bobot
hidup 9 15 kg. Menurut Djajanegara (1986) jumlah yang dikonsumsi domba per
ekor per hari pada ransum yang diberi perlakuan urea berkisar 0,6 2,25 kg,
dimana konsumsi pakan pada perlakuan amoniasi jauh dari jumlah yang seharusnya
diberikan pada ternak. Pemberian makanan yang terlalu sedikit dari kebutuhan hidup
pokok akan menyebabkan ternak kehilangan bobot badan.
Bila dilihat dari kebutuhan protein dan energi dari ransum yang dikonsumsi
pada perlakuan amoniasi dan kontrol belum dapat memenuhi kebutuhan protein dan
energi sesuai dengan yang disarankan kecuali pada perlakuan silase dimana
kebutuhan protein dan energi dari ransum yang dikonsumsi telah terpenuhi.
Kebutuhan protein dan energi yang belum terpenuhi pada perlakuan kontrol dan
amoniasi akan mempengaruhi pertambahan bobot badan pada ternak.
25
III. Manfaat Penambahan Konsentrat pada Daun Kelapa Sawit Segar, Silase
dan Amoniasi Terhadap Konsumsi, Kecernaan, Neraca Nitrogen, Neraca
Energi, dan Pertambahan Bobot Badan
Pengaruh penambahan konsentrat pada daun kelapa sawit segar, silase, dan
amoniasi terhadap konsumsi ransum, kecernaan (bahan kering, bahan organik dan
NDF), neraca Ntirogen, dan pertambahan bobot badan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Beberapa Peubah Daun Kelapa Sawit Yang Diberi Perlakuan Segar,
Silase, Amoniasi Dengan Penambahan Konsentrat Secara In Vivo.
Peubah
Perlakuan
Silase
Segar
Amoniasi
Konsumsi Bahan
Kering (g/ekor/hari)
Ransum
227,56A48,38
608,26B47,74 344,49C20,91
A
Konsentrat
25,29 48,77
27,75A50,59
140,58B16,67
A
B
Hijauan
19,72 13,96
580,60 86,31 203,91A21,3
Kecernaan (%)
Bahan kering
26,35A2,86
52,79AB1,29
42,78B10,22
A
B
Bahan organik
36,02 1,37
60,98 1,03
54,45B915
A
B
NDF
4,33 4,85
44,99 3,25
32,83B9,54
A
A
Neraca N (g/ekor/hari)
-12,23 3,09
-12,79 5,50
42,88B4,76
A
A
Neraca energi (Kal/g/hr)
-1,57 3,09
2,29 9,29
6,18B7,15
A
A
PBB (g/ekor/hari)
-0,03 0,03
-0,03 0,03
-0,01B 0,02
Keterangan : Huruf Superskrip yang berbeda pada nilai rataan pada baris yang sama
menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)
Konsumsi Ransum
Sidik Ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P < 0,05)
terhadap konsumsi ransum. Uji BNT (Tabel 7) menunjukkan bahwa diantara ketiga
perlakuan berbeda nyata (P < 0,05). Meningkatnya konsumsi ransum dapat
disebabkan penambahan konsentrat dimana pada perlakuan amoniasi lebih banyak
mengkonsumsi konsentrat sehingga mengakibatkan konsumsi ransum lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Menurut Schmidt et al (1982) konsumsi dan nilai
makanan akan meningkat dengan penambahan konsentrat pakan dan menurut
26
Meacham et al (1963) bahwa semakin rendah kandungan protein dalam pakan maka
tingkat konsumsinya semakin menurun.
Gambar 3.
Dari gambar 3 diatas dapat dilihat bahwa konsumsi ransum pada perlakuan
silase lebih tinggi. Ini dapat disebabkan karena perlakuan silase selain
mengkonsumsi hijauan yang lebih tinggi, ternak tersebut juga mengkonsumsi
konsentrat. Maka secara tidak langsung bahan kering perlakuan pada silase
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan amoniasi dan kontrol.
Kecernaan Zat-zat Makanan
Tabel 7 memperlihatkan kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF dari
penambahan konsentrat terhadap perlakuan daun kelapa sawit segar, silase, dan
amoniasi.
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Sidik Ragam menunjukkan pengaruh yang nyata (P < 0,05) terhadap
kecernaan bahan kering dan bila dilakukan uji BNT (Tabel 7) menunjukkan bahwa
antara perlakuan segar dan amoniasi tidak berbeda dengan perlakuan silase tetapi
antara perlakuan segar dan amoniasi berbeda. Terjadinya kenaikan kecernaan bahan
kering ini sebagai akibat dari konsumsi konsentrat dimana pada perlakuan silase dan
amoniasi lebih banyak mengkonsumsi konsentrat. Menurut Price et al (1980)
meningkatnya kandungan serat kasar pakan akan menurunkan kecernaan bahan
kering, protein kasar dan energi.
Dari Sidik Ragam menunjukkan perlakuan berpengarpuh secara nyata
terhadap kecernaan bahan organik pada taraf 5% dan dari hasil uji BNT
menunjukkan antara silase dan amoniasi tidak berbeda nyata dan relatif sama tetapi
lebih tinggi pada silase dan keduanya berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan
kontrol. Perbedaan kecernaan kemungkinan disebabkan karena domba yang diberi
perlakuan silase dan amoniasi lebih banyak mengkonsumsi konsentrat. Dengan
adanya penambahan konsentrat
maka protein dalam ransum tersebut meningkat dan menurut Sutrisno et al (1985)
apabila jumlah protein dalam ransum tinggi makan perkembangbiakan mikroba
rumen lebih banyak sehingga menyebabkan pencernaan makanan juga berjalan
baik. Konsentrat yang digunakan umumnya mengandung protein yang tinggi.
27
Menurut Devendra (1978) campuran serat perasan buah dengan lumpur kelapa sawit
dengan perbandingan sama yang diberikan 10-60% pakan domba, menunjukkan
bahwa pada taraf 40% daya cerna bahan kering, bahan organik, protein, serat kasar,
enerig, retensi nitrogen akan meningkat, tetapi diatas level ini daya cernanya akan
menurun dengan tajam kecuali pada abu dan energi.
Kecernaan yang sama dari bahan organik ransum pada silase dan amoniasi
disebabkan kecernaan bahan kering pada silase dan amoniasi juga tidak
berbedanyata, sebab bahan organik menempati proporsi yang besar di dalam bahan
kering pakan (Akmal, 1994).
Kecernaan Neutral Detergent Fiber
Sidik Ragam meunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh yang nyata (P <
0,05) terhadap kecernaan NDF. Dengan uji BNT kecernaan perlakuan kontrol paling
rendah dibandingkan dengan perlakuan silase dan amoniasi sedangkan antara
perlakuan silase dan amoniasi kecernaan NDF tidak berbeda. Kecernaan NDF yang
tingig pada perlakuan silase dan amoniasi dapat disebabkan karena perlakuan alkali
dan penambahan konsentrat.
Menurut Parakkasi (1987) bahwa kecernaan bahan kering makanan berkonsentrat
adalah lebih besar dibandingkan dengan daun, leguminosa, pohon atau rumput. Hal
ini disebabkan karena karbohidrat mudah dicerna lebih tinggi pada konsentrat atau
konsentrat lebih mudah didegradasi pada dinding sel daripada daun leguminosa dan
rumput. Menurut Bacon et al (1981) bahwa perlakuan alkali meningkatkan
kecernaan selulosa, hemiselulosa dan lignin. Perlakuan alkali menyebabkan
membengkaknya selulosa, memutuskan ikatan lignin yang melindungi dinding sel
polisakarida sehingga enzim mikroba rumen dapat masuk dan mencerna selulosa
tersebut.
Neraca Nitrogen dan Neraca Energi
Neraca Nitrogen
Dari Sidik Ragam penambahan konsentrat berpengaruh nyata (P < 0,05)
terhadap neraca Nitrogen. Tabel 7 menunjukkan bahwa perlakuan amoniasi
menghasilkan neraca nitrogen lebih tinggi dengan perlakuan segar atau silase.
Neraca nitrogen antara segar dan silase tidak berbeda. Neraca nitrogen pada
perlakuan amoniasi menghasilkan nilai positif, sedangkan pada kontrol dan silase
adalah negatif.
Menurtu Banerjee (1982) kalau nitrogen yang dimakan melebihi yang
dikeluarkan dari dalam tubuh maka neraca nitrogen tersebut adalah positif, kondisi
yang memperlihatkan ini adalah pertumbuhan. Neraca nitrogen
negatif apabila nitrogen yang dikeluarkan dari dalam tubuh melebihi yang masuk
melalui makanan, kondisi dapat disebabkan pemberian ransum yang rendah kadar
proteinnya dan tidak cukup energinya.
Perlakuan silase dan kontrol mempunyai nilai neraca nitrogen negatif
sedangkan pada perlakuan amoniasi neraca nitrogennya bernilai positif. Perbedaan
nilai antar perlakuan dapat disebabkan karena perlakuan amoniasi lebih banyak
mengkonsumsi konsentrat, dimana konsentrat mengandung protein yang tinggi.
Menurut Holmes dan Wilson (1984) konsumsi pakan dan kecernaannya memberikan
pengaruh terhadap ketersediaan nitrogen di dalam tubuh ternak. Ketersediaan
nitrogen tersebut dicerminkan oleh protein pakan yang dikonsumsi. Protein kasar
ransum harian yang dikonsumsi dari perlakuan kontrol, silase dan amoniasi adalah
12,08 g ;57,0 g; 101,28 g, sedangkan kebutuhan harian protein domba untuk hidup
pokok dengan berat badan berkisar 14 kg adalah 57,9 g (Haryanto, et al., 1992).
28
Dari ketiga perlakuan, kebutuhan protein pada perlakuan amoniasi sudah mencukupi
dan sangat jauh berbeda dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan silase. Ini
dapat dilihat dari pertambahan bobot badan pada perlakuan amoniasi.
Neraca Energi
Sidik Ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh terhadap neraca
energi (P < 0,05). Uji BNT menunjukkan bahwa pada perlakuan amoniasi neraca
energi lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan kontrol atau silase. Neraca energi
menunjukkan nilai positif pada perlakuan amoniasi. Perlakuan amoniasi memberikan
pertambahan bobot badan bukan penurunan bobot badan seperti pada perlakuan
silase dan kontrol.
Perbedaan energi antara perlakuan diakibatkan karena pada perlakuan
amoniasi ternak lebih banyak mengkonsumsi konsentrat, dimana konsentrat tersebut
cukup mengandung protein yang tinggi yang dapat menyediakan energi dalam tubuh
dan bila dilihat dari konsumsi harian energi ransum pada perlakuan kontrol, silase
dan amoniasi adalah 0,29 M.Kal; 0,86 M.Kal; dan 1,62 M.Kal, dari konsumsi energi
tersebut terlihat bahwa pada perlakuan amoniasi lebih tinggi dan sudah mencukupi
kebutuhan energi harian domba, yaitu sebanyak 1,33 M.Kal dibandingkan dengan
kontrol dan silase. Menurut Lindahl (1974) bahwa energi makanan yang lebih tinggi
akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih cepat serta produksi dagingnya akan
lebih tinggi.
