Anda di halaman 1dari 4

TUGAS TAMBAHAN UJIAN PENYAKIT DALAM

Nama

: Rossy Efridanis Ballona

NIM

: 2009730044

Penguji

: dr. Tuti Sri Hastuti, Sp.PD, M. Kes/ dr. Gantira W.D.

1. Bagaimana mekanisme hiperkolesterolemia pada Sindrom nefrotik?


Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar kolesterol
umumnya meningkat sedangkan trigliserida bervariasi dari normal sampai sedikit
meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (Low Density
Lipoprotein), lipoprotein utama pengankut kolesterol. Kadar trigliserida yang tinggi
dikaitkan dengan peningkatan VLDL (Very Low Density Lipoprotein). Selain itu
ditemukan pula peningkatan IDL (Intermediate-Density Lipoprotein) dan lipoprotein
(Lp)a, sedangkan HDL (High Density Lipoprotein) cenderung normal dan rendah.
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan
katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi
LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL
(Lipoprotein Lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada
SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma viskositas
yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya aktivitas
enzim LCAT (Lechitin Cholesterol Acyltransferase) yang berfungsi katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju
hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan
hipoalbuminemia yang terjadi pada SN.
(Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V, Interna Publishing).

2. Berapa dosis pemberian prednisone pada SN, kapan pemberian dan pemberhentiannya,
serta apa yang di follow up?
Pemberian kortikosteroid yaitu prednisone 1-1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari
selama 4-6 minggu. Kemudian dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai dosis
maintenance (5-10 mg) kemudian diberikan 5 mg selang sehari dan dihentikan dalam 1-2
minggu. Bila pada saat tapering off, keadaan pasien memburuk kembali (timbul edema,

proteinuria), diberikan kembali full dose selama 4 minggu kemudian ditaperring off
kembali. Jadi yang di follow up selama pemberian steroid yaitu proteinuria.
Obat kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk menangani SN (prednisone,
metilprednison) terutama pada minimal glomerular lesion (MGL), focal segmental
glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik lupus glomerulonephritis. Obat NSAID telah
digunakan pada pasien dengan nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal untuk
mengurangi sintesis prostaglandin dan menyebabkan dilatasi. Ini menyebabkan
penurunan tekanan intraglomerulus dan dalam banyak kasus penurunan proteinuria
sampai 75%.

3. Perbedaan sindrom nefrotik dan nefritik

Sindroma Nefritik adalah sindroma klinik yg ditandai kelainan :


Azotemia,

Hipertensi,
Edema,
Hematuria (RBC cast),
proteinuria (< 3 g/hr),
terkadang oliguria.

Sindrom Nefrotik Merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerulus yang
ditandai dengan :
Proteinuria masif (> 3.5 gram / 24 jam / 1,73 m2) atau 40-50 mg/kg/hari
Hipoalbuminemia,
Edema anasarka,
Hiperlipidemia, dan

From Current diagnosis & treatment


Nephrology & Hypertension
Chapter 23. nephrotic syndrome vs nephritic
Harrison manual of medicine

Lipiduria.

4. Masih mungkinkah pada pasien mengalami sirosis hepatis?


Dari hasil anamnesis pasien menyangkal adanya faktor-faktor yang menunjang kearah
sirosis hepatis, seperti contohnya pasien menyangkal minum-minuman beralkohol, pasien
juga menyangkal dirinya dan keluarganya pernah sakit kuning. Namun, masih perlu di
ditekankan lagi apakah ibu pasien pernah menderita sakit kuning sebelumnya misalnya
pada saat mengandung pasien. Selain itu dari hasil pemeriksaan fisik juga hanya
didapatkan adanya edema dan ascites pada pasien untuk mengarah pada sirosis. Ini belum
cukup menunjang ke arah sirosis. Pasien tidak terlihat kuning saat ini dan juga tidak
pernah mengeluh pernah kuning bagian ditubuhnya, namun ada penyataan yang
menyatakan bahwa ikterus terjadi sedikitnya pada 60% penderita sirosis pada perjalanan
penyakitnya dan biasanya hanya minimal.
Tekanan hidup dan tingkat stress tinggi yang tidak diimbangi dengan pola hidup yang
sehat dikalangan usia produktif menjadi pencetus terjadinya sirosis di kalangan usia
produktif. Di Asia dan Afrika, mayoritas kematian akibat sirosis disebabkan oleh hepatitis
B kronis. Di Indonesia, banyak juga sirosis yang terjadi akibat hiperlipidemia yang
berkaitan erat dengan obesitas. Sirosis juga bisa terjadi karena gangguan metabolic

seperti kolesterol tinggi dan dislipidemia seperti fatty liver. Fatty liver adalah kelebihan
lemak dalam tubuh yang diendapkan di liver, jika dibiarkan terlalu lama akan menjadi
pencetus sirosis kronik non hepatitis. Pada pasien belum diketahui kadar kolesterol dan
lipid-nya, sehingga masih perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai