Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

SECTIO CAESAREA (SC) G3P2A0 PLASENTA LETAK RENDAH DENGAN ANESTESI


REGIONAL SPINAL
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Anastesi Di Rumah Sakit
Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh :
Ajeng Sytami Putri
Dya Kusumawati
Elsita Lisnawati
Hana Tiyas Mustikawati
Syarifa Tris Hidayanti
Niken Tia Ratna

(012106074)
(012106136)
(012106144)
(012106171)
(012106282)
(012116470)

Pembimbing :
dr. Wignyo Santosa, Sp.An KIC

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015

HALAMAN PENGESAHAN
Nama

Ajeng Sytami Putri


Dya Kusumawati
Elsita Lisnawati
Hana Tiyas Mustikawati
Syarifa Tris Hidayanti
Niken Tia Ratna

Fakultas

Kedokteran Umum

Universitas

Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )

Tingkat

Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian

Ilmu Anastesi Periode 14 september- 10 Oktober 2015

Judul

Sectio caesarea (SC) G3P2A0 plasenta letak rendah dengan anestesi regional
spinal

Semarang, Oktober 2015


Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anastesi Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Pembimbing
dr. Wignyo Santosa, Sp.An KIC
I

IDENTITAS
Nama

: Ny. N

Umur
Alamat
Agama
Pekerjaan
Status
No RM
Tanggal masuk
II

: 36 th/7 bl/29 hr
: Karanganyar Rt.08/ Rw.12 Muktiharjo Pedurungan Semarang
: Islam
: Ibu Rumah Tangga
: Menikah
: 01.24.65.22
: 29 September 2015

ANAMNESIS
KeluhanUtama
Pasien G3P2A0 mengeluh keluar darah segar per vaginam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien G3P2A0 usia 36 tahun hamil 40 minggu. Janin 1 hidup intrauterin letak kepala
, mengeluhkan kontraksi rahim (+), keluar cairan (jernih dan dan tidak berbau) dari jalan
lahir, terasa gerakan janin (+). Selama kehamilan, janin dinyatakan sehat dan tekanan
darah dalam batas normal. Saat kehamilan sudah menjalani pemeriksaan 12x di bidan dan
dokter spesialis. Pada saat ANC ke-12 di dokter spesialis kandungan dilakukan USG dan
diketahui bahwa plasenta berada di bawah hampir menutupi jalan lahir. 2 minggu SMRS
pasien mengeluh keluar darah merah segar dari jalan lahir sedikit-sedikit. yang terasa
mengalir dari jalan lahirnya. 1 hari SMRS pasien mengeluh mengeluarkan darah merah
segar dari jalan lahir kurang lebih sebanyak gelas belimbing. Setelah berkonsultasi
dengan Dokter Spesialis Kandungan maka pasien dianjurkan untuk melahirkan secara
Sectio Caesaria (SC).
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hipertensi
2. Riwayat penyakit jantung
3. Riwayat penyakit paru
4. Riwayat DM
5. Riwayat stroke
6. Riwayat kejang
7. Riwayat penyakit maag
8. Riwayat alergi obat
9. Riwayat sakit di ginjal
10. Riwayat abortus
11. Riwayat miopi

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: diakui, ODS -5 sejak usia 15 tahun

Riwayat Penyakit Keluarga


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Riwayat hipertensi
Riwayat penyakit jantung
Riwayat penyakit paru
Riwayat DM
Riwayat stroke
Riwayat kejang

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

Riwayat Pribadi
1. Riwayat merokok

: disangkal

2. Riwayat komsumsi alcohol


3. Riwayat minum jamu
III

: disangkal
: disangkal

PERSIAPAN PRE OPERASI


Anamnesis
A (Allergy)
: Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan dan penyakit
M (Medication) : (-)
P (Past Illnes)
: Riwayat DM (-), HT (-), Asma (-), Miopi (+)
L (Last meal)
: Puasa mulai pukul 09.00 WIB (> 6 jam sebelum operasi)
E (Environment) : G3P2A0 hamil 40 minggu, janin 1 hidup intrauterine presentasi
Kepala
Pemeriksaan Fisik Pre-operasi
Tanda Vital

TD
Nadi
RR
SaO2
Suhu
TB
BB
Mulut, gigi, jalan nafas
Paru

: 145/73 mmH
: 66 x/menit
: 15 x/menit
: 100 %
: 36,3oC
: 154 cm
: 65 Kg
: Paten
: Suara dasar vesikuler +/+, Suara Tambahan Rhonki

-/-, Wheezing -/Jantung


Abdomen

: Bunyi Jantung I-II regular


: TFU : 32 cm, His jarang
Leopold 1 : besar, bulat, lunak

Ekstremitas
Lain lain

Leopold 2 : Ki teraba tahanan memanjang


Ka teraba kecil kecil
Leopold 3 : besar, bulat, keras
Leopold 4 : sudah masuk PAP
DJJ I + 11-12-11 ; DJJ II+ 12-11-12
: Akral dingin -/- -/-, Oedem ekstremitas -/- -/: dbn

Pemeriksaan Penunjang (29 september 2015)


HEMATOLOGI
1. Darah rutin (WB EDTA)
a. Hemoglobin
: 12,3 g/dL (L)
b. Hematocrit
: 36,0 % (L)
c. Leukosit
: 9,2 103/uL
d. Trombosit
: 222 103 /u (L)
e. Golongan Darah
: O/positif
f. APTT
: 25,6 detik
g. Control
: 26,5
h. Waktu protombin
: 9,9 detik
i. Control
: 11,8
2. Kimia Klinik (Serum)
a. Gula Darah Sewaktu : 100 mg/dL
b. Natrium
: 139,7 mmol/l
c. Kalium
: 3,39 mmol/l

Nilai Normal
11,7-15,5 g/dL
33-45 %
3,6-11 103/uL
150-400 103 /uL
25 35 detik
20,2 -27,4
9,9-11,6
9,3-12,5
75-110 mg/dL
135 147 mmol/l
3,5 5 mmol/l

d. Chloride
3. Urine Lengkap
a. Warna
b. Kejernihan
c. Protein
d. Reduksi
e. Bilirubin
f. Reaksi/PH
g. urobilinogen
h. Benda keton
i. Nitrit
j. Berat jenis
k. Blood
l. Leukosit
Mikroskopis
m. Epitel sel
n. Erytrosit
o. Leukosit
p. Silinder
q. Parasit
r. Bakteri
s. Jamur
t. Kristal
u. Benang mukus
4. Serologi-Imun
a. HbsAg

: 107,1 mmol/l
: kuning
: agak keruh
: negatif mg/dl
: negatif mg/dl
: negatif mg/dl
: 6,0
: 0,2 mg/dl
: negatif mg/dl
: negatif
: 1,030
: 25 Eri/uL
:negatif Leu/uL
:16-18 /LPK
: 1-2 /LPB
: 2-4 /LPB
: negatif /LPK
: negatif
: negatif
: negatif
: Ca oksalat
: positif
: Non Reaktif (-)

95 105 mmol/l DUPLO

<30mg/dl (negatif)
<15mg/dl (negatif)
<1mg/dl (negatif)
4,8- 7,4
<2mg/dl
<15mg/dl (negatif)
negatif
1,015-1,025
<5 Eri/uL
<10 Leu/uL
5-15
0-1
3-5
0-1(hialin)
negatif
negatif
negatif

Non Reaktif (-)

Laporan Anesthesi Durante Operasi


Tindakan operasi
: SC (Sectio Caesarea)
Jenis anestesi
: Regional Spinal, posisi puncture di lumbal terbawah, level median.
Lama anestesi
: 17.10 17.12 WIB
Lama operasi
: 17.15 17.55 WIB
Premedikasi
: Ondancetron 4 mg/2ml (IV)
Induksi
: Bunascan Spinal 0.5% Heavy (Bupivacain HCL) 5mg/ml (4 ml)
Maintenance
: O2 3 L/menit
Adjuvantia
: Oxytocin 10 IU/ml
Methylergometrine Maleat 0.2 mg/ml
Ketorolac 3% 30 mg/ml
Reverse
:Terapi cairan
: Kristaloid : RL 500 ml
Post operasi
: Selesai operasi pasien dipindahkan ke recovery room

IV

TINDAKAN ANESTESI
Tindakan Anestesi Regional

Pasien diposisikan lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi antara L3-L4 (di
daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum / trokard. Setelah menembus
ligamentum flavum (hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus selaput

duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya

cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.


Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang subaraknoid.
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan

jarum halus atau kapas dan tes motorik dengan mengangkat kaki dan menekuk lutut.
Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah pungsi ditutup dengan

kasa dan plester.


Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.

PemberianCairan
Cairan masuk
Pre operatif

: RL 500 cc

Durante operatif

: RL 500 cc

Cairan keluar
Perdarahan

: 200-300 cc

Produksi urin

: 55 cc/jam

Pasca Bedah di Recovery Room (RR)

Bromage Score : 1

Recovery Room

Masuk jam
Pulang jam

: 18.05 WIB
: 18.20 WIB

Keadaan Umum

: Baik

Respon Kesadaran

: Terjaga

Status mental

: Sadar penuh

Jalan nafas

: Nasal

Pernafasan

: Teratur

Terapi Oksigen

: Nasal Canul

Kulit

: Kering

Posisi Pasien

: Semifowler

Nadi

: Teratur

Infus

: RL

Tanda Vital

TD
Nadi
RR
SaO2
TB
BB

: 156/85 mmHg
: 69 x/menit
: 20 x/menit
: 95 %
: 154 cm
: 61 kg

Instruksi Post Operasi Dengan Anestesi Spinal

Tidur dengan bantal tinggi selama 24 jam


Infus
: RL 20 tpm
Inj. Ketolorac 1 x 30 mg iv / 8 jam dimulai pukul 02.00 WIB
Boleh langsung minum, atau makan jika tidak mual muntah
Bila muntah berikan inj. Ondansetron 4 mg iv
Bila TD 100 mmHg (systole), beri :
Loading cairan RL 500 ml iv
Inj. Ephedrine HCL 10 mg iv (diencerkan)
Konsul Sp. An

TINJAUAN PUSTAKA
I.

Anestesi Spinal
I.1 Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai
blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat
analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4L5.

I.2 Mekanisme Kerja


Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana tempat kerjanya
khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang tidak akan memberi hasil yang
memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman jaringan yang mengalami peradangan sehingga
akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi lokal (pH sekitar 5).
Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf, efeknya pada aksoplasma
hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan
sesaat (sekilas) pada permeabilitas membran terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada
membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka
terhadap perubahan voltase muatan listrik (voltase sensitive Na+ channels). Dengan
bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang rangsang membran akan
meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls
melambat dan faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini
akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian
mengakibatkan kegagalan konduksi saraf.Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan
tegangan permukaan lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan
saluran (channel) pada membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift) melalui membran
akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat perpindahan natrium dengan aksi ganda
pada membran sel berupa :
1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.
Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat keluar masuk
membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok. Percobaan dari Hille menegaskan
bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi lokal terletak di dalam saluran natrium.
2. Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan reseptor.
Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat non-polar lemak misalnya
barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus dapat
menembus

jaringan,

dimana

bentuk kation adalah

bentuk

yang

diperlukan

untuk

melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung dengan reseptor
di membran sel yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar dapat melakukan aksinya, obat
anestesi spinal pertama kali harus menembus jaringan sekitarnya.
I.3 Teknik

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi
yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan
anestesi spinal adalah sebagai berikut :
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala, selain nyaman untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2
atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.


4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan
penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira
2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke
lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah
keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya
nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin
ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90
biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan
anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa 6cm.
I.4 Indikasi
Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan daerah tubuh
yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke bawah). Anestesi spinal ini
digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria),
perineum dan kaki.
I.5 Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi Absolut
diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis
yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasuskasus pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan
(misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak
diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tanda-tanda
vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli
anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat
meningkatkan risiko meningitis.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah pemberian
anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat meningkatkan risiko herniasi uncus
ketika cairan serebrospinal keluar melalui jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah
injeksi anestesi spinal, herniasi otak dapat terjadi.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan resiko pembentukan hematoma, hal ini penting untuk
menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan operasi sebelum melakukan
induksi anestesi spinal. Jika durasi operasi tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan
mungkin tidak cukup panjang untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi
membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi
spinal seperti epinefrin dan apakah kateter spinal akan diperlukan.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi, karena operasi diatas
umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang sebagai teknik tunggal. Anestesi
spinal pada pasien dengan penyakit neurologis seperti multiple sclerosis masih kontroversial
karena dalam percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap
toksisitas obat bius lokal.

Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi relatif terhadap
anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai kontraindikasi mutlak untuk anestesi
spinal, sekarang mungkin menggabungkan pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati, dalam
perawatan anestesi mereka deformitas dari kolumna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam
menempatkan anestesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal dalam
kemampuan dokter anestesi untuk performa anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa
kembali pasien untuk menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba anestesi
spinal.
I.6 Komplikasi
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi lambat.
Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal.
a. Komplikasi sirkulasi :
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya terjadinya
pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 10
menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit
selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau
terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka kita harus bertindak cepat untuk
menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi,
akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,
Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi spinal dan juga berikan
oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati
dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal
total dengan anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus
melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru, serta berikan penanganan seperti pada
hipotensi berat. Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis. Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5 mg
intravena.
3. Sakit Kepala

Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi spinal yang
sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan memburuk bila pasien
duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit kepala biasanya pada daerah
frontal atau oksipital dan tidak ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini
disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin
besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan
membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan satu bantal) selama 24
jam.
4. Komplikasi Respirasi
a)

Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru
normal.

b)

Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.

c)

Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.

d)

Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan tanda-tanda


tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan
buatan.

5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan, pemakaian
obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,
pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat
pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48 jam pasca pungsi
lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan
meningkat.
II. Obat-Obat Anestesi Spinal
1. Bupivakain
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai berikut : 1-butyl-N(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride. Bupivakain adalah derivat butil dari
mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long
acting dan disintesa oleh BO af Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 1963. Secara
komersial bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih
menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia

selama persalinan dan pasca bedah. Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik
maupun

hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi abdominal

bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml
dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%,
volume 2-4 ml dan total dosis 15-22,5 mg.
Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah kecil. Bila diberikan
dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila dibandingkan dengan lidokain.
Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat
blockade motorisnya yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain. Bupivakain
juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai kemampuan
yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis
sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang
ringan. Analgesik paska bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian
dengan tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada
dosis 0,25 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah.
Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 0,75 %) digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi infiltrasi
0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 0,5 %, epidural 0,5 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal
pada pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 4 mg / kgBB.
2. KLONIDIN
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis 2 yang digunakan untuk obat antihipertensi
(penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek kronotropik negatif. Lebih jauh lagi,
klonidin dan obat 2 agonis lain juga mempunyai efek sedasi. Dalam beberapa penelitian juga
ditemukan efek anestesi dari pemberian secara oral (3-5g/kg), intramuscular (2g/kg), intravena
(1-3g/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150g) dan epidural (1-2g/kg) dari
pemberian klonidin. Secara umum klonidin menurunkan kebutuhan anestesi dan analgesi
(menurunkan MAC) dan memberikan efek sedasi dan anxiolisis.
Selama anestesi umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan stabilitias sirkulasi
intraoperatif

dengan

menurunkan

tingkatan

katekolamin.

Selama

anestesi

regional,

termasuk peripheral nerve block, klonidin akan meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung
pada medula spinalis mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik 2 dengan ramus dorsalis.
Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya postoperative shivering,
inhibisi dari kekakuan otot akibat obat opioid, gejala withdrawal dari opioid, dan pengobatan dari
beberapa sindrom nyeri kronis. Efek samping dapat berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi
nafas dan mulut kering. Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang bekerja
secara sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya untuk menurunkan

keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini telah terbukti efektif digunakan
pada pasien dengan hipertensi berat atau penyakit renin-dependen. Dosis dewasa yang biasa
digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg. Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk
pemberian secara mingguan pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral.
3. EFEDRIN
Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang secara alami ditemukan
di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus OH pada cincin benzena , gugus
ini memegang peranan dalam efek secara langsung pada sel efektor.
Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor , 1, 2. Efek pada 1 di perifer
adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase. Efek pada 1 dan 2 adalah melalui
stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek 1 berupa takikardi tidak nyata karena terjadi
penekanan pada baroreseptor karena efek peningkatan TD. Efek perifer efedrin melalui kerja
langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya
takifilaksis (pemberian efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu singkat akan
menimbulkan efek yang makin lemah karena semakin sedikitnya sumber NE yang dapat dilepas,
efek yang menurun ini disebut takifilaksis terhadap efek perifernya. Hanya I-efedrin dan efedrin
rasemik yang digunakan dalam klinik.
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan mendesak NE
keluar. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali
lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya tekanan diastolik, sehingga tekanan nadi
membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama
oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut
jantung mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah.
Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner, otak dan otot rekat.
Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin.
4. EPINEFRIN (ADRENALIN)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh bagian medula
kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh neuron-neuron tertentu yang
bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin merupakan stimulator yang kuat pada reseptor
adrenergik sistem saraf simpatis, dan stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut
jantung dan meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan efek
metabolik lain.
Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan dilepas sebagai respon terhadap
hipoglikemia,

stres

dan

rangsangan

lain.

Preparat

sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai vasokonstriktor topikal, stimulan


jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan secara intranasal, intraoral, parenteral, atau inhalasi.
Sedangkan norephineprin (noradrenalin) adalah suatu katekolamin alamiah atau neurohormon
yang dilepaskan oleh saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa saraf otak, juga diekskresi
oleh medula adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splanchnicus dan disimpan dalam granul
kromafin.
Norephineprin merupakan neurotransmiter utama yang bekerja pada reseptor adrenergik dan 1. Norephineprine merupakan vasopressor kuat dan biasanya dilepaskan dalam tubuh
sebagai respon terhadap hipotensi dan stres. Preparat farmasi senyawa norephinephrine biasanya
dalam bentuk garam bitartat.

III.

ANESTESI SPINAL PADA SECTIO CESARIA


Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida, dan

lakukan observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien dan
memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan menyuntikkan jarum lumbal
(biasanya no 23 atau 25) pada bidang median setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal
akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus duramater subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan jarum
halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan plester, kemudian posisi pasien diatur
pada posisi operasi.
2. Indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea
Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah yang diinervasi oleh
cabang Th.4 (papila mammae kebawah) :
1) Vaginal delivery
2) Ekstremitas inferior
3) Seksio sesarea
4) Operasi perineum
5) Operasi urologic
3.

Kontra indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea :


1) Infeksi tempat penyuntikan

2) Gangguan fungsi hepar


3) Gangguan koagulasi
4) Tekanan itrakranial meninggi
5) Alergi obat lokal anstesi
6) Hipertensi tak terkontrol
7) Pasien menolak
8) Syok hipovolemik
9) Sepsis
4. Obat anestesi spinal pada seksio sesarea :
Obat anestetik yang sering digunakan:
1) Lidocain 1-5 %
2) Bupivacain 0,25-0,75 %
5. Komplikasi anestesi spinal pada seksio sesarea :
1) Hipotensi
2) Brakikardi
3) Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
4) Menggigil
5) Mual-muntah
6) Depresi nafas
7) Total spinal
8) Sequelae neurologic
9) Penurunan tekanan intrakranial
10) Meningitis
11) Retensi urine
PEMBAHASAN
Anestesi spinal memberikan blokade sensorik dan motorik simetris, cepat serta mendalam
pada pasien yang melahirkan secara sectio caesaria. Efek yang paling sering dan serius dari
penggunaan anestesi spinal pada persalinan Cesar adalah hipotensi, dengan insidensi kasus yang
dilaporkan lebih dari 80 %.
1. Pre Operatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre operasi
terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anestesi. Kunjungan ini bertujuan untuk
mempersiapkan mental, fisik pasien secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat-

obatan yang sesuai serta menentukan klasifikasi yang sesuai menurut ASA. Kunjungan pre operasi
pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi.
Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien
berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien
mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan
kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform
consent.
History talking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan dan
obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi
(biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu
juga riwayat pengobatan, karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat
operasi dan anestesi sebelumnya, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah. Riwayat kebiasaan
sehari-hari seperti merokok, minum alkohol, menggunakan obat penenang, dan narkotika. Pertanyaan
tentang review sistem organ untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum
terdiagnosa.
Pemeriksaan fisik dan history talking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik dapat membantu
mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history talking, sedangkan history talking
membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa dengan teliti.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda
vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru,
dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional
sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pemeriksaan laboratorium memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum
elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada semua pasien.
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak
dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori.
Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik
ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying
disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka
tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik
ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.
KelasI

:Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

KelasII

: Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang,tanpa limitasi


aktivitas sehari-hari.

Kelas III

: Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.

KelasIV

: Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan memerlukan


terapi intensif, dengan limitasi serius pada aktivitas sehari-hari.

KelasV

:Pasien sekarat yang akan menyang tidak dapat hidup/bertahandalam 24 jam,


dengan atau tanpa pembedahan.

Kelas E

: Bila operasi dilakukan darurat/cito

Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran
yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi
harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentusebeluminduksi anestesi.Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak
berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis
sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum
induksi anesthesia.
Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan
maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan
elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan
insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat
diperkirakan dari tabel dibawah:
Kebutuhan Cairan Selama Operasi
Jenis Operasi
Ringan
Sedang
Berat

Kebutuhan Cairan Selama Operasi


4 cc/kgBB/jam
6 cc/kgBB/jam
8 cc/kgBB/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan karena
durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu
puasa. Penggantian Cairan Selama Puasa

50 % selama jam I operasi

25 % selama jam II operasi

25 % selama jam III operasi

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan
induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron 4mg/ml. Ondansetron ialah suatu
antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah.
2. Durante Operasi
Pemakaian Obat Anestesi
Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan Bupivacaine HCL yang merupakan
anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa
sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses
konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel. Mula kerja lambat dibanding
lidokain, tetapi lama kerja 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang (supine).
Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala menunduk
hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang menghubungkan
kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan
tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol dan
betadin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan dengan arah median, barbutase positif
dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan
dimasukkan secara perlahan-lahan.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan
darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-30%
atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat
anestesi spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi maka cairan
intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15mg secara intravena, dan pemberian oksigen. Pada
pasien ini tidak terjadi hipotensi, sehingga tidak diberikan bolus ephedrin sebanyak 10mg
secara intravena.
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 10 IU (1 ampul)
diberikan per-drip, dan Pospargino,2 mg/ml diberikan secara bolus IV Pemberian oksitosin

dan pospargin bertujuan untuk mencegah perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus
secara ritmik atau untuk mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5
menit. Selain oksitosin, juga diberi metergin 1 ml bolus IV, Mekanisme kerjanya merangsang
kontraksi otot uterus dengan cepat dan poten melalui reseptor adrenergik sehingga
menghentikan perdarahan uterus.
Pemberian ketorolac 30 mg secara intravena diberikan sesaat sebelum operasi selesai.
Ketorolac adalah golongan NSAID (Non steroidal anti-inflammatory drug) yang bekerja
menghambat sintesis prostaglandin. Ketorolac diberikan untuk mengatasi nyeri akut jangka
pendek post operasi, dengan durasi kerja 6-8 jam.
Terapi Cairan
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya.
Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa,
sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa
polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar
intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan
seluruh ruang cairan ekstraseluler.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement
yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat.
Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk
menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika
volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan
kristaloid sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.

DAFTAR PUSTAKA
1. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009. Handbook of
Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins..
2. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua.
Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
3. Keat Sally, Simon T, Alexander B, Sarah L. 2013. Anaesthesia on the move 1th editional. U.K.
Hodder Arnold.

4. Snell, Richard S. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi ke-6. Editor:Hartanto
Hurniawati, dkk. Jakarta:EGC;2006.
5. Spinal Anesthesia: Subarachnoid Block.Editor Lee A. Fleisher. 2008. Diunduh 10 Juni 2015.
Available

from:

http://www.proceduresconsult.com/medical-procedures/spinal-anesthesia-

subarachnoid-block-AN-procedure.aspx

Anda mungkin juga menyukai