Pertambahan Bobot Badan
Pada ternak muda, pertumbuhan merupakan satu tujuan yang penting dari
suatu pemeliharaan. Kelebihan makanan dari kebutuhan hidup pokok akan
digunakan untuk meningkatkan bobot badan. Pertambahan bobot badan ternak
dapat mencerminkan sejauhmana manfaat pakan yang diberikan kepada ternak. Dari
Sidik Ragam menunjukkan bahwa perlakuan
berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap pertambahan bobot badan dan bila
dilakukan uji BNT menunjukkan pertambahan bobot badan pada perlakuan kontrol
dan silase tidak berbeda dan berbeda nyata dari perlakuan amoniasi. Dari rataan
pertambahan bobot badan dapat dilihat bahwa pada perlakuan amoniasi terjadi
peningkatan pada pertambahan bobot badan. Penggunaan konsentrat yang terdiri
dari bungkil inti sawit, lumpur sawit dan serat perasan buah dalam penelitian ini
hanya dapat mengakibatkan pertambahan bobot badan pada perlakuan amoniasi
tetapi tidak dapat meningkatkan pertambahan bobot badan pada perlakuan silase
maupun kontrol. Hal ini berbeda dengan pendapat Dalzell (1978) bahwa pemberian
konsentrat yang masing-masing mengandung lumpur sawit, serta perasan buah,
bungkil inti sawit, molases, urea, dan suplemen mineral vitamin menampilkan bahwa
lumpur sawit dapat digunakan secara efektif dan memberi pertambahan bobot badan
0,47 kg per hari dan Jesse et al (1976) penggunaan konsentrat tinggi pada pakan
(lebih dari 70%) pada penggemukan sapi daging akan meningkatkan konsumsi
pakan, pertambahan bobot badan, efisiensi pakan, persentase karkas dan lemak,
serta menurunkan biaya pakan per unit pertambahan bobot badan.
Adanya pertambahan bobot badan pada perlakuan amoniasi dapat disebabkan
karena kebutuhan protein dan energi dari ransum yang konsumsi telah mencukupi
kebutuhan harian protein dan energi domba untuk hidup pokok dibandingkan dengan
perlakuan kontrol dan silase.
29
3.
Kesimpulan
Pada perlakuan silase dan amoniasi dapat meningkatkan kandungan bahan
kering, bahan organik, NH3 dan pH.
Perlakuan silase dan amoniasi memberikan nilai yang lebih tinggi pada konsumsi
ransum, kecernaan (bahan kering, bahan organik, dan NDF) serta memberikan
nilai positif terhadap neraca nitrogen dan neraca energi dibandingkan dengan
perlakuan kontrol.
Penambahan konsentrat dalam ransum daun kelapa sawit yang mendapat
perlakuan silase memberikan pertambahan bobot badan negatif sedangkan pada
perlakuan amoniasi pertambahan bobot badannya positif.
Saran
Perlu diteliti lebih lanjut penggunaan daun kelapa sawit dalam bentuk silase
atau amoniasi yang dikombinasikan dengan hijauan lain yang belum dapat diberikan
100% sebagai ransum untuk domba.
30
DAFTAR PUSTAKA
Ahlgren, G.H. 1956. Forage Crops, 2nd, Ed.,Mc.Graw-Hill Book Company, Inc., N.Y.
Akmal, 1994, Pemanfaatan Wastelage Jerami Padi Sebagai Bahan Pakan Sapi FH
Jantan. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anggorodi, R. 1990, Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta.
AOAC, 1984. Official Method of Analysis of Association Official Analytical Chemist.
AOAC. Washington.
Aritonang, D. 1984. Pengaruh Penggunaan Bungkil Inti Sawit Dalam Ransum Babi
yang Sedang Bertumbuh. Disertasi Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Babjee, A.M. 1986. Palm kernel cake as a new feed for cattle. Asian Livestock 11 (5)
: 50 55.
Bacon, J.S.D.A., Chesson and A.H.Gordon. 1981. Deacetylation and enhancement of
digestibility. Afric. Environm. 6 : 124-125.
Banerjee, G.C. 1978. Animal Nutrition. Oxford & IBM Pub.Co Calcutta.
Bamualim, A.1988. Prosedur dan Parameter Dalam Penelitian Makanan Ternak
Ruminansia Dalam Prinsip Produksi dan Penelitian Peternakan, Kupang.
Basya, S dan M.Nuraini, 1976. Tingkat Pemberian Tepung Gaplek (Manihot utilissima
Pohl) dalam Ransum Sapi Perah Laktasi. Lembaga Penelitian Peternakan,
Bogor, Bull. 16 : 29-40.
, 1977. Penggunaan Tepung Gaplek (Manihot utilissima Pohl)
sebagai Pengganti Jagung dalam Susunan Makanan Penguat Sapi Perah Dara.
Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor, Bull. 19 : 27-36.
Belasco, J.C.1954. New nitrogen coumpound for ruminant A laboratory Evaluation.
J.Anim. Sci. 13 : 601 610.
Boorman, K.N. 1980. Dietary Constraint on Nitrogen Retention. In.P.J. Buttery and
D.B.Lindsay ed.Protein Deposition in Animals. Butterworth Publisher, New
Zealand.
Bundy, C.E.and R.V.Diggins, 1958. Beef Production. Prentice-Hall, Inc., Englewood
Cliffs, New York.
Chalupa W.1975. Rumen by pass and protection of protein and amino acids. J.Dairy
Sci. 58 : 198 204.
Chant, J.L.Jr. 1980. The effect of sex energy level and weight on growth composition
and quality of lamb. Nutr.Abstr.Rev. 50 (5) : 205 209.
Church, D.C. and W.G.Pond. 1980. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3rd ed Jhon
Willey and Sons. New York.
31
Ternak.
Departemen
32
33
Keshan, J. and U.B.Singh, 1980, Relationship between nitrogen intake and excretion
in cattle and buffaloes fed different fodders. Indian J.Anim.Sci. 50 : 128
130.
Lindahl. I.L. 1974. Nutrition and Feeding of Goats.In : Digestive Physiology and
Nutrition of Ruminants. Church. D.C. Vol.3. Practical Nutritional. Department
of Animal Science. Oregon State University. Cornelis. USA.
Lloyd, L.E., B.E. Mc.Donald and E.W.Crampton, 1978. Fundamental of Nutrition.
W.H.Freeman and Co.San Fransisco.
Loosli, J.K. and I.W.Mc.Donald. 1968. NPN interaksi the Nutrition of Ruminant, FAO
Roma.
Lubis. D.A.1963. Ilmu Makanan Ternak. PT.Pembangunan Jakarta.
Wodzicka.
M.Tomaszewska.
I.M.Mastika,
A.Djajanegara,
S.Gardiner
dan
T.R.Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas
Maret University Press.
Martawidjaja. M., A.Wilson dan B.Sudaryanto, 1990. Suplementasi Gaplek Dalam
Ransum yang Menggunakan Rumput Gajah dan Bungkil Biji Kapuk untuk
pertumbuhan Domba. Ilmu dan Peternakan 4 (3) : 303 306.
Maynard, L.A., J.K.Loosli, H.F.Hinz and K.G.Warner,1979. Animal Nutritions, seventh
ed. TMH Ed. Tata Mc.Graw-Hill Book Company. Inc. New York.
Mc.Donald, P.and Whittenbury. 1973. The Ensilage Process. Chemistry and
Biochemistry of Herbage. 3. (G.W.Butter and R.W.Bailey, eds). London,
Academic Press.
Mc.Donald, P., R.A.Edward and J.F.D.Greenhalhg. 1988. Animal Nutrition. 4nd
Ed.Longman Group Ltd. London and New York.
Meacham, and T.J.Cunha. 1989. Influence of low protein rations on growth and
semen characteristic of young beef bulls, J.Anim. Sci. 67 (11) : 185 196.
Morrison, F.B. 1959. Feeds and Feeding (22nd ed). The Morrison Publishing
Coy.Ithaca.
National Research Council. 1976. Urea and Other Non Protein Nitrogen Coumpounds
in Animal Nutrition. National Academy of Science. Washington, D.C.
Obst.J.M., T.D.Chaniago and T.Boyes, 1980, Survey on Sheep and Goats Slaughtered
at Bogor, West Java Indonesia. Centre for Animal Research and Development,
Bogor.
Parakkasi, A. 1983, Ilmu Gizi dan Makanan Ternak. Penerbit Angkasa Bandung.
Parakkasi, A. 1987, Ilmu Nutrisi Ruminansia Pedaging. Diktat Kuliah Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
34
35
36